Jantung Eric berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Eric sendiri tidak paham, mengapa ia justru merasa senang?
Sekelumit rasa bersalah menusuk relung hati. Apalagi, ketika melihat memar di tangan Yuna. Eric membelai lembut lalu mengecupnya.Namun, rasa bersalah itu hanya sebentar. Barang pusakanya terlanjur memasuki gadis itu. Euforia mendapatkan yang pertama dari Yuna membuat Eric semakin gencar memaju mundurkan pinggul.Yuna merintih kesakitan ketika Eric terus mengentak barang pusakanya dengan kasar dan kencang. Peluh dan tangisan membasahi wajah gadis itu.Eric lupa diri. Tidak ingat lagi dengan rencananya. Bahkan ia tidak sadar dengan jeritan Yuna yang semakin keras."Pelan... Tuan...."Karena Yuna semakin berisik, Eric melumat habis mulutnya. Yuna sampai kehabisan napas dan mendorong-dorong Eric. Tetapi Eric justru semakin keras menghajar inti Yuna."Masih sakit?" Eric bertanya lirih di telinga YunaYuna mengangguk. Tidak memiliki tenaga lagi unEdward mengetuk pintu setelah kedua kakak adik itu berhenti bicara. "Halo, Yuni.""Edward?""Kak Edward!"Dua kakak adik itu berseru bersamaan. Satunya senang, satunya bertanya-tanya. Yuna jadi orang yang mempertanyakan maksud kedatangan Edward. Sementara, Yuni yang dari dulu mengagumi Edward, senang sekali bisa bertemu dengan mantan calon kakak iparnya itu."Ngapain kamu di sini?" tanya Yuna ketus."Dari mana Kak Ed tahu aku dirawat di sini?"Dua gadis itu kembali berucap di waktu yang sama. Edward terkekeh-kekeh melihat kekompakan kakak adik itu."Aku dengar dari Riana kalau Yuni habis kecelakaan. Syukurlah kondisimu sudah membaik, nggak seperti cerita Riana."'Riana? Apa dia menyewa kupu-kupu malam di Hotel Laisa lagi?'Yuna menatap tajam Edward. Seolah menembakkan laser ke arah pria itu."Santai, Yun. Niatku mau nengok Yuni. Aku bahkan nggak tahu kamu ada di sini.""Ini, Yun, buah buat kamu. Udah boleh makan buah-buahan belum?" ta
"Apa adikmu ganti jenis kelamin?"Yuna terkejut setengah mati mendengar suara Eric. Ia langsung menjauhkan diri dari Edward."Aku pergi dulu, Yun. Mari, Tuan.""Siapa yang bilang kamu boleh pergi?" hardik Eric."Ada perlu apa, Tuan?""Apa yang kamu lakukan di sini?""Saya menjenguk adik kenalan saya.""Maksudmu adik dia?" Eric menunjuk Yuna dengan matanya."Benar.""Ayo, Tuan. Kita pulang." Yuna menyeret lengan Eric."Kamu..." 'Siapa yang bolehin kamu pegang-pegang aku.' Awalnya Eric akan mengatakan itu. Tapi segera diurungkan. Tidak ada gunanya bersikap kasar lagi di depan Yuna karena ia adalah yang pertama. Mengingat hal itu saja membuat wajah Eric merona.Meskipun ia tidak akan sudi mengakui hatinya sendiri yang mulai tertarik kepada Yuna. Ia lalu membuang muka dan mengikuti Yuna yang membimbingnya pergi."Di mana Pak Hendri, Tuan?""Belum datang.""Lalu Tuan naik apa ke sini?""Sepupu.""Oh... Tuan sudah m
"Kakak Yuna!"Riana mendorong kursi roda yang dinaiki Yuni masuk ke dalam ruangan tanpa permisi. Eric langsung membuang tangan Yuna dengan kasar.Riana melepaskan senyuman menggoda pada Yuna. Dari malam di pesta menjijikkan itu, Riana tahu si tuan muda tertarik kepada Yuna. Tebakannya dibenarkan oleh apa yang baru saja dilihatnya "Kakak kok jadi ikut-ikutan sakit?" Yuni melihat kaki Yuna lalu menutup mulut dengan tangan. "Kakak juga kecelakaan? Atau jangan-jangan disiksa majikan Kakak?"Jantung Eric serasa berhenti berdetak. Ucapan Yuni dengan suara nyaring itu tepat sasaran. Seolah-olah sengaja menusuk rasa bersalahnya sekali lagi."Nggak, Yuni. Kakak cuma diserempet orang kok. Nggak apa-apa sekarang. Cuma lecet-lecet."Eric menatap Yuna lekat-lekat. Tidak tahu mengapa, ia justru kagum dengan kata-kata Yuna.Yuna sengaja berbohong agar adiknya tidak cemas. Demi adiknya juga Yuna sampai menjual perawannya. Dan dengan jahatnya Eric merusak itu semua!
Wajah Eric yang biasanya kaku seperti sapu ijuk berubah menjadi lebih lembut. Seharian ini, Eric memperlakukan Yuna bak tuan putri.Tidak hanya membelikan makanan favorit Yuna, pria itu juga menyuapinya. Padahal yang sakit hanya kaki Yuna. Sedangkan tangan Yuna baik-baik saja.Namun, itu semua hanya terjadi dalam sekejap mata. Tepatnya, ketika Eric melihat pesan di ponselnya. Raut wajahnya kembali mengeras, cara bicaranya pun kembali seperti kemarin-kemarin.Yuna bingung dengan sikap Eric. Apa yang dipikirkan pria itu? Tetapi Yuna mulai menyadari sesuatu.'Eric bersikap baik padaku saat ingin menikmati tubuhku. Dia sama saja dengan para lelaki hidung belang pada umumnya.'Kejadian pesta malam itu pun kembali terlintas dalam ingatan Yuna. Mungkin Eric memang baru sekali menghadiri pesta gila itu, tapi tidak menutup kemungkinan Eric pernah bercinta dengan wanita lainnya.'Tampan dan kaya raya. Apa yang nggak bisa dimilikinya?'Hati Yuna memanas. Bukan karen
Yuna tertatih-tatih meninggalkan rumah sakit. Seharusnya ia masih harus diopname sampai besok. Biaya rawat inap pun telah dibayar. Tapi Eric tiba-tiba menyuruhnya pulang.Di parkiran rumah sakit, Yuna mencari-cari mobil yang biasa digunakan Pak Hendri untuk menjemputnya. Tapi mobil mewah itu tidak tampak di mana pun.[Tuan, aku udah di parkiran. Pak Hendri belum datang.][Tidak ada yang menjemput. Pulang sendiri.]Jawaban kejam itu berasal dari Emilia yang membalas pesan Yuna.Yuna menuju ATM untuk mencairkan uang dari kartu hitam milik Eric. Niatnya hanya meminjam seratus ribu untuk membayar taksi. Tapi permintaannya ditolak mesin."Diblokir?" Yuna mengerutkan kening. "Terus gimana caranya aku pulang?"[Tuan, kartunya diblokir. Aku nggak bawa apa-apa waktu ke mari.][Pulang sendiri pakai uangmu. Jangan manja! Kalau nggak ada uang, jalan pakai kaki!]Yuna tidak merasa ada keanehan dalam pesan yang dibalas Emilia. Memang Eric sebelumnya selalu keja
"Tuan, aku udah pulang."Yuna menemukan Eric di ruang tamu. Jarang sekali sang tuan muda itu duduk-duduk di depan.'Apa dia menungguku?'"Siapa yang mengantarmu?""Teman. Aku nggak bawa dompet. Kartu Tuan juga nggak bisa dipakai.""Berikan padaku.""Apanya?""Kartu."Yuna mengeluarkan kartu hitam dari kantong celana. Ia menyerahkan kartu itu kepada Eric."Tuan, apa aku boleh langsung istirahat sekarang?""Masuk ke kamar sekarang," kata Eric dengan nada yang sangat dingin.Ketika Yuna sampai di depan pintu kamar, Emilia tiba-tiba muncul dari samping. Yuna tersenyum senang bertemu dengan Emilia."Apa kabar, Kak? Kenapa belum tidur?"Emilia mengerutkan kening tidak suka. Namun Emilia bersikap seolah tidak ada apa-apa."Dari mana kamu malam-malam?" tanya Emilia."Dari rumah sakit, Kak. Aku permisi dulu mau istirahat. Badanku sakit semua.""Yuna, mulai hari ini kamu tidur di kamar belakang. Papa dan mamaku sudah tahu kalau k
Hari berganti, Yuna masih tertidur pulas. Seseorang mengetuk pintu gudang dengan keras.Yuna terkejut dan melompat dari tempat tidur. Ketukan pintu lebih mirip gebrakan seperti orang marah.Masih setengah sadar Yuna membuka pintu. "Siapa?"Perempuan muda berseragam rapi berkacak pinggang di ambang pintu. Ia melipat tangan di depan dada setelah kemunculan Yuna. Kepalanya sedikit mendongak dan ekspresinya mengintimidasi."Aku Sandra. Kamu pelayan baru di sini, bukan? Kenapa belum siap-siap jam segini?""Maaf?" Yuna tidak begitu memperhatikan. Matanya belum terbuka sepenuhnya dan masih mengantuk.Sandra mendorong kepala Yuna dengan telunjuk. "Cepat siap-siap! Ganti baju yang rapi dan segera ke tempat cuci."Yuna datang ke tempat yang dimaksud Sandra. Tiga pelayan wanita termasuk Sandra menghentikan aktivitas dan menatap Yuna dengan pandangan tidak suka."Kamu pikir ini rumahmu, satu jam baru datang? Cepat selesaikan ini semua!" bentak Sandra.Ketiga
Eric menarik belakang kepala Yuna lalu mengecup bibirnya. Mereka saling berpandangan sesaat kemudian mulai berciuman dengan hebat.Yuna lebih berani melingkarkan tangan di leher Eric. Dan tangan Eric telah menjelajah seluruh isi baju Yuna.Yuna melepas ciuman itu, sedangkan Eric masih maju dan berusaha mendapatkan bibirnya. Ibu jari Yuna menghentikan usaha bibir Eric."Tuan, aku baru dari dapur dan berkeringat.""Aku suka aroma tubuhmu, Sayang." Suara Eric serak dan napasnya tidak beraturan.Yuna membuka kedua kaki yang masih duduk di pangkuan Eric agar dapat melihat pria itu lebih dekat. Tangan kanannya mengusap dada berotot Eric dengan gerakan erotis.Entah mengapa, Yuna ingin mencium Eric lebih dulu. Namun, ketika ia memajukan wajahnya, pintu kamar Eric terbuka kencang sampai membentur dinding."Astaga! Apa yang kamu lakukan, Yuna?! Aku nggak nyangka kamu serendah ini menggoda adikku!" bentak Emilia."Kakak jangan seenaknya masuk ka-""Diam kam