Dera turun dari bus dengan ceria. Wajahnya berseri-seri dengan kedua pipinya yang menonjol bahagia. Dia mengingat kenangan semalam bersama Dani, menonton film di bioskop.
"Dani romantis juga. Hihi!"
Romantis yang dimaksud Dera adalah saat Dani tiba-tiba mencondongkan tubuhnya pada Dera untuk mengambil popcorn di seberang. Ketika Dani akan kembali duduk, tatapan mereka sempat beradu sebelum Dani memutuskan pandangan.
Romantis yang dirasakan sendiri.
Dera berjalan sambil sesekali berjingkrak ke kanan dan ke kiri, menyenandungkan lagu favoritnya. Mengingat lagi bagaimana aroma tubuh Dani saat Dera memeluknya di rooftop dengan di bioskop, membandingkannya.
Sama persis. Benar-benar tidak memakai parfum, apalagi memerlukannya. Itu saja sudah membuat Dera mabuk.
Dera tidak tahu kalau aroma seperti kayu jati di pagi hari dan perpaduan mint yang menyegarkan bisa membuatnya candu. Semenenangkan itu bisa menghirupnya. Rasanya Dera bisa tidur nyenyak hanya dengan memeluk Dani.
Dera mungkin akan menempatkan aroma itu di bagian teratas setelah stoberi, menggeser warna, rasa, dan aroma favoritnya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dera melihat Dani yang berjalan di seberang jalan. Rambutnya masih diikat ke atas, membuat penampilannya terlihat segar dan lebih rapi.
Iris Dera turun pada telinga Dani. Anting itu. Keberadaan anting itu seolah menyempurnakan rupa Dani, mempertegasnya.
Siapa pun yang melihatnya akan mengigit jari.
Dera tersenyum lebar, tidak bisa menahan uforia saat Dani sedikit melirik ke arahnya. Dia melambai, memanggil namanya, tetapi Dani lebih cepat mengabaikan, berjalan menjauh.
Dera juga tidak tahu selain karena dia menyukai pelajaran hari ini, bertemu teman-teman, Dani kini juga jadi salah satu penyemangatnya. Orang-orang yang membuat Dera merasa dunia tidak pernah seburuk yang diduga.
"Dani!"
Dani melangkah lebih lebar mendengar suara mengerikan itu. Dia dalam suasana hati yang buruk setelah alarmnya berisik hingga seisi rumah dan kasur yang ditidurinya tiba-tiba terangkat, membuatnya jatuh ke lantai.
Dani mendengkus sebal melihat catatan kecil di meja.
Dani bangun tidak bergairah. Melihat ke kolong tempat tidurnya yang ditanami beberapa pegas, membuatnya terlempar dari kasur.
Yeah, Dani juga tidak berniat menambah kesialannya dengan mendengar segala ocehan tidak berguna Dera. Dani bukan orang yang sabar, tetapi karena misi ini, jika tidak tergiur kepala Gunawan, Dani pasti sudah membunuh Dera sejak pertama kali bertemu.
"Dani! Gak dengar, ya? Dera manggil-manggil dari tadi, loh."
Dera tiba di samping Dani, segera menyamakan langkah. Dani diam-diam merutuk. Gagal sudah pagi tenangnya.
"Jangan berani menyentuhku," desis Dani melihat gelagat Dera yang naik turun antara mau menyentuhnya atau tidak.
Bibir Dera mengerucut lucu. Jari-jarinya memilin tidak nyaman. Dia mencicit, "Maaf."
Dera kira setelah Dani bersedia menemaninya ke bioskop, ada kemajuan di antara mereka. Dera pikir Dani sudah lebih mudah disentuh. Nyatanya bayangannya pun Dera belum bisa menyamainya.
Sesulit itu, ya?
"Tapi Dera suka Dani." Dera mengatakannya tidak tahan. Dia sejak tadi mengigit bibir, takut akan respon Dani, juga kesal jika hanya menyimpan perasaannya. Gatal ingin mengungkapkannya.
"Terlalu rentan dan mudah." Dani berkata hina. Sama sekali tidak melirik Dera yang sudah menahan tangis di pelupuk matanya.
