"Sayang, kamu kenapa bawa preman ke kamar kita? lihat aku sudah menghias kamar kita. Biar kamu lebih nyaman."
"Mas, kamu emang benar-benar gak punya malu. Sama sekali gak paham arti kata pergi. Nih, surat perceraian kita. Bawa. Biar kamu sadar kalau aku tak mau lagi denganmu." Mira melempar amplop putih tepat ke wajahku.
"Sayang, maafkan Mas. Kita bicarakan semua ini baik-baik. Dengan kepala dingin. Usir dulu dua preman itu.""Silakan jelaskan semuanya di pengadlan, Mas. Bos perusahan besar sepertiku tak punya banyak waktu untuk mengurusmu."
"Sayang, kita bicarakan dulu semuanya. Kamu akan menyesal karena meminta cerai dariku. Apa kamu mau jadi janda? lebih baik kita bicarakan dulu semuanya."
"Hei, dua preman, pergi kalian. Aku harus bicara urusan rumah tangga dengan istriku," sambungku berusaha mengusir dua pereman berwajah mirip harimau ganas.
Jantung ini berdebar gugup. Mati aku jika harus melawan dua preman dengan otot kekar seperti mereka. Tak habis pikir, kenapa Mira bisa terpikirkan menyewa preman. Kenapa dia tahu kalau aku akan pulang ke rumah? ternyata, Mira tidak sepolos yang aku pikirkan. Dia sangat cerdik.
"Bukan mereka yang harusnya angkat kaki, tetapi kamu, Mas. Cepat pergi."
"Buang bunga-bunga ini. Aku tidak butuh. Sana kamu bermalam di rumah gundikmu"
Mira menunjukan amarahnya. Dia mengamuk sambil melempar selimut dan seprei agar kelopak bunga berjatuhan ke lantai. Tidak aku sangka, perempuan yang biasanya terlihat baik, dan lemah lembut seperti Mira bisa berubah buas layaknya macan mengamuk. Mungkin, ini yang dinamakan kekuatan dalam dari seorang perempuan.
"Sayang, maafkan, Mas. Beri Mas kesempatan sekali lagi. Mas janji akan menceraikan Diana. Asal kamu mau kembali sama Mas."
"Percaya diri banget kamu, Mas. Aku gak sudi kembali sama penghianat."
"Sayang ampun ... maafkan Mas."
"Cepat geret pria ini keluar. Aku sudah muak."
"Siap Bos."
Dua pria itu mencengkram lenganku. Tulang lengan rasanya terlindas ban motor karena cengkraman kuat dari pria bertubuh kekar di sampingku.
"Mir, tenanglah."
Sahabat Mira datang. Dia setengah berlari menghampiri istriku. Lalu mmeberikan sebotol air putih. Mira yang sedang terbakar api amarah, berusaha menenangkan diri dengan menengguk air itu.
"Mir, tolong suruh mereka lepaskan aku."
"Mira ... kamu akan menyesal!" teriakku emosi. Aku digeret sampai teras depan. Dilemparkan bagaikan pakain bekas. Kemudian, dua pria kurang ajar itu menutup pintu.
"Buka pintunya!"
"'Mira buka pintunya. Kamu akan menyesal. Banyak orang akan menghinamu jika kamu jadi janda. Maka pikirkan lagi keputusanmu, mira!" teriaku berusaha menggendor pintu.
Hampir setengah jam aku berusaha memancing Mira keluar. Nmaun, pintu tak kunjung dibuka.
Byur!
Mira keluar menyiramkan air berisi sisa-sisa makanan.
"Cepat pergi atau aku panggilkan polisi."
"Mira, kamu benar-benar keterlaluan. Dasar istri durhaka. Liihat saja, kamu akan menyesal karena sudah memperlakukanku seperti maling."
"Cepat pergi!" teriak Mira seperti orang kesurupan.
Lama-lama ngeri juga melihat tingkah Mira yang semakin brutal. Aku memilih pergi dari rumah. Untung saja kunci mobil masih ada di saku clelana. Aku begegas kabur membawa mobil.
"Jangan bawa mobilku!" teriak Mira. Sengaja aku abaikan.
