Di rumah Ibuku bisnis online ku terus berlanjut. Walaupun pikiran kalut, tetapi uang harus tetap mengalir. Aku tidak boleh kalah dari si Gavin congkak tersebut. Dia tidak tahu kalau uang yang Aku hasilkan terkadang melebihi uang yang dia kasih ke Aku. Sedangkan uangnya sendiri sebagian besar ia habiskan untuk dirinya sendiri. Biarlah dia menganggapku bodoh tidak tahu apa-apa. Memangnya itu penting buat di pikirkan? Tentu saja tidak.
Dari rumah Ibuku Aku terus memantau gerak gerik mereka. Pertama ku coba mengecek penyadap suara di kamar kami. Lalu terdengarlah pembicaraan-pembicaraan mereka.
"Wah itu foto anak-anak ya, Mas. Mereka ganteng dan cantik-cantik. Mereka mirip sama Ayahnya. Beda jauh sama Ibu mereka."
"Iya dong sayang, siapa dulu ayahnya. Apalagi kalau Mas punya anak dari kamu, pasti wajah mereka tambah cantik lagi mirip kamu. Untung anak-anakku mirip sama saya. Kalau mirip ibu mereka, iiiih jeleeeek, buluk."
"Bener itu, Mas. Lihat saja penampilannya. Eh dia itu nggak tahu fashion ya, Mas? Habis fotonya pake jilbab dan gamis model emak-emak ketinggalan zaman ya. Kok Mas betah sih sama dia?"
"Boro-boro ngerti fashion kekinian. mukanya saja nggak terurusi olehnya. Ngertinya itu ya cuman daster. Itupun daster nenek-nenek."
"Kasihan kamu, Mas. Punya istri yang nggak ngertiin kamu. Nggak bisa manjain mata suami."
"Makanya Mas sayang ke kamu. Kalau nggak ada kamu bisa-bisa sumpek menyaksikan dia yang penampilannya gitu-gitu saja. Membosankan. Muka kusam kayak ondel-ondel."
"Hahahaaa bisa saja kamu, Mas. Kalau begitu kenapa Mas mau nikahin Vina?"
"Halah dulu terpaksa. Habis di jodohin orang tua. Apalagi dulu Vina ngebet banget sama Mas. Teruus saja nyamperin Mas. Sampai-sampai sering datang kerumahnya Mas tidak mau pulang."
"Ih perempuan murahan itu. Udah tahu orang nggak cinta malah nyamperin terus."
"Dua minggu ini pasti Mas akan bahagia sebab di temenin sama perempuan secantik kamu, Alwa."
Eeewww. Keterlaluan sekali Mas Gavin ini. Dia bilang Aku yang mengejar-ngejar dia. Padahal dulu bukannya dia yang terus membujukku agar mau menikah dengannya? Dasar mulut lelaki. Munafik.
Ku cek juga di rekaman cctv. Maka terlihatlah kegiatan mereka. Alwa tidak sungkan-sungkan di rumahku. Duduk, tidur sesuka hatinya. Bahkan mereka bercumbu di manapun mereka suka. Dasar betina nakal. Mengotori rumah ku saja. Panas juga hatiku melihat perbuatannya. Dia pikir itu rumahnya apa?.
Royal sekali Mas Gavin terhadap perempuan ini. Makan mereka pesan online. Terlihat mereka pulang bersama dengan banyak tentengan belanjaan di tangan perempuan itu. Rupanya mereka belanja bersama. Beda sekali dengan cara dia memperlakukanku. Kalau Aku jangankan memesan makanan, atau belanja. Bisa-bisa image boros mewarnai ku di mata Mas Gavin.
Sebelum Mas Gavin berangkat kerja, tak lupa perempuan itu mencium punggung tangan Mas Gavin dan mengecup kiri kanan pipi Mas Gavin. Jijik Aku menyaksikannya. Dan Mas Gavin pun dengan lembutnya membelai rambut manusia betina itu yang tampak ikal kecoklatan tersebut.
