Share

Bos itu Istriku

Penulis: Sriayu23
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-22 07:36:49

POV Adam 

"Sayang, kita menang. Kamu gak usah tidur dikontrakkan lagi. Kamu bakal punya rumah mewah, sama seperti Mira," ujarku senang luar biasa.

"Serius, Mas?" tanya Diana dengan mata berbinar. Dia sampai tidak jadi memasukkan makanan ke dalam mulutnya. 

"Benerlah, masa Mas bohong. Nanti sore pulang kerja kita langsung ke perusahan panci tempat Mira jadi reseller. Bosnya mau langsung ketemu."

"Asek. Pasti mau langsung ngasih kunci rumahnya ke kamu, Mas."

"Tentu, dong. Enak saja buat Mira. Dia gak ada kerjanya, cuman bisanya malu-maluin kita doang. Tapi gak papa, yang penting perjuangan kita terbayarkan."

"Betul, Mas. Gak sia-sia jidatku masih sakit kena panci. Untung saja dapet hadiah. Kalua enggak, aku marah sama kamu," ujar Diana memanyunkan bibir. Lalu, wajahnya berubah berseri-seri kembali. 

Beruntung kami menang. Kalau kalah, Diana pasti tak akan memberiku jatah. Semua ini karena tingkah abstrak Mira. Bisa-bisanya dia memberi konsep pelakor. Tak apa, itu hanya konsep. Aku yakin 100% Mira tak mungkin tahu tentang perselingkuhamu. Lihat saja, tingkahnya sangat polos.

"Tumben kalian berseri-seri. Bukannya kemarin keliatan banyak beban?" tanya Bumi ikut makan di meja yang sama.

"Mau tau aja lu, Mi. Ini urusan kita. Lu gak usah tahu. Nanti malah menghancurkan suasana lagi," jawabku dengan nada meledek.

Tentu saja di depan Bumi aku harus terlihat seperti sahabat dengan Diana. Meskipun, aku tahu Bumi sedikit curiga dengan kedekatanku dan Diana. Namun, Bumi bukan tipe orang yang suka mengurusi hidup orang lain. Dia tidak akan mengadu aneh-aneh pada Mira. 

"Oh begitu. Aku juga tak punya waktu untuk mengurus urusan kalian."

"Santai dong, Mi. Lu sensitif banget kaya cewek lagi PMS. jadi, Diana bakal dapet rumah baru."

"Rumah baru? dapat dari mana?"

"Dari hadiah lomba pa-"

"Arrgh!" teriakku kesakitan saat Diana menginjak kakiku.

"Dari hadiah bank, Bumi."

"Nah, maksud gua itu."

Diana menatap tajam ke arahku. Saking bahagianya, aku hampir saja keceplosan. Bisa perang dunia kesepuluh kalau Bumi tahu. Takutnya diam-diam dia akan mengadu. Jadi, di depan Bumi harus pintar-pintar berakting. 

"Lanjutin makannya. Bentar lagi jam istirahat selesai," perintah Diana membatasi percakapan kami. Mungkin istri mudaku takut aku keceplosan. 

Setelah selesai makan, kami segera kembali melaksanakan pekerjaan. Waktu terus bergulir. Rasanya sangat lambat. Berkali-kali aku melihat jam di dinding, belum juga menunjukkan waktu pulang kerja. Ditambah lagi setumpuk pekerjaan yang tidak ada habisnya.

"Akhirnya beres," gumaku saat waktu pulang kerja tiba.

"Mas, ayok kita ke lokasinya."

"Siap, Sayang."

Aku dan Diana segera meluncur menggunakan mobil. Senyuman tak hentinya mengembang dari bibir kami. Enak sekali punya istri pertama seperti Mira. Cicilan  mobil dia ikut bantu membayar. Jarang menuntut nafkah lahir karena dia bisa cari uang sendiri. Sekarang, dia membantuku memberi rumah untuk istri keduaku. Luar biasa.

"Wih, kantornya cukup besar juga, Mas. Kayanya sebelah sana pabrik pancinya deh," ujar Diana setibanya kami di lokasi. 

Aku mengaguk sebagai tanda setuju. Lahan parkir di kantor ini sangat luas. Bagian belakang dan samping terhubung dengan pabrik tempat produksi. 

"Maaf Pak, Bu, ada keperluan apa masuk ke kantor ini?" tanya satpam.

