"Aneh!"
"Sarita!" teriak Anne memanggil nama gadis itu.Sarita gegas berlari menuju ke asal suara. Dia termangu menatap kehadiran pria paruh baya yang masih terlihat gagah dan tegap. Anne mempersilakan tamunya untuk masuk ke ruang kerja. Lalu menyuruh Sarita untuk menyiapkan minuman dan cemilah ringan agar dibawa ke ruang kerjanya.Sarita pun segera melangkah meninggalkan keduanya. Dia langsung menuju ke dapur menyiapkan apa yang diperintah oleh Anne. Setelah semua tersedia di nampan, maka gegas dibawa ke ruang kerja Anne. Tanpa mengetuk pintu, Sarita langsung masuk. Pakaian atas yang basah akibat keringat juga masih menyisakan bulir keringat pada leher jenjangnya membuat si tamu menelan salivanya."Bagaimana tawaranku semalam, Anne?" tanya pria itu. "Apakah dia yang pernah kamu tawarkan? Jika iya siapkan saja nanti malam," lanjut tamu itu.Pandangan pria itu tidak lepas dari sosok wanita muda yang terlihat buncit perutnya. Seulas senyum terukir di bibir sang pria, ekor matanya memberi kode pada Anne dengan sosok Sarita. Anne menganggukkan kepalanya.Sarita menurunkan dua gelas jus mangga dengan toples kecil berisi kacang almond pada meja. Badan yang sedikit membungkuk memperlihatkan dada yang mulus. Pria itu terlihat gelisah, Anne tersenyum."Bagus, kau terjebak Ludrik!" batin Anne."Silakan dinikmati, Tuan!" kata Sarita."Suara yang lembut, bagaimana jika kamu menemaniku siang ini? Hanya ngobrol saja," kata Ludrik."Ikut dia saja, Sarita. Bukankah kamu sudah terbiasa menemani pria hidung belang?" kata Anne.Sarita terdiam kepalanya menunduk, dia tidak bisa berkata. Ingin teriak tetapi ruangan ini kedap suara, jadi tidak mungkin akan di dengar dari luar. Akhirnya Sarita memilih diam dan berjalan mundur hingga sampai di pintu. Tangannya meraih gagang dan menekannya ke bawah. Seketika bola mata Sarita membelalak tidak percaya, pintunya terkunci."Haha, kamu akan lari, Sarita! Tidak bisa, layani pria ini dulu jika kau ingin selamat!" desis Anne."Jangan, Madam. Anda tahu posisi saya saat ini, selain istri dari putra Anda, saya juga sedang mengandung," papar Sarita dengan nada sedikit tinggi berharap pria itu mengerti."Hamil, berapa bulan? Aku suka berhubungan dengan wanita hamil, dia akan lebih ganas di ranjang," kata Ludrik.Anne terkekeh lirih, lalu melihat pada Sarita. Perempuan muda itu terlihat sangat mengenaskan. Pakaian atasnya sudah basah akibat keringat berlebih saat membawa dua karung beras ke gudang. Kini ac ruangan sengaja dimatikan oleh Anne. Wanita itu pun bersiap hendak keluar dari ruangan itu."Nikmati saja apa yang aku hidangkan, Ludrik. Dan ingat perjanjian kita setelahnya!" kata Anne lalu berjalan menuju pintu yang lain.Ludrik tersenyum, dia beranjak dari duduknya dan berjalan mendekat pada Sarita. Ujung jarinya mulai meraba setiap jengkal wajah ayu wanita itu. Hidung Ludrik terlihat kembang kempis menghirup aroma tubuh Sarita yang harum bercampur keringat."Tuan ... Tolong jangan sentuh aku!""Jangan takut, aku tidak akan menggaulimu! Duduk sini dekat padaku," pinta Ludrik sambil menarik tangan Sarita.Wanita itu pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Ludrik. Lalu tiba-tiba ac kembali menyala. Sarita tidak tahu sejak kapan tangan pria tersebut meraih remot pengendali ac, yang dia tahu remot tersebut sudah diletakkan kembali."Sejak kapan nasibmu menjadi seperti ini, Hem?" tanya Ludrik lembut."Sejak aku disetubuhi oleh putra madam, Tuan," jawab Sarita terbata."Dan apakah kau hanya diam, menerima semua ini sendiri? Dimana suamimu?" tanya Ludrik lagi."Dia tidak peduli. Setiap malam kerjaannya hanya mabuk dan clumbing, paginya dia berangkat mengajar," jawab Sarita.Ludrik menatap Sarita mulai dari atas hingga ujung kaki. Pandangannya lalu berhenti pada perut wanita muda itu. Sorot