"Nggak dengar perintahku, hah?"
Dalam dada Yuna terbakar amarah. Semakin lama, Eric kian kasar padanya.Bicara saja selalu ketus, tidak pernah tersenyum sekali pun. Memerintah seenak hati tanpa peduli situasi dan kondisi.'Masa dia sungguhan mau melakukan ini di sini?' batinnya."Kamu tuli?""Maaf, Tuan. Tapi ini di luar. Gimana kalau ada yang lihat?""Terus kenapa? Cepat lakukan perintahku!"Yuna tidak bisa tidak menuruti Eric. Meskipun ia ingin sekali menampar pria itu sekarang tapi ia tetap mematuhi ucapannya.Di malam yang semakin dingin dan di luar ruangan yang terbuka, Yuna meloloskan gaun dari tubuhnya tanpa menanggalkan dalaman. Ia mendekat ke arah Eric kemudian berjongkok.Yuna siap melorotkan celana kain yang dikenakan Eric. Namun, Eric justru menampar tangannya dengan kasar."Aaw! Sakit!" pekik Yuna."Mau apa?""Katanya suruh buka baju," ucap Yuna dengan nada jengkel."Terus tanganmu mau apa barusan?""Melakukan tugasku. Mau apa lagi?""Kamu bodoh ya? Aku suruh kamu lepas gaun itu dan ganti dengan bajumu sendiri. Kamu mau bersih-bersih pakai gaun bagus seperti itu?""Oh... M-maaf, Tuan." Yuna menunduk malu."Sampai kapan mau diam saja? Tsk, lambat sekali! Apa aku harus meminta pengembalian dana kepada mucikarimu?""J-Jangan, Tuan. Aku akan kerjakan sekarang."Yuna bergegas memakai kaos kotor miliknya lalu kembali ke kolam menyelesaikan sisa pekerjaan. Dalam hati ia mengutuk Eric. Bisa-bisanya pria berwajah tampan dan berkelas, tega dengan gadis muda sepertinya.Hawa dingin menyebar ke sekujur tubuh ketika angin bertiup kencang. Beberapa kali Yuna bersin-bersin tapi Eric tidak peduli.Sendi-sendinya mulai ngilu. Badannya sangat kelelahan karena tidak berhenti bekerja sejak tadi pagi.Andai saja Eric tidak ada di sekitar, Yuna mungkin bisa tidur di dalam kolam kering itu. Ia hanya ingin segera merebahkan diri di mana saja.Yuna menarik napas panjang. Ia teringat ucapan Eric sebelumnya yang menginginkan pergulatan badan di tempat ini.'Bisa-bisa aku mati kelelahan. Tapi ini kesempatanku supaya dia nggak jadi tidur denganku.'Yuna pun menggerakkan tangan membersihkan dinding kolam perlahan. Sebenarnya ia telah membersihkan semua area, tapi ia pura-pura masih melakukannya.Walaupun Yuna telah bertekad menyerahkan segalanya untuk Eric demi uang, ia masih saja merasa takut menghadapi malam pertama. Ia mengintip Eric dan berharap pria itu sudah kelelahan atau justru tertidur lelap.Sang tuan muda tengah duduk di kursi santai pinggir kolam. Melipat kedua tangan di bawah kepala sambil mengamati gerak-gerik Yuna."Sudah lima belas menit. Belum selesai?"Nada suara Eric yang selalu menekan dan terdengar dingin itu membuat Yuna tidak sanggup lagi untuk berbohong."Udah selesai, Tuan. Tinggal mengisi airnya saja.""Cepat naik!""Baik, Tuan," jawab Yuna patuh.Yuna berdiri di sebelah Eric, khawatir menunggu perintah selanjutnya. Namun Eric hanya memandangi Yuna dari kaki hingga kepala selama beberapa saat. Pria itu bangkit lalu berbalik ke dalam rumah."Ngapain masih di situ? Cepat masuk! Aku pengen tidur."Yuna mengekor Eric. "Tapi aku sudah membersihkan