"Saya mau ketemu Bos di sini. Kami Sudah membuat janji. Saya harus nunggu di mana yah, Pak?" tanya Diana.

"Silakan tanya Mbak itu, Mas, Mbak. Biar nanti diarahkan," jawab Pak Satpam menunjuk tempat seorang wanita sedang bekerja, seperti resepsionis. 

"Makasih, Pak."

Kami segera menuju tempat yang diarahkan. Lalu bertanya pada orang yang bersangkutan. 

"Maaf, Pak, saya Adam ingin bertemu bos pemilik kantor ini."

"Pak Adam dan Ibu Diana?"

"Iya, Mbak betul."

"Kalian sudah ditunggu Ibu Mira di dalam. Mari saya antar."

Dengan ramah perempuan itu mengantar kami naik ke lantai paling tinggi. Entah kenapa, perasaanku merasa sedikit aneh. Semoga semuanya berjalan sesuai keinginan. 

"Masuk sini, Mbak?" tanya Diana.

"Iya, Bu. Silakan langsung masuk saja. Ibu Mira sedang menunggu."

"Pemilik perusahaannya juga ada di dalam bersama Mira?" tanya Diana tampak heran.

"Pemilik perusahaan, Ibu Mira sudah ada di dalam. Silakan masuk, saya pamit dulu."

Aku dan Diana saling pandang. Jawaban salah satu pekerja di kantor ini tidak terlalu memuaskan. Kenapa dia berbicara seolah-olah Mira adalah Bos-nya. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. 

"Ayok, Na. Kita masuk saja."

"Mira sudah menghubungi kamu, Mas?"

"Sudah, tadi di jalan dia bilang, langsung masuk saja ke ruangan Bos-nya. Dia menunggu di dalam."

"Oh, ya sudah. Ayok, masuk, Mas."

Dengan langkah penuh percaya diri, kami masuk ke dalam. Ada seorang perempuan dengan hijab toska, dan pakaian rapi layaknya pemilik perusahaan sedang duduk di kursi dengan posisi membelakangi kami.

Aku pandang setiap sudut ruangan. Namun, Mira tidak ada di ruangan ini. Entah ke mana dia.

"Permisi, Bu. Maaf, kami pemenang lomba promosi."

"Silakan duduk," perintahnya belum membalikan badan. 

"Maaf, Bu. Apa hadiahnya bisa segera diambil. Kebetulan udah jam segini. Kami juga baru pulang kerja, jadi butuh istirahat," ujar Diana tidak sabar. Aku tepuk pelan tangannya agar dia tak banyak bicara. Takut hadiah kami digagalkan karena sikap Diana yang tidak sopan.

"Ini suratnya."

Perempuan itu membalikan badan, duduk menghadap kami. Dia letakan selembar kertas dan pulpen di meja. 

"Mira," ujarku dan Diana kaget luar biasa. 

Mata membelalak heran. Aku dan Diana bagai orang bodoh yang saling melirik dengan ekspresi kebingungan. Kenapa dia duduk di situ? kenapa penampilannya sangat berbeda dari biasanya?

"Kenapa, kaget? kenalkan, aku Mira Andara pemilik perusahan PT Panci Masa kini."

"Mir, jangan becanda. Mana Bos kamu?"

"Benar kata Mas Adam, Mir. Aku tidak ada waktu untuk main-main. Sudah jam segini," ujar Diana tampak kesal dengan lelucon Mira. 

"Aku tidak peduli dengan waktumu, Pelakor. Aku undang kamu ke sini, untuk melihat suamimu ini menandatangi surat cerai untukku."

"Mir, maksud kamu apa?"

"Hahaha, aku suka muka planga plongo kalian. Baik, aku akan memberikan kalian sebuah persembahan yang menarik."

"Tiara ... masuk!"

Seorang perempuan masuk. Lalu, menyalakan sebuah proyektor. Perempuan itu bagaikan seorang pekerja yang sedang mempresentasikan tugasnya. 

"Baik, Pak Adam yang terhormat, saya sekretaris pribadi ibu Mira, sekaligus sahabatnya. Mungkin, saat perniakahan kalian dulu, sekilas pernah melihat saya. Oke, langsung saja, saya tunjukkan profil dan aset milik Bos saya."

Tiara menunjukkan sebuah slide yang berisi foto akte kepemilikan perusahan, foto saat Mira rapat dan menandatangi kerja sama. Dadaku sesak menerima kenyataan ini. Tak aku sangka, istriku adalah pemilik perusahan besar.

