Share

Pengalihan yang Baik

Jangan bertanya pada Dani apa yang terjadi selanjutnya. Dia sangat ingin membersihkan sebagian otaknya yang dicemari. Memori bodoh yang terus diputar pikirannya setiap pijakan kaki ke rumah. 

Berengsek. Berengsek. Berengsek. 

"Lain kali aku akan menghindarinya.  Ini benar-benar terlalu banyak!" 

Umpatan Dani berakhir ketika ponselnya berbunyi. Bunyi yang beda dengan dering panggilan Dera. Dani merogoh sakunya, mulai menjawab. 

"Mobil plat nomor M 3387 akan tiba di hadapanmu sepuluh menit lagi. Pastikan kau masuk dan antar barang bawaannya dengan aman."

Sambungan langsung terputus begitu kalimat itu tiba di ujungnya. Dani merasa ada hawa bagus mengelilinginya. Napasnya kembali teratur dan serius. 

Ini pengalihan yang amat baik. 

Tepat di menit ke sepuluh, mobil itu berhenti di samping Dani. Pintunya dibuka, Dani segera masuk dan duduk. Melihat dua orang bersamanya, dua lagi di depan. Menunduk, Dani menemukan empat tumput paket narkoba yang siap diantar. 

Sesekali ini pekerjaan sampingan Darto ketika dia tergiur bayarannya. Pasang tarif selangit, barangmu akan sampai tanpa rintangan. Bahkan imigrasi bandara dapat dikecoh dengan mudah. Keempat orang ini jelas tahu bagaimana mengelabui petugas. 

"Berikan si kecil itu pistolmu." Si sopir memerintah orang berkepala plontos di samping Dani. Dia melirik Dani sekilas, mempertimbangkannya. 

"Tapi tidak ada pistol cadangan, Bos."

"Ya, aku tahu. Makanya berikan punyamu padanya." Nadanya meninggi. Kontras dengan mobil yang berjalan lambat, memasuki area pabrik. 

Si botak tidak membantah lagi. Menyerahkan pistol satu-satunya pada Dani. 

"Tidak. Aku membawanya." Dani mengangkat sedikit celananya, memperlihatkan pisau yang melilit di betis. 

Si bos yang melihat itu menggedikkan bahu. "Terserah." 

Dua anak buah di samping Dani menatap sangsi melihat pisau bergerigi di betis Dani yang kini sudah berpindah ke tangannya. 

Mana bisa hanya membawa pisau? 

Tetapi mereka juga tidak menghiraukan. Itu urusan pribadi masing-masing. 

Mobil berbelok ke kanan, lalu berjalan lurus menuju tanah lapang yang juga ada satu mobil dengan lampu menyorot terang. Dua orang berdiri di depan mobil itu, membawa uang mereka sebagai pertukaran.

Dani dan kelompoknya meloncat turun, menaruh empat paket narkoba itu di kap mobil depan. Si bos dan salah satu dari mereka maju, berbicara serius terkait pertukaran yang sudah dijanjikan. 

Meski ini 'hanya' mengantar narkoba milik orang, tidak ada yang tahu jika salah satunya akan berbuat curang atau ingin memiliki semuanya dan bertindak ceroboh. Itu kenapa Dani ada di sini sekarang. 

Memastikan paketnya aman, uangnya juga. 

Dani melihat pembicaraan itu berjalan alot. Raut pihak penerima makin rumit saat samar-samar si bos mengatakan sesuatu. Tangannya bergerak halus menurunkan sesuatu dari dalam lengannya. 

Dani yang melihat gerakan itu berjalan santai mendekati si bos, pura-pura akan membisikkannya sesuatu, tetapi pihak lawan lebih dulu menyerang. Bergerak cepat menusukkan pisaunya. 

Dani mendorong si bos menjauh sebelum pisau di depannya menusuk dadanya, berganti mengenai tangan Dani yang menahannya. 

Luka yang mengering di tangannya terbuka lagi, mengalirkan darah lebih banyak. Dani tidak berkedip. Dia memutar pisaunya sendiri di tangan yang bebas, melempar pada satu anak buah lawan di belakang yang bersiap menarik pelatuk. 

Orang itu terkapar di tanah saat pisau Dani menancap di dadanya. 

Tangan Dani yang terluka menarik kasar pisau yang masih digenggamnya, lalu menusuk pundak orang di depannya, membuatnya mengerang kesakitan. Kaki si lawan yang masih lolos, bergerak menendang Dani, tetapi tubuhnya lebih dulu dibanting keras ke tanah. 

Dia berteriak lagi. Merasakan punggungnya menusuk sesuatu yang sangat tajam hingga tembus ke perut. Dani menyeringai. Dia mengarahkan pisau ke bawah punggung di detik yang sama, saat tubuh lawannya akan menyentuh tanah.

Masih bernapas. Perutnya masih naik turun meski tertusuk. 

Dani mundur, mengelilingi tubuhnya yang penuh darah. 

Empat orang yang sedari tadi mematung di belakang Dani, hanya menonton dengan wajah mengerikan. Mereka sama-sama pembunuh dari tempat yang sama seperti Dani, tetapi kepekaan dan kecepatan Dani akan bahaya terlalu di luar nalar. 

Dia memang masih sangat muda, tetapi instingnya terlatih. Tangannya dengan praktis membunuh dua orang tanpa bantuan empat orang dewasa di belakangnya. 

Dua anak buah yang duduk bersama Dani meneguk ludah kasar. 'Maklum dia hanya membawa pisau. Dia bisa meringkus mereka dengan mudah.' Begitulah kira-kira yang tergambar di wajah mereka. 

Ternyata desas-desus kalau Dani dinobatkan sebagai monster dan tangan kiri bos itu bukan omong kosong. Mata mereka berani disumpah mati sebagai bukti. 

"Katakan. Siapa?" Dani menjilat bibirnya yang kering, menekan luka di perut lawannya, membuat jeritan lagi-lagi lolos. 

Sangat lemah. 

Dani menendang perutnya. 

Tidak bicara. 

Dani menendang lebih keras sampai orang itu batuk darah. 

Alis Dani terangkat. Tidak bicara juga? 

Mengambil ancang-ancang akan menendang kepalanya, orang itu akhirnya membuka mulut. 

"Ganjar." Batuk darah lagi. "Ganjar," ucapnya terakhir kali sebelum Dani mendongak dan berjalan menjauh. 

Ganjar. Nama itu lagi? 

Mereka berempat gemetar melihat Dani datang mendekat, merampas pistol, lalu menembak kepala orang yang terbaring di tanah itu hingga enam peluru di dalamnya habis. Dani melemparkan pistol itu kembali yang segera ditangkap. 

"Bereskan."

Dani masuk ke dalam mobil, membawa mobil itu pergi dari tempat dan melaju di aspal jalan. Membiarkan empat orang dungu itu membereskan kekacauan yang ada. Masa bodo bagaimana mereka akan melakukannya. Mereka juga tidak ada gunanya.

Itu kenapa juga markas mengirimkan anak kecil untuk mengawal mereka, karena Dani jelas jauh lebih bisa diandalkan. 

***

Ponsel yang tertinggal di dasbor mobil berbunyi. Dani meliriknya sekilas, melihat nama Darto di sana. Dani sedang malas bicara dengan orang itu. Tidak lagi melihat ponsel yang begitu berisik di telinganya, terus mengebut di jalanan. 

Tidak mau berhenti, Dani dengan malas mengangkatnya, menyalakan speaker. 

"Bagaimana? Uangnya banyak bukan?"

"Bodoh," jawab Dani rendah. 

"Hei! Apa kau bilang?! Kau pikir dengan siapa kau bicara? Kau bilang apa tadi, hah?"

"Ya kau memang bodoh," balas Dani jengkel. 

"Kau-"

"Terlalu bodoh sampai Ganjar menipumu."

Darto di seberang terdiam. Mencerna informasi yang didengarnya dan dengan siapa dia bicara. Setelah yakin, dia bicara lagi. 

"Dani?"

"Ya, bodoh. Berhenti bicara dan tutup bisnis busukmu itu. Kau hanya selalu rugi dan tertipu."

Setelah memikirkannya lagi ... memang hanya anak ini yang berani mengumpat padanya. 

"Ke mana anak buahku yang lain?"

"Tidak berguna. Mereka hanya sekumpulan ngengat di antara mayat."

Darto menghela napas kasar. Tahu maksud Dani dan apa yang terjadi di sana. Darto tidak menutup-nutupi kalau dia gusar. Di ruangannya, di mondar-mandir, mengelus dagunya jengkel. 

"Kau dapat uangnya?"

"Tidak ada uang. Hanya sekumpulan kertas." Tanpa memeriksanya pun Dani tahu tidak ada uang di sana. Isinya mungkin sebagian lagi adalah kertas poker. "Berhentilah, Darto." Dani mendesis tidak tahan. 

Darto di sana mengusap rambutnya kasar. Sudah tidak tahu mau menanggapi apa jika Dani sudah serius menyebut namanya. Bulu kuduknya saja merinding. 

Hei, dia hanya seorang bocah! 

Tetapi begitu mengintimidasi sampai dasar. 

"Cari bisnis lain jika uang memang membutakanmu."

Dani menjatuhkan ponselnya ke bawah, menginjaknya hingga hancur. Lelah menghadapi pak tua satu itu yang selalu memikirkan uangnya tanpa melihat dengan siapa dia menabur kontrak. 

Pikirannya hanya uang, uang, dan uang. 

Dani berhenti tak jauh dari pom bensin yang masih buka larut malam begini. Ada beberapa penjaga dan satu-dua orang yang mengisi bensin. Tempat itu masih hidup meski hanya sedikit aktivitas. 

Dani turun dari mobil. Setelah membocorkan tempat bensin, Dani meledakkannya seperti motor waktu itu untuk menghilangkan jejak, sedangkan dirinya berjalan santai, menjauh. 

Pihak pom bensi yang melihat kebakaran mendadak itu panik bukan kepalang. Api terlanjur membesar saat mereka tergopoh-gopoh membawa tabung pemadam kebakaran, terlambat memadamkannya. Mobil itu sempurna dilahap api hingga hangus. 

Dani di kejauhan meremas darah di tangan kanannya, berjalan pelan menuju rumah. Kekesalannya setelah bersama Dera lenyap terganti kepuasan. 

Ah, ini sungguh penutup hari yang sempurna. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status