Bab 152
Malam ini Zea gelisah dan bingung terhadap kondisi yang tengah ia rasakan. Rasa perih, gatal, nyeri, di iringi dengan keluarnya cairan beraroma tak sedap dari area sensitif, semakin membuat kekhawatiran perempuan itu semakin memuncak.
Di samping itu, ucapan Bagas akan berita kepulangan Roni kembali ke pelukan sang Maha Kuasa, semakin menambah pilu hatinya.
Teringat kembali bayang-bayang wajah Roni yang dulu begitu imut dan menggemaskan. Ada setitik penyesalan menyentuh mata hati Zea. Wajah imut dan menggemaskan itu jarang sekali terkena sentuhan lembut seorang ibu. Yang ada hanyalah tatapan mata sinis dan sentuhan tangan tak bersimpati yang anak kecil itu dapatkan dari wanita yang ia panggil "Mama". Dalam diamnya, ada buliran bening yang mengalir perlahan dari sudut mata. Buliran bening yang mengiringi ingatan dari masa lalu yang tak akan pernah bisa terulang kBab 153 "Cukup, Mbak! Aku sudah tahu bagaimana sifat asli Mbak yang sebenarnya. Baiklah aku akan pergi sekarang juga! karena seandainya aku mau, aku bisa menyewa apartemen yang jauh lebih mahal daripada apartemen ini! Jangan Mbak pikir aku tidak mampu melakukan itu"tandas Debby menyombongkan diri. Dengan kondisi menahan sakit, Zea perlahan bangkit. Dengan berusaha menahan sabar, ia duduk di sisi tempat tidur. Nafasnya kian tak teratur. "Baiklah Debbie, jika kau memang mampu membayar apartemen yang jauh lebih mahal daripada apartemen yang aku sewa ini, mengapa tidak sedari dahulu saja kau melakukannya? Sehingga dengan demikian kau tidak perlu repot-repot menumpang di sini. Lagipula aku memang merasa keberatan jika terus-menerus direpotkan oleh wanita yang tidak tahu berterima kasih seperti dirimu." ucapan Zea menusuk jantung Debbie. Gadis itu menggenggam jari-jarinya erat.
Bab 154"Arza, apa yang telah kau lakukan terhadap Debbie? Mengapa anak itu malah marah-marah padaku?" ucap Zea dari sbungan panggilan seluler. "Tidak, Zea! Aku tidak melakukan apapun padanya." suara jawaban Arza terdengar dari ujung panggilan. "Bohong! Mengapa kau selalu mendatangkan masalah untukku, Arza? Kau tidak tahu apa sekarang saja keadaanku sangat buruk! Aku sedang sakit, malah Debbie tiba-tiba datang dan membuat keadaan semakin buruk. Semua itu karena ulahmu!" tuduh Zea. "Tidak! saya sungguh tidak melakukan kejahatan seperti apapun pada gadis tersebut." Arza tetap bersikeras dengan ucapannya. "Kalau kau tidak melakukan kesalahan apapun, dia pasti tidak akan marah-marah sedemikian besarnya padaku." serobot Zea tak senang. "Sebentar, apakah Debbie mengatakan padamu kesalahan apa yang telah kuperbuat?"
Bab 155 Zea duduk di sisi sofa menghadap televisi yang tengah menyala. Namun perhatian perempuan itu bukanlah tertuju pada layar televisi. Melainkan kembali teringat pada ucapan-ucapan dokter spesialis yang ia datangi tadi siang. "Aku akan ikuti semua saran dokter. Tak peduli jika aku harus mengeringkan isi rekening." Zea bertekad dalam hati. Untuk melakukan semua prosedur pengobatan, Zea sadar jika ia harus menguras banyak uang.Sekarang, yang menjadi masalahnya adalah, ia mempertanyakan apakah seluruh isi rekeningnya cukup untuk melakukan seluruh biaya pengobatan tersebut Atau tidak?Zea sadar, ia harus segera mencari bantuan. sebab uang di rekening yang telah jauh menipis akibat hidup foya-foyayang ia lakukan sebelumnya.Untuk mencoba mencari jalan keluar buat menghadapi kemungkinan tersebut, Zea menghubungi beberapa teman seperjuangan yang ia mili
