Kalau saja, andai saja.
Kata itulah yang selama ini ia rasakan. Beribu penyesalan tidak akan dapat merubah keadaan. Tapi bisakah ia perbaiki masa depan ..... "Mas angga, dia, di-dia punya anak dari sekretarisnya Kia." Ucapnya dengan nada bergetar, Kia yang mendengar itu langsung memeluk Alina dengan erat, memberikan kekuatan untuk iparnya itu. Sedangkan Basmal, ia memejamkan kedua matanya. Ternyata praduganya benar, wanita ular itu tidak akan melepaskan kakaknya begitu saja. "Dia khianati aku kia, dia rusak pernikahan suci kami. Hiks...." Sambungnya dengan lirih. Bahu alina bergetar di dalam pelukan kia, hidupnya hancur dalam sekejam. Kedatangan wanita itu menghancurkan segalanya. Kia mengusap lembut punggung Alina, Kia merelai pelukan itu ketika Alina sudah mulai tenang. "Maafkan aku, aku terlalu terbawa suasana," Ujarnya dengan lirih. "Lalu apa Keputusan kakak?." Alina hanya menggelengkan kepalanya, kejadian ini terlalu tiba-tiba, bahkan tidak pernah terlintas di dalam pikirannya sedetikpun. "Aku titip anak-anak di sini semalam boleh?." "Kakak bicara apa sih, tentu saja boleh." Ujar kia menggenggam kedua tangan Alina. "Kalau gitu kakak pulang dulu ya, besok kakak kesini lagi." Kia kembali memeluk alina dengan kuat, "Kakak pasti bisa kak, kakak pasti kuat devan dan david masih membutuhkan kakak." Ucapnya dengan lirih. Alina tersenyum hangat menanggapi ucapan kia, pandangannya beralih menatap basmal "Aku pulang dulu ya, maaf telah merepotkan kalian." "Tidak ada yang di repotkan kak, justru aku senang rumah jadi ramai karena jagoan kecil berkumpul di sini." Alina berjalan menghampiri devan dan david yang sedang bermain, "Sayang mama pergi dulu, kalian jangan nakal okey. Jangan merepotkan tante kia dan ucle Basmal." Ujar Alina mengusap kepala devan dan david. "Mama hati-hati di jalan, kalau ada ap-apa langsung hubungi aku atau uncle basmal ya ma!." Alina melangkah keluar memasuki mobil di ikuti dengan yang lain, dirinya melambaikan tangan. Perasaannya begitu berkecamuk, ia tidak menyangka jika kedua anaknya mengetahui bahwa angga memiliki anak yang lain. Alina merebahkan tubuhnya di atas ranjang king size, menatap jam yang berada di dinding. Alina segera membersihkan tubuhnya, mencoba melupakan apa yang sedang terjadi di dalam rumah tangganya. Alina akan bicara baik-baik dengan suaminya, karena alina tau dengan emosi tidak akan menyelesaikan masalah justru semangkin memperkeruh suasana "Kamu harus sabar alina, sadar lina kamu harus tau di mana posisi mu saat ini." Lirihnya dalam hati. Angga yang baru saja tiba dari kantor melihat Alina sedang tertidur di atas ranjang mereka. Angga duduk dan mengecup perlahan pucuk kepala istrinya itu Alina yang tidurnya terusik membuka matanya, "Mas kamu sudah pulang?." Tanya alina dengan senyum lembut. Angga tertegun melihat istrinya, ia berfikir alina akan kembali marah kepadanya karena pertemuannya dengan gemilang tadi siang. "Ia sayang, baru aja mas pulang." "Aku siapin perlengkapan mandi mas dulu ya pasti gerah." Alina bangkit dari duduknya, namun pergelangannya di tahan oleh Angga. "Kenapa mas?." Tanya menatap Angga heran. "Mas mau bicara, kamu bisa duduk dulu sebentar?." Alina kembali duduk dan menatap suaminya yang saat ini sedang gugup. "Maaf sayang." Ujar angga dengan lirih. "Maaf untuk apa mas?." "Maaf untuk tadi siang sayang, mas hanya ingin bertemu dengan putar mas saja. Bagaimana pun anak itu darah daging mas sama seperti devan dan david." Tubuh Alina menegang, ya bagaimana pun anak itu juga anak dari suaminya. Bagaimana bisa alina berfikir egois untuk melarang seorang ayah menemui putranya. "Baik lah mas, aku ngerti. Mas sepertinya aku ingin berkenalan, devan dan david sudah besar dan saat ini tidak ada hal yang bisa aku lakukan." "Uang dari aku kurang?." Tanya Angga dengan sedikit perasaan emosi saat mendengar istrinya akan bekerja. Kurang, tentu tidak, Angga memberinya lebih dari cukup. Suaminya sangat royal dan membebaskan alina membeli apapun yang ia mau. Tapi