Uang muka mobil ini memang menggunakan uang Mira. Dia bilang uang dari orang tuanya. Namun, uang cicilannya aku yang bayar. Jadi, aku berhak membawa mobil ini
"Diana, buka pintunya, Na," panggilku berusaha menggedor pintu rumah Diana.
Tak ada tempat lain untukku menginap selain di rumah kontrakan milik Diana. Aku tak mungkiin pulang ke rumahh ibu. Urusannya akan semakin kacau. Ibu akan ikut-ikutan memarahiku.
"Diana ...."
Aku terus berusaha menggedor pintu. Namun, hampir setengah jam Diana tak kunjung membukakan pintu. Padahal, badanku sudah sedikit menggigil karena baju yang digunakan basah kuyup. Disertai bau tak karuan dari sisa makanan.
"Mas Adam. Kenapa kamu ke sini?"
"Mira mengusirku, Na. Jadi, aku mau menginap di sini."
"Tidak, tidak. Kamu urus dulu istrimu yang stres itu. Dia sudah seenaknya mempermalukanku tanpa membayar. Kamu juga, sudah menghinaku di depan dia. Jadi, urus dulu masalahmu. Aku tak mau ikut repot."
"Maafkan, Mas, Na. Kamu 'kan tahu, Mas melakukan semua itu demi kamu juga. Demi uang dari Mira."
"Terserah kamu, Mas. Urus dulu masalahmu. Jangan lupa rumah yang kamu janjikan. Baru kembali padaku."
"Tapi, Na, Ma-"
Bugh!
Diana menutup pintu sangat kencang. Sialan. Dasar perempuan penggoda. Memang tidak salah, kalau istri kedua selalu mau enaknya saja. Untung dia cantik. Kalau tidak, sudah aku ceraikan. Bukannya membantu, malah menambah keruh suasana.
"Sialan, aku harus pergi ke mana lagi!" ujarku kesal sambil memukul setir.
Mau tak mau aku harus pergi ke rumah ibu. Tak mungkin menginap di hotel. Uang di dompet dan ATM sudah menipis. Kalau saja dari awal aku tahu Mira seorang Bos panci, sudah aku pindahkan isi rekeningnya. Bodohnya aku, hanya mengira dia seorang reseller panci.
Drat ... drat ....
Saat di perjalanan ponselku berbunyi. Berkali-kali ibu dan adikku memanggil. Ibu pasti kebingungan dengan balasan pesan dariku.
"Hallo, Bu." Terpaksa aku menelpon ibu. Agar dia berhenti menerorku.
"Adam ... kenapa telepon ibu baru diangkat. Kamu lagi kenapa, sih? Si Mira juga ditelepon gak bisa. Kalian lagi ribut? ribut kenapa lagi. ibu sudah bilang, jangan sampai ribut dengan istrimu. Ingat, dia itu bakal punya warisan banyak. Paham gak?"
Arrgh, bukannya menenangkan hatiku, ibu malah menambah runyam saja. Aku matiikan saja telepon. Lalu, mengaktifkan mode pesawat. Biar nanti aku jelaskan semuanya saat sampai di rumah.
"Bu ... buka pintunya." Butuh waktu satu jam menuju rumah ibu. Bajuku hampir kering lagi. Aku sudah tak memperdulikan kondisi tubuhku. Satu yang paling penting, mencari cara agar Mira bisa memafkanku."Ya ampun, kamu kenapa bisa basah ples bau kaya gini?" tanya ibu heran saat membuka pintu.
"Ih, Mas Adam, jorok banget. Udah kaya bau got. Abis nyemplung di got, Mas?" tanya adikku, Ela, sambil menutup hidung.
"Nanti aku jelaskan. Aku mau mandi dulu, Bu."
Aku langsung menyelonong masuk. Sudah tak tahan dengan bau dan kondisi baju yang lembab. Bergegas meenuju kamarku, dan masuk kamar mandi.
"Adam, udah belum mandinya. Cepat jelaskan apa yang sebenanrnya terjadi," teriak ibu di balik pintu.
"Sabar, Bu."
"Jangan lama-lama. Firasat ibu gak enak. pasti ada hal buruk yang terjadi. Mira sampai berkali-kali menolak panggilan dari ibu. Tidak biasanya dia seperti itu."
"Kami memang sedang bertengkar hebat Bu," jawabku sambil membuka pintu.
Aku hanya menggunakan sehelai handuk. Lalu, berjalan menuju lemari tua yang berisi sisa-sisa pakaianku saat zaman kuliah. Semoga masih ada yang muat.
"Ribut kenapa?"
"Mira salah sangka sama Diana, Bu. Dia pkir kalau Diana itu selingkuhanku, karena aku teralu dekat dengannya."
Terpaksa aku harus berbohong. Supaya posisku aman. Walaupun, cepat atau lambat ibu pasti akan tahu kebenarannya. Setidaknya, malam ini aku aman dari omelan ibu.
"Ya ampun, Si Mira emang kadang suka bertingkah. Mangkanya jadi istri itu harus dandan yang cantik. LIhat nih, Ibu. Walaupun udah jadi janda, tetap dandan cantik."Aku hanya mengangkat bahu tanda merespon kalau aku juga tak tahu. Aku biarkan ibu mengoceh panjang lebar. Sementara aku, sibuk berganti pakaian. Lalu, pergi ke dapur mencari makan.
"Bu ada lauk buat makan?" tanyaku sambil berusaha mencari makanan di atas meja, kulkas, dan lemari.
"Gak ada, Dam. Ibu sama Ela tadi beli makanan online. Kamu makan mie ajah. Sana bikin."
"Yah, ibu. Pantas saja uang bulanannya cepat habis. Mangkanya masak, Bu. Biar hemat."
"Eh, gak usah atur-atur ibu. Kamu urus ajah masalah kamu sama Mira. Jangan buat dia marah. Kalau dia marah, sumber uang ibu menghilang. Tau gak."
"Ya, gimana lagi, Bu. Mira saja yang terlalu cemburuan.""Iya juga, sih. Si Diana emang cantik. Paling Si Mira iri hati. Mangkanya, kamu harus bilang sama dia, kalau dia gak cantik gak papa, asal gak usah segala ngambek sama suami. Harusnya dia bersyukur punya suami ganteng kaya kamu."
"Iya, Bu. Sudahlah, jangan bahas itu dulu. Kepala Adam pusing."
"Ih, dasar kamu, Dam. Ya sudah, sana makan."
Ibu berlalu membiarkanku masak sendiri. Sial sekali hidupku hari ini. Biasanya Mira selalu menyajikan masakan yang enak. Berbeda dengan Ibu dan Diana yang bisanya hanya menuntut uangku saja, tetapi tidak pernah mempedulikan kondisiku.
Dari dulu, ibu memang lebih perhatian pada Ela. Anak perempuan satu-satunya sekaligus anak bontot. Sementara aku, dituntut harus dewasa dan menjadi tulang punggung, semenjak ayah meninggal saat aku duduk di bangku kuliah semester akhir.
Malam ini, aku harus memikirkan cara untuk menarik simpati Mira. Perempuan itu tetaplah istriku yang hatinya lemah lembut. Dia pasti tak akan tega bercerai denganku jika aku terus memohon.
Aku bereskan bekas Mie yang sudah tandas. Masuk ke kamar, tanpa mempedulikan ocehan ibu dan Ela yang masih saja terus mengomentari permasalahanku dengan Mira. Aku memilih tidur. Kepala harus diistirahatkan. Supaya, bisa mendapatkan ide cemerlang di esok hari.
*****"Bu, mau ke mana?"
Saat pergi ke dapur, aku heran dengan penampilan ibu yang sudah rapih. Begitu pula dengan Ela. Mereka baru selesai sarapan. Lalu, bersiap-siap mau pergi.
"Mau ke rumah istrimu. Kalian tidak boleh bertengkar lama-lama. Ibu harus membantu mendamaikan kalian. Soalnya, ibu lagi butuh uang buat beli perhiasan."
"Betul kata ibu. Ela juga lagi butuh uang buat beli baju. Minggu depan ada acara ulang tahun temen."