kolam, Tuan.""Terus kenapa?""Katanya tadi mau... Itu... Di sini...."'Astaga, kenapa aku malah menyinggung masalah itu? Udah bagus kalau dia lupa! Dasar Yuna bodoh!'Eric berhenti mendadak, Yuna hampir saja menubruknya. Eric berbalik kemudian memandang sinis ke arah Yuna."Coba bercermin. Siapa yang mau disentuh sama perempuan kumal sepertimu?"Yuna membaui aroma tubuhnya. Ia mengernyit oleh bau keringatnya sendiri."Mandi dulu sebelum menyentuh barang-barang di kamar. Jangan sampai bau menjijikkan itu menempel di perabotanku.""Baik, Tuan."***"Ingat, nanti kalau ketemu kakakku, kamu harus mengikuti semua perintahnya. Apa pun yang dia suruh, kamu harus patuh. Mengerti?"Yuna menjawab dengan anggukan. Mulutnya saat ini sedang melakukan pekerjaan wajib setiap pagi sebelum Eric berangkat kerja."Bagus... Haaaa...."Eric menarik rambut Yuna, sehingga wanita itu terdorong maju sampai hampir kehabisan napas. Untung saja, Eric segera melakukan pelepasan.Yuna terengah-engah menyeka mulut. Ia terbatuk-batuk sebentar lalu berkata, "Nanti siang aku boleh keluar, Tuan?""Mau ke mana?" tanya Eric tidak peduli. Tangannya sibuk membenarkan celana yang kini menjadi sedikit kusut."Masalah pribadi, Tuan.""Aku nggak boleh tahu?""Mau bertemu adikku.""Baik, kalau mau keluar bilang sama Hendri. Pulang sebelum aku sampai rumah. Awas saja kalau sampai terlambat.""Nggak perlu, Tuan! Aku bisa berangkat sendiri," seru Yuna, tidak nyaman menerima perhatian tuannya."Kalau begitu nggak usah keluar," ujar Eric acuh lalu meninggalkan dirinya.Selang beberapa menit, Eric kembali lagi dengan membawa satu kantong plastik berukuran besar."Apa ini, Tuan?""Baju."Dada Yuna berdebar-debar. Ia senang mendapat hadiah pertama dari Eric selain uang.'Dasar, tsundere! Diam-diam kamu perhatian juga,' gumam Yuna dalam hati.Meskipun dibalut kantong plastik hitam lusuh, pakaian di dalamnya tampak mahal. Yuna pernah melihat para penggunjung bar memakai gaun-gaun seperti itu.Bukan hanya lusinan. Yuna menghitung puluhan, tepatnya, lima puluh potong pakaian dengan merek ternama."Pertama satu miliar, sekarang setumpuk baju mahal. Jangan-jangan Eric sejak awal memang menyukaiku? Sampai dia rela mengeluarkan banyak uang demi mengeluarkanku dari tempat terkutuk itu."'Tapi kenapa dia terus menyuruhku melakukan pekerjaan kasar?' Yuna mulai meragu dengan pemikirannya sendiri."Terserahlah!"Yuna mencoba salah satu pakaian yang menarik indra penglihatan. Gaun hitam setulut yang benar-benar pas ukuran badannya.Ia berputar-putar di depan cermin besar sambil memuji diri sendiri. 'Pantas saja Eric menyukaiku. Badanku bagus begini.' Ia terkekeh-kekeh.'Aku akan memakainya untuk menjenguk Yuni. Mungkin saja dia bangun lalu khawatir dengan biaya rumah sakit. Aku akan menunjukkan kalau aku lebih dari mampu untuk merawatnya.'Ketukan dari pintu terdengar. Yuna ingat pesan Eric untuk tidak membuka pintu. Tapi ketukan itu terus berlanjut berulang-ulang."Yuna, kamu di dalam?""Kak Emilia?""Iya, ini aku. Kamu sedang apa? Aku boleh masuk sebentar?"Yuna berlari kecil membuka pintu. "Ada yang bisa aku bantu, Kak?"Emilia terbelalak