Share

Kerumah Nita

Author: Pipit Aisyafa
last update Last Updated: 2021-12-04 11:21:45

"Ya udah, Nduk! Kita selesaikan masak dulu, masih ada waktu untuk kita ngobrol!" Ami berkata setelah melepas pelukannya dan menghapus airmata.

Aku mengangguk dan tersenyum, bagaimanapun dia wanita yang telah menguatkanku selama ini, menjadi pribadi yang tangguh walau belum setangguh para wanita rosulluloh. 

Kami berdua menikmati masak bersama, hal yang kurindukan beberapa tahun belakangan ini. Yah... Aku sangat merindukan bau asap kompor dan masakanku sendiri. Di rumah Abi, jangankan mau masak, pergi kedapur saja di larang oleh Mbok Sumi dan di protes oleh Abi. 

"Umi... Ngapain kamu kedapur? Tugas Umi itu melayani Abi di kasur." Kata itulah yang selalu ia katakan ketika aku izin untuk kedapur membantu Mbok Sumi. Abi memperlakukanku bak permaisuri, begitu memanjakan apa keinginanku bahkan sampai saat ini. Hanya saja hatiku sudah kelu ketika harus di madu pasca melahirkan. 

"Ayo, Nduk. Makan!" teriak Ibu dari arah meja makan. Aku tersenyak kaget karena tengah melamun. Segera kuberanjak menuju arah panggilan. 

"Assalamualaikum... " dari luar terdengar suara salam, aku yakin itu Bik Sani, adik Ami yang rumahnya bersebelahan dengan rumah kami. 

"Waalaikumsalam.... " 

"Bik Sani!" benar dugaanku kalau dia adalah Bik Sani, membawa rantang yang entah isinya apa. 

"Salma, Bibik lihat kamu tadi pulang jadi ini bibik bawakan masakan kesukaan kamu! Sayur kulit mlinjo dengan teri." Di bukanya rantang yang tertutup itu. 

"Ya Allah, terima kasih, Bik! Di sana ngga pernah masak kaya gini!" ucapku sambil langsung mengambil sendok.

"Ya jelas! Di sana kan kelas sultan, mana mau masak kaya gitu!"

Aku mengangguk-anguk saja karena mulutku sudah di penuhi oleh makanan. 

"Enak, Bik. Makasih ya... " aku menyendok lagi dan menyuapkan satu sendok penuh nasi. 

"Oh... Ya, Bik. Abdul di rumah nggak?" tanyaku dengan tetap mengunyah. 

"Ada tuh di rumah, kenapa?"

"Bilangin nanti jam sebelasan antar aku kesuatu tempat ya!"

"Wah mau di ajak jalan-jalan ini!" ucap Bik Sani. 

Aku tersenyum kemudian kembali melahap makanan yang belum habis. 

"Nggak kok, Bik. Cuma ada kepentingan sedikit saja!" jawabku kembali. 

"Mau kemana toh, Nduk?" kali ini Ami yang bertanya. 

"Ada urusan sebentar, Mi. Salma nanti izin pergi ya, mungkin pulang agak malam."

Ami hanya mengangguk, dia kadang pengertian tak mau terlalu ikut campur dalam soal kemana dan di mana aku pergi. Intinya hanya supaya hati-hati dan mendo'akanku, itulah yang lebih penting menurutnya. 

****

"Ayo, Dul. Kita berangkat!" perintahku ketika melihat Abdul sudah bersiap. Segera ia meraih kunci mobil dan mulai menghidupkan mesin. 

"Mau ketempat siapa kita, Mbak?" tanya Abdul penasaran. 

"Kerumah teman, Dul! Kamu ingat Mila kan teman sekolahku dulu?" ia mengangguk. 

Sebelumnya aku telah mengabari Mila bahwa aku akan sampai ketika waktu dhuhur. Dia pun bilang kalau keluarga Nita sudah siap menerima kedatanganku. 

"Udah Adzan, mampir dulu kalau ada masjid atau mushala." Abdul mengangguk mengerti. 

"Assalamualaikum... " ucapku pada sebuah rumah kecil tak jauh dari rumah Mila. 

"Waalaikumsalam, Neng Salma, Ya?" tanya perempuan separuh baya. 

"Iya, Bu." Kucium tangan beliau.

"Salma kamu sudah sampai!" dari luar terdengar suara Mila yang baru saja masuk rumah. 

"Iya, Ini baru saja!" jawabku. 

"Ayo, Neng. Sini masuk!" kembali wanita itu menyuruhku masuk. 

"Panggil dia Umi, Bik!" kata Mila. 

"Oh maaf, Umi. Abis masih muda banget masih pantes di panggil Neng!" 