Bab 156 "Ada apa ini, Pak? Apa-apaan ini?" Zea bertanya kaget.Tentu saja ua kaget melihat orang-orang itu datang secara tiba-tiba. "Kami membawa surat perintah penangkapan terhadap Ibu Zea Marlinda. Atas dugaan tersangka kasus percobaan pembunuhan." Seorang lelaki menyodorkan selembar kertas surat perintah. Zea menyipitkan mata. Merasa aneh dan bingung.Dalam kebingungannya, Zea memperhatikan durat perintah itu dengan seksama. Mata Zea menelisik huruf demi huruf, poin demi poin yang tertera di sana. Tak terasa air mata Zea meleleh. "Apaaa?" Zea terkesiap melihat data dirinya memang tertera dengan jelas di sana. "Ini tidak mungkin." Zea menggelengkan kepala. "Ini semua sudah berdasarkan fakta se
Bab 157 "Pak Arza, saya punya kabar besar buat Bapak." Farid datang tergopoh-gopoh menghampiri Arza yang tengah duduk beristirahat. "Kabar apa?" Arza tak terlalu mempedulikan pria yang baru saja datang padanya. Sebenarnya ia tak terlalu suka terhadap sosok Farid yang beberapa waktu lalu Arza anggap taelah merendahkan harga diri Arza. "Pak, ini kabar sangaat penting. Apa Bapak ingin dengar?" Farid memainkam sebelah mata "Jangan bertele-tele. Katakan saja terus terang." sergah Arza. "Pak Arza ... tidak bisa asal memberitahu doang, dong. Kita perlu ini .." Farid terkekeh seraya mengisyaratkan jarinya. Bermaksud mengatakan jika Arza harus membayar. "Kau ingin meminta bayaran hanya untuk sebuah berita yang kau bawa?" "Tentu saja!" Pak Farid tersenyum. &n
Bab 158Arza duduk dan menikmati secangkir kopi di teras kontrakan. menyeruput kopi hangat sambil memperhatikan gadis-gadis remaja berlalu lalang di depan kontrakan. Mereka sedang berjalan menuju ke sekolah terdekat. Sesekali nampak bibir Aeza tersenyum nakal.Deretan kontrakan tersebut memang terlihat kumuh. Di tambah dengan ketersediaan air bersih yang kurang memadai. keadaan itu membuat sebagian besar penduduk pergi kesungai yang tidak bisa di bilang bersih untuk mencuci pakaian dan sebagainya. Untuk minum, mereka menggantungkan kebutuhan air minum pada saluran pdam yang kecil dan hanya tersedia di siang hari saja. Itupun terkadang tidak menentu. Oleh sebab itulah mereka terpaksa menggantungkan kebutuhan selain untuk minun pada air sungai yang jauh dari standar kesehatan. Karena nampak jelas jika aliran sungai tersebut menghitam dan bau. namun karena keterpaksaan, mereka terpaksa melakukan itu. Apalagi pada cuaca panas kala ini.
Bab 159"Kau pasti sudah dengar kalau aku bilang apa?" pria tua tersebut memandang tajam. "Jangan pernah kau merendahkan aku seperti tadi, Pria tua busuk!" sergah Arza. "Nah jika kau tidak ingin dibilangi tak baik, seharusnya kau juga jangan keterlaluan bicara kotor dan menyinggung perasaan lawan bicaramu. Bagaimana kau sakit hati mendengar ucapan buruk orang terhadapmu, maka begitu juga perasaan orang lain ketika menerima ucapanmu!" Arza menghela nafas panjang. Kekesalan nampak jelas pada raut wajahnya. Arza sungguh tidak terima akan ucapan laki-laki tersebut. "Tapi kau tidak bisa balik mengatakan aku seperti itu" Arza menunjuk muka lelaki itu."Mengapa tidak? Nukankah aku juga bisa bicara, Arza?" "Tapi aku tidak bisa terima kau bilang aku miskin." sergah Arza. "Lhoo, kenapa nggak bi
Bab 160 "Silakan kamu bayar dulu uang tunggakan kontrakan selama 2 bulan belakangan ini Arza!" suara Bu Dian terdengar kasar. Muka Arza memerah menahan rasa malu sebab suara Bu Dian menggema dan didengar oleh orang-orang yang menguping pertengkaran mereka. "Tuh orang kaya, bayar dulu kontrakanmu! Katanya kaya, tapi kontrakan nunggak, mana selama dua bulan lagi. Aduh, kaya dari mana? Aku saja yang merasa orang miskin tidak pernah Tunggak menunggak. Nggak malu tuh ngaku-ngaku sebagai orang kaya?" suara laki-laki yang tadi bertengkar dengannya membuat kuping Arza memanas. Dengan bergegas ArzaMelangkah mendekati Bu Dian. "Iya Bu, saya pasti bayar kok tapi tolong bicaranya jangan terlalu keras. Bisa malu saya kalau didengar sama tetangga." Arza berusaha untuk merayu. "Kalau mau