PoV Wiji
Rianti kembali mengomel padaku, uang yang biasa kuberikan padanya harus berkurang jauh dari sebelumnya. Bukan karena aku pelit, tapi gara-gara Raisha menurunkan jabatanku, membuat gaji turun drastis.
Mumet memang hidup ini. Terkadang ada penyesalan saat melihat Raisha yang kini begitu cantik. Langsing dan glowing kalau kata wanita jaman sekarang. Kebutuhan Raisha dan Rianti jauh berbeda. Hidup bersama istri pertama membuat aku tidak mengeluarkan banyak uang, berbeda dengan bersama Rianti. Tabunganku sampai habis memenuhi keinginnya.Raisha, dulu saat kubelikan daster seharga 50.000 di pasar pun senang sekali. Sementara, Rianti maunya baju yang bermerek.Sedih bukan main, belum juga gajian sudah ditodong uang oleh Rianti. Wanita sialan memang, terus saja memberondong dengan uang shoping. Dalam hidup, aku tidak pernah meminta belas kasih pada siapa pun. Saat aku berselingkuh dengan Rianti pun, tidak pernahPoV Wiji Rianti kembali mengomel padaku, uang yang biasa kuberikan padanya harus berkurang jauh dari sebelumnya. Bukan karena aku pelit, tapi gara-gara Raisha menurunkan jabatanku, membuat gaji turun drastis.Mumet memang hidup ini. Terkadang ada penyesalan saat melihat Raisha yang kini begitu cantik. Langsing dan glowing kalau kata wanita jaman sekarang.Kebutuhan Raisha dan Rianti jauh berbeda. Hidup bersama istri pertama membuat aku tidak mengeluarkan banyak uang, berbeda dengan bersama Rianti. Tabunganku sampai habis memenuhi keinginnya.Raisha, dulu saat kubelikan daster seharga 50.000 di pasar pun senang sekali. Sementara, Rianti maunya baju yang bermerek.Sedih bukan main, belum juga gajian sudah ditodong uang oleh Rianti. Wanita sialan memang, terus saja memberondong dengan uang shoping.Dalam hidup, aku tidak pernah meminta belas kasih pada siapa pun. Saat aku berselingkuh dengan Rianti pun
"Bu Raisa, Bu, bangun."Aku merasa tubuhku terguncang-guncang, saat membuka mata, aku langsung mencari di mana Arman. Ya Allah, itu mimpi, kenapa seperti nyata? Apa aku terlalu takut dengan Arfian hingga membuat aku terbayang-bayang?"Ibu, minum dulu. Saya coba bangunkan dari tadi Ibu malah terus berteriak. Mimpi apa, Bu?" Irma bertanya sembari memberikan minuman padaku.Aku meneguk air yang diberikan Irma untuk menenangkan diri. Bagaimana keadaan Arman?"Sa--saya, beneran mimpi? Arman mana?" tanyaku masih dengan gugup."Arman tidur, Ibu jangan banyak pikiran. Nanti, stres. Pasti Ibu memikirkan Arfian, kan?"Seperti dugaan Irma, memang aku memikirkan Arfian. aku takut dia datang dan mengacaukan hidupku. Seperti yang kualami di mimpi itu. Perasaan takut sampai membuat aku tidur saja tidak tenang.Memang aku trauma dengan hal itu. Membingungkan memang, harusnya aku tenang dengan adanya Irma dan penjagaan poli
POV WiJi"Kamu dari mana, Mas?" tanya Rianti."Lembur." Kujawab saja asal, dia tidak boleh tahu kalau aku bertemu Arman tadi."Kopi buat aku mana?""Kopi, gula semua habis.""Loh, kemarin aku, kan baru saja kasih kamu uang, masa, iya habis?""Ya, ampun, Mas. Uang 500.000 seminggu dapat apa? Aku saja makan sehari online bisa 100.000. Kamu tahu nggak, aku sampai pakai tabungan aku nih.""Gila kamu, sudah tahu aku lagi pailit, kenapa nggak diirit saja. Beli makan di warteg depan sana, biar cukup seminggu.""Mas, mana level aku sama makanan itu. Adanya sakit perut."Aku benar-benar muak dengan tingkah Rianti. Semenjak aku pailit, dia bukan memberi semangat, tetapi malah membuat aku semakin pusing dengan berbagai permintaannya.Uang yang kuberikan kemarin saja habis, pasti dia akan meminta uang kembali nanti."Halah, sebelum menikah sama aku, kamu juga ma
