Menjadi bahan ejekan keluarga, bagaimana kehidupan Naren yang sesungguhnya? Naren telah lama memendam sakit hati terhadap mertuanya yang mengucilkan Naren akibat dirinya belum bisa memberikan keturunan. Naren tidak tahan dengan situasi yang dihadapinya, dan ternyata takdir mempertemukan Naren dengan mantan kekasihnya. "Hanya satu bulan!" Tiba-tiba Naren menyetujui perjanjian dengan mantan kekasihnya untuk menjalin hubungan. Ada rasa takut di hati Naren, tetapi dia merasakan kembali bunga-bunga di hatinya. Bisakah Naren menghadapi satu kehidupan dalam dua cinta ini?
view more"Punya istri kok gak berguna sih, Yo...." Dentingan sendok memekak keras di atas meja kaca. Semua yang ada di meja makan itu menunduk dalam.
Ujung kemeja yang dikenakan Naren sampai lusuh karena terus-menerus ia remas kuat. Air mata rasanya sudah beku karena sering ditempa kata-kata menyakitkan dari sosok wanita yang Naren anggap sebagai ibu. Baru kali ini Naren merasa direndahkan oleh orang yang ia sayangi sendiri. Ibu mertua yang selalu baik kepadanya mulai acuh bahkan tega mengucapkan kata-kata menyakitkan kepada Naren. Dua bulan yang lalu sang ibu mertua masih perhatian terhadapnya, entah mengapa setelah itu tidak hanya mertuanya, tetapi seluruh keluarga dari suaminya mulai membencinya. "Harusnya ibu tidak berbicara seperti itu," ucap Ryo, suami Naren. "Dia istriku, Bu. Naren juga anakmu," lanjutnya juga tidak terima dengan perkataan sang ibunda. Naren menarik lengan Ryo karena tidak ingin suaminya bertengkar dengan ibunya. Naren tidak ingin dia yang akan disalahkan dan dianggap telah menghasut Ryo untuk membelanya. "Saya akan usaha lagi, Bu," kata Naren sedang suaranya sedikit serak. Dia beradu tatap dengan suaminya yang ikut menatap pilu. "Usaha usaha... Sudah tiga tahun ini, Naren." Brakkk.... Kini ibu mertua yang dipanggil Bu Ningsih itu menggebrak meja. Naren sempat terlonjak, dan tak terasa ujung kedua matanya terasa basah. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Sudah-sudah jangan menangis." Ryo mengusap pipi Naren dengan punggung tangannya. Perasaan Naren hancur lebur berkali-kali, entah sudah berapa ribu sumpah serapah yang dilontarkan sang ibu mertua. Hingga kini, Naren masih diam dan menghormati Bu Ningsih. Beruntungnya dia masih mempunyai suami yang selalu mendukungnya. Ryo tidak pernah mengeluh meskipun selalu didesak oleh keluarganya. Ryo tetap dan selalu menjadi suami yang baik untuk Naren. "Ryo itu anak pertama dan cucu laki-laki pertama, dia harus memiliki keturunan sebagai penerusnya. Saudara yang lainnya sudah pada gendong anak, lah kamu... sudah tiga tahun belum bisa memberikan kami cucu." "Ibu selalu tutup muka setiap bertemu keluarga besar dan tetangga. Ryo ini anak kebanggaan kami, kapan kamu mau memberi kebahagiaan terhadap dia?" Bu Ningsih terus saja mengoceh. Naren semakin tidak berani menampakkan wajahnya. Seluruh tubuh Naren terasa dingin. Meskipun yang lainnya diam, tetapi mereka setuju dengan ucapan Bu Ningsih. Hanya Ryo yang membela Naren, dan Ryo juga ikut sakit hati karena istrinya dicecar berkali-kali. Ryo juga tidak ingin dicap anak durhaka, sebisa mungkin dia berkata dengan nada rendah di depan ibunya. "Kebahagiaan Mas Ryo bisa saya