masalahnya bukan terletak di nafkah yang kurang. Alina hanya ingin mandiri tanpa menggunakan rupiah dari Angga. Keluarganya sangat meremehkan alina bahkan mereka merendahkannya, katanya ia tidak akan bisa jadi apa-apa tanpa Angga. Ia tak punya pekerjaan, penghasilan dan maka dari itu ia harus menerima apa saja yang angga lakukan padanya. "Aku hanya ingin bekerja, devan dan david sudah beser. Devan sudah kelas 6 sd dan david sudah kelas 4 sd. "Aku Tidak akan mengizinkan kamu bekerja." "Kenapa?." "Karena yang wajib berkerja itu aku suami kamu, aku akan tambah uang bulanan kamu asal kamu tidak bekerja. " "Aku bosan di rumah aku butuh aktivitas, aku ingin bekerja, aku ingin punya uang sendiri?." Angga menggelengkan kepalanya "Kamu lupa, uang aku uang kamu juga sayang?." Alina menggeleng, "Beda aku ingin mendapatkan penghasilan dari jeri payah aku sendiri." Angga mengacak-acak rambutnya dengan kasar, ia tidak ingin Alina bekerja. Alina itu tanggung jawabnya maka nafkah, dan segala keperluannya adalah tanggung jawabnya. "Aku kasih hadiah toko bunga untuk kamu, kamu mau?, dengan begitu kamu nggak perlu bekerja untuk orang lain, kamu bekerja di tempat milik kamu sendiri, bagaimana?" Alina menghela nafas, rupanya angga tetaplah angga yang tidak akan mengizinkannya bekerja. Dan apa tadi?, angga akan memberi nya toko bunga. Tidak bukan itu yang ia inginkan, ia ingin bekerja bukan di berikan usaha oleh angga. Karena ia ingin bangkit dari hasil jeri payahnya sendiri. "Nggak perlu, sudah lupa kan keinginan ku, kamu gak akan pernah ngerti apa yang aku mau." ..... Malam hari keadaan rumah senyap, angga merasa rumah sudah tidak berpenghuni. Selepas perdebatan tadi alina tidur di kamar anak-anak. Sementara dirinya masih duduk di ruang kerja, ia tidak bisa tidur di kamarnya jika Alina tidak ada di sana. Karena percuma ia tidak akan bisa memeluk istrinya itu. "Alina izin sama gue, dia mau kerja." Angga mulai bersuara, menatap Teo yang ia hubungi malam malam, karena ada urusan bisnis dan ia juga butuh teman bicara. Sejauh ini teo adalah teman satu satunya yang bisa ia percaya dan ia andalkan. "Terus lo izin?. "Enggak" Teo mengusap dagunya, sementara lengannya bertumpu pada meja, "gue tau apa yang Alina rasakan, dia mungkin saja syok dengan keadaan, lo tau sendirikan gimana bucinnya elo sama Alina, dan tiba-tiba dia melihat perempuan lain datang bawa anak yang dia klaim itu anak lo. Dia kecewa dia butuh aktivitas untuk melampiaskan dan melupakan rasa sakitnya". "Gue tau tapi dengan mengizinkan Alina bekerja, adalah hal yang tersulit untuk gue lakukan. Karena jujur, gue takut ada laki laki yang naksir sama istri gue dan..." "Yaelah sontoloyo, masih sempat-sempat nya lo posesif. Heran gue gak lo gak basmal sama aja. Sama sama posesif." Cibir teo "Istri gue cantik, wajar kalau gue posesif. Belum lagi umur Alina masih muda, umur 30 tahun masih tergolong muda." "Ya elah ia ia," sahut teo. "terus gimana?." Tanya teo "Gue Gak tau, gue bingung." Teo menghela nafas, kenapa ya ia selalu menjadi tempat curhat para suami yang sedang merana. Belum juga nikah, ia malah sering mendapat curhatan masalah dunia pernikahan. Ah lagian sih, nggak basmal gak bram malah di internet sama medusa jadi begini kan jadinya. "Orang kecewa itu memang susah sembuhnya, kamu lupa sama basmal? Basmal nunggu kia selama bertahun-tahun karena memberi waktu kepada kia untuk menyembuhkan lukanya. Tapi Setelah kia kembali, basmal mengejar layaknya orang sinting yang tak tau diri. Kia minta cerai basmal menolak, aduh pokoknya harga diri basmal ia buang ke laut untuk mendapatkan kia, tapi sekarang liat basmal berhasil." "Lo juga sama, kasih Alina waktu. Gak mudah melupakan kejadian kemarin, sekali pun itu bukan kemauan lo, Alina masih belum bisa terima kenyataan." Lanjut Teo Angga melipat kedua tangan nya di atas meja, "Apa gue harus mengizinkan Alina bekerja?." Tanya Angga. "Keputusan ada di tangan lo. Lo pikir kan baik baik, gue selalu mendoakan yang terbaik untuk