Jahat sekali Rianti, bukan hanya merebut Mas Wiji saja, dia pun menggunakan nama kami untuk menghasilkan uang setiap bulan dari Mas Wiji.Kalau saja Mas Wiji tidak berbicara padaku, mungkin aku tidak mengetahuinya. Selama ini harusnya kami tidak tidur di jalan. Semua ulah Rianti, perempuan jahat itu harus terkena karmanya.Sejak dulu, aku tidak pernah iri padanya. Tinggal di rumah ibunya pun, aku bekerja. Melakukan apa yang seharusnya dilakukan Rianti. Aku selalu membuat hidupnya enak, ternyata dia tidak berterima kasih padaku.Aku menghela napas, Mas Bambang sudah berada di hadapanku. Ia menatapku tak berkedip."Mas, kenapa?""Kamu memikirkan apa, sampai saya ada di sini kamu tidak sadar." Ia tersenyum padahal sudah kuacuhkan.Bagaiamana bisa aku bercerita tentang Mas Wiji? Tidak mungkin aku melakukan itu, bisa tidak enak dengan Mas Bambang. Biarkan saja menjadi cerita duka yang hanya aku simpan sen
Jahat sekali Rianti, bukan hanya merebut Mas Wiji saja, dia pun menggunakan nama kami untuk menghasilkan uang setiap bulan dari Mas Wiji.Kalau saja Mas Wiji tidak berbicara padaku, mungkin aku tidak mengetahuinya. Selama ini harusnya kami tidak tidur di jalan. Semua ulah Rianti, perempuan jahat itu harus terkena karmanya.Sejak dulu, aku tidak pernah iri padanya. Tinggal di rumah ibunya pun, aku bekerja. Melakukan apa yang seharusnya dilakukan Rianti. Aku selalu membuat hidupnya enak, ternyata dia tidak berterima kasih padaku.Aku menghela napas, Mas Bambang sudah berada di hadapanku. Ia menatapku tak berkedip."Mas, kenapa?""Kamu memikirkan apa, sampai saya ada di sini kamu tidak sadar." Ia tersenyum padahal sudah kuacuhkan.Bagaiamana bisa aku bercerita tentang Mas Wiji? Tidak mungkin aku melakukan itu, bisa tidak enak dengan Mas Bambang. Biarkan saja menjadi cerita duka yang hanya aku simpan sen
Demiponsel,Rianti berlari sambil menangis. Salam kondisi seperti ini, benda pipih itu sangat sulit kembali ia dapatkan. Bagus juga Bu Sandra membantingnya hingga terbelah dua.Bu Sandra kini menghampiri Rianti, tangannya menarik kasar rambut wanita yang mereka bilang cantik. Kengerian terlihat dari wajah mereka. Begitu juga aku, tapi bagaimana juga, ini adalah tontonan sangat menarik."Sejak kapan kalian berselingkuh, hah?" tanya Bu Sandra."Sa--saya nggak selingkuh dengan siapa pun." Rianti menjawab gugup.Bagaimana tidak berselingkuh, pasti Bu Sandra sudah tahu kalau mereka berselingkuh. Tidak mungkin kalau Bu Sandra membantingponselRianti tanpa sebab.Rianti masih terlihat cemas dan gugup. Sesekali ia melihatku dengan emosi. Kamu tahu berhadapan dengan siapa sekarang?Kamu sudah menjual namaku pada Mas Wiji. Mengambil uang hak anakku, dan berkata boh
Aku merebahkan tubuh di kursi, menarik napas dalam-dalam mengingat ucapan Harlan. Sampai kapan pun aku tidak mau bekerja sama dengannya. Di dunia ini, tidak ada satu orang pun yang bisa dipercaya, termaksud anak dari suamiku.Bekerja sama? Hah, dia pikir aku sudi? Aku tidak mau termakan permainan kamu Harlan. Aku bisa sendiri melakukan pembalasan untu Wiji."Permisi, Bu." Suara Irma dari luar membuatku tersadar bermacam lamunan."Masuk, Ir."Irma masuk dengan membawa beberapa berkas di tangan. Apa yang kali ini dia bawa di dalam map banyak itu."Ada apa, Ir?""Pak Seno, Auditor senior kemarin menelepon aku. Dia di luar menunggu Ibu, boleh dipersilahkan masu, Bu?" tanya Irma."Boleh."Sepertinya ada kabar baik untuk membuat Mas Wiji ke luar dari kantor ini. Kemarin aku meminta Irma mencari auditor handal untuk memeriksakan data perusahaan. Aku sepertinya kurang percaya dengan auditor l
POV WijiRaisah pasti sedang ketakutan di sana dengan ancamanku yang akan mengambil Arman. Apalagi pesan masuk terakhirku, pasti dia mulai gemetar.Sialan sekali dia menjadikan aku buronan. Kenapa kesialanku terus menghampiri setelah menelantarkannya? Ah, mungkin aku sedang sial saja.Untung saja tabungan Rianti masih banyak, sebenarnya aku emosi saat tahu dia berselingkuh dengan pria lain. Namun, saat melihat tabungannya bernominal banyak, hmm ... aku sedikit melunak. Lumayan, untuk kembali mananam modal di rumah judi."Mas, sampai kapan kita bersembunyi?" tanya Rianti."Kamu bodoh, ya, gara-gara saudara kamu, aku jadi buronan.""Loh, kok saudara aku? Makanya, Mas jangan macam-macam, jadi begini, kan!"Sialan Rianti, kutarik rambutnya yang panjang. "Heh, aku seperti ini karena kamu juga. Tuntutan yang kamu berikan membuat aku mengambil jalan pintas. Enak saja kamu menyalah