LOGINTragedi terbesar mengguncang Kerajaan Yamashiro. Dalam satu malam berdarah, seluruh keluarga kerajaan terbunuh. Hanya satu yang selamat—Putri Hana, pewaris tahta yang telah melepaskan gelarnya demi menikah dengan Dr. Akira Takumi, seorang ilmuwan sederhana. Hana, yang hangat dan ceria, dipaksa kembali ke istana yang dulu ia tinggalkan. Namun istana itu bukan lagi rumah, melainkan sarang intrik, pengkhianatan, dan perebutan kekuasaan. Di tengah sorotan politik dan media, Hana harus membuktikan dirinya bukan sekadar simbol, melainkan pemimpin sejati. Sementara itu, Akira berjuang menyesuaikan diri dengan dunia penuh protokol dan tipu daya. Penelitiannya tentang obat kanker justru menyeretnya ke konspirasi besar yang berhubungan dengan tragedi keluarga kerajaan. Keteguhan cinta mereka diuji ketika Lord Ryuji Asakura, mantan tunangan bangsawan, kembali muncul—menawarkan kekuatan dan keamanan yang istana butuhkan, sekaligus mengguncang hubungan Hana dan Akira. Di balik layar, bayangan gelap bergerak. Dalang sesungguhnya mungkin bukan hanya musuh dari dalam negeri, melainkan kekuatan yang jauh lebih besar. Untuk melindungi rakyatnya, Hana harus memilih: tetap menjadi dirinya yang bebas, atau mengorbankan segalanya demi takhta dan kebenaran.
View MoreKonvoi kendaraan tempur ringan dan pengangkut barang melaju perlahan menembus kabut tipis yang menyelimuti dataran tinggi. Di dalamnya, Lotty Alden—asisten kepercayaan Akira—menyandarkan kepala pada kaca jendela yang bergetar lembut. Rasa lelah akibat perjalanan lintas benua yang berlanjut dengan perjalanan darat yang melelahkan mulai menumpulkan indranya. Ia masih terkantuk-kantuk, sementara di kursi depan, Letnan Takeshi Kido tampak tidak tersentuh oleh kelelahan. Matanya yang tajam tetap waspada, memantau cakrawala. Tiba-tiba, kendaraan berhenti. Bunyi gesekan ban dan suara komando singkat mengusik Lotty dari kantuknya. “Kita sudah tiba,” ujar Takeshi tanpa menoleh. Lotty menggosok matanya dan melongok ke luar. Ia terkesiap. Di hadapannya membentang Gerbang Utama Yamashiro, sebuah struktur kolosal yang tampak mustahil. Gerbang itu sendiri terbuat dari kayu hitam tua, dihiasi dengan ukiran naga dan awan bergaya zaman
Pagi itu di Laboratorium Prof. Akira terasa seperti di medan perang, meski tidak ada sebutir pun peluru ditembakkan. Aroma formalin dan disinfektan bercampur dengan bau debu yang berterbangan dari peti-peti kayu yang menumpuk. Di tengah kekacauan itu, Lotty bergerak cepat namun panik, mencoba mengamankan peralatan riset paling sensitif.“Tolong, Kotak Merah J-12 ini harus dipisahkan! Sensor sensitivitasnya akan hancur hanya karena getaran rem mendadak! Sial, kenapa Jenderal Moriyama harus memilih hari ini?!” Lotty menggerutu, memegang tablet di satu tangan dan menyeka keringat di dahinya dengan lengan baju yang lain. Waktu keberangkatan yang diperintahkan militer tinggal dua jam, dan ia merasa separuh dari kerja keras Prof. Akira akan hancur di tengah jalan.Pintu ganda baja laboratorium terbuka dengan gebrakan, memaksa semua orang di ruangan itu menoleh. Udara dingin disiplin militer langsung menyelimuti ruangan.Di ambang pintu, berdiri tegak Letnan Takeshi, dikelilingi oleh emp