melihat penampilan Yuna. Ia mengerjapkan mata berkali-kali seolah tidak mempercayai matanya sendiri."Ya ampun! Aku nggak menyangka, kamu suka mencuri ternyata!""Buat apa kamu ke sini? Mau mengganggu Yuna lagi, hah?" bentak Diana sambil berkacak pinggang menghalangi pintu rumah."Bukan, Ma. Saya bukan mau bertemu Yuna.""Ma? Jangan memanggilku seolah-olah kamu itu anakku!" cerca Diana. Mata Diana melotot tajam kepada Aldo."Maaf, Bu- Nyonya. Saya mau bertemu dengan Pak Herman, sekalian Anda," kata Aldo sopan.Herman yang mendengar suara kencang besannya pun keluar dari dalam kamar. "Ada apa?" Ia memicingkan mata ke arah Aldo."Boleh saya bicara sebentar dengan Anda? Lima menit saja," pinta Aldo.Herman akhirnya mengizinkan Aldo masuk. Meskipun Diana masih menggerutu terus-menerus. Bahkan, ketika Bi Jumi mau menyiapkan minuman, Diana dengan tegas melarangnya.Yudha dan Eric datang setelahnya. Mereka ikut duduk karena ingin tahu apa yang akan Aldo katakan."Bapak mungkin sudah tahu siapa saya," kata Aldo kepada Herman."Ya, saya tahu," jawab Herman datar.Aldo tiba-tiba bersimpuh di depan kaki Herman. Namun, Herman langsung mencegahnya. Aldo te
"Nggak mau," tolak Eric sambil menggeleng-geleng tidak percaya dengan permintaan aneh sepupunya."Kembalilah ke kota, Kak. Kamu bisa kembali menjadi Presiden Direktur Volker Corp. Aku cuma mau Yuriana, nggak ingin kekuasan yang seharusnya jadi hakmu," lanjutnya.Billy mendesah lelah. "Kamu pulang besok. Sekarang sudah hampir malam. Dan Yuriana pergi pakai jalur laut, jangan naik helikopter, suaranya berisik.""Baik, Kak. Berikan dulu Yuriana. Aku ingin menggendongnya."Billy menyerahkan Yuriana setelah bayi itu puas meminum susunya dan Eric selesai mencuci tangan. Eric langsung memeluk erat Yuriana ke dalam pelukan.Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana lega dan bahagia dirinya sekarang. Sampai air mata haru meleleh di pipinya. Eric juga tidak bisa berhenti menciumi seluruh wajah Yuriana.Billy menghela napas, lalu berdecak-decak masuk ke dalam rumah. Entah sudah berapa kali, sejak kedatangan Eric menjemput Yuriana, Billy selalu menghela napas. Suasana hatinya jadi memburuk
"Kita bicarakan masalah ini nanti, setelah Yuriana pulang."Eric tentunya senang oleh permintaan maaf Yuna, tetapi ia masih ingin mengamati perubahan Yuna. Eric tidak ingin lagi ada masalah di kemudian hari dengan persoalan yang sama. Cukup sekali Eric merasakan kesal, marah, dan sedih karena tidak dipercaya dan tidak dihargai istrinya sendiri. Bagaimanapun juga, semua yang ia lakukan demi masa depan keluarganya. "Baiklah. Lalu, berapa lama Mas Eric pergi?""Belum tahu. Aku berangkat dulu, ya. Jangan lemah, Yuna. Kamu sudah menjadi ibu sekarang. Pikirkan Yuriana nanti kalau pulang. Kamu tidak boleh sakit."Hanya mendengar kata-kata perhatian dari Eric saja, Yuna sudah tahu jika Eric telah memaafkan dirinya. Sebelum Eric berbalik, Yuna meraih pundaknya."Ada apa lagi, Yuna?"Yuna mengecup bibir Eric begitu lembut. Sejuta kerinduan yang tertutupi akibat kesedihan dan pikiran negatifnya, akhirnya dapat ia salurkan.Yuna melepaskan ciuman itu, tetapi tangan Eric sudah lebih dulu mendara