mata Ludrik mulai berbeda hingga membuat Sarita bergidik ngeri. Namun, seulas senyum terkembang diwajahnya membuat napas Sarita sedikit menurun."Jujut pesonamu membuatku bergairah, apalagi aku sangat berhasrat pada wanita hamil muda sepertimu, Nona. Jika kau menemui kesulitan suatu hari nanti, datanglah padaku!" kata Ludrik sambil menyodorkan sebuah kartu nama.Lelaki itu mengeluarkan sebuah nota dan tinta, lalu manatap pada Sarita sekali lagi. Setelahnya dia menuliskan nominal angka yang cukup mengiurkan dan menyodorkan pada perempuan itu."Ini apa, Tuan?" tanya Sarita sambil melihat deretan angka yang tertulis dikertas tersebut."Upah kamu selama menemaniku di sini!" jawab Ludrik.Sarita menyodorkan kembali kertas tersebut, dia menolaknya dengan halus. Lalu beranjak dari duduknya, wanita itu berniat pergi meninggalkan sang pria tanpa kata. Namun, belum melangkah tangannya serasa ditarik dari belakang oleh Ludrik."Tolong lepaskan tangan saya, Tuan! Biarkan saya keluar," cicit Sarita.Ludrik tidak mengindahkan apa yang dikatakan oleh Sarita. Selama ini dia tidak pernah menerima penolakan baik kasar maupun halus. Sudah sejak awal pria itu berkata manis pada Sarita, tetapi wanita itu tidak mau mengikutinya. Maka dengan terpaksa disentaknya tangan Sarita hingga wanita itu duduk tepat dipangkuan Ludrik."Tuan!" kata Sarita dengan nada tinggi.Bersamaan jatuhnya tubuh Sarita pada pangkuan Ludrik, pintu ruang kerja Anne terbuka dari luar. Nampak tatapan tajam menghunus pada kedua manusia yang sedang duduk berpangkuan. Sorot penuh emosi tersirat pada mata pria tersebut."Dasar Wanita Laknat!""Mas, aku bisa jelaskan semua!" teriak Sarita.Bagaskara tidak memedulikan teriakan istrinya, dia langsung balik badan menuju ke kamar pribadinya. Sampai di dalam kamar segera diluapkan semua emosinya di sana. Sedangkan Sarita menatap penuh harap pada Ludrik agar mau melepasnya. Ludrik tersenyum lembut."Sudah aku katakan di awal, jika suatu hari kau terusir maka datanglah padaku. Kujadikan kau ratu dalam sangkar emasku!""Lepaskan aku, Tuan. Biarkan aku selesaikan masalahku ini dan terima kasih atas undangannya!" Sarita berusaha melepas pelukan tangan Ludrik.Pria itu tidak mau merugi, di sesapnya tengkuk Sarita hingga meninggalkan jejak kepemilikan. Kemudian baru diurai pelukannya."Pergilah, kau adalah milikku!"Begitu terlepas, Sarita bangkit dan berjalan keluar dari ruangan kerja Anne tanpa menoleh lagi kebelakang. Wanita itu menguatkan hati dan pikirnya untuk menghadapi masalah bersama suaminya, Bagaskara.Bagaskara masih saja meluapkan emosinya hingga suara lembut memanggilnya."Mas!" Tangan lembut Sarita terulur menyentuh lengan suaminya, "Aku bisa jelaskan semua, percayalah!" lanjut Sarita."Apa yang ingin kau jelaskan? Semua sudah terlihat jelas," kata Bagaskara."Aku dijebak, dan yang menjebak adalah Madam Anne. Aku harap Mas bisa mengerti posisiku," ungkap Sarita.Bagaskara berbalik badan menghadap istrinya, dia mengkerutkan dahi. Tampak gesturnya menolak apa yang dijelaskan oleh Sarita. Lelaki itu tidak percaya akan semua penjelasan Sarita. Baginya apa yang terlihat di depan mata adalah nyata dan istrinya terlihat begitu menikmati sentuhan pria itu. Bagaskara berjalan mengitari tubuh Sarita, dilihatnya dari ujung kepala hingga kaki. Tangan kanannya terulur menyibak helai rambut sang istri. Kedua bola matanya membulat kala melihat adanya kismark. Kedua tangannya mengepal. Bagaskara seketika berbalik badan dan pergi tanpa suara.Setelah kepergian mereka berdua, pintu lain mulai te