Setelah kepergian Mas Gavin kulihat si Alwa tersenyum lega sambil memainkan gawainya. Da sepertinya dia menelpon seseorang. Mungkin temannya atau siapalah? Aku tidak peduli. Begitu santai kehidupan wanita ini di rumahku. Setelah lama kusaksikan tidak ada sesuatu yang menarik perhatianku. Ku tutup rekaman itu. Tapi eeeeit.. ketika itu seperti ada seseorang yang datang.
Benar saja seorang lelaki paruh baya mendatangi rumahku. Siapa laki-laki itu?. Mungkin Ayahnya Alwa kali ya. Begitu lelaki itu masuk, bergegas Alwa menutup pintu. Alwa menyambutnya dengan wajah berbinar-binar. Tidak mungkin ini Ayahnya. Lelaki itu menyerahkan semacam amplop ke Alwa. Alwa menerima dengan wajah sumringah. Penasaran apa yang mereka bicarakan. Ku buka sadapan suara mereka.
"Akhirnya Om datang juga. Rindu deh sama om. Oh ya ini rumah baru Alwa Om. Rindu sama permainan om."
"Ih permainan yang mana sayaang?"
"Aduh kok nggak maksud sih? Ini Om kasih tarif buat Alwa. Tujuh juta cukup ya?. Tapi jangan lupa sesuai perjanjian. Pelayanan maksimal oke?"
Aku mengernyitkan dahi, ini apa maksudnya. Apakah Alwa juga memanfaatkan lelaki ini? Atau..... Ah apa pikiranku yang kotor.
"Jam berapa suamimu pulang?"
"Nanti jam 2 Om. Ah jangan tanya masalah suamiku Om. Lebih baik kita menikmati waktu oke?"
"Oke nih Om bawain pengantar buat menghangatkanmu. Heheee.. biar hot"
Ku cek lagi ke cctv, astaga kulihat pria itu mengeluarkan dua botol minuman keras dan meletakkannya di atas meja. Lalu tanpa sungkan Alwa menenggaknya seperti tanpa beban. Atau mungkin dia sudah terbiasa. Inilah perempuan yang kau bangga-banggakan itu Mas. Rupanya kelakuannya tak secantik wajahnya.
Setelah itu mereka melakukan sesuatu yang menurutku tidak layak di pandang. Tidak senonoh, memalukan. Sungguh mengotori rumahku. Tapi akan ku simpang rekaman itu. Untuk senjata dilain waktu.
Rupanya akhlak wanita itu sangat buruk. Menjual dirinya demi uang. Perempuan malas yang tidak mau bekerja keras. Hingga menjual tubuh ke pria hidung belang.
Memanfaatkan kecantikan hanya untuk di nikmati para lelaki. Demi rupiah. Padahal kalau dia mau apa salahnya bekerja yang halal agar mendapatkan uang yang halal. Bukan malah menjual diri.
Perempuan ini pantas untuk di kasihani. Tidak sadar diri tadi mengatakan Aku perempuan murahan pada Mas Gavin. Ternyata dialah wanita yang sungguh wanita rendahan. Menggaet suami orang demi uang, menggaet Om-om demi uang. Tidak pandang bulu asalkan ada uang. Dia pikir kecantikannya itu permanen? Kalau terus mendapatkan uang dengan cara seperti itu, bagaimana jika usia mulai uzur? Siapa yang mau seiring kecantikan yang terus memudar. Apakah dia tidak berpikir sampai di situ? Benar-benar rugi Mas Gavin menaruh kepercayaan padamu, Alwa.
Kamu tidak Tahu Alwa perbuatanmu itu akan memalukan dirimu sendiri di lain waktu. Dan Gavin yang telah merendahkanku demi perempuan ini, nanti akan ku percepat keinginan kalian untuk hidup bersama. Biar dia tahu citra perempuan yang telah menguasai hatinya. Di jamin apes hidupmu Gavin.
Di rumah orang tuaku, Aku menyusun strategi. Aku ingin menghubungi seseorang untuk mendukung keinginanku. Orang itu adalah Ferdi suaminya Alwa. Aku memang belum mengenal pria itu. Berbekal nomor ponselnya. Aku mengajaknya bertemu di suatu tempat. Awalnya dia menolak. Tapi setelah aku berhasil meyakinkannya, dia setuju. Untuk menemuinya, memang sedikit memakan waktu sih. Tapi tak apalah. "Bu hari ini Vina mau antar orderan. Agak jauh Bu." "Lhoo kamu mau antar sendiri, kenapa nggak dikirim saja, nak?" "Kebetulan yang pesen teman lama Bu. Jadi ya Vina mau antar sendirilah, sekalian mau silaturahmi. Vina titip anak-anak ya Bu. Oh ya Vina pake mobil Ayah ya, Bu!" "Yang penting kamu ha
"Jadi apa yang kira-kira harus kita lakukan , Fer?" "Baiklah pertama kali sebaiknya kau amankan aset yang kalian miliki. Rumah, mobil atau apa yang menurutmu penting. Kamu tidak boleh jatuh sebelum terlambat, Vina. Pikirkan masa depan anak-anakmu." "Ya soal itu Aku mengerti. Aku berusaha semampuku. Aku tahu dalam beberapa waktu ke depan Mas Gavin akan menceraikan Aku." "Oleh sebab itu kamu harus mengambil langkah yang cepat, Vina. Kalau tidak kau akan kalah dengan mereka. Kalau kau butuh bantuan jangan sungkan untuk menghubungiku." Sepulangnya dari sana Aku berpikir memang benar apa yang Ferdi katakan. Aku harus sedikit mempercepat langkahku. Sekarang Aku harus memutar otak bagaimana caranya agar mobil
"Mmm kamu mau mengenalkan wanita itu padaku? Boleh. Siapa takut. Walaupun sebenarnya itu tidak penting bagiku." "Kau boleh mengatakan dia tidak penting untukmu, Vina. Tapi dia teramat penting dan spesial buatku. Bisa saja kau berkata demikian karena kau iri kan? Iri dengannya yang berbeda 180 derajat di banding kamu. Kalau kau di sandingkan dengannya, maka tak lebih terlihat seperti seorang nyonya dengan pembantunya." "Oh begitu ya. Baguslah kalau begitu. Boleh saja kamu bilang Aku iri. Kau pikir Aku bisa iri dengan seorang wanita yang menggaet suami orang? Iya? Pikiranmu dangkal, Mas. Harusnya Aku prihatin dengan wanita seperti itu. Sampai-sampai harus memanfaatkan uang suami orang untuk memenuhi kebutuhannya. Tapi tak apalah, Karena perkataanmu sudah ku anggap angin lalu."
Pagi-pagi buta Aku dikejutkan dengan kedatangan Mas Gavin. Untuk apalagi bajingan itu kemari. Merusak pemandangan di pagi hari saja. " Ada perlu apalagi kamu datang kemari?" " Memangnya kenapa? Masalah buat kamu? Ini adalah rumahku. Terserah padaku mau datang, mau tinggal, mau apa saja. Sekarang Aku mau mengambil brankas yang berisi surat-surat penting itu. Soalnya Aku ingin segera mengurus perceraian denganmu." "Baiklah, ambil saja. Aku tidak keberatan." Dengan melengos dia pergi menuju ruang kerjanya dan mengambil brankas itu. tidak masalah, toh dia mau mengambil buku nikah buat mengurus perceraian kami. Tapi ada sedikit ketakutan merasuki pikiranku. Bagaiman
Surat panggilan dari pengadilan sengaja tidak ku tanggapi. Agar tidak ada perselisihan pendapat dengan Mas Gavin. kubiarkan saja saja sampai akta cerai itu keluar. Malas Aku melayaninya bicara.Tidak ada gunanya juga Aku datang. Tidak ada yang perlu di bahas lagi. Kalaupun datang, itu hanya membuang waktu percuma. Dengan begitu ku biarkan Mas Gavin merasa dia telah menang. Menganggapku menyetujui semua yang dia inginkan. Mungkin saja image bodohnya diriku sedang memenuhi pikirannya saat ini. Aku tak ambil pusing. Bukankah selama ini mereka berdua menganggapku bodoh. Jadi untuk apa orang bodoh ini menemui manusia pintar seperti mereka. Pintar dari hongkong kali ya. Orang pintar tidak akan menjual diri demi uang. Orang ointar tidak akan mengambil suami irang, ataupun istri orang. Justru merekalah orang orang yang menghalalkan segala cara untuk kepentingan mereka sendiri.
Hari ini Alwa mengajakku bertemu di suatu tempat. Aku menyetujuinya. Siapa takut. Dengan berdandan seperti biasanya Aku menemuinya. Aku memang belum berniat untuk menunjukkan siapa diriku sebenarnya. takut kalau terlalu cepat untuk membuatnya terkejut, setelah tahu siapa Aku sesungguhnya. Aku meluncur dengan taksi online yang telah ku pesan dari awal. Aku sengaja pergi lebih awal karena tidak mau menunggu lama. Akhirnya orang yang ku tunggu akhirnya tiba. " Syukurlah kalau kamu mau menyetujui kita bertemu di sini. Aku kesini hanya sekedar memberi tahu, bahwa sebentar lagi Mas Gavin akan menikahiku. Jadi semua foto-foto kami itu akan sah-sah saja bukan?" "Tapi kamu belum bisa menghentikan uang untukku sebelum kalian menikah. Dan sebelum kamu bercerai denga
Sekarang Aku harus menghubungi Mas Gavin. Ada sesuatu yang ingin Aku bicarakan. Menyangkut apa yang harus Aku dapatkan. Ku tekan tombol panggilan pada kontaknya. "Hey mengapa kamu masih menghubungiku. Mau minta duit ya? Aku tidak ada duit buat di kasih ke kamu, Vina. Sono minta saja sama orang tuamu!" "Aku bukan mau minta duit, Mas. Tapi ada yang harus Aku bicarakan ke kamu. Ini penting, Mas. Apa kita bisa bertemu?" "Memangnya kamu ingin membicarakan soal apa lagi. Katakan saja kamu kaget hidup tanpa Aku kan?. Susah cari duit buat menghidupi diri kalian. Makanya jadi perempuan jangan sok-sokkan. Sok mampu, sok mandiri. Tahu-tahunya baru ditinggal sebentar sudah nelpon-nelpon. Ooh atau kamu baru menyadari bahwa Aku ini penting ya? Tapi walau bagaimanapun Aku tidak mungkin menari
Bab 18 Siap Meninggalkan Rumah Mas Gavin... Mas Gavin. Asalkan kamu tahu saja Aku sudah siap sedia meninggalkan rumah ini ke rumahku yang baru. Karena rumah ini telah resmi terjual. Berkat bantuan Pak Nugraha, rumah ini terjual dengan harga fantastis. Tak lupa ku beri bagian padanya, karena telah berjasa menolongku. Jadi tanpa Mas Gavin paksa pun Aku akan keluar. Setelah lama mencari, Akhirnya Aku menemukan tempat tinggal yang lebih baik dari ini. rumah itu terletak tak jauh dari kota tempat perusahaan tempat Ferdi bekerja. Dan rumah itu juga ku dapatkan atas rekomendasi Ferdi sendiri. Lokasinya yang strategis sehingga memudahkan Aku untuk memajukan bisnisku. Jadi selain berkecimpung di dunia online, Aku juga membuka toko langsung di rumah. Rumah baruku ini terletak jauh dari kota sebelumnya Aku tinggal.