Share

Part 2

“Aku baru aja di-PHK.”

Jema kehilangan kata-kata untuk saat ini. Sementara itu, Ziyan tersenyum kecut sambil mengusap belakang kepalanya. 

“Aku belum bilang ini ke Ava. Kamu tahu sendiri, ‘kan, gimana dia? Yang di kafe aja dia ngamuk, apalagi  dengar kabar aku di-PHK.”

Ada keheningan sesaat di antara mereka, sampai Jema membuka mulut. “Jadi ini masalahnya, Mas? Alasan kamu telat jemput dan yang tadi kamu bilang di kafe?”

“Iya, Ma.”

Kasihan sekali lelaki itu. Pantas saja Ziyan tidak terlihat seperti biasanya. Jema tahu, dengan temperamen sang istri, Ziyan pasti berpikir seribu kali untuk membicarakan hal ini.  

“Boleh tahu nggak, alasan kamu di-PHK, Mas?” Jema melihat lawan bicaranya tampak lebih frustrasi saat ini. Entah sejak kapan kantong plastik itu sudah lepas dari tangan pemiliknya, hingga dua buntelan berisi makanan itu tak lagi terlihat menggiurkan. 

Ziyan baru akan membuka suara, tetapi mendadak terhenti saat istrinya menampakkan diri. “Ava?”

“Kamu bercanda, ‘kan, Mas?” Mata Ava terlihat terguncang. Dia menatap suaminya dan Jema secara bergantian. “Jawab, Mas! Nggak mungkin kamu dipecat!” Hilang kesabaran, suaranya meninggi dengan gurat emosi yang tidak bisa disembunyikan. 

Ziyan gelagapan. Dia tidak menyangka bahwa istrinya mendengar percakapan tadi. “Va, tenang dulu–”

“Kamu berharap aku tenang, Mas? Nggak bisa! Jawab dulu!” Ava mendesak gelisah. Melihat ekspresi dan diamnya sang suami, itu sudah memberi jawaban yang jelas. Wanita itu mengacak rambutnya frustrasi. “Astaga! Setelah tega bohongin aku, sekarang kamu–”

“Aku nggak berniat bohongin kamu, Va.” Ziyan buru-buru memotong, beranjak dari duduknya dan hendak menjelaskan. Namun, Ava terlihat tidak peduli.

Sang istri beralih menatap Jema yang sejak tadi hanya diam. “Untung kamu datang ke sini, Ma. Kalau nggak, mungkin aku nggak akan bahwa suamiku baru aja di-PHK. Meski aku agak kesal karena di lebih dulu cerita ke kamu daripada istrinya sendiri!”

Jema tahu maksud kalimat terakhir temannya itu. Saat ini posisinya menjadi serba salah. Berniat menjelaskan, tetapi dia sadar bahwa ini momen yang tidak tepat. Semakin lama dia berada di sini, akan semakin buruk keadaannya. Jadi, dia memutuskan untuk berpamitan. 

“Va, aku akan jelasin, tapi nanti nunggu kamu agak tenang, ya. Ini urusan kalian, aku nggak mau terlalu dalam untuk ikut campur. Mas, Va, aku pamit dulu.”  

Setelah kepergian Jema, Ziyan meminta istrinya untuk membahas hal ini di dalam rumah. 

“Aku nggak butuh penjelasan kamu, Mas! Aku kecewa banget sama kamu. Gimana bisa kamu dipecat? Emangnya kamu ngelakuin apa, hah?!” Ava berkacak pinggang, tatapannya menyorot penuh tuduhan dan penghakiman. Tidak peduli dengan Ziyan yang saat ini terlihat lelah dan frustrasi.

“Aku nggak ngelakuin apa-apa, Va.” Lelaki itu membalas dengan penuh penekanan. Berharap sang istri berhenti menatapnya seperti seorang penjahat. 

“Nggak mungkin! Bos mana yang bakal memecat bawahannya tanpa alasan!” Ava bersikeras dengan asumsinya.

“Aku berani bersumpah, Va.”

Wanita yang mengenakan gaun tidur selutut itu mengangkat dagu dan bersedekap. “Oh, ya?” cibirnya. “Kalau gitu kenapa kamu sampai dipecat?”

“Vino.” Ziyan memejamkan matanya sesaat. “Dia memfitnah aku di depan Pak Kemal, bilang kalau aku menggelapkan dana proyek terbaru.”

Tangan Ava kembali ke sisi tubuh. "Kamu yakin, Mas?" Melihat suaminya mengangguk, dia terlihat semakin geram. "Terus kamu diam aja gitu?! Harusnya kamu protes, dong. Jangan mentang-mentang Vino teman kamu, jadi nggak enakan?" Sarkasme itu terlontar dengan berapi-api.

"Aku nggak tahu sampai saat Pak Kemal nyuruh aku ke ruangannya dan ngasih bukti soal penggelapan dana itu! Demi Tuhan, Va, aku baru tahu setelah temanku bilang kalau Vino yang ngasih bukti itu!" Ziyan menjelaskan dengan penuh penekanan. Dia berusaha agar tidak berteriak, karena jika itu terjadi maka situasi akan semakin tidak terkendali. 