Sarita keluar dari mansion aneh milik Madam Anne, kakinya berjalan tanpa arah. Dua hari dua malam wanita muda itu terus menyusuri trotoar tanpa tujuan. Hingga di hari ketiga perutnya berbunyi cukup nyaring."Akhirnya rasa lapar itu datang juga!" gumam Sarita. Pandangannya menyapu alam sekitar, rupanya kaki jenjang itu sudah membawa raganya pada sebuah taman yang terdapat air mancur. Gegas Sarita berjalan menuju kolam berhias air mancur. Ditengadahkan kedua tapak tangannya pada kucuran air mancur, lalu direguknya dengan puas. Setelah beberapa teguk, ditengadahkan lagi kedua tapak tangannya. Kali ini tidak untuk di teguk, melainkan untuk membasuh mukanya yang terasa tebal oleh debu dan asap kendaraan."Ough, segar. Rasanya aku ingin makan buah yang segar. Nah, di sana ada yang jual buah irisan." Sarita pun melangkah menuju ke penjual buah tersebut. Dia membeli beberapa buah iris dari uang mahar nikahnya yang sejumlah lima ratus ribu. Berbekal uang itu, Sarita meninggalkan mansion. Se
Cukup lama Sarita pingsan, jam sepuluh pagi saat sinar mentari masuk dalam kamar melalui jendela yang terbuka tirainya. Perlahan tubuh Sarita menggeliat, kedua matanya membuka. Pandangannya menyapu ruangan yang berwarna biru laut. Warna yang sudah lama dia dambakan sejak masih kecil. Tapak tangannya meraba hamparan sprei biru langit berhias gemerlap bintang, kemudian pandangannya beralih pada selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Seketika dibuka selimut tersebut, lalu Sarita bangkit dari tidurnya. "Ini ... Kamar siapa? Nuansanya sangat indah," gumam Sarita.Kemudian kakinya mulai bergerak memutari keseluruhan isi kamar tersebut. Bibirnya sesekali berdecak kagum akan semua yang ada di kamar itu. Bagai bulan yang jatuh di pangkuan, semua yang pernah muncul di mimpinya kini nyata ada di depan mata. "Selamat pagi, Nona. Sudah lamakah Anda bangun?" tanya wanita muta dengan name tag Aulia."Pagi, saya ada di mana?" "Ini mansion Tulip milik keluarga Waluyo," jawab Aulia, "Saya yang a
"Aku sendiri tidak tahu cerita mengenai liontin itu. Yang pasti benda itu sudah melingkar di leherku sejak aku bayi. Itu keterangan yang kudapatkan dari simbok," jawab Sarita." Aku Sagara Arnold Waluyo, tunggu satu minggu hasil tes dna. Sementara satu minggu ini kamu bisa lakukan apa saja sesuka hatimu," papar Sagara."Apa yang harus aku lakukan, pertama bagaimana caraku memanggilmu, Tuan?" tanya Sarita dengan nada bingung."Cukup panggil aku Saga. Jika hasil dna itu cocok baru kita bahas selanjutnya."Setelah berucap, ujung jari Sagara pun menekan lagi tombol merah. Pintu terbuka dan menampilkan wajah Aulia. Gadis itu berjalan mendekat pada Sarita dan mengajak perempuan itu untuk keluar. "Permisi Tuan Muda!" pamit Aulia sambil membungkukkan badannya.Sarita yang tidak mengerti tata cara keluarga tersebut hanya diam. Dia langsung berjalan keluar dari ruang kerja dan menunggu Aulia di luar, berdiri di samping pintu. Aulia pun keluar sambil menutup pintu dengan gerak pelan."Mari ikut
Sarita terdiam, matanya menatap deretan huruf yang menyatakan kecocokan 100%. Wanita itu menatap pada pria di depannya, lalu mengangguk."Bagaimana langkah kamu selanjutnya, Sarita?" tanya Sagara."Aku ingin lahiran lebih dulu, kemudian perbaiki sikapku untuk membalas semua ini!" "Bagus. Apa perlu kamu pegang salah satu perusahaan milik Bibi Alinsky? Kebetulan ada butik juga, mungkin pas buat lancarkan rencana kamu," ungkap Sagara.Sarita terdiam. Dia belum berfikir ke sana. Yang jelas wanita itu inginkan lahiran dengan selamat, untuk pertama itu yang terlintas di otaknya. Mengenai kuliahnya hanya nunggu proses wisuda."Boleh aku bertanya, bukan, lebih tepatnya meminta bantuanmu, Saga!""Hemm!""Dua minggu lagi aku wisuda, di sana ada pria itu sebagai pendamping dekan. Aku ingin tidak datang, tolong ambilkan ijazahku. Bisakah?" tanya Sarita dengan nada rendah."Jika soal itu tidak masalah bagiku. Jangan khawatir, semua pasti akan beres.""Baiklah, aku lelah dengan kabar mendadak ini.
Sarita menuriti langkah putranya meninggalkan wanita bersama putrinya yang cantik itu. Tanpa Sarita tahu, Sagara telah melihat dan mendengar semua kalimat perempuan itu. Dahinya mengernyit, seakan dia pernah melihat wajah perempuan tersebut."Paman!" teriak Alifian saat dilihatnya Sagara berdiri dengan bersedekap dan bersandar pada badan mobil. Alifian pun berjalan cepat cenderung berlari menuju ke Sagara, dia segera memeluk kaki panjang pria tersebut. Sagara membungkuk dan meraih tubuh mungil ponakannya itu."Hai jagoan om, apa kabar?" tanya Sagara sambil berjalan menujubke sisi mobil yang lain untuk membukakan pintu Sarita. "Silakan masuk, Mama!" kata Alifian."Hehe, terima kasih, Sayang!" balas Sarita. Kemudian Sagara membukakan pintu lainnya untuk Alifian. "Masuk dan duduk yang baik!""Siap, Paman!"Sagara tersenyum, lalu berjalan memutar menuju ke kursi kemudi. Ekor matanya sempat melihat wajah kaget wanita yang menghina Sarita tadi. Senyum tipis bahkan hampir tidak terlihat t
"Maaf, Anda salah orang!" Sarita langsung melangkah pergi meninggalkan kedua orang masa lalunya.Aulia pun mengikuti langkah Sarita dari belakang sebelumnya memastikan pada salah satu karyawan untuk memerhatikan dua pembeli itu."Bunda, Bagas tidak salah lihat 'kan. Tadi itu benar Saritaku?" tanya Bagaskara."Jangan ngaco kamu, Bagas. Jangan rusak malam indah Ni Luh Ayu!" bisik Madam Anne.Wanita yang dimaksud oleh Madam Anne adalah salah satu putri pejabat penting yang meminang Bagaskara dengan alasan bisnis. Saat ini bisnis Bagaskara sedang naik dan termasuk pembisnis muda berbakat. Namun, akhir-akhir ini muncul pembisnis wanita muda yang cukup kompeten.Bagaskata masih tertarik akan sosok wanita yang menurutnya adalah mantan istrinya itu. Segera dikejarnya wanita itu, saat sampai di depan butik terlihat sosok itu masuk mobil sedan mewah berkelas dan berharga langit. Bagaskara berdecak lirih."Andai dia benar Sarita, lalu bagaimana bisa secepat itu hidupnya bisa berubah?" gumam Bag
Pembawa acara segera memulai acaranya. Satu per satu barang dilelang dengan cara bertahap. Ni Luh terlihat begitu antusias kala sebuah kalung permata bertahtakan belian rubi merah."Kak, tawar kalung itu untukku!" pinta Ni Luh Ayu."Baik, persiapkan saja uangnya!" "Iih, iya uang Kakak lah. Itu masih standart kok harganya!"Bagaaskara berdecak, dia datang karena ingin tahu sejauh mana perhelatan kaum atas. Namun, justru terjebak dengan permintaan dari Ni Luh yang sejak tadi merengek meminta barang. Padahal sejak mula wanita itu berjanji tidak akan hijau mata, tetapi nyatanya 39 juta dana Bagaskara sudah melayang untuk amal."Aku sudah gelontorkan uang sebanyak 30 juta. Apa belum cukup?" "Satu lagi, Sayang. Ya, ya!" pinta Ni Luh Ayu sambil membelai dada Bagaskara.Lelaki itu mendesah lirih, apalagi jemari Ni Luh sudah mulai berjalan menuju ke pangkal pahanya. Bagaskara melirik tajam. Ni Luh hanya tersenyum nakal."Huft huu, baiklah. Mulai lah!"Begitu mendengar apa yang dikatakan oleh