Share

Mulai Lancang

"Bagaimana? Mulai menyukainya?"

"Lain kali aku tidak akan melakukannya. Ini yang terakhir."

Dani berbicara pada antingnya. Di dalamnya ada kamera sekaligus alat komunikasi dua arah. Seseorang dari sana dapat memantau atau memerintahkan sesuatu pada Dani. Sebaliknya, dia juga bisa membalas pembicaraan.

Dee di seberang terkekeh pelan. "Kupikir kau menikmatinya. Kau terlihat sangat alami saat menariknya ke pelukanmu. Apa rasanya enak?"

"Kau pikir makanan?" Dani mendengkus. Motornya melaju santai ke jalan pulang. Dani sudah mengantar Dera--walaupun hanya sampai halte--memutuskan tidak berlama-lama meladeni ide konyol Dee agar Dera tidak lagi merajuk. Dia sudah menoleransi kontak fisik terlalu banyak hingga tangannya gatal ingin melakukan sesuatu.

"Oho! Kenapa? Kau mulai tidak terima sekarang, ya? Kau suka padanya?"

"Aku lebih menyukaimu."

Dee seketika diam. Di seberang dia berpikir keras. "Kau melakukan sesuatu?"

Dani tidak langsung menjawab. Dia mengambil korek api di saku celana, menyalakannya. "Aku membakar kendaraan."

Korek api itu dilemparkan ke motor yang sudah dilubangi tangki bensinnya. Hanya sedikit membakar lalu meledak hebat.

Boom!

Bahkan Dee di sana dapat mendengar jelas sesuatu meledak. Api dengan cepat melahap motor pemberian Dee untuk kemudian meledak lagi. Dani membakarnya di sebuah tanah lapang tak jauh dari rumahnya. Dia berjalan santai dengan tangan di saku celana, masuk ke pintu belakang rumah tanpa merasa cemas ada orang yang memergoki ulahnya.

"Aku melakukan itu karena kau yang meminta," kata Dani menegaskan alasannya.

"Kalau bukan aku?" Dee sudah bergerak mengurus hal lain. Suara di sana terdengar ramai oleh tapak kaki orang dan suara decit mobil. Dia sama sekali tidak sakit hati mendengar ucapan muridnya, juga untuk motor terbaru yang diledakkan.

"Tentu tidak akan."

Dani mematikan alat di antingnya. Tidak menunggu jawaban Dee karena wanita itu sudah sibuk. Dani ingin mengumpat saat Dee memintanya mencari Dera, memeluk, mengusap rambut, sampai memegang tangannya agar mereka kembali berbaikan. Itu semua rencana Dee, tentu saja.

Jika itu Dani ... dirinya tidak perlu repot-repot melakukan hal menjijikkan itu. Namun, hasil yang didapatkan memang sangat memuaskan. Dera kembali bicara padanya plus sepanjang jalan tidak berhenti mengoceh.

Menyugar rambut ke belakang, Dani menyeringai. Melihat tangannya yang sesaat lalu menyentuh banyak hal. Irisnya berkedip nanar, tetapi sudut bibirnya tidak berhenti melengkung.

"Aku ingin memotong tanganku."

***

Hari minggu.

Dera mengajak Dani bertemu di halte kemarin dia mengantarnya. Dera memiliki dua tiket nonton dan dia tidak tahu harus mengajak siapa sebagai teman. Dera bahkan menghubungi Dani, mencercanya agar mengiyakan ajakan tidak penting itu.

Dari mana Dera mendapatkan nomor Dani?

Tentu saja gadis cerewet itu adalah maling!

"Dia mau mati?" Dani tidak menahan amarahnya mendengar ponsel di nakas berdengking tiada henti.

Dani terbiasa menggunakan ponsel butut sekali pakai saat bertugas. Sekarang, Dee malah memberinya ponsel tipis yang hanya ada layar tanpa tombol. Dani hanya diajari beberapa hal dasar seperti cara mengangkat telepon atau menolaknya. Dia tidak tahu cara mendiamkan benda ini saat ada panggilan masuk. Ingin sekali Dani banting, tetapi Dee menegaskan kalau kali ini harus bertahan sampai misi selesai. Tidak ada ponsel sekali pakai.

Dani lebih dulu memukul dinding kamarnya saat menggeser ikon hijau dan mendengar suara toa di sana. Menggunakan mode loudspeaker, Dani duduk jauh dari ponsel yang ia letakkan di lantai.

Saaangat jauh.