lo dan Alina." Jawab teo "Thanks bro, lo mau nginep di sini?." Teo menggeleng, "Enggak deh". Ia melirik jam tangan nya yang masih menunjuk kan jam sebelas malam. "Masih jam sebelas malam, gue mau pulang dulu deh. Ada beberapa pekerjaan yang harus gue kerja kan, besok kita ketemu lagi di kantor." teo mengangguk, "hati hati, gue harap lo gak belok ke rumah basmal untuk sekedar melihat kia."kk teo melempar bolfen ke arah Angga, namun berhasil Angga tangkap. "Kampret gue gak mau jadi pebinor ya." Angga tertawa renyah menertawakan sahabatnya itu. Yah Teo salah satu pria yang memiliki rasa pada Kia, namun sayang kia malah memilih untuk bersama basmal. Dan ketika rumah tangga basmal dan kia di uji dengan perselingkuhan, kia memilih pergi meninggalkan basmal untuk menenangkan diri dan menyembuhkan lukanya. Lagi dan lagi teo kehilangan jejak kia, dan ketika kia kembali basmal mengejar kia layaknya orang gila yang tidak tau malu. Bahkan basmal menjatuh kan harga diri nya agar kia ingin kembali padanya Kia yang melihat perjuangan basmal pun, memutuskan untuk tidak mengejar kia dan melupakan serta merela kan kia dengan basmal. Karena shafir melihat betapa besar cintanya basmal untuk kia. Mungkin cinta dan kasih sayang yang ia miliki untuk kia hanya seperempat dari yang basmal punya. Ada yang bilang cinta tidak perlu memiliki, cukup melihat orang yang kita cintai dan sayangi bahagia dengan hidup nya itu sudah lebih dari cukup. Dari pada memaksa kan kehendak untuk bersama namun salah satu di antara nya akan terluka oleh keadaan dan waktu. Ya itulah cinta menurut teo, mengikhlaskan kia bahagia dengan pilihan nya. Tapi teo juga berjanji dalam hatinya jika basmal kembali mengecewakan kia kembali, maka ia akan merebut kia dari basmal apa pun resiko dan akibat yang akan ia terima. Ia akan tempuh demi kebahagian dan kenyamanan kia sang pujaan hati nya itu. Karena menurut teo kia adalah dunia nya. .... Tidak apa aku terluka, cukup melihat senyum indahmu itu sudah menjadi obat penyembuh segala lukaku Teo ArgantaraAiina menyalahkan ponselnya dan melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari guru devan dan david, bram dan Rizky. "Astagfirullah, bagaimana kabar anak anak melihat papanya terluka?, kamu benar-benar pikun alina." Panik alina mengkhawatirkan kedua putranya yang saat ini tinggal bersama angga mantan suaminya. "Tidak-tidak, tidak mungkin aku menghubungi mereka. Bagaimana jika devan dan david marah padaku." Guma alina saat akan menekan panggilan pada nomor ponsel devan. Alina menghubungi angga bram meminta maaf karena meninggalkan perusahaan tiba-tiba. Alina tau perbuatan nya sangat tidak sopan, tapi alina tidak sanggup melihat tatapan semua orang yang sudah pasti mencemooh dirinya. "Alina kamu di mana sekarang?, kamu gak papa kan?." Tanya bram dengan nada khawatir saat mengangkat telpon dari alina. "Aku gak papa bram, maaf karena pergi tanpa pamit tadi." "Aku gak papa bram, Maaf ya tadi aku pergi tanpa pamit." "Aku datang ke kost mu, tapi kamu gak ada di salah lina. Di
"Terimakasih aku harap kerja sama ini berjalan dengan lancar." Sahut Angga menjabat tangganya bram. Bram hanya menganggukkan kepalanya dan melangkah pergi, Angga langsung menghampiri alina dan menggenggam pergelangan tangannya. "Lepaskan tangan saya tuan Angga" Ucap Alina dengan menekan kata-katanya. "Kamu akan menyesal lina, karena sudah bertindak sejauh ini. Akan aku pastikan kehidupan mu tidak akan menemukan titik bahagia." Alina terkekeh pelan dan tersenyum begitu manis menatap Angga. "Teruslah mengancam hingga anda lupa bagaimana cara menikmati hidup, bukan kah seharusnya anda bahagia tuan karena berhasil menikah dengan jalan anda. Pastikan dulu kehidupan anda bahagia tuan sebelum mengancam orang lain, Dan anda harus pastikan apakah ke dua putra putra ku sanggup bertahan dengan anda." Ucap alina dengan menyentak tangan angga. "Kau." Emosi Angga semangkin meluap mendengar ucapan dari mantan istrinya itu, Angga tidak menyangka karena Alina berani mengatakan itu kepadany