Apa dia ditolak?
Setidaknya jika tidak bisa, bolehkan kalau berteman dahulu?
Dera mencebikkan bibir pada akhirnya. Mungkin dia memang terlalu terburu-buru? Bukankah mereka masih baru mengenal? Dani memang pasti akan enggan padanya.
Dera tidak suka diabaikan dan tidak dianggap. Dera terbiasa menjadi pusat perhatian dan selalu menyukai orang-orang yang 'melihat' keberadaannya.
Namun, pada Dani ... entah kenapa Dera semakin ingin mengejar, padahal biasanya dia yang dikejar. Biasanya Dera yang dicari dan dibutuhkan sekitarnya.
Biasanya Dera tokoh utamanya.
Pandangan Dera turun ke bawah, menemukan tangan Dani yang terbalut perban, semakin tak berbentuk. Lilitannya seolah hanya dikaitkan, tidak benar-benar untuk menutupi. Ada bekas darah baru di sana.
Cowok ini terluka lagi?
Dani menoleh mendapat sentuhan di lengannya. Ingin sekali menghempaskan tangan terkutuk yang berani menyentuhnya, tetapi Dera lebih dulu berkata serius.
"Tangan Dani harus diobati. Dani boleh gak suka Dera, tapi gak boleh nyakitin diri sendiri. Pokoknya Dani gak boleh nolak!"
***
Mereka ada di UKS lagi. Tempat kedua yang sering dikunjungi Dani setelah kelasnya sendiri.
Ini mulai membosankan, kalian tahu?
Sungguh, ini pertama kalinya Dani bosan mendapatkan tugas.Dee juga tidak ada. Wanita itu belum kembali juga, membuat Dani tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Jika ditanya satu hal yang bukan keahliannya ... itu hanya soal cinta dan tetek bengeknya.
Sangat menjijikkan dan tidak berguna.
Cinta tidak membuat kenyang, uang tidak bertambah, adanya pikiran terus terkuras dan mengurangi kesenangan yang biasa dilakukan. Mengurangi produktivitas kalau bahasa kerennya.
Sedangkan produktivitas Dani adalah membunuh.
Spesialisnya.
Kesenangannya.
Hobinya.
"Udah selesai." Dera menepuk luka Dani dua kali, memeriksa apakah cowok di depannya akan kesakitan atau ... tidak sama sekali.
Dera hampir menganga. Dia menekan luka Dani lagi, tetapi raut datar dan menyebalkannya masih utuh. Tidak merasakan apa itu sakit. Boneka saja akan menjerit jika diinjak.
"Kau selesai?" Netra cokelatnya menyorot datar.
Dani menaruh tas di pundak, turun dari ranjang UKS. Memutuskan menepuk puncak kepala Dera dua kali sebagai ucapan terima kasih, seperti yang selalu Dee lakukan padanya. Dia berjalan menjauh, membiarkan gadis dua langkah di belakangnya hampir meledak menahan teriakan.
Begitu membuka pintu UKS, kepala Dani tiba-tiba ditutup plastik hitam dan diseret ramai-ramai. Dani tidak melawan. Bibirnya yang kering dijilat, menemukan hiburan baru.
Baru beberapa menit lalu dia mengungkapkan bosan, sekarang sudah ada penawar bosan itu sendiri. Mereka yang memulai, jadi Dani akan bersenang-senang dengan pesta untuknya.
Kita lihat siapa para kacung tidak berguna ini.
Dani digeret sambil sesekali ditarik paksa. Khas kelakuan polisi yang menggeret buron yang sudah lama diincar, ingin segera memukulinya.
Di sengau angin berikutnya, Dani menebak dia dibawa ke sebuah gudang setelah mendengar pintu dibuka kasar, lalu ditutup lagi. Empat orang yang dikerahkan membawa Dani cukup senang melihat ikan tangkapannya tidak memberontak.
"Oh, jadi ini anak baru yang belagu sampe mukulin anak buah gue?"
Plastik hitam dilepas dari wajah Dani. Empat orang yang membawanya menjauh, membiarkan Dani berada di tengah-tengah ruangan. Ternyata mereka adalah anak-anak yang dipukuli Dani tempo hari.
"Lo apain adek gue, bocah?" Orang tinggi jangkung itu mendekat dengan dagu terangkat. Kedua tangannya tenggelam di saku jaket lusuh yang dipakainya.
Dia ditemani lima orang berpakain sama lusuhnya. Bolong sana-sini seolah tukang jahit tidak mampu menutupinya. Wajah mereka tidak lebih dari preman pasar, sangat urakan dan kasar.
Oh, mengadu rupanya?
Kepala Dani menoleh pada empat orang berseragam sepertinya.
Dani tersenyum mengejek, membuat orang yang sedari tadi berjalan ke arah Dani tidak menahan lagi amarahnya. Dia melompat, mengarahkan pisau yang tergenggam di dalam saku, lurus ke leher Dani.
Dua detik sebelum pisau itu tiba, Dani menyelipkan dua tangannya juga di saku celana, bergerak menghindar dengan tatapan remeh.
"Ck, kacung payah."
"Maafin Dera ya, Dani.""Lagi?"Jemari Dani bergerak menggenggam milik Dera yang awalnya hanya dipegang, membawanya ke atas, mengirim kecupan hangat."Jangan bilang maaf lagi, oke? Aku yang salah dan itu udah selesai. Jangan bahas lagi."Dera masih diam. Menekuri rumput depan rumahnya dengan perasaan gamang. Sesuatu masih mengganggunya. "Hei."Dera mendongak, hanya untuk melihat manik cokelat kehitaman Dani yang begitu memerangkap, mendapatkan Dera sepenuhnya. "Kamu harus terbiasa melupakan hal yang bukan salah kamu. Kamu harus terbiasa tidak merasa terbebani pada apa pun yang tidak ada hubungannya dengan kamu." Dani mengusap rambut Dera perhatian. "Kamu berhak bebas sama pikiran kamu sendiri. Bukan selalu menderita dengan pikiran orang lain. Bisa?"Dera mengangguk paham. "Janji?""Janji."Dani tersenyum. Senyum yang menjadi favorit Dera saat ini. Mungkin ... selamanya. "Masuk sana.""Dani juga hati-hati di jalan. Jangan ngebut.""Iya.""Beneran jangan ngebut, ya!""Iya, Sayang."
Guru perempuan berbada ramping itu asik menjelaskan pelajaran kimia dengan wajah semringah. Berbanding terbalik dengan keadaan para muridnya yang berasap dan mengantuk. Sangat tidak menyukai pelajaran aksi-reaksi satu itu. Meski seluruh jendela di kelas telah dibuka lebar-lebar, membiarkan angin mengisi seluruh ruangan, panas matahari masih saja terasa. Terlebih di dua bangku dari belakang. Panasnya lebih kentara karena keberadaannya dua kali lebih dekat dari siapa pun. Dera melirik Dani takut-takut. Figurnya masih tampak menawan meski sedang serius mendengarkan penjelasan guru. Rahang kokoh yang jarang dimiliki anak seusia mereka, rambut diikat tinggi, hidung mancung disertai tahi lalat, membuatnya terlihat manis juga ... ah, bagaimana Dera mengatakannya? Dera pura-pura mengusap pipi ketika kepala Dani bergerak, mencatat sesuatu di kertas. "Sshh, hampir aja ketahuan," gumam Dera sepelan mungkin. Pura-pura mencatat sesuatu
