"Udah deh Mas, gak usah bahas ini. Pusing aku dengernya! Dah kamu kerja lagi sana! Cari uang yang banyak, kalau gak bawa uang jangan pulang sekalian!""Lho?!""Pokoknya aku gak mau ya Mas, hidup sama kamu jadi makin menderita! Kita udah kehilangan anak, harta, harusnya kamu berjuang dong! Bikin aku seneng! Jangan malah melempem kayak gini!!" tukas Elvina penuh emosi."Terus aku harus gimana, El?!""Ya gak tahulah, pikir aja sendiri! Kamu laki-laki lho, Mas! Kamu harus bertanggung jawab! Aku jadi males sama kamu! Kamu punya otak harusnya buat mikiiiirrr! Kamu kan bisa manfaatin bosmu yang kaya itu, Mas!"Brakk ...! Pintu ditutup dengan kasar. Elvina pun pergi entah kemana. Dia memakai baju ketat nan seksi dan tas dan sepatu hak tinggi, penampilannya cukup glamour menurutku. Aku mengurut keningku, rasanya begitu penat. Kenapa El tiba-tiba berubah? Aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan?Sepanjang hari aku masih memikirkan kata-kata El, walau aku ada di Cafe tapi pikiranku melal
"Aku bisa bantu kamu balasin dendammu lho!" "Dendam apa maksudmu?" tanyaku tak mengerti."Apa kamu gak sadar? Kemalangan yang menimpa kamu ini adalah sebuah kesengajaan?""Tidak perlu, aku akan pergi dari kota ini. Lebih baik menghilang saja dari pada terus terlibat dengan orang-orang dzolim."Fabian tersenyum miring. "Kau yakin tidak mau balas dendam? Aku hanya menawarimu sekali saja lho, gak ada ulangan untuk yang kedua kali. Aku bisa dengan mudah menghancurkan seseorang. Bagaimana?"Aku tersenyum kecut. "Tuan Fabian yang terhormat, terima kasih karena anda sudah menolongku. Tapi aku tidak berminat untuk balas dendam apalagi dibantu oleh orang sepertimu. Karena aku yakin, pasti ada harga yang harus kubayar!"Lagi dan lagi, lelaki yang ada di hadapanku justru terkekeh, entah apa yang lucu. "Cucok! Kamu memang cerdas! Pantas saja Ardhy tergila-gila sama kamu. Aku jadi penasaran, hubungan kalian udah sejauh mana? Kau tahu, melihatmu yang jual mahal seperti ini aku jadi makin merasa te
"Nak Arini, ibu punya satu permintaan padamu.""Apa itu, Bu? Katakan saja, Bu.""Begini, Nak, kalau ibu sembuh, tolong bawa ibu menemui Bapak Unggul Adiningrat.""Unggul Adiningrat? Siapa dia, Bu?"Ibu menghela nafas dalam-dalam. Ibu terlihat bimbang untuk mengatakannya. Apa adalagi yang tidak kumengerti? Selain ibu memang sudah jadi janda semenjak Mas Tiar masih remaja?"Beliau bapak kandung ibu. Seperti yang ibu ceritakan waktu itu, kalau ibu sudah pergi dari rumah dan tiga puluh tahun tidak pernah pulang kampung. Saat ini ibu sangat rindu pada mereka. Ibu berharap, mereka masih hidup, agar ibu bisa meminta maaf padanya."Mendengar jawaban ibu, membuat hatiku kembali teriris perih. Kulihat wajah ibu memendam rasa penyesalan yang teramat dalam."Iya, Bu. Nanti Arini temani ibu pulang. Dimana kampung ibu?""Solo, Nak."Aku mengangguk lagi. "Ya sudah yang penting ibu sehat dulu ya."Ibu tersenyum dan mengangguk. Kegetiran yang tersirat dalam wajahnya berangsur pudar.Aku tak tahu tenta
"Benar Nak, rumah ini sepertinya tidak banyak berubah. Masih sama seperti terakhir ibu keluar dulu."Ibu mertuaku berjalan menghampiri pintu gerbang yang berdiri kokoh dan tertutup rapat. Terlihat dari gerbang yang sedikit berkarat. Tiba-tiba seorang pria paruh baya, ah tidak, lebih tepatnya sekitar umur 60 tahunan datang. Rambutnya sudah beruban, bahkan kumisnya pun beruban, tapi badannya masih tegap. "Maaf ibu cari siapa?" tanya pria itu. Ibu terdiam sembari memandangnya dengan seksama. Mungkin tengah mengingat siapa yang ada di hadapannya kini."Maaf Pak, apa bapak ini Pak Atim?" tanya ibu kemudian. Atim? Siapa lagi itu, aku benar-benar tak mengerti."Iya. Ibu ini siapa ya?"Ibu justru tersenyum lega melihatnya. "Pak Atim gak kenal saya?"Pria tua yang dipanggil Pak Atim itu mengerutkan keningnya, ia memabdang wajah ibu dan aku bergantian. Lalu menggeleng perlahan."Pak Atim, aku ini Suci, Pak. Pak Atim gak ingat saya?" ujar ibu lagi."Suci ...?""Nggih Pak, Suci, putri Pak Ungg
Braaakk ...!! Dokumen itu dilempar ke meja Fabian. Pria yang tengah menikmati pijatan di pundak oleh seorang wanita, terlonjak kaget. "Ayah?" sahutnya datar. "Untuk apa pagi-pagi ayah datang kemari?"Ayah menatap tajam putranya lalu beralih ke wanita di belakangnya yang tak peka. Dia masih berdiri sambil senyum menyapa bos besarnya."Aku ingin bicara berdua denganmu, Fabian!" tukas sang ayah penuh penekanan.Fabian mengerti maksudnya, ia pun duduk secara normal kembali. "El, pergilah. Jangan masuk selagi aku tak memberi instruksi.""Baik, Mas bos!" Elvina keluar dari ruangan, ia sengaja melenggak-lenggokkan langkahnya agar terlihat seksi."Apa ini maksudnya, Ayah?" tanya Fabian sembari membaca dokumen yang baru dilempar oleh ayahnya."Kau harus bisa membeli tanah itu. Tanah milik Unggul Adiningrat. Orangnya sudah mati, tapi ahli warisnya tak diketahui dimana rimbanya. Sudah dua kali orang suruhan ayah selalu gagal. Yang menjaga rumah itu, tak pernah setuju dengan bayaran yang ayah
"Mas ...! Mas ...!" teriak Elvina saat pulang dari kantornya."Ada apa kamu teriak-teriak begitu?" tanyaku. Saat ini aku tengah di rumah untuk beristirahat sejenak, sebelum kembali lagi ke cafe. Pekerjaanku sekarang mulai lancar, Andri sudah percaya penuh padaku. Dan Adelia masih menyelesaikan misinya. Meskipun agak sulit juga membuat Andri jatuh ke pelukan perempuan lain."Mas, bukankah nama ibumu Suci Adiningrat?" tanya El dia langsung duduk di dekatku.Aku mengerutkan kening. Kenapa tiba-tiba Elvina menanyakan ibu? Bukankah dia sudah tak peduli lagi ada dimana? Dan lagi, bagaimana keadaan ibu pun sekarang aku tak tahu. Aku sudah mencarinya tapi tak juga kutemukan, termasuk Arini. Mereka berdua benar-benar menghilang seolah ditelan bumi. Berhari-hari aku mencari mereka tapi tak menemukan batang hidungnya. Saat itu aku menemui dokter Ardhy, aku yakin dia tahu tentang Arini. Tapi dia tak pernah mau membuka mulut."Kamu kan keluarganya, kenapa tanya aku yang orang asing?" Ia justru ber
Langsung kubersimpuh di kaki ibu dan memeluknya. "Ibuuuu ...."Aku mendongak, melihat ibu tampak seperti patung hanya diam membisu dengan pandangan berkaca-kaca. "Ibu, maafin aku, Bu. Maaf karena aku sudah mengabaikan ibu, maaf aku punya banyak salah padamu, Bu," ujarku lagi. Aku masih bersimpuh sembari memeluk kakinya, tapi entah kenapa ibu tak menyuruhku bangun barang sedetik. Ibu masih diam, seolah tak menanggapi ucapanku. "Bu, jangan diam saja seperti ini, Bu. Maafkan aku, Bu. Silakan hukum aku sesuka hati ibu, asalkan aku mendapatkan maaf darimu, aku memang bersalah, menjadi anak yang tidak tahu diri. Aku sadar, Bu, aku salah, dan aku menyesal. Kumohon maafkan aku, Bu," Berusaha merayu ibu, pasti ibu akan luluh lagi 'kan?"Ibu, siapa yang datang?" Terdengar suara dari dalam yang juga begitu familiar. Aku menoleh, melihat wanita itu keluar dari dalam. Arini terlihat makin cantik saat ini ia tengah memakai kebaya dan kain jarik, tak lupa pashmina instannya masih membalut kepal
"Ohooo ... Menarik! Apa kau masih mengharapkan mantan suamimu itu atau dokter kesayanganmu? Aku bisa mendatangkan mereka berdua untuk jadi saksi pernikahan kita. Mungkin kau juga sudah tahu kan apa yang kuinginkan harus bisa kudapatkan? Kau dan juga tanah ini!" "Kau--" Aku benar-benar kesal dengan ucapan Fabian. Menyebalkan!"Arini, ada siapa? Kenapa ribut-ribut?" Tiba-tiba ibu muncul dari dalam. Kami berdua menoleh, Fabian tersenyum dan menghampiri ibu mertuaku."Assalamualaikum calon ibu mertua," sapanya membuat mataku membulat."Waalaikum salam. Kamu ini siapa, Nak?"Fabian langsung mengulurkan tangannya pada ibu."Kenalin Bu, calon mantu.""Fabian!" pekikku. Dia kenapa pede sekali.Ibu mertuaku justru tersenyum menanggapinya. "Sini-sini duduk dulu. Bicaranya jangan sambil berdiri."Fabian menoleh ke arahku dan mengerlingkan matanya menggoda. Fabian duduk di dekat ibu."Bu, putri ibu cantik, dia juga sangat manis. Tapi putri ibu itu sudah buat aku sakit," ujar Fabian dengan nada