"Tuan, sebaiknya kita mengembalikan anak ini kepada orang tuanya." Suara Lima begitu lemah karena seharian kecapekan mengurus Yuriana.Di pulau pribadi Billy Volker, tidak ada satu pun pelayan, hanya ada lusinan bodyguard dan semuanya pria. Lima merasa kesulitan karena tidak terbiasa menggendong bayi.Sejak kemarin, Billy sendiri yang mengasuh Yuriana. Tetapi, hari ini, Billy sedang ingin santai-santai dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun."Malas. Kamu saja yang mengembalikan kalau mau.""Bagaimana saya pergi dari pulau ini kalau cuma Tuan yang bisa menerbangkan helikopter," gerutu Lima."Jangan berisik di dekatku kalau nggak mau aku hukum," ancam Billy.Billy berbaring santai sambil menikmati jus buah segar yang dipetik Lima beberapa saat lalu. Matanya terlihat hampir terpejam karena angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah tampannya.Suara Yuriana menangis membuat Billy melompat dari kursi santai. Dadanya naik turun dengan cepat karena sangat terkejut."Lima!! Kamu ini nggak becus se
"Lepaskan aku!" Emilia meronta-ronta ketika dua petugas polisi mencekal lengannya. "Brengsek! Aku akan membunuh kalian semua! Siapa yang berani melaporkan aku?!"Eric terdiam. Keputusan memenjarakan Emilia juga sangat berat baginya. Yudha dan Diana awalnya juga menentang, tetapi tidak ada cara lain untuk menghentikan kegilaan Emilia.Untung saja, penangkapan Emilia terjadi di tempat terpencil. Mereka masih bisa menyembunyikan kasus itu dari media.Setelah Emilia pergi, beberapa petugas kesehatan yang berjaga-jaga sebelumnya masuk dan memeriksa semua orang. Aldo yang paling parah lukanya. Hampir semua jahitan di perut Aldo terlepas. Ia cukup beruntung karena organ dalam yang tadinya terluka masih baik-baik saja.Rombongan Yuna dan Eric bersama-sama menuju ke kantor polisi terdekat untuk menginterogasi Emilia. Selama berjam-jam, Emilia hanya mengamuk dan mengucap sumpah serapah.Akhirnya, Emilia lelah dan mulai mengakui perbuatannya. Selama berjam-jam tadi, Emilia sengaja mengulur wakt
"Jangan bohong! Cepat katakan di mana anakku!" pekik Yuna sambil berurai air mata.Aldo mendekati Emilia. "Sayang, ayolah, kita jemput Yuriana, lalu pulang ke rumah kita. Atau ... kita tinggal di sini saja berdua. Nggak akan ada yang mengganggu kita. Kita bisa punya anak sendiri. Sekarang, kembalikan dulu Yuriana."Iris mata Emilia berpindah ke arah pintu. Dua pria lain menerobos masuk ke dalam rumahnya. Eric dan Rendra akhirnya sampai, setelah berlarian ke tempat itu.Tanpa memedulikan apa yang baru terjadi, Eric langsung menarik kemeja Aldo dan memutar badan Aldo ke arahnya. Ia langsung meninju wajah Aldo sampai Aldo tersungkur jatuh."Brengsek!" umpat Eric."Kenapa kamu memukul Aldo, Mas?!" Yuna menarik lengan Eric yang bersiap memukul Aldo sekali lagi. "Dia membantuku mencari Yuriana, nggak seperti kamu yang nggak peduli sama sekali!""Kamu membelanya?!" bentak Eric. "Aku nggak membelanya. Kamu datang-datang cuma mau cemburu? Yang ada di pikiran kamu itu apa sebenarnya? Kamu ngga