kasih dengan hal lainnya, Bu." Naren berusaha membela diri, karena Ryo pernah berkata demikian bahwa kebahagiaan tidak hanya didapat dengan memiliki keturunan, mereka bisa meraih kebahagiaan lainnya. Ryo selalu menyemangati Naren, belum saatnya mereka memiliki keturunan dan mungkin keduanya belum siap menjadi orang tua karena itulah Tuhan masih belum memberikan anugerah itu kepada mereka. Disaat Naren berkecil hati, kata-kata semangat dari Ryo selalu membuatnya bangkit. Dan lagi-lagi semangatnya itu dipatahkan oleh perlakuan keluarga Ryo yang membencinya. "Apa kata kamu? Anak itu sebuah kebahagiaan terbesar." "Iya saya tau, Bu." "SUDAH... MULAI MEMBANTAH KAMU, YA!!" Ryo bangkit, dia menarik lengan Naren dan menyuruhnya untuk berdiri. Semua mata tertuju kepada mereka berdua, dan Naren tidak berani lagi menunjukkan batang hidungnya. Pasti semua orang menatap tak suka ke arahnya. "Kalau Ibu terus-menerus merendahkan Naren, kami akan pulang saja. Ryo dan istri datang kemari bukan untuk mendengarkan perkataan seperti ini dari kalian." "Kami hanya ingin bersilaturahmi karena kita adalah keluarga, nyatanya kalian bersikap kejam. Bukan seperti ini yang namannya keluarga. Oh ya Naren bukan orang asing, dia istriku." Setelah mengucapkan kalimat pnjang, Ryo menggenggam sebelah tangan Naren dan membawanya keluar dari rumah kedua orang tuanya ini. Naren tak berkutik, memang keinginannya meninggalkan rumah yang terasa seperti berada di ruang interogasi. Rasanya sangat sesak, setelah berada di luar rumah seperti menghirup aroma surga. Di atas sepeda motor yang dikendarai oleh Ryo, wanita berambut sebahu itu hanya diam dengan pikirannya yang teramat berisik. Sesekali air mata mengalir dikedua pipi Naren. "Susah sekali hidupku ini," batin Naren sembari tersungut-sungut kesal. Tangan lembutnya meraih perut yang masih datar. Dia juga ingin perutnya itu membuncit sekaligus merasakan getaran bayi yang aktif bergerak. "Apakah cita-citaku saat ini telah berubah dengan menjadi seorang ibu? Namun, gelar ibu itu adalah kodrat seorang wanita, tetapi mengapa sulit untuk kugapai?" Naren terus bertanya-tanya. Macetnya jalan di depan Naren tak menjadi pemecah pikirannya, kepulan asap pun ia hirup dalam-dalam. "Narennn...." Ryo melirik sang istri dari spion, tetapi yang dipanggil masih sibuk dengan tangisannya. "Sudah jangan menangis, aku tidak suka ya jika nanti melihat wajahmu yang bengkak." Ryo berusaha membujuk Naren agar ceria kembali. "Naren...." Tetap tidak ada balasan dari sang istri, terpaksa Ryo menepikan motornya tepat di bawah pohon yang rindang. Naren tersadar dari lamunannya, dia menahan kepala Ryo agar tidak menoleh ke arahnya. Naren memeluk erat tubuh Ryo dan menenggelamkan wajahnya di punggung sang suami. Ryo hanya menghela napas berat. Tidak hanya Naren yang susah, dirinya juga merasakan sesak saat dipojokkan oleh keluarganya yang menuntut seorang anak. "Sudah ya, istriku," ucap Ryo lembut. Dia mengelus paha Naren dan menenangkannya. "Aku memang istri yang tidak berguna, Mas." Suara Naren tertahan, tetapi dapat didengar oleh Ryo. "Bicara apa kamu, huh?" "Memang benar kan, Mas? Kamu salah memilih wanita mandul seperti aku!" "NAREN." Napas Ryo memburu, gemuruh di dadanya