"Ngga papa, Bu! Suka-suka Ibu saja panggil saya siapa! Lah wong sama saja cuma manusia biasa, kok!" jawabku sambil tersenyum. 

"Oh ya kita bahas saja apa yang membuat kami datang kesini! Pasti Mila sudah memberi tahukan kepentingan saya datang!"

"Iya... Sudah sedikit banyak Mila memberi tahu, saya pikir semua hanya lelucon saja! Sungguh kami sudah bingung, hidup di lilit hutang akibat sakit-sakitan suami." Kulihat mata Ibunya Nita mulai berembun. 

"Dia meninggal tiga bulan yang lalu, semua karena Nita yang menambah sakit Bapaknya!" ada nada emosi di matanya. 

"Maksud Ibu?"

"Suamiku itu stres melihat kelakuan Nita yang makin liar! Tak terkendali dalam bergaul, membuat kami malu, apalagi sakit bapaknya itu lambung kronis yang nggak boleh terlalu banyak pikiran!"

Aku menghela nafas berat, bagaimanapun orang tua akan kecewa melihat anak perempuannya sudah tak terkendali. 

"Jadi sebelum, Umi mengambil langkah untuk menjadikan dia madu Umi, alangkah lebih baik dipikirkan dulu!" kali ini si Ibu tertunduk. Ada raut kebingungan. 

"Apa saya boleh bertemu dengan Nita? Ibu sudah bicarakan perihal ini kan?"

"Silahkan, Umi. Dia sedang berada di kamar, dia sih sudah setuju. Semenjak Bapaknya meninggal dan kami meninggalkan hutang banyak tiap hari kupojokan untuk mencari pekerjaan! Ya hasilnya seperti itu, dia frustasi hingga kadang hanya mengurung diri di kamarnya."

Aku mengangguk mengerti, inilah kenapa Mila menyarankan dia ketika aku menyuruh mencarikan madu lagi untuk Abi. 

Kumasuk kamar yang terlihat begitu sempit, hanya ada tempat tidur kecil nan usang yang terlihat begitu ringkih. 

"Nita!" sapaku pada gadis dengan tubuh kecil namun cukup tinggi. Dia menoleh. 

Kami berbincang cukup lama, mengenal dan mendalami sosok Nita, sebenarnya dia gadis yang polos. Hanya saja aku rasa dia sudah bergaul dengan bebas. 

"Hanya itu syarat yang harus aku penuhi, Mbak?" tanyanya ketika aku selesai memberi arahan dan aturan yang akan dia lakukan ketika sudah menjadi maduku. 

"Iya, mudah bukan? Tapi kita akan ada perjanjian semua itu, hitam di atas putih!" dia mengangguk setuju. 

Aku kembali kedepan di mana ada Ibunya Nita, kuletakkan uang yang sudah kubawa untuk membayar hutang-hutang keluarga Nita. Tak lupa juga uang untuk mempersiapkan pernikahannya. Semua berjumplah total 100 juta. Masalah mahar dan lain-lain nanti akan jadi urusan Abi. 

Binar bahagia terlihat dari wajah Ibunya Nita, bahkan berterima kasih sampai hampir bersujud. Aku justru merasa tak enak hati. Seolah aku malaikat penolong. Ya... Malaikat penolong yang meminta imbalan membalas dendam atas perlakuan maduku itu! 

Kusuruh Mila untuk membelikan beberapa baju syari'i. Tak perlu bercadar karena Abi Usman juga tak menyuruh istri-istrinya untuk menggunakannya. Aku menggunakan semua atas keinginanku sendiri. 

"Baik, akan aku laksanakan sesuai permintaanmu, akan kuubah dia menjadi layaknya bidadari agar terpesona dengan Nita saat awal jumpa nanti!" Mila antusias.

"Sip... Aku percaya sama kamu, kalau kurang nanti aku tranfer." Aku merogoh tas kecilku mengeluarkan sesuatu. 

"Berikan ini pada Nita! Jangan sampai lupa saat malam pertama mereka!" 

Mila tersenyum mengerti. Akupun beranjak pulang kerumah karena sudah larut malam. Besok sore harus sudah kembali.

