.
Bulan mulai berganti, aku telah pindah ke tempat yang lebih nyaman.Aku mencintai diriku, tak mau hidup dan tinggal di lingkungan toxic lebih lama lagi. Sekarang hidupku lebih damai.Kini, aku menempati lantai dua sebuah rumah besar seorang diri, dan tak lagi berebut kamar mandi. Ada banyak kamar di sini, sebab memang diniatkan untuk kos-kosan.Beberapa kali ada yang menyewa kamar lain, tapi, paling lama dua bulan, sebab pekerjaan mereka yang mengharuskan berpindah kota. Jadilah aku lagi-lagi seorang diri menempati rumah besar ini.Ada dapur kecil di samping kamar mandi, membuatku bisa memasak lauk meski hanya telur orak-arik. Pun sekarang bisa membuat mi instan jika tengah malam lapar dan tak bisa keluar.Rumah yang kutinggali hanya berjarak tiga rumah dari masjid, maka aku lebih sering berjamaah di sana jika telah kembali ke kos. Sekarang lebih punya banyak waktu untuk merenung dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.Hari Minggu pagi yang sedikit mendung, Yumna datang ke kosan. Meski tak tinggal di kos yang sama, kami berdua masih saling mengunjungi sesekali. Seringnya aku ke sana mengantarkan pesanan rajutan, lalu mengobrol sebentar dan pamit pulang."Mbak, jadi jalan-jalan kita?" tanyanya, begitu kubukakan pintu gerbang."Manut, kamu gimana? Tapi mendung ini."Gadis seumur Salma itu menengadah menatap langit, nampak berpikir sebentar, lalu menghembuskan napas."Jadi, yuk. Aku bosan kalau libur cuma di kamar," ujarnya dengan wajah merajuk."Ya udah, ayo jalan. Ke atas dulu, ya?" ajakku, lalu melangkah ke kamar. Dia mengekor di belakang."Coba aku pindah ke sini, ya."Kudengar ia bergumam di belakangku. Aku menoleh, hingga tatapan kami bersirobok."Jadi, gimana?" tanyaku ingin tau. Ini bukan kali pertama ia mengajukan argumen yang sama. Tapi masih saja menjadi wacana hingga sekarang. Sebenarnya aku lebih senang kos
.Aku terhenyak mendengar pertanyaan Fajar. Dulu … dulu sekali, aku pernah mendapat pertanyaan serupa dari seseorang yang tak mau kusebut lagi namanya. Pun dengan kisah yang pernah kami lukis bersama. Aku memang telah menutup rapat pintu hati sejak hari itu. Hari di mana pengkhianatan calon suami dan sepupuku terbongkar di depan mata. Sedikit banyak kejadian tersebut menyisakan trauma. Meskipun demikian, aku bersyukur mengetahui semuanya sejak awal. Entah bagaimana jadinya jika aku terlambat tau, mestinya rasa kecewa dan terluka akan semakin besar saja. Sibuk menghibur diri dengan bekerja, membuat aku lupa dengan romansa.Baru lah tersadar kalau aku telah melampaui waktu selama itu, hampir dua tahun kata Fajar. Benarkah? Untuk beberapa saat lamanya, aku hanya terdiam, sibuk dengan pikiranku sendiri. Kudengar Fajar berdehem, menginterupsi lamunanku. Mungkin dilihatnya aku yang terbengong setelah ia mengajukan tanya."Membu
Teringat dengan ceritanya kalau memiliki kakak yang sangat protektif. Apa perubahan wajah gadis berumur sembilan belas tahun itu ada kaitan dengan perginya dari kos ke sini bersamaku? Mengingat selama ini kami berdua belum pernah keluar bersama di hari libur. Seringnya Yumna mampir ke kos pas pulang kerja. Namun, bukankah tadi ia cerita kalau kakaknya sedang kemping bersama teman-temannya, hingga Yumna kemudian merasa bebas dari pengawasan sang kakak?"Kenapa?" tanyaku mengikis rasa penasaran."Emm … kakakku nyariin ke kos," jawabnya dengan wajah murung.Hem, seperti yang kuduga. Eh, cepat juga yang sedang kemping, sepagi ini sudah sampai di kos sang adik."Jadi, gimana? Minta ke sini saja, biar gabung sama kita," tanya dan usulku. "Nggak apa-apa, kan, Jar?" Fajar langsung mengangguk tanda setuju."Iya, Mbak. Sebentar lagi dia nyusul. Dia bakal marah nggak, ya, nggak nemuin aku waktu sampai di kos tadi?"Wajah
.Ponsel di genggaman kembali menjerit tak sabar, menyentakku dari lamunan. Detik kemudian, aku tersadar kalau ujung nomer yang tertera di layar, adalah nomer yang sebelumnya digunakan Lila berkirim pesan beberapa saat tadi. Ada apa lagi, ya?"Dasar ganjen kamu, Nadira!" sembur Lila begitu panggilan telepon seluler terhubung."Sudah tau suami orang masih diganggu juga! Mau bales dendam, kamu?!" Aku menjauhkan ponsel, menghindari lengkingan suara dari seberang telepon."Gara-gara kamu, aku ditinggalkan! Jahat ya, kamu, bikin orang terpuruk. Peternakan Mas Damar sekarang bangkrut!" cicitnya lagi.Lucu sekali Lila ini. Mereka yang sedang bermasalah, tapi menyeret orang lain untuk masuk ke dalam masalah mereka. Tidak habis pikir.Tau gitu tadi langsung blokir saja. Ah, sudahlah, setelah ini tak akan menunda lagi memblokir nomernya."Aku nggak ganjen, dia aja yang te
"Sayang sekali nggak ada teman ngobrol."Hem, belum tau saja dia, kalau ibu kos yang baik itu sering sekali naik, ngecek ini itu, ngajak ngobrol abcd. Jadi meski sendirian, aku nggak kesepian lah. Malah seneng, punya privasi."Padahal tadi ibu bilang kamarnya ada lima, ya?""Iya, jadi kayak balon, ada lima, rupa-rupa warnanya."Berdua kami terkekeh. Aku kenapa, ya. Jadi eror begini."Terus kalau nggak kerja, ngapain, dong? Di sini sendirian, pisah sama yang punya rumah. Nggak takut kamu sendirian di atas sini, Nad?"Eh, takut? Kenapa nggak kepikiran ke sana, ya?"Enggak lah. Takut apa emangnya?"Sosok yang duduk di sampingku itu menaikkan kedua bahunya."Kalau pulang kerja kan aku ngerajut, jadi nggak bosen juga, Jar. Ya, aku manfaatkan waktu semaksimal mungkin, jangan sampe terbuang sia-sia waktunya.""Hebat, nggak salah aku milih calon istri."Ish, dia merayu lagi. Sudah merah ini pa
.Mereka bilang aku pemilih dan kesepianTerlalu keras menjalani hidupBeribu nasehat dan petuah yang diberikanBerharap hidupku bahagia … .Berdiri telingaku mendengar lagu I'm single and very happy, yang dibawakan Oppie Andaresta. Tangan yang sedang memasukkan pakaian ke dalam tas, seketika terhenti, lalu mencari sumber suara. Baru teringat kalau sejak tadi televisi menyala tanpa diperhatikan. Memang lah saat seorang diri seperti ini, seringkali kunyalakan benda elektronik itu sebagai teman, biar nggak sepi-sepi amat. Tapi, kalau sedang khusyuk mengerjakan sesuatu kadang lupa juga, sih.Bibir ini juga jadi mengikuti lirik selanjutnya. 'I'm single and very happy', rasanya cocok dengan kondisiku saat ini. Alhamdulillah 'ala kulli haal.Ya, aku cukup merasa bahagia menjalani hidupku yang sekarang. Menjadi pribadi dan individu yang bebas merdeka hendak melakukan apa saja. Pelan tapi pasti, luka yang pernah kubawa saat datang ke kota
POV Rudy"Telpon adikmu, Nang."Aku baru saja pulang dari sawah. Baru saja duduk di kursi teras setelah membersihkan kaki, lantas menyesap sebatang rokok, saat mendengar pinta ibu."Sebentar to, Bu. Aku tak ngrokok dulu," tolakku. Nggak enak amat lagi asik ngerokok malah disuruh. Baru juga duduk."Ayo, sekarang!" perintah beliau seperti tak sabar. "Ibu cuma mau dengar kabar adikmu. Bocah, kok, pulang enggak, nelpon yo jarang" keluh ibu, kemudian duduk di sampingku.Aku menghela napas, lantas menyentaknya. Terpaksa kuletakkan rokok di ujung bangku, lantas mengambil handphone di lemari.Gegas kucari nomer Nadira. Ia memang jarang menelpon, seringnya hanya kirim pesan. Aku pun sebenarnya rindu dengan suaranya. Namun, untuk menghubungi lebih dulu, aku merasa sungkan, sebab didera rasa bersalah yang besar.Entah bagaimana kabarnya sekarang. Sudah berbilang bulan ia tak pulang, sejak perdebatan dengan ibu tentang pernikahan.
"Ini pasti gara-gara kamu suka makan sayap ayam, makanya terbang ke mana-mana. Habis ke Surabaya, ke Medan juga. Cah wadon, kok plencang-plencing."Ibu menggerutu, selalu begitu kalau bicara dengan Nadira. Kudengar tawa renyah dari seberang telepon."Ibu ada-ada saja. Apa hubungannya makan sayap ayam sama pergi ke Medan," lagi ia terkekeh."Yo ada. Lha itu, kamu nggak ingat pulang, malah mau pergi melebihi kakakmu yang laki-laki," protes ibu.Ah, ibu benar juga. Dia, adik perempuanku, panjang sekali langkahnya. Ia bahkan melampaui jarak yang pernah kutempuh sepanjang karirku merantau."Oh, ini pasti karena ibu berprasangka begitu, makanya sekarang terkabul. Ucapan itu doa, lho, Bu. Iya, kan, Mas?"Nadira masih terkekeh. Aku menggelengkan kepala. Bisa saja dia membalikkan ucapan ibu."Minta doanya ya, Bu, Mas. Doakan semoga perjalananku lancar, selamat sampai tujuan," pintanya kemudian."Iya, Nduk, ibu selal