Suara dengungan lebah terdengar, sukses menarik kesadaran yang semula terlelap. Namun, secara bertahap, dengung lebih berubah menjadi beberapa obrolan yang dilakukan secara acak, juga diiringi dengan beberapa suara lain yang cukup berisik dan mengganggu.
Corin mengerutkan alis. Berisik sekali ... oh, sungguh, apakah sudah terlalu siang sehingga Alvin membesarkan volume suara TV?! Kesal karena tidurnya terganggu, tangan panjang itu meraba-raba, mencoba mencari bantal untuk menutup kuping. Namun jemarinya justru dengan mudah menyentuh dinding yang dingin. Hal ini sukses membuat tubuh mengantuk refleks ingin berbalik—
"Ah!"
Rasa kantuk Corin hilang seketika saat tubuhnya nyaris terjatuh. Gravitasi mencoba menariknya, tetapi tubuh bergerak lebih dulu. Dengan jantung yang melompat, remaja itu langsung membalik tubuhnya dan menempel pada dinding. Namun hal itu tidak menghentikan jantungnya yang berdebar tidak tenang saat merasakan perasaan hampir terjatuh yang nyat
Suara langkah kaki kuda diiringi dengan beberapa guncangan yang terlalu familier membuat Corin semakin jenuh. Terlebih ketika ia menoleh ke luar jendela, hanya pohon yang akan selalu matanya tangkap. Tidak ada keindahan pegunungan, atau tebing dengan pemandangan pantai yang eksotis. Serius, tidak ada. Sejauh mata memandang, penglihatannya akan terhalang oleh pohon-pohon besar dengan kepala hijau yang terlalu rimbun. Baiknya, angin sepoi-sepoi akan menyejukkan mereka, diiringi dengan keteduhan yang melindungi dari sengatan matahari. Di siang bolong seperti ini benar-benar panas. Corin agak menyesal kenapa tidak membawa beberapa bungkus es jeruk dengan batu es yang dingin dan mengembun untuk dibawa selama perjalanan. Namun tetap saja, Corin benar-benar merasa bosan setelah ... oh berapa lama? Ia sungguh tidak tahu sudah berapa lama sejak mereka meninggalkan kota. Beruntung, ruangan yang disewa di restoran mereka tadi memiliki kamar mandi dan mereka secara bergantian ma
Ketika hanya terkurung di dalam sebuah kotak kecil selama berjam-jam, setiap orang secara tidak sadar akan melakukan beberapa hal guna mengusir kebosanan yang akan mengundang rasa kantuk. Beruntung, Snow adalah Kucing Kecil yang dihantui dengan rasa penasaran. Mulut kecil dengan suara kekanakan itu tidak berhenti untuk bertanya ini dan itu."Jadi, kenapa nama Phoenix adalah Phoenix?" pertanyaan yang terlontar kali ini jelas bukan untuk Kucing Hitam dewasa, tetapi untuk majikannya, Caroline Weish si pemberi nama.Lin terkekeh. "Yah ... karena lambang keluarga Alix—" sebuah tangan langsung membungkam mulut itu. Mencegah remaja cantik itu meneruskan ucapannya. Tindakan yang terlalu tiba-tiba sukses mengagetkan sulung Weish."Lin, sudah berapa kali kubilang? Jangan dengan mudah mengucapkan nama keluarga itu," Joshua menghela napas, menarik tangan yang semula menahan bibir partnernya untuk berbicara. "Terutama di tempat ini, kau harus lebih berhati-hati."
Semakin sepasang kaki berlapis sepatu kets itu melangkah, semakin berubah suasana tempat mereka berkunjung. Pada awalnya, semua hal masih sangat terang. Pepohonan rimbun di sekitarnya cukup bersahabat dengan suara gemerisik udara mempermainkan daun. Namun sekarang ... Corin mulai berpikir untuk putar balik dan kembali. Pepohonan terlihat memiliki jarak yang berjarang-jarang. Tanah pijakannya sangat kering sehingga tidak ada semak belukar atau bahkan rerumputan liar yang tumbuh. Namun pohon-pohon yang berdiri kokoh bak sebuah tiang listrik, memiliki daun yang lebat—sangat lebat hingga membuat sekelilingnya terasa teduh dan suram. Perbedaan hutan terang benderang dengan kebisingannya dan dibandingkan dengan hutan ini, sungguh menjadi sebuah kontras yang nyata. Hutan hidup dan hutan mati. Di sini Corin tidak bisa mendengar gemerisik suara dedaunan atau bahkan suara serangga siang. Hanya ada keheningan, dengan hembusan dingin angin yang sesekali
Srak ...Srak ...Suara menggesek itu terdengar keras di antara keheningan yang tercipta. Tiga sosok kecil berjalan beriringan. Sosok yang lebih tinggi tengah membopong tubuh dewasa. Karena tinggi badannya, kaki remaja yang digendong terseret ke tanah dan membentuk suara gesekan yang mengganggu.Namun gadis kecil itu terlihat tidak keberatan sama sekali. Seolah-olah ia hanya membawa kardus kosong, bukanlah tubuh manusia yang dua kali lebih besar darinya. Wajah yang lucu terlihat sangat panik, irisnya berkeliling menatap sekitar. Namun, ia tidak berani melangkah terlalu cepat. Kaki Tuannya terseret ke tanah, tindakannya yang terburu-buru takut akan menyakiti kaki yang tidak bisa ikut digendong."Ugh... ," mengerutkan alis, remaja yang digendong itu bergumam, merentangkan sebelah tangan dan menyentuh kepala yang terasa berdenyut. Gerakan tiba-tiba itu sukses membuat tiga kurcaci cilik membeku. Dua orang yang sejak tadi mengekori tercenga, sebelum akhirnya,
“Loh? Rin? Siapa mereka?”Pertanyaan yang terlontar begitu saja membuat Corin merasa canggung, tetapi ia benar-benar lelah. Menurunkan Al dari gendongannya, remaja itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia jatuh terduduk di tangga kereta, terengah-engah dan penuh dengan peluh.Gadis kecil yang sudah dilepaskan, tanpa menunggu Corin memperkenalkannya, dengan penuh percaya diri melompat-lompat untuk memperkenalkan dirinya sendiri. “Nama Pi adalah Piby! Dan ini adalah Al, sepupu Pi! Pi dan Al menemukan Kak Rin dan Kak Snow di hutan!”Joshu tertawa mendengarnya. “Oh, kalian menemukan mereka di hutan?” kekehnya geli. “Jadi kalian membawa Kak Rin dan Kak Snow kembali ke sini karena mereka tersesat di hutan?”Ekspresi gadis keci
Gulita bergelayut mesra saat sang bulan merangkak naik menggantikan matahari. Titik-titik cahaya kecil terlihat indah, saat cahaya redup pada bulan purnama mencoba menyingkirkan gelap yang mencengkram. Namun di tengah hutan yang sunyi dan penuh misteri, malam akan selalu menjadi sesuatu yang mencekam dan menakutkan. Kedua anak kecil yang masing-masing dipeluk Phoenix dan Snow, telah jatuh ke alam mimpi. Kedua sosok berbeda karakter itu sudah terlalu lelah untuk menikmati hari yang begitu panjang di dalam sebuah kereta yang berjalan. Namun, kenyamanan kedua bocah kecil itu berbanding terbalik dengan orang-orang yang masih terjaga di sekitar mereka. “Mereka adalah anak bangsawan.” Satu kalimat dari Joshua sukses membuat keheningan selama beberapa detik, sebelum akhirnya Lin bereaksi. Gadis itu tercengang, sebelum a
Angin dingin yang berhembus pada malam yang gulita membuat semua orang yang masih terbangun, tidak merasakan kantuk sama sekali. Bukan hanya karena beban masalah yang kian memberatkan bahu, tetapi juga karena malam adalah waktu yang paling berbahaya. Tidak akan ada yang bisa tidur dengan nyenyak kecuali kedua anak kecil yang tidak mengetahui apapun tentang kejamnya dunia.Bertopang dagu, sepasang iris gelap menatap ke luar jendela. Langit berbintang membentang di cakrawala. Canvas hitam tanpa adanya awan yang menutupi, terlihat indah dengan gemerlap bintang yang bersinar redup.Namun perasaan Corin tidak seindah langit malam yang tenang. Sebaliknya, semua hal negatif seolah mencengkram paru-parunya, membuat setiap tarikan napas, terasa sangat sulit dan menyakitkan.Marah, sedih, kesal, takut ... berbagai macam hal t
Semuanya terjadi begitu tiba-tiba hingga Corin tidak mampu untuk memikirkan apapun. Hanya ketakutan yang memuncak. Membuat jantungnya berdebar sangat keras hingga mengalirkan adrenalin ke seluruh tubuh. Namun, saat menyadari tubuhnya terseret menjauh dari kekacauan dan hanya menyisakan sepasang Partner yang mencoba melindungi mereka ...Sulung Yudhistira menyadari ada sesuatu yang salah.“Bagaimana dengan Lin,” suara kecil yang gemetar itu keluar—tenggelam di dalam ledakan besar di sekitarnya. Kaki yang sudah selembut jel tidak mampu benar-benar melangkah, membuat tubuh kecil Snow yang menyeret majikannya nyaris benar-benar menggendong tubuh yang jauh lebih besar di punggung kecilnya.“Apa?” Snow terengah-engah. “Nona, kita—“