"Ahh." Desisnya refleks ingin memeluk leher dewa, tapi itu tidak bisa gemilang lakukan karena ke dua tangannya di kunci tepat di atas kepala oleh dewa. Tangan dewa mulai terulur untuk meraba, memelintir ujungnya, kemudian memerasnya. Dewa pun tidak tahan untuk segera merasakan ujung ujung berwarna pink itu lalu memasukkannya ke dalam mulut. "Papa." Desis Gemilang seraya menekan kepala dewa, meminta ayah mertua untuk semangkin liar memainkan kepunyaan nya itu. Hingga ke duanya tidak memiliki tenaga untuk melanjutkan nya kembali, entah sudah berapa ronde keduanya melakukan pekerjaan menyenangkan itu ---- Bram dan alina baru saja kembali ke perusahaan dan mendapat laporan dari pihak resepsionis jika Angga sudah menunggu di ruang meeting. Saat di dalam lift bram mengambil tangan kanan alina dan mengusapnya dengan perlahan. "Angkat kepalamu lina, jangan pernah menunjukkan wajah takut ataupun panik di hadapannya. Aku yakin kamu bisa, sekarang kamu sudah menjadi dirimu sendiri
" Kenapa kak rizky suka sekali menuduh orang sembarangan, mana mungkin bram suka sama janda seperti ku, terlebih lagi kami sahabat dari kecil." Bram mengumpat di dalam hati, Karena rizky membuat hubungan nya dengan alina menjadi semangkit sulit. Bram yakin setelah ini alina kembali membatasi interaksi dengan nya lagi kerena tidak ingin mereka menyalahkannya arti kedekatan mereka. "Aku ke toilet sebentar," Pamit Alina kepada bram. "Gak usah ikutin aku, aku bisa sendiri kok." Sambungnya kembali saat melihat bram bangkit dari tempat duduknya. bram menatap kepergian alina dan menghampiri sahabatnya itu. "sejak kapan kau jadi banyak bertanya rizky, Kau membuatku dalam masalah. Kau tau sejak lama aku menyukainya dan menunggu dirinya menjadi seorang janda, kau malah mengacaukan segalanya" "Apa?." Kaget Rizky. "seharusnya aku tidak memanggilmu tadi, dan lagi jangan mengacaukan segalanya rizky." Ujar bram penuh penekanan. Alina merasa heran saat kembali dan melihat Bram dan Rizk
Alina kembali melamun setelah mendapat telpon dari perusahaan mantan suaminya, Alina tidak menyangka jika angga mau bekerja sama dengan bram dan ini semua cukup membuat alina takut. "Harus bagaimana aku menghadapi semuanya nanti, Aku sangat yakin angga pasti akan kembali membuat drama?." Guma alina dengan menurut wajahnya dengan ke dua tangan miliknya, Bram yang akan melangkah pergi makan siang, menghampiri alina yang terlihat tidak baik baik saja. "Alina kau sakit?." Tanya bram dengan nada khawatir. "tidak aku hanya sedikit mengantuk bram," Jawab alina yang langsung mengubah mimik wajahnya. Bram tidak percaya begitu saja, dan dirinya berusaha menelisik wajah alina yang terlihat sangat cemas. "Apa ini karena pertemuan kita nanti siang?, kamu tenang saja angga adalah pria yang profesional saat bekerja, justru angga yang akan sangat terkejut jika melihat mu berada di sana sebagai sekertaris pribadiku." "Aku hanya takut masalah rumah tangga ku akan membawa dampak buruk bagi Pe
Devan menatap layar ponselnya dengan tatapan sulit di artikan. Entah kenapa Devan tidak sanggup untuk mengatakan kepada ibunya tentang apa yang ia lihat tadi, Dirinya tidak ingin membuat ibunya kembali sakit. "Sekarang aku semangkin yakin jika keputusan mama dan papa bercerai itu sudah keputusan yang tepat." gumanya di dalam hati. "Apa mama tidak mengangkatnya kak?." Tanya david menatap kedua mata sang kakak. David menggelengkan kepalanya, ia beranjak dari kursi yang saat ini ia duduki. " yuk sebaiknya kita masuk kelas saja. Mama juga lagi banyak kerjaan." Wajah david berubah menjadi murung, dirinya berjalan dengan cepat melangkah duluan meninggalkan sang kakak dengan perasaan kesal. Devan menghela nafas, berusaha menetralkan detak jantungnya, mencoba menghilangkan bayang bayang pengkhianat yang telah di lakukan sang papa kepada mamanya. Sang guru menatap wajah kedua anak itu dengan heran, melihat wajah murung muridnya yang berjalan memasuki kelas. "Ada apa sayang?, kenap