"Sabar dulu. Biar aku yang mengurus Mira. Ibu dan Ela di rumah saja. Perhiasan ibu 'kan banyak. Baju kamu juga masih bagus-bagus, Ela. Pakailah dulu apa yang ada. Jangan memperkeruh suasana."
"Kamu kenapa sih, Adam. Orang ibu dan Ela mau bantu. Sudah. Sana kamu makan dan pergi kerja. Ibu dan Ela mau pergi."
"Tapi, Bu ...."
"Berisik, Mas. Sudah biar aku dan ibu membantu mendamaikan Mas sama Mbak Mira."
Aduh, kacau. Bahaya kalau mereka datang ke rumah Mira. Kondisi sedang genting. Bisa-bisa ibu syok bertemu dua preman pasar di sana.
"Mas, ko, datang ke sini?" tanya Alina merangkul pria itu.Kami semua langsung bengong. Kecuali ibu mertua, sepertinya dia sudah tahu. Siapa pria itu? kelihatan sangat dekat dengan Alina."Kalian kenapa pada bengong?""Hehehe, enggak, Tante. Dia siapa Tante, kayanya Kahfi pernah ketemu.""Itu Wendi, Kahfi.""Om Wendi siapa, Mbah?""Kenalkan saya calon suaminya Alina." Pria itu menyalami kami semua. Aku cukup kaget saat dia mengenalkan diri sebagai calon suami Alina. Tapi, kabar ini cukup baik."Biasa aja dong, Mbak Mira. Jangan bengong. Katanya aku gak boleh jadi perebut suami orang terus. Ya udah, nih, aku buktiin cari pria lajang. Ya, walaupun duda anak satu. Setidaknya aku gak merebut punya orang.""Bagus dong. Mas mendukung kamu, Alina. Segeralah menikah, tak usah acara yang mewah, asal segera sah.""Iya Mas Hafidz tenang saja.""Mira, maafkan ibu kalau selana ini sering menyakiti hati kamu. Ternyata kamu ini memang perempuan yang sangat dicintai Hafidz. Ibu gak bakal tega memisa
"Ma-maksudnya Diana sudah meninggal?""Sesuai yang kalian lihat. Dia meninggal karena terkena penyakit paru-paru. Perempuan itu emang aneh, dia sendiri yang menyerahkan Salma pada kalian, tapi dia yang terus menerus meratapi anaknya.""Semua ini terjadi karena kesalahanmu juga, Max. Diana pernah datang padaku dengan kondisi banyak luka. Jangan-jangan dia meninggal karena kamu juga bersikap kasar sama dia.""Hahahaha, iya betul. Aku memang tidak suka dengan perempuan itu. Sudah aku bilang jangan mengurus bayi sialan. Dia malah berani membawanya. Bayi itu sama mengesalkan dengan Diana, berkali-kali aku coba membunuhnya tetap saja tidak berhasil. Ini semua karena kalian, orang asing yang malah ikut campur.""Ja-jadi semua ini ulah Om Max? kemarin Om bilang ibu meninggal hanya karena sakit. Ternyata ... Om jahat. Om mau membunuhku, dan juga sudah berhasil membunuh ibuku.""Kamu salah, anak cantik. Bukan hanya ibumu yang aku bunuh, bapakmu juga. Dia aku beri racun saat di penjara.""Astaga
"Kamu anak laki-laki yang bisa ayah andalkan, jaga Mamah di sini, biar Ayah yang datangi diskotik itu.""Ya elah, Yah, emang kenapa kalau Kahfi ikut. Kalau ada Kahfi bisa makin kuat ngelawan musuhnya, Kahfi ini pinter bela diri, ayah 'kan tahu Kahfi juga pernah juara di bidang pencak silat.""Bukan waktunya berdebat, Kahfi."Mas Hafidz masuk ke kamar Heri. Mereka berdua mengobrol di sana untuk membahas rencana penggerebekan. Zea harus secepatnya diselamatkan. Aku temui Kahfi di kamar tamu. Dia tampak jengkel, mukanya ditekuk, sambil murung."Ikuti kata Ayah, Kahfi Sayang. Bukan waktunya buat ngambek. Kita ada dikondisi genting.""Iya, Mah," jawab Kahfi malas. Aku tinggalkan saja dia di kamar agar bisa istirahat. ***Keesokan malamnya, Mas Hafidz dan Heri sudah mendapat informasi terkait Max. Meliputi latar belakangnya, sekilas tentang bisnis ilegalnya, dan tempat persembunyian. Menyewa detektif memang lebih cepat mendapat banyak informasi.Kami juga bersekongkol dengan pihak polisi.
