Rasanya percuma terus berdebat dengan Mas Tiar. Dia takkan mau kalah, dia pun takkan mau pergi dari sini. Mungkin biar aku saja yang pergi. Dari awal tempatku memang bukan di sini.
Kuhela nafas dalam-dalam. Ah kenapa dadaku rasanya sesak sekali, sakiiit. Kulihat keluar, hari sudah mulai gelap. Akan kupikirkan caranya nanti malam. Gegas menutup jendela yang masih terbuka agar nyamuk tak masuk.Aku masuk ke kamar ibu, beliau terlihat memejamkan matanya."Bu, bangun, Bu. Hampir maghrib, jangan tidur, Bu." Aku menggoyangkan tubuh ibu agar dia terbangun. karena tidur menjelang maghrib tak baik untuk kesehatan.Ibu terkesiap kaget, dia menoleh ke kanan dan ke kiri mungkin belum sepenuhnya sadar. Dia beringsut untuk duduk. Aku hanya memandangnya saja. Rasanya tak rela meninggalkan ibu mertuaku dalam keadaan seperti ini. Aku sayang sama dia, tapi putranya hanya memanfaatkanku saja. Hidup memang sebuah pilihan, aku harus memilih walaupun itu berat."Ibu lapar? Aku ambilkan air minum dulu ya," ucapku memecah keheningan."Ibu habis pipis, Nak. Pampersnya udah penuh nih," jawab ibu."Oh iya, biar saya ganti, Bu."Pekerjaanku sebelumnya memang merawat para lansia, jadi sama sekali aku tak jijik dengan keadaan ini. Aku justru senang bila hidup bisa bermanfaat untuk orang lain.Pelan kuganti pampers ibu, dan yang kotor segera kumasukkan ke dalam kresek, dan dibuang ke keranjang sampah yang tersedia. Sepertinya ibu sudah nyaman kembali.Ibu tersenyum. "Terima kasih ya, Nak. Maaf merepotkanmu terus.""Tidak apa-apa, Bu," jawabku sambil senyum. Aku tak ingin menampakkan kegetiran di wajahku atas pertengkaranku dengan Mas Tiar.Terdengar suara kumandang adzan maghrib."Bu, aku mau sholat dulu. Makannya sehabis aku sholat ya, Bu.""Iya, Nak."Aku berbalik badan lalu mendapati Mas Tiar berdiri di ambang pintu. Entah sejak kapan dia berada di sana. Pandangannya pun terasa berbeda.Aku melewatinya begitu saja. Lagi, dia mencekal pergelangan tanganku."Kita sholat sama-sama, Dek," ujarnya.Astaghfirullah hal adzim, sabar Arini, sabar. Jangan biarkan emosi menguasai hatimu. Aku berlalu ke belakang untuk ambil air wudhu. Lagi-lagi Mas Tiar mengikutiku. Dia berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dan terus memandangku, ia akan tersenyum bila aku menoleh ke arahnya."Kita sholat jamaah, Dek," ulangnya lagi.Aku masih diam tak menjawabnya. Berlalu menuju ke ruang salat. Perasaanku benar-benar berkecamuk menjadi satu. Apa yang harus kulakukan untuk menghadapinya? Haruskah pergi atau bertahan?Semua berputar-putar dalam pikiranku. Rasanya ingin mengulang masa lalu. Kalau menikah ternyata membuat hatiku sakit begini lebih baik aku tak menikah saja, dan lebih baik kuabdikan diri untuk orang-orang yang membutuhkanku.Lagi, aku beristighfar untuk meredam amarah yang terus saja membuncah. Mas Tiar datang, lalu mengambil sajadah dan menggelarnya di depanku."Udah siap?"Aku mengangguk. Kami pun sholat maghrib berjamaah bersama."Terima kasih ya, maaf aku sudah membuatmu marah-marah seperti tadi, aku tahu kok kamu hanya emosi sesaat."Tak menanggapi ucapannya, aku berlalu ke dapur untuk