"Kau ingin membunuhku?"Tubuh Dera bergetar bukan main merasakan tatapan menusuk Dani. Jelas menuduh dan sama sekali tidak ingin diafirmasi. Dera ketakutan. Itu yang pertama kali tiba di alam sadarnya. Otaknya memerintahkan mundur, tetapi hatinya lebih cepat menyela. "Dani ... kenapa?" Masih perhatian menanyakan keadaan sang pujaan hati walau suaranya mirip tikus terjepit. Dani berdiri begitu saja tanpa kata, menatap Dera lewat lirikan mata, meninggalkannya di sana. Tangan Dani terkepal kuat hingga berdarah karena tergores kuku sendiri. Tidak tahan. Inginnya Dani akan menghantam kepala Dera saat itu juga saat masa kelamnya bangkit tanpa aba-aba. Tanpa rambu peringatan.Telinga Dani berdenging, menghentikan langkah lebarnya. Sakit di kepalanya kembali lagi. "Sialan!"Tidak mendengarkan teriakan tubuhnya yang kesakitan, Dani tegap berjalan ke arah parkiran. Kepalannya yang berdarah beralih mencengkeram ulu hati erat. L
Jalanan kota sore itu tidak sepadat biasanya. Agak lengang dan berjalan lancar. Semilir angin bertiup landai, asik bercengkrama syahdu dengan dedaunan. Dera dan Dani mampir di warung makan pinggir jalan karena si ratu berteriak lapar. Akhirnya sang raja mau tak mau menghentikan motor di tempat makan mana saja. Awalnya Dani akan membawa Dera ke resto, tetapi cewek itu segera membelokkan Dani di warung makan pinggir jalan yang baru buka. Baru memulai dagangannya. "Dera sering makan di sini dulu sama ayah, ibu, tapi udah jarang sekarang. Soalnya ayah sibuk."Mereka duduk berhadapan di kursi plastik tanpa sandaran dan dibatasi meja panjang yang cukup menampung sepuluh orang. Dani baru tahu fakta satu itu. Maklum keparat itu tidak ada di rumah tadi. Sibuk? Sibuk menghancurkan hidup orang maksudnya? "Kerja apa Ayahmu?" Dani bertanya karena murni ingin tahu. Sebagian karena dendam, sebagian karena misi, sebagiannya lagi agar Dera m
Motor Dani terparkir di depan rumah minimalis bercat putih. Tidak besar, tetapi terlihat nyaman dan asri dengan beberapa pot tanaman di sekitar pagar kayu yang juga putih. Seketika uforia dalam dada Dani naik. Mengalir ke tangannya yang mengepal erat, tidak sabar bertemu bandit besar dalam rumah itu. Gunawan. Inti dari misi payah ini. Dani menggeser pagar kayu, masuk ke halaman, lalu mengetuk pintu. Tepat diketukan ketiga, pintu terbuka, menampilkan figur wanita tiga puluhan dengan baju rumah. Wajahnya khas keibuan. Rambut kecokelatan hasil diwarnai yang digulung ke atas, mirip konde. Dia tersenyum ramah, bertanya, "Cari siapa, Nak?"Dani menarik senyum, menyalami tangannya. "Ada Dera, Tante? Saya teman sekolahnya." Mencoba terdengar hangat dan dekat. "Ah, teman Dera yang namanya Dani?" Dani tidak menjawab, hanya mengangguk. Tidak kaget melihat ibu Dera sudah tahu tentangnya. "Ayo masuk, masuk. Panggil aja tante Ma
Selasa malam. Dani kedatangan tamu spesial di rumahnya. Dee sungguhan datang secara nyata menemui Dani setelah sebelum-sebelumnya hanya berkomunikasi jarak jauh. Duduk nyaman di sofa sembari melihat-lihat interior rumah anak asuhnya yang glamor, tetapi sepi di saat yang sama. Perabotannya hanya sedikit, namun berkelas dan gemerlap. Jika orang yang melihat tahu akan kualitas barang serta harganya, pasti akan mengira Dani orang kaya tujuh turunan. Kamuflase dari Darto tidak pernah main-main. "Ke mana robotmu itu?" tanya Dee melihat Dani membawa dua kaleng kopi tanpa nampan. Ah, untuk nampannya itu, anak asuhnya memang tidak tahu sopan santun. Dee mengakuinya. Dani meletakkan satu kaleng kopi di meja, membuka miliknya, lalu diteguk sedikit. "Kumatikan. Kerjanya lambat dan mengganggu."Dee mencebik, ikut membuka kopi kalengnya. "Bagaimana misimu?"Dani melirik Dee sinis. Dia tahu kedatangan Dee memang untuk menanyakan hal itu, tetapi tidak langsung-langsungan b