Pov Mira"Mas, mana Zea katanya di hotel ini?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh area hotel. Mas Hafidz mengajakku bertanya pada resepsionis. "Maaf Mbak, lihat anak perempuan sekitar kelas dua SMA, pakai hijab, kulit sawo matang, namanya Zea.""Oh, Adek bernama Zea. Tadi ada di sini, Pak, katanya dia menunggu keluarganya datang. Tapi, terkahir saya lihat dia keluar dan gak balik lagi. Saya pikir sudah dijemput orang tuanya.""Astagfirulloh, jangan-jangan ada yang berbuat jahat sama Zea, Mas.""Tenang, Sayang. Kita telpon Kahfi lagi.""Hallo, Kahfi?""Iya, Yah, udah ketemu Kak Zea?""Dia gak ada di sini. Apa kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi?""Gak ada di situ? Kahfi udah nyuruh Kakak nunggu di situ aja. Pasti ada yang culik Kakak Zea. Soalnya pas telpon dia bilang udah berhasil ngelawan orang jahat. Pasti ada yang yang gak beres, Yah.""Astagfirulloh."Persendianku semakin lemas. Baru dapat kabar bahagia, sudah dihujam kenyataan pahit. Mungkin bahaya sedang mengincar anakk
"Ini uang buat bekal kamu di Jakarta. Kamu pergi ke alamat yang sudah Tante tulis, yah.""Beneran gak Tante ini alamat ibu kandung aku?""Iya, cari aja pria bernama Max, itu suami Ibu kamu saat ini."Sebenarnya aku ragu dengan informasi yang diberikan Tante Alina. Secara selama ini perempuan itu judes dan malah suka menjelek-jelekkanku di depan Mbah. Namun, aku juga penasaran. Mamah juga pernah bilang kalau dia dulunya tinggal di Jakarta. Jadi, bisa saja ucapan Tante Alina benar. "Ya udah, Zea pamit dulu, Tante. Nanti bilang aja sama Mamah kalah Zea ke alamat ini.""Iya, gampang. Kamu matiin aja hapenya, jangan dulu di aktifin."Aku mengangguk. Kebetulan ponselku memang sedang lowbet. Aku nekat ke Jakarta naik bis tanpa sepengetahuan Mamah dan Ayah. Kalau mereka tahu, tentu tak akan setuju. Aku memang bahagia diasuh mereka. Sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Tetapi, aku juga ingin bertemu orang tua kandungku. ***"Ini alamatnya?" tanyaku heran. "Ponsel? arrgh, ke mana ponse
"Zea buka pintunya, Sayang.""Kak Zea buka pintunya. Kita semua sayang sama Kak Zea. Jangan dengerin nenek."Berkali-kali mengetuk pintu tak ada jawaban. Aku paham, perasaan Zea pasti sangat hancur. Meski aku bukan ibu kandungnya, tetapi perasaanku juga ikut terluka. Zea sudah seperti anakku sendiri. Kenapa semuanya terbongkar dengan cara seperti ini?"Zea ... maafin Mamah, yah, Sayang," ujarku menangis. "Mah, kita biarkan Kak Zea menenangkan diri dulu, Mah. Dia pasti butuh waktu menerima semua ini."Aku hanya mengangguk lemas. Biar zea tenang dulu. Aku melangkah menjauh dari kamarnya. Ibu mertua ternyata masih menunggu untuk berdebat lagi denganku."Duduk, aku mau bicara.""Bu, pergi saja dari sini.""Kamu ngusir mertuamu sendiri?""Mira, kamu ini emang sudah gila. Terlalu membela anak pungut dibandingkan mertuamu sendiri. Akui saja kesalahanmu, dan kembalikan anak itu ke asalnya. Jangan mempersulit hidup."Aku melangkah mendekati Alina. Menjambak rambutnya. Mata melotot menatap per