seakan tidak bisa ia tahan. Ryo melepas tangan Naren dari pinggangnya, tak lama setelah itu, Ryo berdiri dan melepas helmnya. Naren mendongak, wajahnya masih basah dan memerah. Naren tidak bisa menebak ekspresi yang Ryo tampakkan saat ini. Ryo melenggang begitu saja menuju tepi jalanan, Naren hendak menghampiri sang suami. Namun, Ryo membuka suara yang membuat Naren mengurungkan diri untuk mendekat. "Pulang sendiri, mungkin aku akan pulang malam atau tidak pulang ke rumah," katanya tanpa menatap manik mata Naren. Naren memanyunkan bibirnya, ada rasa kecewa saat Ryo memilih untuk meninggalkannya. "Kamu mau ke mana, Mas?" Mobil angkot berwarna kuning berhenti di depan Ryo. Tanpa menjawab pertanyaan Naren, Ryo masuk ke dalam mobil angkot begitu saja. Naren masih memanggil-manggil nama suaminya, tetapi kepalang tanggung mobil berwarna kuning itu sudah jalan terlebih dahulu. "Hiks, tega sekali kamu meninggalkan aku." Naren menghidupkan mesin motor maticnya. Dia menoleh ke kanan, ke kiri, dan ke belakang. Jalanan begitu ramai, tetapi sibuk dengan urusan masing-masing. Naren membenamkan wajahnya pada kedua tangan, kedua pundaknya semakin hebat berguncang. Isak tangis yang tertahan semakin kencang terdengar. Satu, dua orang yang tidak sengaja lewat di dekat Naren menoleh heran. "Apa ucapanku salah ya barusan?" Air mata semakin membanjir, Naren hanya bisa merenungi kekalutan hidupnya."Sudah datang, mereka sudah datang."Riuh dan bisikan dari beberapa karyawan menggema di telinga Naren. Selama bekerja di Briliant Company, untuk pertama kalinya dia dan seluruh karyawan di perusahaan ini menyambut sang CEO. Selama ini kehidupan di kantor begitu tentram dan damai. Namun, setelah ada isu digantinya CEO baru banyak rumor-rumor yang beredar. Identitas CEO lama yang selalu disembunyikan tak membuat Naren penasaran. Namun, CEO baru yang akan menjabat saat ini membuat Naren gelisah. Pasalnya Naren akan bekerja langsung di bawah tangan CEO baru itu. Naren mendengar pintu mobil dibuka oleh seseorang, dia masih tetap menundukkan kepala. "Selamat datang di Briliant Company. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Bagaimana perjalanan anda, Pak?" Tidak ada sahutan, semua orang hening dan tampak kaku. Benar dugaan Naren bahwa CEO baru itu berhati dingin. Naren masih tidak berani mengangkat kepalanya. Padahal yang berbicara dengan CEO baru itu adalah pejabat tinggi di
"Segera, dan secepatnya datang ke sini!"Naren yang mendengar suara tegas dari seberang telepon hanya bisa menganga lebar. Telepon pun diputus secara sepihak, Naren tidak bisa berkutik. Di dalam otaknya berpikir dan mengingat-ingat apa mungkin dia telah membuat kesalahan.Sayangnya, Naren sangat bersih. Dia mengajukan cuti karena sakit beberapa hari. Sebelum itu pun dia tidak melakukan kesalahan pada pekerjaannya. Namun, suara atasannya barusan seperti dia telah melakukan kesalahan besar. Naren buru-buru merapikan barang-barang, tak lupa dia merias diri meskipun masih tampak pucat. Ryo yang baru keluar dari kamar mandi pun tertegun karena sang istri terlihat sangat panik. "Kamu sudah mau masuk kerja?" Naren hanya menganggukkan kepala. Tidak ada waktu untuk berbasa-basi, sang bos bisa memecatnya jika Naren terlambat. "Bukannya sudah ajukan cuti? Kamu belum pulih.""Atasanku terdengar sangat marah." Naren menghentikan tangannya yang mengotak-atik tas. "Apa aku melakukan kesalahan?" N
"Aku harus mencobanya lagi," ucap Naren sembari terburu-buru menuju kamar mandi. Di tangan kanannya, dia memegang kantong plastik berwarna putih. Naren baru kembali dari membeli tespek di apotik. Dia membuka bungkusan dan melakukan apa yang harus ia pastikan. Dia menunggu beberapa saat, detak jantungnya semakin tak karuan. Di dalam hatinya berharap apa yang dia inginkan akan terkabul hari ini. Dia ingin memberikan kabar baik untuk Ryo, pasti suaminya itu akan sangat bahagia dan mereka berdua akan hidup damai tanpa ada cacian dari ibu mertuanya. Naren juga ingin melengkapi kodratnya sebagai wanita yang bisa mengandung dan melahirkan. Setidaknya dia ingin memberikan kesempurnaan di dalam keluarga kecilnya. Naren mengangkat tespek dari gelas kecil. Dia memejamkan kedua mata, ada rasa takut saat akan melihatnya. Namun, dia berusaha berpikir positif bahwa hasilnya akan sesuai dengan yang dia inginkan. Sambil menyebut nama Ryo dan dengungan doa, Naren membalik tespek tersebut. "Hah?"Ta
Bulan telah menunjukkan keindahan cahayanya. "Kamu di mana sih, Mas?" Dengan perasaan khawatir karena Ryo tidak kunjung pulang ke rumah, Naren hanya bisa mondar-mandir di depan pintu rumahnya sembari menelepon sang suami. Namun, tidak ada jawaban dari Ryo. Angin malam semakin dingin dan dinginnya serasa menembus ke tulang-tulang. Naren tidak sanggup lagi berdiri di luar, akhirnya dia memilih untuk masuk dan menunggu Ryo di ruang tamu. Sambil memandangi ponselnya yang menyala, rasa sedih semakin mencuat karena Ryo seakan melupakannya. Ryo pergi begitu saja disaat Naren membutuhkannya. Naren tahu bahwa Ryo kesal dengan ucapannya, tetapi kesedihan yang Naren alami juga akibat dari keluarga Ryo sendiri. Naren ingin Ryo memahami dan mengerti apa yang dirasakan hatinya saat ini, bukan malah pergi dan tidak memberi kabar sama sekali."Ayo angkat!" Pandangan Naren tertuju ke depan, dia mendengar suara gesekan sandal dari luar rumah. Cepat-cepat dia berdiri, berharap sang suami pulang ke r
"Punya istri kok gak berguna sih, Yo...." Dentingan sendok memekak keras di atas meja kaca. Semua yang ada di meja makan itu menunduk dalam. Ujung kemeja yang dikenakan Naren sampai lusuh karena terus-menerus ia remas kuat. Air mata rasanya sudah beku karena sering ditempa kata-kata menyakitkan dari sosok wanita yang Naren anggap sebagai ibu. Baru kali ini Naren merasa direndahkan oleh orang yang ia sayangi sendiri. Ibu mertua yang selalu baik kepadanya mulai acuh bahkan tega mengucapkan kata-kata menyakitkan kepada Naren. Dua bulan yang lalu sang ibu mertua masih perhatian terhadapnya, entah mengapa setelah itu tidak hanya mertuanya, tetapi seluruh keluarga dari suaminya mulai membencinya. "Harusnya ibu tidak berbicara seperti itu," ucap Ryo, suami Naren. "Dia istriku, Bu. Naren juga anakmu," lanjutnya juga tidak terima dengan perkataan sang ibunda. Naren menarik lengan Ryo karena tidak ingin suaminya bertengkar dengan ibunya. Naren tidak ingin dia yang akan disalahkan dan diang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments