Bagian 1
“Mas, aku pinjam hapemu, ya!” teriakku pada Mas Zaki saat dia baru saja masuk kamar mandi.
“Ya!” Jeritan itu membuatku segera menyambar ponsel milik Mas Zaki yang tergeletak begitu saja di atas nakas. Kebetulan, ponselku baru saja mati sebab habis daya. Sementara aku, masih ingin melanjutkan menonton video-video tutorial make up di YouTube.
Saat aku sedang memainkan ponsel Mas Zaki, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke W******p-nya. Terlihat di jendela notifikasi bahwa Ibun, mertuaku, yang mengirimi pesan. Penasaran, aku langsung membuka pesan tersebut. Betapa tercengangnya diriku saat membaca pesan itu.
[Zak, tolong transferin Ibun dua juta. Sekarang.]
Napasku seketika memburu. Dua juta? Banyak sekali? Padahal, setahuku awal bulan kemarin saat gajian, Mas Zaki sudah mengirimkan jatah bulanan pada Ibun sebanyak satu setengah juta. Dan yang membuatku makin tambah deg-degan adalah history chat dari Ibun bersih. Pesan ini adalah pesan pertama yang diterima oleh Mas Zaki dari mamanya yang tinggal hanya sejauh 40 kilometer saja dari sini.
“Kenapa pesan-pesannya pada dihapus? Apa … Ibun memang sering minta uang?” gumamku pada diri sendiri. Adakah hal yang selama ini Mas Zaki sembunyikan dariku? Namun, kurasa mustahil. Setahun menikah, sepertinya kami sudah saling terbuka. Hanya saja, aku memang jarang membaca chat-chat di ponsel suamiku. Saat pinjam ponsel, aku hanya menggunakannya untuk buka YouTube atau berswa foto untuk diunggah ke Instagramku.
Agak gugup, kuberanikan diri untuk membalas pesan tersebut. Rasa-rasanya, Mas Zaki pasti tak akan marah apabila kusahut Ibun lewat chat. Daripada membuat wanita itu menunggu, kan?
[Buat apa, Bun?]
Pesan itu langsung centang dua biru. Aku tentu saja terperangah. Cepat sekali respon Ibun, pikirku. Berbeda apabila aku yang mengirim pesan. Kalau tidak dibalas sejam kemudian, keseringannya besok hari. Sekali lagi, aku merasa bahwa semua ini janggal. Apakah ada yang kulewatkan dari Mas Zaki maupun keluarganya dalam setahun belakangan?
[Lho, kamu kok, lancang? Tumben sekali nanya-nanya buat apa segala?]
Ulu hatiku ngilu. Mertua yang kunilai pendiam dan tak banyak tingkah itu ternyata begini sifat aslinya saat berhadapan langsung dengan Mas Zaki. Tak kuduga …. Apakah selama ini aku memang sedang menonton sandiwara?
[Maaf, Bun. Uang di ATM soalnya sudah tipis.]
Jawabanku tentu akan membuat Ibun marah. Namun, aku lebih tersulut emosi lagi sebab bagiku uang dua juta itu bukanlah hal yang kecil! Gaji Mas Zaki hanya empat juta. Semua kebutuhan bukan hanya dia yang 100% menopang, tetapi aku juga ikut membantu. Usaha berjualan masker organik dan jamu tradisional yang kupasarkan secara online menghasilkan rupiah yang lumayan. Meski tak menentu per bulannya, setidaknya masih bisa untuk beli token listrik dan bayar wifi. Sekarang, saat tengah bulan begini, Ibun malah seenaknya minta dua juta tanpa tahu alasannya untuk apa. Keterlaluan kalau menurutku.
[Dasar anak durhaka! Pasti ini hasutan istrimu, kan? Jangan menyesal kalau rumah tangga kalian bakal hancur karena kepelitan yang sudah kamu buat!]
Kepalaku seketika pening. Pandangan mata ini mendadak kabur. Hipotensi menyebabkan aku mudah oleng, apalagi jika dalam kondisi syok. Ya Allah, Ibun … kupikir beliau lembut dan penyayang. Apalagi jika kami menginap di sana. Jangankan mengomel, membunuh semut pun dia enggan. Apakah ini sisi gelapnya yang tak pernah kutahu?
Buru-buru kukeluarkan jendela pesan itu. Aku beralih ke status W* dari kontak yang tersimpan di ponsel suamiku. Feelingku kuat mengatakan, bahwa pastinya ada kejutan lain di sana.
Benar saja. Ibun baru saja mengirimkan status dua detik lalu. Aku terkejut bukan main sebab Ibu selama ini tak pernah terlihat memasang status di W******p-ku. Jangan-jangan … selama ini aku disembunyikan dari melihat statusnya?
[Ya sudah, nggak apa-apa! Lihat saja nanti. Kalau sudah pisah, pasti akan balik ke orangtua juga. Semoga Allah menghukum kalian!]