"Ya? Mau ya? Mau dong, Dani. Kasian tiketnya nanti angus. Nangis dia. Dera juga udah mau sampe halte, nih."

Dani tidak menyahut. Telunjuknya berkali-kali menekan alat di antingnya, tetapi tidak ada respon dari Dee. Dia sedang membalas Dani rupanya.

"Ck, di saat seperti ini dia hilang."

Dani meraih ponselnya yang masih berdengung, menandakan Dera masih tidak berhenti membujuknya. Dani menggertakkan giginya sebentar sebelum berucap pelan, "Diam."

Nadanya rendah dan menuntut dengan satu kata pasti. Itu sudah membuat Dera menutup rapat mulutnya. Dijahit sampai tidak meninggalkan lubang.

"Beritahu detailnya."

"Hah?" Dera melongo mendengar pertanyaan kurang lengkap itu, tetapi setelah mengira-ngira maksud Dani,

dia dengan semangat menjelaskan. "Dani keluar dari rumah, 'kan. Pake baju yang cakep, yang ganteng, trus pake motornya-"

"Motornya tidak ada."

"Loh? Ke mana? Baru kemaren Dera bonceng, kok udah gak ada?"

"Meledak." Dani tidak berniat menutupi.

"Ya ampun, Dani! Kok bisa? Kenapa? Kamu gak pa-pa? Baik-baik aja? Ada yang luka? Dera ke sana aja, deh. Gak jadi nontonnya."

Dani merasa kepalanya akan dibelah dua. Kesalahan fatal memberitahu gadis gila ini informasi tentang dirinya. Dani melihat rumahnya lalu menggeleng, belum saatnya dia memberitahu tempat tinggalnya.

"Nonton saja," putus Dani akhirnya. "Aku tidak apa-apa, sehat. Kau tetap di halte dan jangan bergerak sedikit pun."

"Tapi Dani-"

"Paham?"

"Paham! Nih, Dera gak gerak. Hm." Dera diam di tempatnya berdiri dengan tangan menempelkan ponsel ke telinga. Seolah Dani ada di sana mengawasinya. Dia patung yang patuh sekarang.

"Bagus."

"E-eh, Dani tunggu dulu!"

"Apa lagi?"

"Dera ... boleh duduk aja, gak? Pegel dari tadi jalan. Masa sampe halte harus berdiri terus. 'Kan Dani bilang Dera gak boleh gerak."

Dani menggigit lidahnya sampai mengeluarkan darah. Menahan urat nadinya keluar dari wajah. "Terserah kau saja." berengsek.

***

Dani tiba dua jam setelahnya. Menghela napas kasar melihat Dera masih duduk menunggu di halte. Dani kira dengan mendiamkan Dera begitu lama, gadis itu akan pergi. Nyatanya, lihatlah. Gadis itu melambai dan tersenyum lebar begitu melihat Dani dari jauh.

Dani tidak bisa mundur, bayangannya sudah terlanjur terlihat.

"Hai, Dani." Dera tersenyum malu-malu saat Dani berjalan ke arahnya. Menggigit bibir kecil melihat pakaian Dani yang terlihat lebih santai dan membuat ketampanannya menguar. "Dani ganteng banget kalo gak pake seragam." Lidah Dera gatal tidak mengucapkannya. Wajahnya ditutup dengan telapak tangan, menahan semburat merah di sana.

Rasanya terbakar. Pipinya panas.

Dani tidak bergeming sedikit pun. Tidak melunturkan tatapan tajam dan datar yang biasa ia gunakan. Berdiri di samping Dera, menunggu bus datang.

Hebatnya, Dera tidak pernah takut. Dia selalu menatap Dani dengan binar yang menyala-nyala seolah siap melahap Dani kapan pun jika diizinkan. Matanya itu selalu saja membesar tiap kali Dani memberikan respon. Sekarang, Dani amat sangat menyesali keputusannya mengikuti perintah Dee.

Untuk pertama kalinya Dani menyesal.

"Dani, tangan Dera dingin. Boleh numpang jaketnya?"

Tidak menunggu tanggapan Dani, Dera dengan berani memasukkan tangannya ke saku jaket Dani yang juga tengah mendiamkan tangannya di sana. Tangan mereka bersentuhan, antara hangat dan dingin. Dani menolehkan kepalanya, demi melihat gadis di sampingnya memamerkan cengiran lebar.

"Dingin. Dera gak bawa jaket. Hihi."

Sama sekali tidak ada rasa sungkan lagi sejak kejadian kemarin.

Dani diam-diam mengepalkan tangan. Mengutuk Dee dan seluruh leluhurnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status