"Harusnya kamu jelasin, dong, kalau bukti itu palsu!" Tidak puas dengan penjelasan suaminya, Ava melanjutkan, "Mana bisa kamu terima gitu aja! Dipikir cari kerja itu gampang?! Susah, Mas! Aku nggak mau punya suami pengangguran!" Ava berteriak ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.

Tidak peduli dengan Ziyan yang hendak bersuara lagi, Ava berlalu ke kamar dan membanting pintu dengan sangat keras. 

Pria itu hanya terdiam di tempatnya. Dia sudah mengira hal ini akan terjadi, tetapi tetap saja rasanya sakit dan melelahkan. Bukan hanya Ava yang kecewa, marah, dan sedih, melainkan dirinya pun demikian.

***

Pagi itu, suasana meja makan menjadi sangat hening. Sesuai prediksi, Ziyan tidur dia ruang tamu karena Ava bersikeras tidak mau membuka pintu kamar.

Ava memerhatikan pakaian suaminya pagi ini. Hanya celana dan kaos pendek, menandakan bahwa perdebatan  semalam benar-benar nyata, bukan mimpi. Sekarang suaminya pengangguran. 

Wanita itu memijat pangkal hidungnya. Sakit kepala menyerangnya saat ini. Benar-benar buruk. 

"Kamu nggak perlu khawatir, Va. Aku pasti akan mendapatkan pekerjaan lagi, kok." Ziyan berusaha membuka pembicaraan, tetapi tidak digubris sang istri. "Aku janji nggak bakal nganggur lama-lama--oh, iya. Aku antar kamu setelah sarapan, ya."

"Nggak usah. Aku bisa naik taksi," jawab Ava dingin. 

"Sayang--"

"Kamu fokus aja buat cari kerjaan lagi. Jangan berpikir kalau kamu akan malas-malasan aja di rumah sementara istrimu banting tulang di luar sana!"

Ziyan hanya diam. 

"Aku bakal ngelabrak Vino dan suruh dia minta maaf ke kamu! Ah, terutama bikin kamu balik lagi ke perusahaan!"

"Udah, deh, Va. Kamu nggak perlu buang tenaga buat ketemu sama Vino.  Lagian keputusan bosku, Pak Kemal, udah nggak bisa diganggu gugat."

Ava membuang napas kasar. "Ini dia masalah kamu, Mas. Terlalu pasrah dan lembek begitu! Kamu, tuh, harusnya tegas, dong! Jangan pasrah di depan ketidakadilan!"

"Bukan begitu--”

" Udahlah, Mas! Capek ngomong sama kamu." Tanpa menghabiskan sarapannya, Ava meninggalkan meja makan dan berangkat kerja dengan perasaan dongkol.

***

"Kamu gimana sama Ziyan, Va?" tanya Jema saat mereka di kantin.

Ava menghela napas panjang. "Aku nggak habis pikir sama dia, Ma. Bisa-bisanya diam aja waktu difitnah temannya."

"Difitnah? Maksudnya?" 

Ava menjelaskan alasan Ziyan dipecat dengan berapi-api. "Gila, 'kan, Ma?! Emang brengsek di Vino itu!"

"Vino yang satu divisi sama suamimu itu, 'kan, Va?” Jema tampak tidak percaya dengan cerita temannya.

"Ya siapa lagi?"

"Wah, padahal setahuku mereka kawan dekat, lho. Kok, bisa-bisanya--" Dia sampai kehabisan kata-kata. Jema jadi teringat sesuatu. "Va, maaf, ya soal semalam. Aku nggak ada niat buruk sama sekali. Ziya  sendiri yang bilang kalau dia belum sanggup ngomong langsung ke kamu. Terlebih kemarin kamu lagi emosi, 'kan?" Berharap temannya itu bisa menerima penjelasan tersebut. 

"Aku itu nggak marah sama kamu, Ma." Ava terlihat tulus mengatakannya. "Kemarin malam aku kesal dan marah sama Ziyan aja karena nggak mau terus terang sama aku." Dia menghirup napas dalam-dalam, kemudian membuangnya perlahan. "Kalau aja kamu nggak datang malam itu, mungkin Ziyan akan terus pura-pura masih bekerja."

Jema merasa lega dan bersyukur atas ucapan Ava barusan. Sejujurnya, dia cukup khawatir jika perempuan itu marah besar karena salah paham.

Tiba-tiba, ponsel Jema yang berada di atas meja bergetar--menandakan pesan masuk. 

[Aku beneran minta tolong sama kamu, Ma. Kalau ada info loker, jangan lupa bagi tahu, ya.]

[Jangan kasih tahu Ava dulu. Bantu aku kali ini secara diam-diam. Oke?]

"Dari siapa, Ma? Kok, serius banget?"

Jema mengerjap kaget. "Oh, bukan dari siapa-siapa, kok. Biasalah, teman."

Dia tidak berbohong, bukan? Ziyan memang temannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status