Semoga semua lancar sesuai keinginanku! 

~~~~~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kubalas Madu dengan Manisnya Madu   Akhir cerita (Tamat)

    Kami melangkah menuju mushala rumah sakit, Umi Sepuh terus saja mengandeng tanganku tanpa terlepas."Kita akan berdo'a disana, meminta pada sang pencipta agar Usman baik-baik saja!" Umi Sepuh berkata yang aku jawab dengan anggukan saja.Setelah salat dan berdo'a, Umi Sepuh membalikan badannya. Dia menatapku sendu."Apa kamu menyesal telah menikah dengan anakku, Sal?" tanya Umi Sepuh tiba-tiba.Aku menggelengkan kepala, "tidak sama sekali, Umi. Salma yakin semua yang terjadi pada Salma adalah garis tuhan yang telah tertuliskan bahkan sebelum Salma lahir.""Selama ini Usman tak pernah memberimu kebahagian, mungkin semua inilah karmanya. Aku sendiri begitu sedih dengan semua ini, apalagi kamu yang telah tersakiti.""Sedih itu manusiawi, Umi. Namun bukan berarti menyesal dan merutuki nasib. Salma ikhlas menjalani semua ini."

  • Kubalas Madu dengan Manisnya Madu   Hasil akhir

    Abi berhenti sejenak, melihat di mana tengah berdiri Ratini dan Hendi. Sedangkan Umi Sepuh terlihat duduk dengan tatapan sendu.Ada apa lagi ini? Batinku. Abi melangkah dengan pelan. Mendekat pada Umi Sepuh yang tengah terduduk."Akhirnya Abi pulang juga! Hai... Mba, gimana kabarnya?" Ratini berbasa basi menanyaiku. Aku sangat yakin jika mereka berdua ada maksud tertentu."Mau apa kamu kesini?" cetus Abi dengan tatapan tak suka.Ratini justru tersenyum, dia seolah sedang mengejek dengan pertanyaan Abi."Senang ya... Sekarang jadi istri satu-satunya Abi Usman sang Sultan!" Ratini berjalan mengitariku. Apa maunya?"Katakan, ada apa kalian datang kesini!" kali ini aku bersuara sedikit lantang."Duh...duh.... Sepertinya dua pasang suami istri ini sudah tak sabar untuk berganti nasib!" Dengan sombong R

  • Kubalas Madu dengan Manisnya Madu   Perjuangan

    Dengan rasa berdebar aku masih terus memandang pada mobil Abi yang baru datang, karena memang semua kaca yang hitam membuat kami tak tahu apakah Abi sendiri atau orang lain.Pak Sobri keluar lebih dulu dari sisi kemudi. Kalau Pak Sobri saja sudah boleh pulang berarti?Pak Sobri membuka pintu sisi belakang, dari samping ada Bagus yang keluar dan belakang Bagus Abi-lah yang menampakan wajahnya."Umi sepuh!" pekiku melihat wanita yang baru saja pintunya dibukakan oleh Pak Sobri.Aku langsung berlari mendekat, rasa haruku tak dapat kutahan lagi."Umi Sepuh baik-baik saja?" tanyaku khawatir pada wanita itu.Dia tersenyum, "aku baik-baik saja, Sal.""Syukurlah, Umi. Salma sangat khawatir.""Tentulah seperti itu, orang yang sudah menganggap Umi sebagai orang tuanya pasti akan sangat mengkh

  • Kubalas Madu dengan Manisnya Madu   Perjalanan hidup

    "Sudah... Ayo kita pergi mengantar Ami dulu, nanti kita bicarakan setelah pulang!" Abi kali ini berkata tenang. Mungkin hanya menutupi saja, aku yakin dia sedang tak baik-baik saja.Aku mengangguk dan keluar, semua sudah siap untuk pergi mengantar Ami kepembaringan terakhir. Bahkan Abi meminta untuk mengantikan orang yang telah siap menopang keranda Ami.Aku dipapah Bik Sani yang juga tak surut tangisnya mengantar kepergian Ami. Sungguh aku tak kuat melihat Ami untuk terakhir kalinya. Saat tubuh Ami dimasukan keliang lahat, aku kembali tergugu, rasanya sesak sekali melihat orang yang telah merawatku dari kecil kini pergi untuk selamanya. Belum lagi aku sempat membalas jasa-jasanya.Abah terlihat tegar, walau aku tahu dia juga sangat kehilangan Ami. Karena selama ini dialah yang telah menemani hari-harinya. Sedangkan aku? Anak satu-satunya jauh darinya. Hingga kadang mereka mengeluh kesepian. Ya Allahhh.

  • Kubalas Madu dengan Manisnya Madu   Pada Masanya

    Aku terbengong ketika Abi mengatakan bahwa kemarin sempat bersitegang merebutkan Nita. Kenapa Abi tak mengatakannya? Apakah ini yang membuat Abi semarah itu padaku, hingga merasa aku tak patut di maafkan! Aku menatap satu persatu dari Mila, Nita sampai Abi. Tak terkecuali Bagus. Mereka hanya terdiam dan lebih banyak mengangguk ketika Abi berkata."Sekarang kalau kamu tak percaya, tanyakan saja pada istriku yang merencanakan semua ini jika sungguh aku tak tahu apa-apa!" Abi menatapku."Maaf, Abi! Aku juga minta maaf, kemarin aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai abdi negara dan melindungi Nita yang notabennya masih di bawah umur. Jadi saat aku ketahui bahwa Nita sudah menikah di usianya yang masih belum genap 17 tahun, kami melakukan investigasi."Jadi Bagus ini seorang polisi? Pantas saja tubuh dia begitu atletis."Sekali lagi maafkanku, Bi! Yang menyeret kedalam rana hukum."

  • Kubalas Madu dengan Manisnya Madu   Tetap istiqomah

    Aku berusaha bersikap biasa, Abi masih diam. Tak ada banyak kata seperti biasa, bahkan dia memilih menghindar dariku. Mungkin saja dia masih kecewa atas apa yang telah aku lakukan. Terlebih tenyata Nita memang sudah benar-benar bercerai, aku tahu karena Nita memberitahuku lewat sambungan telfon."Sal! Usman akan pergi keluar kota, coba kamu ikutlah!" perintah Umi Sepuh saat kami makan malam.Kutatap Abi yang masih sibuk makan tanpa terganggu dengan apa yang baru saja disampaikan Umi Sepuh."Tapi, Umi... Salma tak ingin jauh dengan Juna dalam waktu lama. Lagian takut juga menganggu Abi." aku tertunduk, masih ada rasa segan pada Abi."Usman!" kali ini Umi Sepuh beralih pada Abi."Iya, Umi.""Ajaklah istrimu untuk liburan, honeymoon kedua mungkin!""Nanti saja, Umi. Aku pergi untuk urusan bisnis, kalau sampai na

  • Kubalas Madu dengan Manisnya Madu   Kecurangan

    "Dimana si Hendi! Di telfon ngga aktif juga? Bikes banget, mana aku bawa koper sebesar ini lagi!" gerutuku ketika keluar dari Gema Resident. Kalau ada Hendi di sini tak mungkin aku seperti ini. Si@l! umpatku."Awas saja kau bandot Usman. Hartamu pasti akan jatuh ketanganku, aku tinggal tunggu saja kapan waktunya tiba. Membuat Salma yang sombong dan sok alim itu mati kutu!" aku tersenyum sinis, dengan ekor mata kelirik pada bangunan berlantai dua yang baru saja aku tinggalkan.Tin... Tin....Aku terkaget ketika taxi online pesananku sudah tiba di tempat, segera sopir turun untuk membantuku memasukan koper besar kebagasi."Aku pastikan tujuh bulan lagi akan datang menemui mereka dan mengejutkan tentang apa yang akan aku berikan padanya!" aku kembali terngiang tentang bagaimana membuat sebuah perjanjian yang akan membuat aku mendapatkan k

  • Kubalas Madu dengan Manisnya Madu   Hina

    "Apa yang akan kamu katakan, Usman?" cetus Umi Sepuh, "Kamu mau mengatakan tentang Nita kan? Tentang perjanjian Nita dengan Salma. Tentang kenapa Nita sampai Salma bayar untuk menjadi istrimu!"Seketika mata Abi membulat, seolah kaget dengan apa yang baru saja Umi Sepuh katakan."U-Umi Sepuh sudah tahu?" Abi bertanya dengan tergagap."Ya! Kenapa? masih mau menyalahkan Salma!"Abi terdiam, entah apa yang bergelayut dalam pikirannya. Untung saja aku sudah ceritakan semuanya terlebih dahulu pada Umi Sepuh.©©©©Kemarin...Tok... Tok...."Umi Sepuh memanggil Salma?""Iya, Sal. Masuklah!"Akupun segera masuk dan duduk tepat di sisinya, di sofa ruangan bekas kantor Abah Said.&nb

  • Kubalas Madu dengan Manisnya Madu   Pengharapan

    "Eh, Umi Sepuh! Nggak papa kok, Mi! Ini temen Salma aja di telfon nggak diangkat-angkat takutnya dia sedang dalam keadaan gawat darurat!" ucapku berbohong, semoga Umi Sepuh tak curiga."Oh! Pantes wajahmu panik begitu, semoga temanmu itu tak kenapa-kenapa!""Iya, Mi....""Oh, ya, kamu pernah mau cerita tentang masalalu Nita sama Umi, boleh dong kalau sekarang saja? Umi penasaran banget tentang dia!" kali ini ucapan Umi membuat aku tak berkutik. Aduh! Bagaimana ini, apa aku cerita sekarang saja.Kring...Tiba-tiba Hpku berdering, kulihat nama Mila. Alhamdulillah, akhirnya."Sebentar ya, Umi. Salma angkat telfon dulu." Umi mengangguk, aku mulai menjauh dengan Umi Sepuh. Aku sangat yakin Mila akan mengabarkan sesuatu yang akan membantuku menyelesaikan masalah."Assalamualaikum, Hallo, Mil. Bagaimana?

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status