Hana berdiri di depan altar di Shinden (aula suci), cahaya pagi yang pucat menyaring melalui jendela shoji keemasan. Ia mengenakan mofuku hitam yang menyerap semua warna, termasuk warna kehidupan. Tidak ada peti kayu hinoki, tidak ada jenazah utuh. Hanya empat wadah perak kecil yang tersemat di altar: potongan jubah Kaisar, manik-manik doa Permaisuri, jimat kayu Kenji, dan pita rambut sutra Reiko.Di sekelilingnya, para biksu kekaisaran sedang menyelesaikan ritus Reikon Kantei, ritual langka Penegasan Jiwa, mengamankan arwah keluarga yang hilang ke dalam benda pusaka tersebut. Itu adalah pemandangan yang menyayat, upaya putus asa untuk memberikan penutupan spiritual pada kehancuran fisik yang tak terbayangkan.Hana merasakan kuku jarinya menekan telapak tangan. Di depannya, adalah duka suci. Di balik kepalanya, di lorong-lorong Istana, adalah keheningan politik yang berbahaya. Aroma tajam krisan putih yang seharusnya menenangkan justru terasa menyesakkan. Ia adalah seorang
“Tanganmu dingin sekali, Ojo-sama. Apakah kau merasa takut?”Profesor Akira meraih tangan istrinya perlahan, menggenggam dengan lembut seolah memberikan sedikit kehangatan. Mereka berada di dalam kabin jet pribadi militer. Jemari Hana yang ramping terasa membeku di telapak tangannya. Matanya yang biasanya memancarkan kecerahan kini terlihat sedikit berkabut.“Ini aneh sekali, bukan?” balas Hana, suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam dengung halus mesin pesawat. “Aku akan pulang ke rumah tempat lahirku, tapi aku merasa bahwa aku akan dihukum mati setiba di sana.”Bahu Hana bergidik perlahan, rasa dingin menjalar ke tengkuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan gelap.“Aku mengerti.” Akira menariknya mendekat, memeluk bahunya. “Perasaan itu wajar. Kau kembali sebagai 'Putri terakhir' setelah sekian lama, kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak memori—sekaligus kembali ke dalam sarang masalah. Tapi apa kau lupa?”Akira meraih lembut dagu H
“Aki sayang… apakah kau yakin akan membiarkan aku menjadi Kaisar?” Hana berusaha membaca wajah Akira, sambil menggenggam tangan pria itu. Mereka duduk berdekatan di bangku kecil dalam keheningan toko bunga. Aroma lavender dan jasmine yang seharusnya menenangkan, terasa berat oleh beban keputusan besar. Hana menatap suaminya, mencari kepastian di mata pria yang selalu menjadi jangkar rasionalitasnya. Akira tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menarik Hana lembut ke dalam pelukannya. Kehangatan tubuhnya, aroma samar buku dan eucalyptus yang selalu melekat pada kulitnya, adalah satu-satunya kenyamanan yang Hana miliki di tengah badai duka dan intrik politik ini. Ia membenamkan wajahnya di dada Akira, membiarkan suaminya mengusap rambutnya. “Hime-chan,” bisik Akira, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mencium kening istrinya lama, sebuah janji tanpa kata. “Tentu saja aku yakin. Aku tidak hanya yakin, aku memastikan kau yang mengambil alih tahta.” Hana mendongak, matanya
Dering suara bel di pintu masuk yang bernada nyaring, membelah keheningan yang nyaman, seketika membawa Akira dan Hana kembali dari lembah kenangan mereka. Hana tersentak kecil, air mata yang masih membasahi pipinya belum sepenuhnya mengering. “Biar aku yang melihat ke depan, Hana-chan. Basuhlah wajahmu terlebih dahulu,” ujar Akira dengan lembut. Tangannya terangkat, jari-jarinya yang panjang menyisir lembut anak rambut Hana yang halus. Sentuhan itu menyampaikan kasih sayang yang menenangkan, tetapi mata Akira sudah menunjukkan bayangan kesadaran yang dingin. Hana mengangguk pelan, jemarinya membalas genggaman tangan Akira sejenak sebelum dilepaskan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya, sementara Akira melangkah menuju pintu depan, hatinya diselimuti firasat yang memberat—firasat yang kini telah bertransformasi menjadi kepastian yang tak terhindarkan. Akira mendorong pintu kayu berukir itu. Di ambang pintu, sesosok pria setengah baya berdiri t






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments