LOGINJenn, seorang pelayan yang bahkan tidak berani menatap anak majikannya itu justru harus menjadi istrinya karena pengantin wanitanya kabur entah kemana.
View More“Ya ampun! Kalau sampai aku terlambat, habislah aku...!”
Langkah kaki Jenn menggema di sepanjang koridor marmer putih itu, sepatu pelayan yang sederhana memantulkan suara terburu-buru. Di tangannya, tergenggam erat sebuah buket bunga mawar putih yang dihiasi pita satin, bunga yang akan segera dibawa ke calon Nyonya rumahnya yang akan melangkah ke altar dalam waktu kurang dari dua puluh menit lagi. Keringat dingin itu mengalir di pelipis Jenn. Ini adalah hari besar, bukan hanya untuk keluarga bangsawan tersohor tempatnya bekerja, tetapi juga bagi dirinya yang diberi tanggung jawab besar. Namun, tepat di tikungan lorong menuju kamar pengantin, kejadian tidak terduga menghentikan langkah kaki cepatnya. Brukkk! “Ya ampun... Akhhh!” Jenn menjerit pelan. Tubuhnya terdorong mundur dan jatuh terduduk di lantai berlapis karpet merah tua. Buket bunga terlempar dari tangannya, mendarat dengan suara lembut di atas lantai, beberapa kelopak mawar terlepas dari tangkainya. Di hadapannya, berdiri seorang wanita yang wajahnya hampir seluruhnya tertutupi oleh masker satin berwarna gading. Hanya mata tajamnya yang terlihat, memancarkan keterkejutan yang sama seperti yang Jenn rasakan saat itu. Gaunnya anggun, namun nampak asing, tidak seperti tamu undangan yang Jenn kenali. “Anda...” gumam Jenn sambil menatap wanita itu, mencoba untuk mengenali. Namun wanita itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia segera berbalik, langkahnya cepat dan tergesa, menghilang di balik lengkungan koridor seolah tidak peduli apa yang baru saja terjadi. Jenn hanya bisa menghela napas panjang, menahan rasa jengkel yang muncul. Ia bangkit perlahan, memungut buket bunga yang terlihat sedikit rusak. “Untung saja hanya sedikit,” bisiknya, berusaha memperbaiki susunan bunga sebisanya. Ia pun bergegas melanjutkan langkah kakinya. Begitu sampai di ruangan yang dituju, Jenn mengetuk pintu kamar itu beberapa kali, nadanya semakin cepat. “Nona Cassandra? Ini saya, Jenn. Saya membawa buketnya,” panggilnya sambil melirik jam kecil di pergelangan tangannya. Waktu terus berdetak, semakin mendekati dimulainya upacara. Tidak ada jawaban dari dalam. Jenn menelan ludah, lalu memberanikan diri untuk memutar kenop pintu. Pintu itu terbuka perlahan dengan suara derit yang halus. Ruangan di dalamnya tampak sunyi, diterangi lembut oleh cahaya matahari sore yang menyusup melalui tirai tipis di ujung ruangan. “Nona Cassandra?” panggilnya lagi dengan suara lebih pelan, hampir seperti bisikan. Namun yang menyambutnya hanya keheningan. Tatapan Jenn langsung tertuju pada gaun putih yang tergantung rapi di sandaran kursi meja rias. Gaun itu seharusnya telah dikenakan saat ini, bukan tergeletak begitu saja seperti belum tersentuh sama sekali. Jemarinya mengepal di sisi tubuh saat ia melangkah masuk, matanya terus menyapu seluruh ruangan. “Nona Cassandra...?” Sepatu kaca terletak di bawah kursi, masih dalam kotak beludru silver. Meja rias dipenuhi perlengkapan rias wajah, namun cermin di atasnya tidak memantulkan siapa-siapa. Jenn melangkah ke kamar mandi kecil di sudut, menahan napas saat mendorong pintunya perlahan. Masih nihil. “Ini… tidak mungkin,” gumamnya, kini mulai panik. “Waduh! Ke mana Nona Cassandra?” bisik Jenn, jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ini bukan hanya soal pernikahan yang hampir batal, ini adalah kepergian mendadak yang jelas tidak masuk akal. Dan entah mengapa, bayangan wanita bermasker tadi kembali muncul di benaknya, tatapan mata itu tergesa-gesa seakan sedang kabur dari sesuatu dan situasi. “Apa tadi itu Nona Cassandra?” Jenn memandangi buket bunga yang masih digenggamnya. “Aku harus menemui Nyonya Farah. Aku harus memberi tahu kalau Nona Casandra menghilang.” Dengan terburu-buru, ia meraih kenop pintu. Namun, pintu itu bergerak cepat, dibuka dari luar. Klik... Pintu terbuka perlahan dari luar, dan cahaya dari koridor menyinari sosok yang berdiri di ambangnya. Itu bukan Cassandra. Itu Tuan Javier. Pria itu mengenakan setelan formal berwarna abu gelap, dasi masih tergantung longgar di lehernya, seperti belum sempat dirapikan dengan benar. Dahi dan pelipisnya tampak berkeringat, dan sorot matanya tajam, campuran antara bingung, cemas, dan marah. “Kau?” suaranya rendah namun mengandung tekanan. “Apa yang kau lakukan di sini? Cassandra sudah siap? Dia di mana?” Jenn menelan ludah. “T-Tuan… saya… saya tidak menemukan Nona Cassandra di dalam. Saya sudah ketuk pintu tadi, tidak ada jawaban. Saat saya masuk, ruangan ini sudah kosong.” Javier menatapnya lekat-lekat, lalu melangkah masuk dengan cepat, pandangannya menyapu seluruh ruang kamar. “Apa kata mu barusan? Kosong?