menghangatkan makanan. Saat berbalik, aku melihat Mas Tiar bersandar di dinding dapur."Kenapa kamu ngikutin aku terus sih, Mas! Aku empet lihatnya tau!!" ketusku.Dia justru tertawa. "Kamu makin cantik kalau lagi marah-marah begini."Cih, aku berdecih kesal, muak sekali dengan sikapnya. Tapi aku tak boleh gegabah, aku harus memikirkan matang-matang keputusanku. Tunggu saja kejutan besok, Mas.Kusiapkan makanan untuk ibu."Makanan untukku mana, Dek?" tanyanya. Ekspresinya sudah kembali seperti semula, seperti tak ada apapun yang terjadi."Kamu masih punya dua tangan kan? Ambil sendiri lah ...""Hahaha, kamu ini lucu banget kalau lagi marah."Aku berlalu meninggalkannya menuju ke kamar ibu dan segera mengunci pintunya. Ini kesempatanku untuk berbicara serius pada ibu tanpa diganggu olehnya.Ibu tersenyum saat aku datang membawa makanan."Ibu makan dulu ya.""Kebetulan sekali ibu laper," jawabnya. Dia meraih piring yang ada di tanganku. "Biar ibu makan sendiri saja, tidak usah disuapin, Nak."Dia memang tak pernah protes apapun yang kumasak, semua ia makan dan tak berpantang."Bu, kalau Arini pergi, ibu akan baik-baik saja kan?" ucapku setelah ibu selesai makan."Apa maksudmu, Nak?""Maafkan menantumu ini, Bu, yang tak sempurna untuk segala hal.""Ada apa? Kau ada masalah dengan Tiar? Kalian tadi habis bertengkar ya? Masih belum baikan?"Aku menggeleng pelan. "Maaf Bu, kami memang sedang bertengkar. Dan sepertinya perpisahan adalah jalan terbaik untuk kami.""Lho kenapa? Kalian kan baru menikah, kamu juga sedang hamil, kenapa harus pisah? Apa tidak ada jalan lain untuk memperbaiki hubungan kalian?""Maka dari itu aku harus bilang pada ibu. Aku harus mengambil keputusan ini, Bu. Aku dan Mas Tiar sudah tak sejalan lagi.""Masalahnya apa? Bisa kau ceritakan pada ibu?""Mas Tiar mengkhianatiku, Bu.""Apa? Tiar selingkuh?" Ibu seolah tak percaya dengan apa yang kuucapkan. "Tidak, Nak. Tiar tidak mungkin selingkuh, mungkin kamu hanya salah paham saja. Dia tidak mungkin mengkhianatimu, Nak."Akhirnya kubuka semuanya tentang Mas Tiar, biar ibunya tahu. Tentang kebersamaan Mas Tiar dan mantannya itu. Tentang Mas Tiar yang membelikan rumah untuk Elvina. Tentang Mas Tiar yang abai dan selalu menolak permintaanku. Tentang status WA dan kemesraan mereka di sosial media. Semuanya kuceritakan pada ibu."Terserah ibu mau percaya atau tidak dengan apa yang kuucapkan. Maaf kalau aku mengadukan semuanya, Bu. Aku sudah gak kuat lagi kalau harus selalu disakiti. Bukankah ikatan pernikahan seharusnya bisa saling membahagiakan pasangan bukan saling menyakiti?"Ibu menangis mendengar ucapanku. Entah sedih karena apa.Lega rasanya hatiku, ibu sudah tahu. Biar kalau aku pergi dia takkan mencegahku.Yang jelas keputusanku sudah bulat. Berpisah dengannya. Meski aku harus berjuang kembali menghidupi diriku sendiri dan calon bayiku. Itu tak masalah."Jadi kamu ingin berpisah dengan Tiar?"Aku mengangguk. "Maaf Bu, kalau aku mengambil jalan ini. Aku hanya berprinsip, kalau dia sudah menyakiti, lebih baik aku pergi.""Tapi, Nak--""Ibu gak setuju kalian pisah, tapi ibu lebih gak setuju lagi kalau Tiar rujuk dengan Elvina, dia wanita yang tidak punya hati."Aku terdiam."Maafkan ibu ya, Nak. Semua kekacauan bermula dari ibu. Ibu yang sudah tak bisa apa-apa, hanya bisa merepotkanmu saja. Kamu pasti bosan tiap hari harus--"Tok ... Tok ... Tok ... Suara pintu kamar ibu diketuk dengan keras."Arini, kenapa kamu kunci pintu masuk ibu?" teriak suara dari luar.Aku segera membuka pintunya."Arini, kenapa kamu kunci pintu kamar ibu? Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Mas Tiar dengan tatapan penuh curiga.Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia langsung mengambil ponselnya di saku celana. Sebelum mengangkat panggilan telepon itu, dia memandangku sejenak."Halo, El, da apa?" tanyanya begitu lembut. El, mungkin panggilan kesayangan untuk mantan istrinya."Iya, iya aku segera kesana. Siapin baju-bajunya ya, takutnya Aqilla disuruh rawat inap. Oke, aku langsung meluncur."Dia mematikan panggilan teleponnya."El ... Eh sorry, maksudku Dek, aku harus ke rumah Elvina. Aqilla sakit. Aku harus mengantarnya ke RS. Nanti aku pulang lagi, kita bicarakan masalah kita lain kali ya!"Mas Tiar terlihat khawatir, dia langsung pergi begitu saja.Aku tersenyum masam. Hah, tetap saja kau lebih mementingkannya kan? Oke fix, kita pisah!Perasaanku diliputi rasa khawatir usai menerima telepon dari mantan istriku. Aqilla sakit, badannya panas tinggi hingga kejang-kejang. Apa yang terjadi pada gadis mungilku? Aku sampai tak pedulikan Arini lagi. Aku yakin pasti Arini bertambah marah padaku. Tapi hal ini lebih darurat.Gegas kulajukan mobil menuju rumah kontrakan Elvina. Suasana malam, ramai dengan kendaraan membuat mobil ini tak bisa melaju dengan cepat.Aku turun dari mobil, Elvina sudah menungguku di teras. Dia terlihat begitu cemas. Beberapa kali dia menelepon tapi tak kugubris karena fokus menyetir. "Mas, kenapa kamu lama sekali?" sambutnya agak kesal. Wajah cantiknya ditekuk cemberut."Maaf El, tadi jalanan ramai sekali. Mana Aqilla?" tanyaku sekaligus mengalihkan pembicaraan."Ada di kamar. Ya sudah, cepetan Mas!" tukasnya.Segera aku menuju kamar Aqilla, putri mungilku itu tengah merintih kesakitan. Badannya benar-benar panas."Bukain pintu mobilnya, El.""Iya, Mas.""Kamu masuk dulu, biar Aqilla dipangku sama
"Mbak Arini bilang cuma mau beli obat sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang juga. Udah dari jam setengah delapan malam lho Mas. Aku hubungi nomornya gak aktif. Kasihan lho, Mas, mana lagi hamil, sendirian lagi!"Deg! Aku shock mendengar penuturan Mbak Ulfa. Arini pergi? Rasanya kok gak mungkin."Mas, Mas Tiar masih dengar aku kan?""Eh, i-iya, Mbak.""Tolong Mas Tiar pulang, ini ibu sendirian di rumah. Beliau nangis terus karena Mbak Arini belum pulang-pulang. Takut terjadi apa-apa katanya. Cepat pulang ya Mas, nih anakku udah nyusul kesini minta dikelonin.""I-iya Mbak. Aku pulang sekarang.""Eh, tunggu, Mas, ini ibu mas mau ngomong sebentar," timpal Mbak Ulfa lagi.Tak berapa lama terdengar suara ibu yang tengah menangis. "Hallo Tiar, kamu dimana, Nak?""Emmh ... Aku di rumah El, Bu." Rupanya mendengar jawabannya membuat ibuku meradang."Apaa? Kamu masih berhubungan sama mantanmu itu? Jadi benar ucapan Arini?! Dasar bodoh! Pulang sekarang, Tiar! Cari Arini sampai ketemu!""Maa
"Bagus ya, dua hari menghilang, ponsel gak aktif, pulang-pulang bawa seorang laki-laki? Wanita macam apa kamu?!"Deg! Aku yang baru pulang langsung disambut ocehan suami yang tak tahu diri itu. Aku hanya menatapnya nanar. "Jadi kamu sudah selingkuh di belakang aku? Apa ini yang kamu lakukan, Arini? Kamu gak malu sama pendidikanmu yang tinggi itu?! Kamu gak malu sama kerudung yang kamu pakai itu? Ternyata sikapmu lebih buruk dari pada sampah!" tukas Mas Tiar emosi.Ck! Sudah salah malah menuduhku sembarangan pula. Enak saja! Memangnya hanya mulutmu saja yang bisa berkata seperti itu?"Cukup, Mas! Hentikan omong kosongmu itu! Yang selingkuh bukan aku tapi kamu! Yang sampah itu kamu, bukan aku. Untuk menutupi kebusukanmu, kamu menuduhku? Enak saja!" sentakku lagi.Hampir saja Mas Tiar menamparku, tapi lelaki yang mengantarku pulang segera menghalaunya."Jangan pakai kekerasan begini, Mas. Tak baik, apalagi istri anda sedang hamil.""Siapa anda berani mencampuri urusan rumah tanggaku!" t
"Arini!! Tega kamu ninggalin aku kayak gini?! Arini ...!"Aaarrrggh ...! Rasanya geram sekali, Arini benar-benar pergi meninggalkanku. Kukepalkan tangan ke udara rasanya ingin kutonjok lagi wajah dokter yang sok kegantengan itu."Ada apa Mas?" tanya Mbak Ulfa menghampiriku. Beberapa orang sudah berkumpul sambil bisik-bisik tetangga. Mungkin mereka sudah melihat aksi labrakanku pada dokter muda itu. "Mbak lihat sendiri kan? Istriku pergi sama laki-laki lain. Dia berani main api di belakangku."Semua tampak terkejut mendengar penuturanku. Rasain saja kau Arini! Biar semua orang tahu kalau kamu memang perempuan murahan."Rasanya gak mungkin Mbak Arini begitu, Mas. Pasti ada kesalahpahaman, lebih baik dibicarakan lagi baik-baik Mas, aku yakin kok, mbak Arini gak pernah neko-neko.""Ya dulu dia memang polos, tapi sekarang sudah dicuci otaknya sama laki-laki sialan itu! Dia tega ninggalin aku sama ibu demi laki-laki itu."Kesal sekali dibuatnya, meski aku sudah menjelekkannya, mereka tak p
[Mas, ibu mas ngilang lho gak ada di kamarnya. Tadi pulang kondangan, aku langsung nengokin ibu mas, tapi beliau udah gak ada, gak ada yang tau kemana]Rasanya shock, benar-benar shock. Ibu menghilang? Lalu kemana? Ibu kan gak bisa jalan. Astaga! Duh, aku jadi orang ceroboh banget ya, gara-gara mabuk kepayang sampai lupa ibu sendiri di rumah. Ibu sendirian bagaimana cara ibu pergi?"Mas? Hei, Mas? Kok bengong sih? Kenapa wajahmu shock begitu?" Tangan Elvina dadah-dadah di depan wajahku."Kamu kenapa, Mas?" tanyanya lagi."El, aku harus pulang dulu. Aku harus cari ibu," jawabku panik."Lho memangnya ibu kemana?""Aku lupa ninggalin ibu sendirian El, sekarang ibu ngilang gak ada di rumahnya.""Jangan ngaco kamu, Mas! Kamu kata siapa?" "Ini kata Mbak Ulfa.""Memangnya kemarin kamu gak nitipin ibu ke tetangga?" tanya Elvina, keningnya berkerut tampak berpikir.Aku menggeleng pelan. "Mbak Ulfa kemarin berhalangan. Aku benar-benar lupa, El."Elvina terdiam, menatapku dengan tatapan entah.
"Aku tadi siang ke kantor kamu, ingin mengajakmu makan siang sama-sama. Tapi ternyata kantormu itu hampir gulung tikar! Hanya beberapa orang saja yang masih bekerja di sana. Sementara kamu?! Kamu kena PHK! Kenapa kamu bohong padaku, Mas? Kenapa?""El ...""Kamu mau ngomong apa, Mas? Mau ngomong kalau semua itu benar hmmm?" Rasanya benar-benar Emosi, Mas Tiar sudah membohongiku. "El, Maaf. Aku memang belum cerita semuanya sama kamu. Kamu selalu memotong pembicaraanku dan menggebu-gebu menceritakan yang lainnya. Aku cuma tak ingin kamu kecewa.""Dan sekarang aku sudah kecewa, Mas. Aku nyesel. Nyesel bisa rujuk lagi sama kamu!""Kok kamu ngomong gitu, El? Mana sikap manis yang kau tunjukkan kemarin-kemarin sampai pagi tadi?" Aku memalingkan wajah. Geram sekali dengan lelaki yang ada di hadapanku ini. Berani-beraninya dia berbohong padaku. Aku masuk ke dalam rumah, mengambil beberapa lembar bajunya."Nih silakan kamu pergi, Mas! Kembali saja pada ibumu yang lumpuh itu! Gak usah kesini
"Kamu kenapa? Kok diem terus dari tadi?" Aku menoleh ke arah dokter Ardhy yang tengah fokus menyetir. Entah kenapa pria ini mau membantuku."Maaf dokter, kalau dokter merasa terganggu. Saya hanya kepikiran dengan ibu mertuaku. Tadi nangis-nangis, rasanya gak tega ninggalin beliau.""Hidup adalah pilihan. Dan kamu harus bisa terima konsekuensinya."Aku mengangguk. "Terima kasih, dokter, sudah mau membantu saya."Lelaki berlesung pipit itu tersenyum kecil. "Tidak perlu sungkan begitu, kita ini kan teman. Dan Arini ...""Ya, dok?""Emmh tolong jangan panggil saya dokter, kalau kita sedang tidak bekerja.""Tapi dok--"Dia menggeleng lagi. "Panggil nama saja, biar gak terlalu formal."Aku hanya mengangguk. Rasanya benar-benar sungkan. "Nah, sudah sampai. Kita turun dulu, Arini."Aku mengangguk."Ini rumah sepupuku yang kuceritakan kemarin itu. Rumahnya kosong udah hampir setahun. Karena orangnya sedang melanjutkan studi di luar negeri. Ayo masuk!" ajaknya setelah membuka kuncinya.Khas
Aku terhenyak. "Ya ampun, Mas! Apa-apaan kau ini?!" teriakku histeris. Aku tak mengerti kenapa dia datang dan langsung marah-marah. Dua orang security langsung berlari menghampiri, salah seorang menahan Mas Tiar dan satunya langsung membantu dokter Ardhy."Dokter tidak apa-apa?" tanya Pak security itu."Iya, tidak apa-apa, Pak," sahut dokter Ardy sembari memegangi mulutnya."Bapak ini ada masalah apa ya? Datang-datang langsung pukul pak dokter?" tanya security itu masih memegangi tangan Mas Tiar dan menguncinya di belakang. "Hei pak, laki-laki ini, yang katanya dokter ini sudah menggoda istri saya! Jadi saya harus berikan pelajaran untuknya!" Mas Tiar masih marah dengan emosi yang menggebu-gebu."Itu semua tidak benar, Pak!" sanggahku. Mas Tiar justru melotot ke arahku."Pak dokter, mau diapain nih orang ini?" tanya Pak security lagi."Laporin saja ke polisi dokter, karena dia sudah menghajar dokter. Dua kali malah!" celetukku.Semua mata tertuju padaku."Apa-apaan kau ini, Arini? K