“Ven, kenapa bengong begitu?” Suara bass milik Mas Zaki yang tengah menggosok kepala basahnya dengan handuk putih menggema memenuhi telinga. Membuatku sontak makin terhenyak.
“Kok, kamu kaya orang syok gitu?” Mas Zaki menatapku aneh. Pria yang mengenakan handuk warna merah yang menutupi bagian auratnya itu lalu menyambar ponselnya dari pangkuanku.
“Kenapa, sih?” tanyanya lagi dengan suara yang penasaran. Lelaki bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang dan brewok tipis itu kemudian duduk di sampingku. Bahkan, untuk sekadar menarik napas pun aku sulit sekali saking takutnya.
“Ibun? Astaga? Apa yang kamu balas ke Ibun, Ven? Kenapa bahasamu seperti ini?!” Suara Mas Zaki menggelegar. Membuatku serasa ingin terkena serangan jantung saja supaya tak harus menjawab pertanyaannya.
Setahun kami menikah, sore inilah kulihat mata suamiku membeliak besar. Mukanya langsung berubah merah. Terlebih suaranya yang mencelat seperti suara halilintar. Mas, Ibun … apakah kalian selama ini hanya bersandiwara di depanku?
Bagian 31 ENDING Tujuh bulan setelah perceraian “Sayang … aku pusing banget ini bikin makalah. Kamu bisa bantuin aku nggak?” Aku merengek. Merapat ke Mas Alrik, lelaki yang telah menikahiku dua bulan lalu. Ya, usai insiden di kantor polisi di mana aku mengetahui bahwa Zaki telah berselingkuh dengan kepala cabangnya, hari itu juga bersama Alrik aku mendatangi Pengadilan Agama. Berkas perceraian langsung kuurus. Tak memakan waktu lama, hanya sekitar dua bulan saja surat cerai itu langsung berada di genggaman. Statusku langsung menjadi janda tanpa anak. Di waktu yang sama juga, Zaki mendekam dalam lapas sebab hakim telah memutuskan hukuman penjara baginya atas kasus penganiayaan yang dia lakukan padaku dan Alrik. Tuntutannya tak main-main, dua tahun kurungan penjara. Ibun, Mbak Lala, dan Anita? Juga turut mendapatkan konsekuensi atas tindakan tolol mereka. Keduanya
Bagian 30 “Ibu mengenal wanita ini?” Polisi bernama Reyno yang pagi ini mengenakan kemeja putih yang dilinting lengannya hingga siku itu bertanya padaku. Pria macho berkulit eksotis dengan bentuk rahang yang tegas tersebut kemudian menyodorkan ponselnya. Kuraih ponsel Pak Reyno dengan perasaan was-was. Kala kupandangi foto yang tertera di layar, dahiku langsung mengernyit. Sosok Alrik yang duduk di sebelah pun ikut melongok demi melihat apa yang tengah terpampang di layar. “Siapa itu?” tanya Alrik bernada penasaran. “Bu Regina?” gumamku pelan dengan penuh tanda tanya di kepala.&nb
Bagian 29 Pertemuan dengan Papi tadi malam begitu sangat berkesan bagiku. Sedikit pun tak terbesit di benak bahwa sosok Papi bisa seramah itu. Ya, gara-gara ucapannya Alrik. Dia ternyata mengerjaiku dan usahanya berhasil. Rasa takut sekaligus minder sempat mengetahui. Eh, pas bertemu, semuanya malah 180 derajat berbeda. Papi peduli, baik, dan sama sekali tak memandangku rendah. Tawaran yang dia berikan pun tak main-main. Kuliah di kampus yang dia pimpin, meskipun masuk kelas ekstensi alias kelas malam khusus pekerja. Ya Allah, kurasa seperti ini adalah mimpi di tengah siang bolong. Seakan mustahil, tetapi nyata adanya. Malamnya, aku tidur bersama Mami di kamar yang sangat luas ini. Kami banyak bercerita sebelum terlelap tidur. Termasuk tentang Alrik yang kata Mami tak juga kunjung punya pacar di usianya yang tak terlalu lama lagi akan masuk ke angka 30. Mami bi
Bagian 28 “Lho, mentang-mentang Papi buncit, jadi dikira makan orang, ya?” Papi ikut tertawa geli. Mami yang dirangkulnya pun setali tiga uang. Mereka tiga beranak kompak terpingkal. Sumpah, aku jadi malu sendiri. Mukaku pasti sudah sangat merah. “Tau, tuh!” Tangan Alrik mengepal dan meninju pelan lenganku. Sangat pelan. Lebih mirip dengan colekan. Astaga, Alrik! Awas kamu, ya. “Ya, sudah. Ayo duduk. Kita pesan kopi dulu. Nongkrong di sini mumpung masih awal.” Papi dengan sangat ramahnya mengajak kami duduk bersama di bangku-bangku kayu. Mami duduk di sebelah Papi, sedang aku duduk di sebelah Alrik menghadap mereka. Aku memilih duduk di dekat tembok pembatas balkon. Supaya bisa melempar pandang ke arah j
