Nara (25 tahun) menikah dengan seorang lelaki dan meninggalkan karirnya yang sedang berada di puncak untuk mengabdi pada keluarga suami. Tapi pengorbanannya hanya dianggap sebelah mata oleh keluarga suaminya. Bahkan ketika suaminya berselingkuh dengan istri adik ipar Nara, Nara yang diusir dan dianggap istri yang tak berguna oleh kedua mertuanya hanya karena selingkuhan suaminya kaya sedangkan Nara miskin serta yatim piatu.
Lihat lebih banyak"Bang Galih, ini aku bungkusin kue buatanku untuk Abang. Kata suamiku rasanya enak sekali jadi Abang juga wajib coba. Aku yakin setelah mencobanya, Abang suka dan ketagihan sama rasanya," ucap Adel, istri dari adik lelaki suamiku sambari menyodorkan sebuah kotak kue dengan senyum manis yang menurutku terlalu berlebihan.
Aku memperhatikan ekspresi wajahnya dengan seksama. Mata Adel berbinar penuh harap seolah menunggu pujian dari suamiku. Ini bukan pertama kalinya dia menunjukkan perhatian yang menurutku kelewat batas. Aku sudah sering melihat caranya bersikap manis di hadapan Bang Galih dan jujur saja aku tidak menyukainya.
Namun seperti biasa aku hanya bisa diam. Aku tak cukup berani untuk menegurnya secara langsung. Aku tahu jika aku berbicara sembarangan dan Adel merasa tersinggung. Bukan tak mungkin aku yang disalahkan. Keluarga suamiku terlalu membelanya. Jika aku memulai keributan aku yang akan dicap sebagai istri cemburuan dan terlalu sensitif.
"Ok, nanti Abang makan setelah sampai di toko. Terimakasih banyak ya, Del!" balas suamiku dengan nada ringan sambil menerima bungkusan kue itu.
Aku mengepalkan jemari di balik punggung. kenapa sih harus diterima? Kenapa Bang Galih tidak sedikit saja menjaga perasaanku? Mungkinkah aku sama sekali tak berharga di matanya sampai tanpa perasaan dia menerimanya tanpa mempertimbangkan perasaanku.
"Sama-sama,Bang. Nanti kalau Abang suka aku bakal buatin tiap hari buat Abang," ujar Adel dengan senyum menggoda. Matanya melirik kearahku seolah ingin melihat reaksiku.
Aku mencoba menahan diri. Menegakan bahu agar tak terlihat lemah. Tetapi cara Adel berbicara dan ekspresi wajahnya benar-benar seperti sedang menantangku.
"Baik banget kamu, Del. Enggak salah kalau adikku cinta banget sama kamu. Bahkan ibuku setiap hari juga memujimu sebagai menantu sempurna. Udah cantik, baik, perhatian lagi sama keluarga suami," puji suamiku.
Kata-kata itu bagaikan belati yang menusuk dadaku.
Aku menatap Bang Galih. Berharap dia sadar betapa kata-katanya telah melukai hatiku. Tapi tidak, dia tampak begitu santai seolah ucapan itu hanyalah basa-basi belaka. Sedangkan Adel? Dia tertawa kecil, suara tawanya terdengar begitu manja dan menjijikan di telingaku.
Tak hanya itu, dengan seenaknya, dia meletakan tangannya di lengan suamiku seperti sengaja mempertegas keberadaannya.
"Ah, Bang Galih bisa aja mujinya. Jujur, aku ngelakuin semua ini karena prihatin sama keadaan Abang. Ada istri pun seperti enggak terurus. Uang nafkah aja dituntut banyak, tapi malas belajar masak!"
Darahku berdesir.
Jantungku berdegup sangat kencang. Amarah mulai menguasai pikiranku. Mataku menatap tajam ke arah Adel, yang masih memasang ekspresi tanpa dosa.
Aku menarik napas dalam.Mencoba mengontrol emosi yang hampir meledak. Tapi kali ini aku tak bisa diam saja.