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Matanya berhenti di atas gaun pengantin yang masih tergeletak rapi di kursi. Ia mendekatinya, menyentuh ujung renda gaun itu dengan ujung jarinya, seolah mencoba meyakinkan diri bahwa ini adalah nyata. “Kamar mandi, sudah mencarinya?” tanyanya singkat. “Sudah saya periksa. Tidak ada siapa-siapa di kamar ini.” Javier meraih gaun pengantin itu, meremas dengan cengkraman yang kuat penuh amarah. “Sialan. Dia sedang mempermainkan ku. Baiklah jika kau maunya seperti ini, akan ku ikuti permainanmu, Cassandra.” Javier menghela napas dalam, lalu menatap Jenn dengan sorot mata tajam yang membuat gadis itu refleks menunduk menahan ngeri. Namun saat pria itu berbicara lagi, suaranya terdengar lebih rendah nadanya, namun lebih menakutkan pada tekanannya. “Siapa namamu?” tanya Javier. “... Jenn, Tuan.” Javier menyodorkan gaun itu kepada Jenn. “Pakai ini. Cepat!” Jenn melotot kaget. “Hah...?”Pada pemeriksaan lanjutan itu, suasana ruang dokter terasa lebih ringan dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Javier duduk tegak, tidak lagi tampak tegang seperti saat awal menjalani terapi, sementara Jenn duduk di sampingnya, jemarinya menggenggam tangan Javier dengan tenang dan berharap itu dapat menguatkan. Dokter membuka berkas hasil evaluasi paling baru, meninjau catatan demi catatan lalu mengangguk dengan puas. “Tuan Javier,” ucapnya dengan senyum profesional, “perkembangan Anda sangat signifikan. Respons kognitif membaik, konsentrasi stabil, dan gejala pascatrauma juga jauh berkurang dari prediksi awal.” Jenn tampak menahan napas, menunggu dengan berdebar kalimat berikutnya. “Namun,” lanjut dokter sambil menutup berkas, “meski kondisi Anda sudah jauh lebih baik, saya tetap menyarankan untuk melakukan kontrol rutin minimal enam bulan sekali. Ini penting untuk memastikan tidak ada regresi atau masalah baru yang akan muncul.”
Sejak hari itu, semuanya benar-benar berubah. Javier kembali mengambil alih perusahaan seperti sebelumnya, bersama Ken. Langkahnya tegas, tatapannya dingin, wibawanya muncul kembali seakan empat tahun terakhir tak pernah menggerogoti dirinya. Di bawah kepemimpinan Javier, perusahaan perlahan kembali stabil, bahkan orang-orang yang sebelumnya meremehkan Jenn kini tertunduk tanpa suara saat Javier berada di ruangan CEO. Sementara itu… tugas Jenn jadi berubah total. “Sayang, mulai hari ini,” Javier pernah berkata sambil merapikan rambut Jenn, “pekerjaan wajib mu hanya satu saja, memanjakan diri sendiri.” Jenn tertawa waktu itu, mengira Javier hanya sedang bercanda. Tapi ternyata tidak sama sekali. Setiap pagi, Javier selalu mengirim pesan sebelum berangkat, “Ingat pesan ku. Hari ini dan seterusnya kau harus senang. Tidak boleh stres.” “Kalau kau pergi keluar rumah, aku ingin foto buktinya. Biar
Jack akhirnya tertidur pulas di pangkuan Javier setelah bermain sepanjang sore. Tubuh kecil itu naik turun perlahan seiring napasnya yang tenang. Javier mengusap rambut Jack pelan-pelan dan lembut, memastikan anak itu benar-benar nyaman sebelum ia mengalihkan pandangannya kepada Jenn. Jenn duduk sedikit lebih dekat, mengelus lengan Javier. “Apa yang ingin kau bicarakan? Kelihatannya sangat serius saat kau bicara,” tanyanya lembut. Javier terdiam. Ia menelan napas, pandangannya jatuh ke wajah Jack sebelum akhirnya kembali kepada Jenn. Ada sebuah keraguan, bahkan rasa takut, di mata pria itu. “Sayang…” ucapnya akhirnya, suaranya rendah dan berat. “Aku sudah memikirkannya sejak kejadian di kantor tadi. Keadaanmu… sudah sangat berbahaya untuk keselamatan mu.” Jenn mengerutkan dahi. “Maksudmu bagaimana?” “Ada banyak oknum, banyak pihak yang punya kepentingan kotor saat ini. Mereka tidak hanya
Javier terkekeh geli melihat mata Jenn membulat penuh kekesalan. “Oke oke, Sayang. Kau cuma mau bilang kalau aku ingin memijat mu sebentar. Tapi... sepertinya kau berpikir lain, ya?” Mendengar itu, Jenn pun terperangah tak percaya. “Jangan bohong! Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, hah?!”Javier menanggapi semua itu dengan tawa renyah. Setelah itu, mereka pun memutuskan untuk pergi ke ruang pertemuan guna mengakhiri konflik secara tuntas untuk hari ini. Beberapa saat kemudian, di ruangan itu. “Urusan kantor sudah selesai untuk hari ini jangan dibuat rusuh lagi,” ucap Javier akhirnya, suaranya tenang namun berat seperti palu godam. Ia menoleh kepada Jenn, yang berdiri di sisinya, masih terlihat gugup meskipun kini sudah mengenakan pakaian yang lebih rapi. Javier meraih tangannya dengan lembut. “Kita pulang sekarang,” katanya singkat. Jenn mengangguk kecil, memandang Javier yang begitu tegas begitu berbeda dari beberapa hari terakhir, dan hatinya mencelos oleh ra
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore