Share

6. Masih pantaskah disebut seorang suami?

"Lebih baik dia tak mengenal ayahnya. Dari pada harus memiliki seorang ayah yang pilih kasih, bahkan di awal kehadirannya pun tak pernah peduli!"

"Ya ampun Dek, kenapa kamu jadi seperti ini sih! Kamu seperti bukan Arini yang mas kenal. Kamu tega memisahkan anak dan ayahnya sendiri?" ucap Mas Bachtiar membela diri.

"Karena kamu duluan yang memulainya, Mas. Andai kamu bisa menghargai sedikit saja perasaanku, aku tak mungkin bersikap seperti ini. Kamu yang tega, Mas, bukan aku! Kamu pamer kemesraan dengan mantan istrimu itu tanpa memikirkan aku, sekarang setelah aku ingin pisah dari kamu, kamu gak mau. Kamu benar-benar laki-laki egois, Mas!"

"Maaf ya, Dek. Aku memang salah. Tolong jangan marah-marah seperti ini. Kamu sedang hamil lho, gak baik buat janin yang ada dalam kandunganmu."

"Apa pedulimu melarangku marah-marah?"

"Jelas aku peduli karena aku suamimu!" pungkasnya lagi.

"Suami? Masih pantaskah kau disebut sebagai seorang suami?" Arini tersenyum sinis, pandangannya penuh dengan kemarahan.

Entah kenapa kata-kata Arini begitu menohok hatiku. Aku tak boleh ikut tersulut emosi, nanti Arini bisa makin ilfil padaku. Aku sangat yakin, dia hanya emosi sesaat saja karena akhir-akhir ini aku lebih memperhatikan Aqilla.

"Sudah jangan marah-marah terus, Dek. Kamu hanya emosi sesaat. Sabarlah dulu. Pikirkan baik-baik, Dek, perpisahan bukan jalan akhirnya, kita bisa memperbaiki ini semua. Aku minta maaf. Aku janji akan mengurangi intensitas pertemuanku dengan Aqilla."

Arini menggeleng pelan, kulihat butiran bening sudah menggenang di pelupuk matanya. "Hatiku sudah terlanjur sakit, Mas. Bukan masalah Aqilla, dia putrimu silakan saja kau temui dia karena kamu adalah ayahnya. Tapi yang jadi masalahnya, kamu itu memperlihatkan kemesraan dengan mantan istrimu itu! Bahkan kau membelikan rumah baru padahal kalian sudah tak ada lagi ikatan pernikahan. Kamu masih menyimpan cinta untuk Elvina bukan? Kalau kamu masih mau rujuk dengannya silakan saja. Tapi yang jelas, aku mundur!"

"Tidak, itu tidak benar. Bila kau minta aku untuk memutuskan hubungan dengannya, akupun rela, Dek. Tapi tolong jangan seperti ini lagi. Aku minta maaf. Mohon beri aku kesempatan kedua. Aku akan memperbaiki semuanya, Dek."

Lagi-lagi Arini menggeleng cepat. Aaarrrggh, kenapa kamu membuatku semakin frustasi aja, Arini! Aku benar-benar kesal. Arini tak bisa diajak kompromi.

"Semuanya sudah terlambat. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin kita pisah. Kalau bisa aku minta kata talak darimu sekarang juga! Biar secepatnya kita terbebas! Dan takkan ada lagi yang menghalangimu kembali dengan mantan!" ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Segera kupeluk tubuh Arini yang hendak pergi. Entah kenapa aku tak rela kehilangannya. Kalau aku berpisah dengan Arini, siapa yang akan merawat ibu. Arini, tolong jangan pergi.

Ya, semua salahku. Salahku yang masih mencintai wanita yang sudah menjadi mantan. Rasa cintaku pada Elvina kembali tumbuh saat pertemuan kami empat bulan yang lalu.

Tanpa sengaja, aku berpapasan dengannya di sebuah minimarket. Dia tengah memilih barang belanjaannya sembari menggandeng gadis kecil yang imut dan cantik.

"El ..." sapaku. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kehadiranku.

"Mas?" sapanya gugup.

Aku tersenyum dan langsung berjongkok di hadapan gadis kecilku.

"Aqilla, ayah kangen sekali sama kamu, Nak," ucapku dan langsung memeluk tubuh mungilnya.

"Ayah ..." Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku bertemu lagi dengannya. Dan bibir mungilnya memanggilku seorang ayah. Aku benar-benar bahagia. Ini adalah hal yang paling kurindukan. Dipeluk oleh buah hatiku sendiri.

Tak jemu kuciumi wajah mungil itu. "Ayah rindu sekali padamu, Nak. Ayah senang sekali bisa ketemu sama kamu lagi."

Kugendong gadis mungilku ini, diapun terlihat senang. Dia terus tersenyum sambil memanggilku ayah.

"El, kamu apa kabar?" tanyaku.

Elvina mengangguk. "Alhamdulillah aku baik-baik saja, Mas."

Aku tersenyum, sudah satu tahun kami terpisah akhirnya bisa bertemu dengannya lagi. Entah kenapa dadaku berdebar-debar kembali.

"Kamu lagi belanja? Biar aku yang bayarin, El. Aku juga ingin ngobrol sebentar dengan kalian. Bisa kan? Kamu ada waktu?" tanyaku lagi penuh pengharapan.

"Iya, Mas."

"Ambil semua yang kalian butuhkan, El. Aqilla mau apa? Es krim apa susu?"

"Mau es krim, Yah!"

"Hahaha, iya sayang. Ambil juga jajan yang kamu suka."

"Asyiiik."

Dengan girangnya Aqilla turun dari gendonganku lalu berlarian memilih es krim dan juga jajan kesukaannya. Aku membayar barang belanjaan Elvina. Sekali-kali tak apa kan aku menyenangkan mereka? Toh sudah lama juga aku gak pernah memberi Aqilla nafkah karena memang putus kontak.

"Ya sudah kita sekalian makan bersama ya," ajakku.

Aku sangat bersyukur saat itu tak ada kata penolakan dari Elvina. Kami makan bersama di restoran cepat saji. Aqilla yang sudah bertambah besar, dia bisa makan sendiri dengan lahap.

Kami terlibat perbincangan seru. Elvina juga banyak bercerita tentang kehidupannya pasca pisah dariku. Ternyata yang dia lalui pun tak mudah, ia harus bekerja keras sendirian untuk menghidupi dirinya dan juga Aqilla.

"Jadi kamu bekerja selama ini?"

"Iya, Mas."

"Terus Aqilla sama siapa?"

"Aku titipkan dia di penitipan anak."

"Biar Aqilla ikut aku saja. Dia gak akan kekurangan, dan lagi akan ada yang mengurusnya dengan baik."

Dia terdiam sambil memandangku dengan tatapan entah.

"Aku sudah menikah lagi, El. Aku yakin Arini pasti bisa menerima Aqilla. Nanti akan kukenalkan kamu dengannya."

Setelah pertemuan hari itu, akupun mengantarnya pulang dan meminta nomor teleponnya. Beberapa hari kemudian aku membawa Arini pergi menemui Elvina dan juga putriku. Walaupun baru pertama kali bertemu, mereka terlihat akrab. Arini memang supel, mungkin karena kebiasaannya dulu adalah seorang perawat. Tapi saat aku kembali mengutarakan keinginanku agar Aqilla tinggal bersama kami, Elvina menolak. Dia bahkan menangis dan meraung.

"Mas, kita memang sudah berpisah, tapi jangan pisahkan aku dengan Aqilla. Dia anakku, Mas! Aku gak bisa hidup tanpanya!"

Karena ucapannya itulah, aku tak lagi memaksa agar Aqilla tinggal bersama lagi. Dan sejak hari itu aku berjanji akan memberi nafkah untuk Aqilla. Nafkah yang selama ini belum kutunaikan sejak berpisah. Hari berganti hari, aku jadi sering mengunjungi putriku, ya selain itu akupun ingin bertemu dengan Elvina yang terlihat makin cantik. Semua keinginan Aqilla berusaha kupenuhi. Termasuk keinginan El yang ingin punya rumah agar tidak mengontrak lagi.

"Mas, maaf aku meminta ini sama kamu. Sebenarnya aku malu, tapi tolong ini demi Aqilla, kami ingin tempat tinggal yang layak, biar tak perlu pindah kesana-kemari karena tinggal di kontrakan. Kasihan Aqilla, Mas."

Aku tersenyum, aku mengerti kegundahannya. "Baiklah, aku akan mencari perumahan untuk kalian."

"Beneran, Mas?"

"Iya, kau tenang saja. Aku ada penghasilan dari bisnis sampingan selain bekerja, jadi pasti uangnya cukup untuk DP."

Elvina tersenyum sumringah. Kebersamaan kami pun semakin dekat, bahkan seperti keluarga yang masih utuh.

Hingga aku melupakan Arini di rumah hanya dalam hitungan bulan saja.

"Lepaskan aku, Mas!" Arini meronta dari dekapanku. Tanpa sadar aku mendekapnya begitu erat.

"Uhukk-uhukk ...!" Arini terbatuk, segera kulepas pelukanku.

"Arini, maaf. Aku---"

"Kau sudah gila ya, Mas! Kau hampir membunuhku! Nafasku sesak banget gara-gara kamu memelukku seperti itu!" ucapnya tersengal-sengal.

Aku mengusap wajah dengan kasar. "Maafkan aku, Dek."

Arini berlalu pergi meninggalkanku sendiri di kamar.

Braakkk ... Pintu tertutup cukup kencang. Duh, salah lagi aku!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status