"Del, dari pada repot-repot terus-terusan mengasihani suamiku, mending kamu urusin dulu rendaman bajumu yang sudah dua hari menuhin kamar mandi. Kudengar tadi pagi Rudi ngomel karena sudah kehabisan baju dan celana bersih. Cuci sekarang sana!"
Adel terdiam seketika. Wajahnya yang semula penuh percaya diri langsung memerah, campuran antara malu dan amarah. Aku bisa melihat bagaimana tatapannya berubah. Tapi aku tidak peduli. Dia yang lebih dulu menyinggungku dan aku sudah lama menahan diri.
Dengan mendengus kesal Adel berkata, "Ya udah, aku pamit nyuci dulu ya, Bang Galih. Jangan lupa dimakan kuenya, biar aku enggak kecewa!"
Suamiku tersenyum kecil. "Iya, tenang aja. Abang pasti makan sampai habis kok!"
Aku memandang suamiku dengan kecewa. Kenapa dia justru memberi Adel ruang untuk terus bersikap seperti ini? Apa dia benar-benar tidak menyadari niat tersembunyi di balik perhatian berlebihan Adel?
Begitu Adel pergi aku segera menghampiri suamiku dan mencoba mengambil kue dari tangannya. "ABang, sini kuenya biar aku buang aja. Aku kesel banget sama Adel yang kelihatan banget haus pujian itu! Bukannya ngurusin suami sendiri malah sibuk ngurusin suami orang!"
Namun, suamiku dengan sigap menepis tanganku. "Gila kamu ya, mau buang-buang makanan! Udah mending ada yang kasih makanan. Bukan terimakasih malah marah. Aneh banget sih jadi orang!" bentaknya dengan nada tajam.
Aku terkejut. Aku tidak menyangka reaksinya akan sekeras itu.
"Bang, kalau Abang suka kue bilang aja sama aku. Biar besok-besok aku buatin. Jangan malah nerima kue dari Adel. Dia itu kayak caper banget sama Abang. Aku enggak suka!"
Aku akhirnya mengungkapkan perasaanku. Berharap suamiku mengerti. Tapi ternyata harapanku sia-sia.
"Wajar kan kalau ada seorang wanita yang baru menikah caper karena ingin disayang keluarga suami? Kamu itu tidak seharusnya membenci dan menuduh Adel yang bukan-bukan. Justru kamu harus banyak belajar dari dia biar ibu lebih bisa nerima kamu sebagai menantu. Paham?" ucap suamiku kemudian mpergi menuju mobilnya.
Aku terdiam.
Aku memandang suamiku dengan pandangan nanar. Mencoba mencerna kata-katanya.
Belajar dari Adel? Biar lebih diterima oleh ibu mertua?
Aku menahan nafas. Menundukkan kepala dan menahan pedih yang terasa menusuk di hati. Bang Galih tidak mengerti atau mungkin tidak peduli.
Aku tidak pernah menolak untuk dekat dengan ibu mertuaku. Aku sudah berusaha berkali-kali tetapi dia sendiri yang menolakku. Baginya memiliki menantu miskin adalah aib.
Lantas, aku harus berbuat apa?
Tepat ketika aku berusaha menguatkan diri. Sebuah suara yang begitu menyebalkan kembali terdengar.
"Mbak, aku denger semua pembicaraanmu dengan Bang Galih. Bisa-bisanya ya kamu ingin buang kue pemberianku! Untung saja Bang Galih enggak mau nurutin permintaan kamu. Jujur, aku puas banget denger jawaban Bang Galih tadi!"
Aku menoleh dan mendapati Adel berdiri tak jauh dariku dengan tatapan penuh kemenangan.
Aku mengepalkan tangan. "Orang haus perhatian kayak kamu enggak heran kalau suka sekali menguping pembicaraan orang!"
Adel terkikik kecil, "Aku enggak nguping, Mbak. Tadi enggak sengaja aja denger," ujarnya dengan tatapan merendahkan. Kemudian dia menatapku tajam dan menambahkan, "Mbak, dari ucapanmu tadi ke Bang Galih, kelihatan banget kalau sebenernya kamu takut Bang Galih berpaling ke aku. Kenapa, Mbak? Mbak sudah ngerasa enggak layak lagi buat Bang Galih yang makin hari makin sukses ya? Bagus lah kalau Mbak sadar diri!"
Aku membelalak.
"Aku sudah lama banget berusaha sabar sama sikap kamu yang kurangajar. Bisa tolong sedikit jaga mulutmu atau tidak?" bentakku hampir saja aku tak bisa menahan diri untuk tidak menampar mulut jahat wanita di depanku.
"Jaga mulutku? Buat apa? Semua orang di rumah ini tahu kamu enggak diinginkan. Kalau aku jadi kamu, aku angkat kaki aja dari pada terus jadi beban!"
Setelah puas menghinaku Adel berbalik pergi sebelum aku sempat membalas.
Aku berdiri di tempat.
Hatiku terasa sesak
Ya Tuhan, dengan cara apa aku harus melawan kejahatannya sedangkan suamiku dan kedua orangtuanya ada di pihak wanita jahat itu?
Author POVPagi itu, Rudy terburu-buru berangkat kerja. Waktu sudah mepet dan ia tak ingin terlambat lagi. Namun harapannya untuk tidak telat pupus tatkala sebuah mobil tiba-tiba memblokir jalan di depannya. Dengan kesal Rudy keluar dari kendaraannya siap melontarkan makian. Tapi niat itu langsung sirna saat melihat beberapa pria berbadan kekar turun dari mobil tersebut.Wajahnya langsung pucat saat mengenali salah satunya."Bang Roby? Ada angin apa sampai-sampai Abang repot datang kemari?" Tanyanya gugup meski dalam hati ia tahu persis alasan kedatangan pria itu."Jangan sok polos, Rudy. Hutangmu sudah jatuh tempo sejak berbulan-bulan lalu. Sampai kapan kau mau sembunyi dan lari seperti pengecut?" Geram Roby sambil menampar pipi Rudy. Tamparan itu cukup membuat tubuh Rudy gemetar ketakutan."Bang, bukankah kita sudah sepakat kalau aku gagal bayar, Abang bisa ambil rumah orangtua istriku. Istriku sama sekali tak keberatan jadi Abang tak perlu ragu untuk menjualnya!" Jawab Rudy dengan
"Kau baik-baik saja, Nara?" tanya Pak Erryl sesaat setelah aku diamankan di dalam mobilnya. Aku hanya terdiam. Akan jadi kebohongan besar jika aku menjawab bahwa aku baik-baik saja. Kejadian barusan terlalu memalukan untuk menjadi konsumsi publik."Ini kartu nama pengacara yang kujanjikan. Namanya Bu Livia. Dia akan membantumu sebaik mungkin," ucapnya sembari menyodorkan sebuah kartu nama yang langsung kuambil."Kamu tidak perlu memikirkan biaya. Anggap saja ini bantuan kecil dari seorang teman," lanjutnya.Teman? Batinku getir. Aku hanyalah bawahan yang terus merepotkannya dengan masalah pribadiku. Apakah ini kebaikan hati yang selalu diceritakan Lusi tentang sosok pemimpin yang tulus peduli pada bawahannya?"Saya memang tak punya uang sekarang, tapi saya akan cari cara untuk membayar semua ini. Saya tak ingin terus merepotkan Anda," ucapku pelan, tak sanggup menatap wajahnya."Kalau itu memang maumu silahkan. Tapi aku hanya tak ingin kamu terbebani. Meski kamu baru bekerja diperusah
"Bang, kenapa ada Adel di sini?" tanyaku dengan nada marah. Aku berharap Bang Galih bisa mengerti betapa kehadiran wanita itu membangkitkan kembali luka lama yang belum sembuh."Dia mau bicara sesuatu sama kamu, Nara Tolong, beri dia sedikit waktu, ya!" Ucap Bang Galih dengan lembut."Kalau dia ingin minta maaf, tidak semudah itu aku memaafkannya, Bang. Aku tak bisa begitu saja melupakan semua kejahatan yang telah dia lakukan padaku!" Suaraku bergetar. Air mata hampir tumpah mengingat semua perlakuan kejam Adel selama ini."Abang juga enggak tahu dia mau ngomong apa. Cuma lima menit saja, tolong izinkan dia bicara. Pleace!" Permohonan bang galih membuat hatiku yang awalnya keras jadi goyah. Dengan langkah berat aku mendekat.Sudah lama kamu nunggu, Del?" Tanya bang galih ramah. Seminggu lalu dia begitu kasar pada Adel dan memaksa Adel untuk menjauh. Sejak kapan sikapnya berubah lembut lagi?"Tadi janjinya jam enam jadi udah dua jam lebih aku nunggu kalian disini," jawab Adel dengan s
[Nara, hari ini pulang jam berapa? Abang jemput boleh, ya?]Pesan dari Bang Galih muncul di layar ponsel saat aku sedang makan siang bersama Lusi di kantin kantor. Jemariku berhenti memegang sendok sementara senyum tanpa sadar mengembang di wajahku. Sudah seminggu berlalu sejak kecelakaan itu dan kini kondisinya telah jauh membaik. Perlahan ia mulai ke rutinitas bahkan hari ini ia sudah sempat mengurus toko lagi.[Enggak usah, Bang. Abang baru sembuh, istirahat aja. Aku bisa naik taksi, kok.] balasku. Dalam hati aku tak ingin merepotkannya.Namun balasan darinya datang tak kalah cepat.[Sama suami sendiri kok sungkan. Udah, enggak usah banyak alasan. Jam lima sore nanti Abang udah nunggu di depan kantor. Jangan nekat pulang sendiri ya, tungguin Abang!]Seketika hatiku hangat. Perhatian kecil yang dulu sempat menghilang kini perlahan hadir kembali."Hei, senyum-senyum sendiri. Jangan bilang kalau kamu lagi jatuh cinta, Nar," goda Lusi sambil menaikan sebelah alisnya.Aku terkekeh, "Buk
Aku terpaku di tempat. Mataku membelalak saat melihat darah merembes di atas aspal. Hatiku seketika hancur, diliputi kekhawatiran yang mencengkeram. Bagaimana jika Bang Galih terluka parah?Tanpa berpikir panjang aku berlari mendekatinya yang tergeletak tak sadarkan diri."Bang Galih, bangun! Kenapa kau rela mengorbankan dirimu demi menyelamatkanku?" Teriakanku histeris. Suaraku pecah menyatu dengan Isak tangis yang tak terbendung. Seolah semua kekuatan dan harapan yang tersisa mengalir dengan air mata.Tak lama kemudian suara ambulance memecah keheningan malam. Para petugas medis dengan sigap mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk. Aku mengikuti dari belakang, jantungku berdebar seakan waktu melambat. Di rumah sakit, aku hanya bisa menunggu di luar ruang perawatan. Detik demi detik terasa seperti siksaan tak berujung.Beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dengan ekspresi tenang dan penuh pengertian."Jangan khawatir, Mbak. Luka di kepalanya hanya goresan ringan akibat bentu
Hampir tiga jam rapat berlangsung dan aku hanya bisa duduk diam menyimak dengan seksama. Sebagai orang baru, aku belum banyak berkontribusi tapi melihat bagaimana para senior di tim bekerjasama dengan penuh percaya diri untuk mencapai target penjualan skincare terbaru membuatku kagum.Saat akhirnya rapat berakhir, aku berjalan keluar bersama Lusi."Nara, aku melihat ekspresi kagumu tadi waktu Pak Erryl masuk ke ruangan. Nah, kan. Apa aku salah? Enggak ada yang bisa mengalahkan pesona bos muda kita, kan?" Lusi berseru dengan nada menggoda.Aku menghela nafas sedikit tersenyum. "Kagum?" Aku menggeleng. "Kau salah paham. Itu bukan ekspresi kagum melainkan terkejut."Lusi menaikan alisnya, penasaran"Aku tak menyangka orang yang dua kali menyelamatkan nyawaku adalah CEO perusahaan ini," lanjutku pelan.Lusi terdiam sesaat lalu mengerutkan kening. "Serius? Wah, ini seperti adegan di drama."Aku hanya tersenyum tipis tak ingin membahasnya lebih lanjut."Ngomong-ngomong, kau langsung pulang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen