Tragedi terbesar mengguncang Kerajaan Yamashiro. Dalam satu malam berdarah, seluruh keluarga kerajaan terbunuh. Hanya satu yang selamat—Putri Hana, pewaris tahta yang telah melepaskan gelarnya demi menikah dengan Dr. Akira Takumi, seorang ilmuwan sederhana. Hana, yang hangat dan ceria, dipaksa kembali ke istana yang dulu ia tinggalkan. Namun istana itu bukan lagi rumah, melainkan sarang intrik, pengkhianatan, dan perebutan kekuasaan. Di tengah sorotan politik dan media, Hana harus membuktikan dirinya bukan sekadar simbol, melainkan pemimpin sejati. Sementara itu, Akira berjuang menyesuaikan diri dengan dunia penuh protokol dan tipu daya. Penelitiannya tentang obat kanker justru menyeretnya ke konspirasi besar yang berhubungan dengan tragedi keluarga kerajaan. Keteguhan cinta mereka diuji ketika Lord Ryuji Asakura, mantan tunangan bangsawan, kembali muncul—menawarkan kekuatan dan keamanan yang istana butuhkan, sekaligus mengguncang hubungan Hana dan Akira. Di balik layar, bayangan gelap bergerak. Dalang sesungguhnya mungkin bukan hanya musuh dari dalam negeri, melainkan kekuatan yang jauh lebih besar. Untuk melindungi rakyatnya, Hana harus memilih: tetap menjadi dirinya yang bebas, atau mengorbankan segalanya demi takhta dan kebenaran.
View More“Ayah, kita benar-benar akan berlibur ke Vila Matahari Pagi kan?”
Suara Putri Reiko Yamashiro melengking penuh harap, memecah kesunyian yang diselingi gemerisik daun di taman istana. Wajah mungilnya memancarkan cahaya, kedua matanya yang gelap membulat penuh, berkilauan seperti kelereng di bawah sinar pagi. Kakinya yang tak sabar terus melompat-lompat kecil di tempat, membuat pita-pita merah di rambutnya ikut menari. Kegirangan yang membuncah dari diri gadis berusia tujuh tahun itu terasa begitu menular. “Reiko-chan…berhenti meloncat-loncat,” suara lembut Permaisuri Yuriko mengalun, tanpa ada nada ketegasan yang berlebihan, namun cukup untuk menahan gerakan Reiko. Gadis kecil itu memang berhenti, tapi hanya sekejap, bibirnya mengerucut sedikit sebelum ia kembali berlari-lari kecil, langkahnya ringan seolah menginjak udara, sambil bersenandung lirih sebuah lagu rakyat. Kaisar Minamoto terkekeh pelan. Matanya yang tajam melembut saat melihat tingkah laku putri bungsunya. Tawa kecil itu menciptakan kerutan halus di sudut matanya, sebuah gambaran kehangatan yang jarang ia tunjukkan di hadapan para menteri. Ia menoleh ke arah Permaisuri, senyumannya tak lekang. “Sayang, di mana Kenji?” tanya Kaisar, nadanya sedikit berubah menjadi mencari. Matanya menyapu sekeliling ruang tunggu yang mewah, namun bayangan putra mahkota, Kenji Yamashiro, tak terlihat. “Sepertinya masih di kamar, Baginda. Dia sibuk membaca, seperti biasa,” jawab Permaisuri Yuriko, tangannya meraih tangan Kaisar, mengusap punggungnya dengan gerakan menenangkan. “Tomoe…” Panggilan lembut Permaisuri langsung mengarah pada seorang wanita paruh baya yang berdiri di dekat pintu. “…panggil Pangeran Kenji, katakan kita akan segera berangkat. Jangan lupa bawakan buku yang sedang ia baca.” Tomoe, pengasuh setia Kenji dan Reiko, membungkuk dalam dan segera menghilang. Tidak lama kemudian, Kenji muncul. Tubuhnya yang ramping dan tegap terbalut setelan linen putih, kontras dengan kulitnya yang pucat. Ia berjalan tenang, memancarkan aura serius meski baru berusia lima belas tahun. Di tangannya, sebuah jilid tebal tentang sejarah militer. “Selamat pagi, Ayah, Ibu. Maaf membuat kalian menunggu,” katanya dengan suara yang matang untuk usianya. “Ah, putraku yang berhati-hati. Tidak apa-apa, Nak. Lagi pula, ini hanya liburan keluarga,” jawab Kaisar Minamoto, menepuk bahu Kenji. “Sudah lama kita tidak menikmati udara danau. Vila Matahari Pagi pasti terasa sejuk sekarang.” Mobil limosin hitam berlapis baja meluncur mulus, dikawal ketat oleh kendaraan-kendaraan penjaga. Perjalanan dari ibu kota ke Vila Matahari Pagi terasa seperti menembus lapisan-lapisan waktu. Begitu tiba, kehangatan langsung menyambut. Vila itu, terbuat dari kayu cedar gelap dan batu alam, berdiri anggun menghadap permukaan danau yang berkilauan. Sinar matahari senja melukis pemandangan itu dengan warna oranye keemasan. Malam itu, suasana di vila terasa damai, hampir magis. Aroma masakan khas dari dapur vila berbaur dengan aroma pinus dari hutan di seberang danau. Di ruang makan yang luas, dihiasi perapian batu yang hangat, keluarga Yamashiro berkumpul. Reiko, dengan pipi yang memerah karena kelelahan setelah bermain di tepi danau, duduk di antara kedua orang tuanya. Ia bercerita dengan semangat tentang bebek-bebek yang ia lihat, tangannya bergerak-gerak memperagakan. “Mereka lucu sekali, Ayah! Bulunya selembut awan!” serunya. Kaisar Minamoto tertawa lebar, sebuah tawa yang jarang terdengar di Istana. Ia menyuapkan sepotong ikan bakar kepada Reiko, matanya penuh kasih sayang. Permaisuri Yuriko tersenyum lembut, sesekali menyeka remah di sudut bibir Reiko. Di seberang meja, Kenji yang biasanya pendiam, ikut tersenyum. Ia menatap kehangatan yang mengalir di antara mereka, merasakan ketenangan yang telah lama hilang. Ia membiarkan buku tebalnya tergeletak di samping kursinya. Malam ini, ia hanya ingin menjadi Kenji, bukan Putra Mahkota. “Besok pagi, kita akan mendayung perahu. Bagaimana, Kenji?” ajak Kaisar, menawarkan secangkir teh herbal. Kenji mengangguk, “Tentu, Ayah. Tapi kita harus bangun sebelum fajar, kabut di danau sangat indah saat itu.” “Ide bagus! Kita harus melihat ‘Matahari Pagi’ yang sesungguhnya!” Reiko bersorak, matanya sudah setengah terpejam karena kantuk. Permaisuri Yuriko terkekeh, “Nah, sudah waktunya bagi seorang putri kecil untuk tidur.” Ia berdiri, diikuti oleh Kaisar. Reiko dipeluk dan dicium. Kehangatan sentuhan keluarga Yamashiro terasa nyata, sebuah ikatan yang tak terpisahkan. Mereka beranjak dari ruang makan, Tomoe dan beberapa pengawal pribadi mengikuti dengan jarak yang teratur, memastikan setiap langkah para bangsawan aman. Keheningan yang Menakutkan Tepat saat jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Permaisuri Yuriko baru saja menyelimuti Reiko. Kaisar Minamoto sedang membaca laporan singkat di ruang kerjanya. Kenji berjalan perlahan ke teras, menghirup udara malam yang dingin, menatap pantulan bulan di permukaan danau yang gelap. Kemudian, suara itu datang. Bukan suara keras, bukan suara tembakan. Itu adalah dengungan yang rendah dan menekan, sebuah getaran aneh yang terasa di tulang dada, bukan di telinga. Getaran itu meningkat dengan cepat, merobek lapisan ketenangan malam. Cahaya-cahaya di sekitar vila berkedip-kedip, kemudian padam. Kenji merasakan tanah bergetar hebat di bawah kakinya, dan sebelum ia sempat berpikir dan berteriak, sebuah ledakan hebat yang nyaris tak terbayangkan kekuatannya menerjang. Api menyembur ke udara, mengubah malam yang gelap menjadi siang yang menyala-nyala. Ledakan itu begitu kuat, begitu terkonsentrasi di inti vila, sehingga dinding-dinding kayu tebal meledak menjadi serpihan-serpihan tajam. Kaca-kaca jendela pecah, tidak hanya di vila, tetapi juga di rumah-rumah penjaga yang berjarak ratusan meter. Suara itu melenyapkan semua suara lain, meninggalkan hanya dengungan tajam di telinga dan kehampaan yang mematikan. Vila Matahari Pagi, simbol ketenangan dan kehangatan, dalam hitungan detik telah berubah menjadi neraka yang membara, tertutup oleh debu dan asap tebal yang membumbung tinggi. Sebuah serangan bom, presisi dan brutal, telah menghancurkan inti bangunan. Saat fajar menyingsing, yang tersisa hanyalah kabar duka. Tim penyelamat dan pengawal yang selamat, wajah mereka pucat dan kotor oleh jelaga, hanya bisa menatap puing-puing yang berasap. Tidak ada yang selamat. Kaisar Minamoto, Permaisuri Yuriko, dan seluruh pewaris resmi takhta tanpa terkecuali, semua tewas seketika dalam kobaran api dan runtuhan. Setiap upaya untuk menemukan tanda-tanda kehidupan sia-sia. Berita itu menyebar ke seluruh dunia seperti api. Kerajaan Yamashiro, pilar stabilitas, kini diliputi kekosongan yang mengerikan. Dunia gempar. Para pemimpin asing menyatakan belasungkawa, namun di balik layar, setiap negara panik, memprediksi kekacauan yang akan datang. Kehangatan yang dilihat dunia dari keluarga kerajaan Yamashiro kini hanya menjadi memori yang terkubur di bawah abu dan batu. Di ibu kota, di markas militer utama, Jenderal Moriyama hanya bisa menatap peta besar yang terpampang di dinding. Bahunya melorot, mencerminkan beban kegagalan yang tak terucapkan. Ia adalah kepala pengamanan tertinggi, orang yang bersumpah untuk melindungi keluarga kerajaan dengan hidupnya. Vila Matahari Pagi telah diklaim sebagai tempat paling aman, terisolasi, terlindungi. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, gemetar tak terkendali. Mata tuanya, yang telah melihat banyak peperangan, kini dipenuhi oleh penyesalan yang membakar. Bagaimana mungkin? Pertanyaan itu berputar di benaknya tanpa jawaban. Ia telah gagal. Kegagalan ini bukan hanya kehilangan nyawa bangsawan, melainkan hilangnya harapan seluruh bangsa. "Kami minta maaf, Jenderal," bisik ajudannya, suaranya tercekat. Moriyama tidak menoleh. Ia hanya menggeram rendah, suaranya serak. "Minta maaf? Minta maaf tidak akan membawa mereka kembali." Ia menunjuk ke arah peta, jarinya gemetar di atas titik kecil yang dulunya adalah vila. "Tugas kita... untuk melindungi darah naga. Dan kita biarkan ini terjadi di bawah hidung kita." Ia berbalik, matanya merah. "Cari tahu siapa yang melakukannya. Temukan setiap jejaknya. Aku akan membalik setiap batu di negeri ini sampai aku menemukan pembunuh terkutuk itu!"“Tanganmu dingin sekali, Ojo-sama. Apakah kau merasa takut?”Profesor Akira meraih tangan istrinya perlahan, menggenggam dengan lembut seolah memberikan sedikit kehangatan. Mereka berada di dalam kabin jet pribadi militer. Jemari Hana yang ramping terasa membeku di telapak tangannya. Matanya yang biasanya memancarkan kecerahan kini terlihat sedikit berkabut.“Ini aneh sekali, bukan?” balas Hana, suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam dengung halus mesin pesawat. “Aku akan pulang ke rumah tempat lahirku, tapi aku merasa bahwa aku akan dihukum mati setiba di sana.”Bahu Hana bergidik perlahan, rasa dingin menjalar ke tengkuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan gelap.“Aku mengerti.” Akira menariknya mendekat, memeluk bahunya. “Perasaan itu wajar. Kau kembali sebagai 'Putri terakhir' setelah sekian lama, kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak memori—sekaligus kembali ke dalam sarang masalah. Tapi apa kau lupa?”Akira meraih lembut dagu H
“Aki sayang… apakah kau yakin akan membiarkan aku menjadi Kaisar?” Hana berusaha membaca wajah Akira, sambil menggenggam tangan pria itu. Mereka duduk berdekatan di bangku kecil dalam keheningan toko bunga. Aroma lavender dan jasmine yang seharusnya menenangkan, terasa berat oleh beban keputusan besar. Hana menatap suaminya, mencari kepastian di mata pria yang selalu menjadi jangkar rasionalitasnya. Akira tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menarik Hana lembut ke dalam pelukannya. Kehangatan tubuhnya, aroma samar buku dan eucalyptus yang selalu melekat pada kulitnya, adalah satu-satunya kenyamanan yang Hana miliki di tengah badai duka dan intrik politik ini. Ia membenamkan wajahnya di dada Akira, membiarkan suaminya mengusap rambutnya. “Hime-chan,” bisik Akira, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mencium kening istrinya lama, sebuah janji tanpa kata. “Tentu saja aku yakin. Aku tidak hanya yakin, aku memastikan kau yang mengambil alih tahta.” Hana mendongak, matanya
Dering suara bel di pintu masuk yang bernada nyaring, membelah keheningan yang nyaman, seketika membawa Akira dan Hana kembali dari lembah kenangan mereka. Hana tersentak kecil, air mata yang masih membasahi pipinya belum sepenuhnya mengering. “Biar aku yang melihat ke depan, Hana-chan. Basuhlah wajahmu terlebih dahulu,” ujar Akira dengan lembut. Tangannya terangkat, jari-jarinya yang panjang menyisir lembut anak rambut Hana yang halus. Sentuhan itu menyampaikan kasih sayang yang menenangkan, tetapi mata Akira sudah menunjukkan bayangan kesadaran yang dingin. Hana mengangguk pelan, jemarinya membalas genggaman tangan Akira sejenak sebelum dilepaskan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya, sementara Akira melangkah menuju pintu depan, hatinya diselimuti firasat yang memberat—firasat yang kini telah bertransformasi menjadi kepastian yang tak terhindarkan. Akira mendorong pintu kayu berukir itu. Di ambang pintu, sesosok pria setengah baya berdiri t
“Aki… Ayahanda…” Suara Hana tercekat di tenggorokannya, bagai sebuah gelembung kaca yang kian membesar, yang tak sanggup ia pecahkan. Kata-kata itu lebih merupakan hembusan napas yang menyakitkan untuk dikeluarkan dengan susah payah daripada sebuah panggilan kepada mendiang Ayahnya. Akira, pria yang menghabiskan hidupnya di laboratorium yang tenang, di antara angka-angka dan data ilmiah, kini bergerak secepat yang ia bisa, jauh melampaui kecepatannya saat mengejar hipotesis ilmiah. Ia berlari, menjejak karpet tebal itu dengan terburu-buru, menangkap tubuh istrinya yang tiba-tiba luruh, seolah semua tulang di tubuhnya mendadak menyerah. Sebelum lutut Hana menyentuh lantai kayu yang dingin, lengan Akira sudah mendekapnya. Hana menangis dengan suara tertahan. Sebuah jeritan tanpa suara merobek dadanya, mengoyak pita suaranya, membiarkan gelombang kesedihan yang telah membatu di rongga dadanya kini tumpah ruah. Ia mencengkram kemeja putih bersih Akira, sekuat ia menggenggam sisa-sisa
“Selamat pagi Miss O’hare.” Suara merdu Hana melayang melintasi etalase kaca, berbaur dengan semerbak lilin beraroma honeysuckle dan manisnya udara pagi. Wanita tua itu, punggungnya sedikit membungkuk dan dengan rambutnya yang seputih salju, sudah berdiri di ambang pintu, seperti jam weker yang tepat waktu. Kepala Hana miring sedikit saat ia melihat ke tumpukan buket yang sudah terikat rapi di konter. “Biar kutebak… seikat Tulip Kuning?” Hana melanjutkan, senyumnya merekah seperti kelopak di pagi hari. Matanya yang cokelat berkilauan menangkap pantulan cahaya dari vas kaca di depannya. “Kau tahu benar favoritku, Hana-chan.” Ms. O’hare tertawa kecil, suara yang selalu menghangatkan hati Hana. Tangan keriputnya yang dihiasi bintik-bintik penuaan bergerak meraih buket yang sudah disiapkan Hana—lima kuntum tulip kuning yang mekar sempurna, diikat dengan pita rami sederhana. “Bunga-bunga di tokomu adalah yang tercantik di Midtown,” puji wanita lanjut usia itu sambil mengeluar
“Ayah, kita benar-benar akan berlibur ke Vila Matahari Pagi kan?” Suara Putri Reiko Yamashiro melengking penuh harap, memecah kesunyian yang diselingi gemerisik daun di taman istana. Wajah mungilnya memancarkan cahaya, kedua matanya yang gelap membulat penuh, berkilauan seperti kelereng di bawah sinar pagi. Kakinya yang tak sabar terus melompat-lompat kecil di tempat, membuat pita-pita merah di rambutnya ikut menari. Kegirangan yang membuncah dari diri gadis berusia tujuh tahun itu terasa begitu menular. “Reiko-chan…berhenti meloncat-loncat,” suara lembut Permaisuri Yuriko mengalun, tanpa ada nada ketegasan yang berlebihan, namun cukup untuk menahan gerakan Reiko. Gadis kecil itu memang berhenti, tapi hanya sekejap, bibirnya mengerucut sedikit sebelum ia kembali berlari-lari kecil, langkahnya ringan seolah menginjak udara, sambil bersenandung lirih sebuah lagu rakyat. Kaisar Minamoto terkekeh pelan. Matanya yang tajam melembut saat melihat tingkah laku putri bungsunya. Tawa kec
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments