Bab 28 – Palingan Tobat Sambal“Lucu banget. Lihat Mas. Beli ini ya ya ya?” tanya Wenda penuh harap. Dia memegang sepatu merah mungil dengan hiasan bunga kecil di atasnya. “Kan mbak belum tahu cewek apa cowok bayinya.” Ketus Ria yang dari tadi merengut selama di baby shop.Toko ini berada di jalan besar dekat pasar dan dikenal murah grosiran sehingga banyaknya konsumen termasuk emak-emak yang berkerumun. Tersedia aneka kebutuhan bayi, mulai dari pempers, susu, makanan bayi, susu botol, setelan baju, sepatu, gendongan, dan barang lainnya. Pertama kali memasuki toko ini juga aku bingung harus mulai dari mana. Pikiran kosong. “Ihh…” Wenda menatap kesal Ria. Dan langsung beralih melihat ke setelan baju.“Benar kata Ria. Jangan beli dulu yang itu. Nanti setelah hamil besar.” Kujelaskan pada Wenda sembari berjalan melihat aneka baju yang dipajang di baby shop ini.“Kelamaan!” gerutu Wenda. “Wah…Ini juga… duh bagus banget… ini ya Mas?” bujuk Wenda. Kali ini tatapannya tertuju pada baju d
Bab 29 – Dia Ngidam, Aku Naik Darah“Wenda…!” Aku menggoyangkan tubuhnya berkali-kali, tetapi tidak ada tanda-tanda pergerakan.“Mas Rayyan…” lirih Wenda dengan suara desahan kecil. Kelopak mata Wenda separuh terbuka. Seakan-akan telah sakit parah. Aku dikerjain ini ya?!“Mas Rayyan sayang. Hehehe….” Kelopak matanya sudah terbuka lebar. Wenda mengembangkan senyuman manis. Tawanya seperti menunjukkan bahwa adegan tadi adalah bercanda. Iya kan aku dikerjain. Bikin naik darah aja. “Aku pergi aja.” Aku udah tidak mood untuk meladeni prank-nya.Aku berbalik berjalan menuju pintu. Namun langkahku terhenti kala Wenda berucap.“Bentar Mas. Aku lagi ngidam. Aku mau mie ayam… yang di pojok SMA itu mas. Kangen makan di situ. Itu enak banget... Ngidam Mas.” Pintanya manja. Dia menopang kepalanya dengan telapak tangannya. Aku berbalik menatap wajahnya yang masih memasang wajah manis. Tapi bagiku rasanya sudah sepet. Tak sedap dipandang dan dirasa.“Tolong belikan Mas ya… yaa…” Wenda mengedipka
“Assalamu’alaikum” ucap Ria setelah menekan tombol hijau di ponselnya. Siapa yang menelponnya di sela-sela kami makan bersama?“Wa’alaikumsalam. Kami dari pihak pengadilan agama. Apakah ini atas nama Ria Khadijah?” suara wanita dibalik telpon. Aku mendengarnya jelas karena Ria me-loadspeaker ponselnya.“Ya…” singkat Ria.“Apakah ini benar Ria Khadijah yang melakukan gugatan cerai terhadap Revan Ananta?”“Ya…”“Pihak tergugat, Revan Ananta ingin mengajak mediasi. Lusa tanggal 10 Agustus, apa penggugat berkenan hadir?”“Apa?! Maaf mbak. Saya tidak mau mediasi. Apa perceraian bisa langsung disegerakan tanpa harus proses ini itu?” Ria menaikkan suaranya. Dia jelas tidak senang dengan wanita dibalik telpon yang mengajaknya mediasi.“Maaf sebelumnya. Suami anda Revan ingin mengajak mediasi. Berharap bisa rujuk kembali.”“Saya menolak!” Ria pun menekan tombol merah.Tak lama berselang ponsel berdering lagi dengan nomor asing yang sama. Segera Ria menonaktifkan ponselnya. Dia merebahkan dir
“Kuharap kamu bisa menerimaku lagi sayang.” Pinta Revan dengan rayuan gombalnya.Kami berempat berada di ruang tamu rumahku yang memang hanya satu lantai. Bukan bangunan mewah seperti rumah Revan. “Mas membujukku dengan cincin?” tanya Ria dengan mengernyitkan dahinya.Ria menghela napas panjang lalu mengambil cincin yang ada dikotak kecil yang sedari tadi dipegang Revan. “Makasih Mas.” Senyum Ria manis tapi penuh maksud. Suasana sekejap hening. Namun kami semua terperangah kala Ria spontan membalikkan tubuhnya ke arah Wenda. “Maaf, cincin ini salah sasaran.” Ria menatap Wenda.“Cincin ini harusnya untuk membujuk mbak Wenda agar bisa melepaskan Mas Rayyan.” Ria memakaikan cincin itu ke jari manis kanan Wenda. Wenda pun hanya terdiam. Tatapannya tak percaya Ria bisa melakukannya seperti itu di depan kami semua. Kulihat Revan dengan mulut sedikit terbuka dan pandangannya bingung harus berbuat apa. Aku tak kalah takjub melihat betapa kerennya Ria mengambil cincin yang harusnya menjad
“Udah jam 1 siang, masih belum ada orang yang datang. Yaah.” Ria duduk di kursi pelanggan sambil menghela napas panjang.“Udah Ri, insya Allah ada jalan.” Jawabku yang saat itu sedang mengelap meja di sebelah Ria duduk. Sudah tiga hari berlalu sejak dibukanya kembali cafe milik Ria pasca tragedi. Pelanggan yang datang bisa dihitung. Bahkan buka dari pagi jam 10 hingga setelah isya, terhitung tidak sampai 20 orang yang makan di sini. Tiga hari berturut-turut pun aku sudah mencoba berdiri di luar pintu. Dengan kemeja kerja dan topi, aku mengembangkan senyuman manis sambil menawarkan aneka menu di cafe kami pada orang-orang lalu lalang yang melewatiku.Ingatanku traveling ketika pagi tadi aku pun melakukan promosi di luar pintu cafe. Ini pengalaman perdanaku seperti sales. “Ehem…” Aku berdehem, mencoba untuk mengeluarkan rasa kepercayaan diriku. Hari ini pun hatiku berdegup kencang. Rasanya gugup sekali, seperti pertama kali melakukannya. Padahal dari hari pertama di buka sudah mencob
Bab 33 – Kejutan dari Doni“Kenapa Mas Rayyan. Ada siapa di sana?” tanyanya penasaran karena melihatku lari menjauh darinya.Aku menoleh kanan dan kiri sepanjang jalan trotoar yang aku pijaki. Tak ada siapapun yang mirip dengan pria bertopi dan setelan serba hitam itu. Hanya lalu lalang orang yang melewatiku.“Siapa dia?” lirihku dengan menundukkan kepala.Aku tidak merespon pertanyaan Ria dan kembali masuk lagi ke dalam cafe dengan ribuan pertanyaan di kepalaku.Aku berjalan perlahan sambil mataku melihat lantai untuk berpikir. Kenapa dia melihat kami? Apa dia mengincar Ria? Atau jangan-jangan, cafe ini ada harta karunnya?Duh, pikiranku nyeleneh lagi kan. Kebanyakan nonton film adventure nih.“Mas Rayyan… ehem…” Ria mengagetkanku.Kulihat sepatunya hingga kudongakkan kepalaku menatap wajahnya. Tampak dia menaikkan ujung bibir kirinya sambil mengernyitnya dahi.“Ah ya, Ri.” Ucapku terbata-bata. Bingung harus bilang apa.“Tadi ada siapa ya, di luar?” tanyanya lagi dengan senyuman kec
“Jadi aku harus pergi dari kota ini? Lalu Ria?” tanyaku penasaran. Jika aku pergi dari kota ini, berarti aku harus siap meninggalkan Ria dan Wenda. Mungkin Ria bisa menjaga Wenda selama hamil. Lalu untuk cafe Ria gimana? Aku tidak bisa meninggalkan Ria dalam kondisi usahanya terpuruk.“Kalau Mas Rayyan pergi. Aku akan menjaga mbak Ria.” Tegas Mas Doni dengan menatapku tajam. Terbersit dari arah pembicaraannya seakan-akan Mas Doni mengusirku dari kehidupan Ria. Alibinya agar bisa dekat dengan Ria tanpa ada aku yang mengganggunya. Ini ceritanya aku harus kalah sebelum berperang, gitu? ibarat mundur diam-diam seakan telah meninggalkannya. Dan dia bak pahlawan masuk dalam kehidupan Ria. Menyebalkan!Tapi kalau dilihat sesuai realita, mana ada wanita yang mau menikah dengan pria rendahan?! Setidaknya dengan berada di sana, aku lebih sukses dari pada di sini menjadi bawahan Ria. Di sisi lain, aku juga butuh kerjaan yang menjanjikan agar bisa memenuhi kebutuhan selama Wenda hamil. Ya All
“Apa ini Mas Rayyan?” tanyaku yang melihatnya duduk di sofa sambil menaruh tiket pesawat di atas meja.Kulihat tatapannya terpaku tak bergeming melihat tiket itu. Apa ini maksudnya? Siapa yang akan pergi?“Siapa yang mau jalan-jalan mas?” Wenda datang menghampiri kami dan duduk tepat disebelahku. Dia langsung mengambil tiket tersebut dan membukanya. “Nama Ra…Mas Rayyan?! Mas Rayyan mau pergi?” tanyanya kaget dengan mata melebar tak percaya. Akupun juga tak percaya dengan mulut menganga. Kok bisa? “Mas Rayyan mau kemana?” tanyaku yang juga tak mengerti kenapa dia diam dari tadi.“Aku mendapat tawaran kerja di sana. Di resort tempat wisata.” “Masya Allah kapan ngelamarnya?” aku masih tak percaya bisa begitu cepat.“Ada teman mengajakku mengurus resort miliknya.” Mas Rayyan menatapku lalu mengalihkan pandangannya ke arah meja.Kudengar hembusan napasnya tak lama setelah aku menghela napasku. Walaupun begitu, harusnya aku bahagia mendengarnya. Akhirnya Mas Rayyan mendapatkan pekerja