Padahal setahuku dia hanya anak dari petani yang mempunyai sawah dan kontrakan di kampung halamannya. Aku tak menyangka, Mira sehebat itu. 

"Mas," pekik Diana saat melihat Tiara menampilkan foto kami saat beradu mekanik di ranjang, gambar saat kami menikah siri, dan foto lain yang menunjukkan kemesraan kami.

"Mir, maafkan aku, Mir. Aku hilaf, Sayang," ujarku mengemis di kaki Mira. Jangan sampai aku kehilangan tambang emasku. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
dasar lo kere gayanya kayak bos nikmati tuh perempuan lacur
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kujual Suamiku di Status Facebook   TAMAT

    "Mas, ko, datang ke sini?" tanya Alina merangkul pria itu.Kami semua langsung bengong. Kecuali ibu mertua, sepertinya dia sudah tahu. Siapa pria itu? kelihatan sangat dekat dengan Alina."Kalian kenapa pada bengong?""Hehehe, enggak, Tante. Dia siapa Tante, kayanya Kahfi pernah ketemu.""Itu Wendi, Kahfi.""Om Wendi siapa, Mbah?""Kenalkan saya calon suaminya Alina." Pria itu menyalami kami semua. Aku cukup kaget saat dia mengenalkan diri sebagai calon suami Alina. Tapi, kabar ini cukup baik."Biasa aja dong, Mbak Mira. Jangan bengong. Katanya aku gak boleh jadi perebut suami orang terus. Ya udah, nih, aku buktiin cari pria lajang. Ya, walaupun duda anak satu. Setidaknya aku gak merebut punya orang.""Bagus dong. Mas mendukung kamu, Alina. Segeralah menikah, tak usah acara yang mewah, asal segera sah.""Iya Mas Hafidz tenang saja.""Mira, maafkan ibu kalau selana ini sering menyakiti hati kamu. Ternyata kamu ini memang perempuan yang sangat dicintai Hafidz. Ibu gak bakal tega memisa

  • Kujual Suamiku di Status Facebook   Pusara Ibu dan Ayah

    "Ma-maksudnya Diana sudah meninggal?""Sesuai yang kalian lihat. Dia meninggal karena terkena penyakit paru-paru. Perempuan itu emang aneh, dia sendiri yang menyerahkan Salma pada kalian, tapi dia yang terus menerus meratapi anaknya.""Semua ini terjadi karena kesalahanmu juga, Max. Diana pernah datang padaku dengan kondisi banyak luka. Jangan-jangan dia meninggal karena kamu juga bersikap kasar sama dia.""Hahahaha, iya betul. Aku memang tidak suka dengan perempuan itu. Sudah aku bilang jangan mengurus bayi sialan. Dia malah berani membawanya. Bayi itu sama mengesalkan dengan Diana, berkali-kali aku coba membunuhnya tetap saja tidak berhasil. Ini semua karena kalian, orang asing yang malah ikut campur.""Ja-jadi semua ini ulah Om Max? kemarin Om bilang ibu meninggal hanya karena sakit. Ternyata ... Om jahat. Om mau membunuhku, dan juga sudah berhasil membunuh ibuku.""Kamu salah, anak cantik. Bukan hanya ibumu yang aku bunuh, bapakmu juga. Dia aku beri racun saat di penjara.""Astaga

  • Kujual Suamiku di Status Facebook   Pulanglah, Zea

    "Kamu anak laki-laki yang bisa ayah andalkan, jaga Mamah di sini, biar Ayah yang datangi diskotik itu.""Ya elah, Yah, emang kenapa kalau Kahfi ikut. Kalau ada Kahfi bisa makin kuat ngelawan musuhnya, Kahfi ini pinter bela diri, ayah 'kan tahu Kahfi juga pernah juara di bidang pencak silat.""Bukan waktunya berdebat, Kahfi."Mas Hafidz masuk ke kamar Heri. Mereka berdua mengobrol di sana untuk membahas rencana penggerebekan. Zea harus secepatnya diselamatkan. Aku temui Kahfi di kamar tamu. Dia tampak jengkel, mukanya ditekuk, sambil murung."Ikuti kata Ayah, Kahfi Sayang. Bukan waktunya buat ngambek. Kita ada dikondisi genting.""Iya, Mah," jawab Kahfi malas. Aku tinggalkan saja dia di kamar agar bisa istirahat. ***Keesokan malamnya, Mas Hafidz dan Heri sudah mendapat informasi terkait Max. Meliputi latar belakangnya, sekilas tentang bisnis ilegalnya, dan tempat persembunyian. Menyewa detektif memang lebih cepat mendapat banyak informasi.Kami juga bersekongkol dengan pihak polisi.

  • Kujual Suamiku di Status Facebook   Zea Diculik

    Pov Mira"Mas, mana Zea katanya di hotel ini?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh area hotel. Mas Hafidz mengajakku bertanya pada resepsionis. "Maaf Mbak, lihat anak perempuan sekitar kelas dua SMA, pakai hijab, kulit sawo matang, namanya Zea.""Oh, Adek bernama Zea. Tadi ada di sini, Pak, katanya dia menunggu keluarganya datang. Tapi, terkahir saya lihat dia keluar dan gak balik lagi. Saya pikir sudah dijemput orang tuanya.""Astagfirulloh, jangan-jangan ada yang berbuat jahat sama Zea, Mas.""Tenang, Sayang. Kita telpon Kahfi lagi.""Hallo, Kahfi?""Iya, Yah, udah ketemu Kak Zea?""Dia gak ada di sini. Apa kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi?""Gak ada di situ? Kahfi udah nyuruh Kakak nunggu di situ aja. Pasti ada yang culik Kakak Zea. Soalnya pas telpon dia bilang udah berhasil ngelawan orang jahat. Pasti ada yang yang gak beres, Yah.""Astagfirulloh."Persendianku semakin lemas. Baru dapat kabar bahagia, sudah dihujam kenyataan pahit. Mungkin bahaya sedang mengincar anakk

  • Kujual Suamiku di Status Facebook   Pov Zea

    "Ini uang buat bekal kamu di Jakarta. Kamu pergi ke alamat yang sudah Tante tulis, yah.""Beneran gak Tante ini alamat ibu kandung aku?""Iya, cari aja pria bernama Max, itu suami Ibu kamu saat ini."Sebenarnya aku ragu dengan informasi yang diberikan Tante Alina. Secara selama ini perempuan itu judes dan malah suka menjelek-jelekkanku di depan Mbah. Namun, aku juga penasaran. Mamah juga pernah bilang kalau dia dulunya tinggal di Jakarta. Jadi, bisa saja ucapan Tante Alina benar. "Ya udah, Zea pamit dulu, Tante. Nanti bilang aja sama Mamah kalah Zea ke alamat ini.""Iya, gampang. Kamu matiin aja hapenya, jangan dulu di aktifin."Aku mengangguk. Kebetulan ponselku memang sedang lowbet. Aku nekat ke Jakarta naik bis tanpa sepengetahuan Mamah dan Ayah. Kalau mereka tahu, tentu tak akan setuju. Aku memang bahagia diasuh mereka. Sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Tetapi, aku juga ingin bertemu orang tua kandungku. ***"Ini alamatnya?" tanyaku heran. "Ponsel? arrgh, ke mana ponse

  • Kujual Suamiku di Status Facebook   Zea Kabur

    "Zea buka pintunya, Sayang.""Kak Zea buka pintunya. Kita semua sayang sama Kak Zea. Jangan dengerin nenek."Berkali-kali mengetuk pintu tak ada jawaban. Aku paham, perasaan Zea pasti sangat hancur. Meski aku bukan ibu kandungnya, tetapi perasaanku juga ikut terluka. Zea sudah seperti anakku sendiri. Kenapa semuanya terbongkar dengan cara seperti ini?"Zea ... maafin Mamah, yah, Sayang," ujarku menangis. "Mah, kita biarkan Kak Zea menenangkan diri dulu, Mah. Dia pasti butuh waktu menerima semua ini."Aku hanya mengangguk lemas. Biar zea tenang dulu. Aku melangkah menjauh dari kamarnya. Ibu mertua ternyata masih menunggu untuk berdebat lagi denganku."Duduk, aku mau bicara.""Bu, pergi saja dari sini.""Kamu ngusir mertuamu sendiri?""Mira, kamu ini emang sudah gila. Terlalu membela anak pungut dibandingkan mertuamu sendiri. Akui saja kesalahanmu, dan kembalikan anak itu ke asalnya. Jangan mempersulit hidup."Aku melangkah mendekati Alina. Menjambak rambutnya. Mata melotot menatap per

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status