Share

Bab 6. Peperangan di Gerbang Selatan

Di Kedhaton Madyantara, Adipati Argarota telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Kemudian dengan langkah tegap ia berjalan menuju Kaputren Rajani berniat untuk menjumpai istrinya. Namun Dewi Widia Ayu, istri dari Adipati Argarota sedang bermain kecapi di Bale Bengong yang berada di taman kaputren.

Mengetahui istri tercintanya sedang hanyut dalam permainan kecapi, Adipati Argarota melarang para dayang mengumumkan kedatangan dirinya dan memutuskan untuk sejenak menikmati alunan irama kecapi yang dimainkan oleh Dewi Widia Ayu.

Beberapa saat kemudian Dewi Widia Ayu telah menyelesaikan permainan kecapinya. Akan tetapi begitu membuka matanya yang sedari tadi terpejam, Sang Ratu merasa heran karena melihat para dayang sedang berdiri mematung sambil menundukkan kepalanya.

“Sungguh indah sekali permainan kecapimu Dinda,” puji Adipati Argarota sambil bertepuk tangan dan berjalan perlahan ke arah Dewi Widia Ayu.

Mengetahui Adipati Argarota datang mengunjungi Taman Kaputren Rajani, Dewi Widia Ayu bergegas berdiri dengan dibantu oleh salah satu dayang, kemudian berjalan mendekati Adipati Argarota bermaksud untuk menyambutnya.

“Maafkan atas kelancangan Dinda karena tidak menyambut Kanda dengan layak,” tutur Dewi Widia Ayu sambil memberi hormat kepada Adipati Argarota.

“Tak perlu meminta maaf Dinda, justru aku yang seharusnya meminta maaf karena telah mengganggu dirimu,” balas Adipati Argarota sambil dengan lembut memegang tangan Dewi Widia Ayu.

Dewi Widia Ayu tersenyum tersipu begitu Adipati Argarota memegang tangannya, tetapi begitu ia menyadari bahwa saat ini suami tercintanya itu telah mengenakan pakaian perang lengkap dengan keris yang tersemat di pinggangnya. Perasaan cemas langsung menusuk jantung Dewi Widia Ayu.

“Maafkan kelancangan Dinda. Tapi mengapa Kanda mengenakan pakaian perang saat berkunjung ke Kaputren Rajani?” Dewi Widia Ayu memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya.

Argarota mengangguk perlahan lalu berkata. “Ada yang ingin aku bicarakan kepadamu Dinda.”

“Kalian bisa tinggalkan kami.” Dewi Widia Ayu dengan suara lembutnya meminta para dayang untuk meninggalkan ia dan Adipati Argarota.

“Daulat Gusti,” jawab para dayang secara serempak sambil memberikan hormat untuk kemudian berjalan menjauhi Dewi Widia Ayu dan Adipati Argarota.

Dewi Widia Ayu menatap wajah Adipati Argarota yang terlihat penuh kecemasan.

“Dinda, keadaan darurat telah terjadi di Kota Kithara.” Adipati Argarota menatap wajah Dewi Widia Ayu sebelum melanjutkan perkataannya. “Pasukan Kerajaan Ambarata menyerang dari arah selatan kota dan sampai saat ini aku tidak mengetahui bagaimana keadaan ibu kota.”

Dewi Widia Ayu mendengarkan perkataan Adipati Argarota dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

Merasakan kecemasan yang tersirat dari Dewi Widia Ayu, Adipati Argarota mencoba menenangkan istrinya. “Tidak perlu khawatir Dinda, aku akan berjuang untuk melindungi dirimu dan Kota Kithara dengan seluruh kekuatanku,” tutur Adipati Argarota sambil menggenggam kedua tangan Dewi Widia Ayu.

“Aku juga akan perintahkah untuk memperketat pertahanan di Kedhaton Madyantara, aku harap itu dapat menghilangkan kecemasan di hatimu,” ucap Adipati Argarota berusaha menenangkan Dewi Widia Ayu seraya membelai rambut istrinya itu.

Setelah menyampaikan perihal tersebut kepada Dewi Widia Ayu, Adipati melangkah pergi meninggalkan Taman Kaputren Rajani.

Dewi Widia Ayu terus menatap Adipati Argarota yang terus melangkah pergi, dalam hati kecilnya ingin rasanya menahan Sang Adipati untuk tetap berada disisinya. Tetapi ia menyadari bahwa itu bukanlah tindakan yang bijaksana.

***

“Gusti Adipati,” ucap Dutasena begitu melihat Adipati Argarota telah tiba dihadapannya.

“Perintahkan Pasukan Penjaga untuk memperketat penjagaan di Kedhaton Madyantara.” Perintah Adipati Argarota sambil menatap Dutasena. “Persiapkan seluruh pasukan pemanah dan pasukan berkuda untuk berperang di gerbang selatan, lalu perintahkan pasukan penjaga kota untuk memperkuat pertahanan di gerbang utara,” lanjut Adipati Argarota sebelum menunggangi kudanya.

“Daulat Gusti,” jawab Dutasena.

Adipati Argarota memimpin pasukan untuk bergerak menuju gerbang selatan, sedangkan Dutasena berkuda disisi Sang Adipati guna melindungi dari kemungkinan ancaman yang mengintai.

Sesampainya di gerbang selatan, Adipati Argarota langsung menghampiri Senopati Jatiraga. “Bagaimana keadaannya Senopati?” tanya Adipati Argarota kepada Jatiraga.

Sempat terkejut atas kedatangan Adipati Argarota. Namun Senopati Jatiraga dapat menjaga ketenangannya dan menjawab pertanyaan Sang Adipati. “Pasukan Kerajaan Ambarata berjumlah seratus ribu orang Gusti. Namun sejauh ini mereka belum melakukan penyerangan.” Senopati Jatiraga menatap tajam kepada Dutasena.

Dutasena hanya dapat menunduk, begitu tatapan tajam Sang Senopati tertuju kepadanya. Dirinya menyadari telah membuat Senopati Jatiraga kesal.

Menyadari keberadaannya di gerbang selatan telah membuat Senopati Jatiraga kesal, Adipati Argarota mencoba mengalihkan perhatian Sang Senopati.

“Ini bukan kesalahannya. Kehadiran diriku disini adalah keputusanku sendiri, apa kau merasa keberatan Senopati?” tanya Adipati Argarota sambil menoleh ke Senopati Jatiraga.

“Ampuni hamba. Tetapi apa yang Gusti Adipati lakukan ini dapat membahayakan keselamatan Anda sendiri,” jelas Senopati Jatiraga sambil menundukkan kepalanya.

“Aku mengerti adikku. Tapi pantang bagiku berdiam diri sementara prajurit terbaikku berkorban nyawa untuk melindungi kota ini,” seru Adipati Argarota sambil mengepalkan tangannya.

“Tetapi Gusti Adipati, hal ini sangat berbahaya bagi keselamatan Anda. Mohon Gusti Adipati dapat mempertimbangkan kembali,” tutur Senopati Jatiraga sambil tetap menundukkan kepalanya.

“Cukup Senopati...! ini adalah keinginanku dan ini telah menjadi perintahku kepadamu, apa kau kini berniat membantah perintahku Senopati Jatiraga!” bentak Adipati Argarota kepada Senopati Jatiraga.

“Hamba tidak berani Gusti.” Senopati Jatiraga menggelengkan kepalanya perlahan. “Jika ini menjadi perintah Gusti Adipati, akan hamba jalankan dengan sepenuh hati,” lanjut Senopati Jatiraga.

Begitu mendengar jawaban dari Senopati Jatiraga, Adipati Argarota tersenyum kecil. Walaupun sebenarnya ada rasa bersalah di dalam diri Sang Adipati karena telah kasar kepada adik seperguruannya.

Tiba-tiba Pasukan Kerajaan Ambarata memulai penyerangan, mereka mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyerang langsung ke arah gerbang selatan Kota Kithara. 

“Pasukan Ambarata mulai bergerak Gusti Adipati,” ucap salah satu pasukan penjaga.

“Pasukan pemanah bersiap,” perintah Adipati Argarota.

“Daulat Gusti,” jawab Dutasena sambil memberikan isyarat kepada pasukan pemanah untuk bersiap menyerang.

Begitu melihat isyarat yang diberikan oleh Dutasena, seluruh pasukan pemanah telah bersiap dengan anak panah yang terpasang di busur mereka.

Adipati Argarota menunggu saat yang tepat hingga Pasukan Kerajaan Ambarata memasuki jangkauan serang pasukan pemanahnya.

Setelah menunggu beberapa saat, Pasukan Kerajaan Ambarata sudah memasuki jangkauan serang pasukan pemanah.

“Serang!” seru Adipati Argarota.

Dutasena langsung memberikan isyarat kepada seluruh pasukan pemanah untuk menyerang begitu mendapatkan perintah dari Adipati Argarota.

Begitu mendapatkan isyarat menyerang, seluruh pasukan pemanah melepaskan anak panah mereka. Seketika seluruh langit dipenuhi oleh puluhan ribu anak panah yang mengarah langsung ke arah Pasukan Kerajaan Ambarata.

Jerit teriak para prajurit yang terkena serangan anak panah mengisi ruang udara. Bersamaan dengan itu, gencatan senjata antara kedua kerajaan besar di daratan utama ini telah berakhir dan menandakan dimulainya babak baru di daratan utama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status