Bagian 27 “Maaf bikin kalian menunggu.” Mami tiba-tiba masuk ke mobil. Duduk di sebelahku seraya menaruh dua kantung belanjaannya di bawah. Masih tersisa butir air mata di pipi. Lekas kuusap dengan gerakan cepat supaya Mami tak melihatnya. “Ini susu untuk Venda, ini susu untuk Alrik,” ucap Mami kemudian. Tangan lentik beliau membagi satu per satu kaleng dingin berisi susu steril putih yang memiliki rasa tawar tersebut. Bukan favoritku. Namun, harus kuhabiskan seperti kata Alrik tadi. Mami pasti akan senang bila aku menghabiskan barang pemberiannya. “Makasih, Mi,” ucapku lirih. Takut-takut kutoleh ke arah Mami. Khawatir apabila dia melihat mataku yang sembab. Untungnya, Mami tidak ngeh. Dia tak begitu men
Bagian 26 “Eh, nggak!” Aku pun akhirnya meluncurkan sangkalan kepada Alrik. “Oh, syukurlah.” Jawaban singkat Alrik bernada beda. Dia juga sepertinya sama grogi denganku bila kutelisik dari warna suaranya. Entahlah. Semoga hanya perasaanku saja. Namun, bila memang kami sama-sama grogi dan apa yang kami grogikan ternyata beralasan, artinya aku harus menyiapkan hati untuk menerima segala konsekuensi yang ada. “Ah, apa yang harus digrogiin, sih? Emangnya Papi itu makan orang? Makin tua Papi itu makin wise, lho. Orangnya selalu bersahabat pada siapa pun. Tenang aja, Venda. Papi nggak gigit orang. Dia pasti senang kalau tahu ternyata kamu masih tinggal di dekat-dekat sini.” Mami langsung merangkul tubuhku. Beliau menepuk-nepuk lembut lengan kananku. Huhft, semoga apa yan
BAGIAN 25 Mami mendandaniku dengan spesial malam ini. Demi mengajak jalan keluar, beliau rela mengeluarkan pakaian terbaik dari lemari besarnya di kamar. Aku segan bukan main. Setelah dipinjamkan piyama, sekarang Mami memaksaku untuk mengenakan sebuah dress selutut motif abstrak dengan warna cerah. Kombinasi antara merah muda, hijau mint, dan kuning pastel. Seperti warna minyak yang dicurah ke air. Saat melihat merek yang tertempel di belakang kerang, semakin takjub diriku. Ini baju butik karya desainer wanita ternama Indonesia. Ya ampun, beban sekali saat harus mengenakannya. “Mi, nggak apa-apa?” tanyaku gugup. “Lho, kenapa emangnya? Pakai aja, Ven. Muat kok, ini. Badan kita kan, beti. Beda tipis.” Mami t
BAGIAN 24 “Venda, apa kata mertuamu? Sudah selesai neleponnya?” Mami yang masih menantikan kami di meja makan, bertanya sambil bangkit dari tempat duduk. Raut wajah perempuan paruh baya dengan kulit putih dan dagu lancip tersebut tampak risau sepertinya. Aku tahu, pasti beliau ikut kalut memikirkan masalahku. “Sudah, Mi. Aku sudah beri tahu kalau anaknya sedang diperiksa oleh polisi. Begitu juga dengan iparku yang nomor satu.” Aku kembali duduk di kursi. Meraih piringku yang masih setengah isinya dan kembali makan dengan lahap. Aku tak boleh menyisakan masakan Mami, pikirku. Beliau sudah lelah menyiapkan semuanya, meskipun saat masak Mami juga pasti tak menduga bahwa aku akan datang ke sini dengan membawa masalah yang segudang.&n
Bagian 23 [Heh, perempuan kurang ajar! Apa maksud rekaman ini? Kamu mau ngancam?] Pesan WA masuk dari nomor Mbak Lala ke ponselku. Rekaman tadi ternyata sudah dia dengarkan baik-baik. Haha rasanya ingin aku tertawa sangat lebar hingga seisi dunia tahu betapa bodohnya keluarga suamiku. [Ngancam? Kenapa aku harus mengancam kalian? Wong itu barang bukti, kok. Kekerasan verbal itu ada pasalnya lho, Mbak.] Kubalas pesan Mbak Lala. Tak lupa menyematkan sebuah stiker gambar hati warna merah padanya. Supaya dia tahu, betapa besar rasa ‘sayangku’ pada mereka. Saking sayangnya, pengen kuseret mereka sekeluarga ke penjara. [Lagumu seperti orang benar! Kampungan, norak! Menjijik