Share

Kurebut Suami Sahabat
Kurebut Suami Sahabat
Author: Rich Ghali

Part 1

"Suami nggak guna, udah dibilangin jemput sebelum jam lima!" Ava berucap dengan sangat kesal. Wajahnya tampak begitu kusut, kedua tangan terlipat di dada. Manik matanya memancarkan rasa kesal yang begitu besar. 

"Sabar, ‘kan baru nunggu lima menit." Jema berusaha menenangkan.

Saat ini, mereka sedang berada di kafe yang berada tepat di samping kantor di mana mereka bekerja. Jema hanya menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan kesabaran sahabatnya itu—bak setipis tisu dibelah lima. Entah sudah berapa kali Eva menghela nafas kasar.

“Bukannya nggak sabar, Ma. Aku cuma kesel aja. Dia  itu nggak sekali dua kali bikin aku nunggu kayak gini!” 

“Ava, barangkali suamimu lagi ada kendala di jalan. Lagian dia juga kerja, ‘kan?”

“Aku tahu, kok. Jam kerja dia itu udah selesai dari tadi. Lagian jarak kantornya ke kantor kita nggak jauh-jauh amat, tuh! Emang dasar  dianya aja yang males jemput aku!”

Kali ini Jema yang menghela napas. Memang sulit sekali menasihati Ava yang keras kepala. Daripada berlanjut hingga ujungnya bertengkar, lebih baik dia diam saja sambil menikmati es americano-nya.

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit, akhirnya batang hidung Ziyan terlihat.

Jema melirik Ava yang terlihat bersiap untuk menyembur Ziyan. Lalu, benar saja. Ketika lelaki jangkung itu baru masuk ke kafe, Ava langsung berdiri dan berkacak pinggang.

“Oh, bagus! Kenapa nggak sekalian besok aja jemputnya, Mas?!”  Ava menghardik dengan suara keras, tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.

Sang suami baru saja akan membuka mulut, tetapi Ava sudah lebih dulu menyela, “Mau alasan apa kamu, Mas? Udah, deh, kayaknya emang kamu itu nggak niat jemput aku. Iya, ‘kan?”

“Kamu ini apa-apaan, sih? Bisa pelan sedikit nggak ngomongnya?” Ziyan sedikit melirik ke sekitar karena malu. “Lagian aku cuma telat lima belas menit doang. Tadi bosku minta rapat dadakan pas jam pulang—“ Dia menghentikan ucapannya ketika sang istri mengibaskan tangan.

“Tahu gini aku mendingan pulang sendiri!” 

Ziyan menghela panjang. Di situasi seperti ini, hanya ada satu cara yang bisa dia lakukan. “Ya udah aku minta maaf. Lain kali nggak akan aku ulangi.”

Kali ini Ava hanya melengos. Lalu, tanpa mengatakan apa pun dan dengan emosi yang masih menyala, dia meraih tas dan melangkah pergi lebih dulu.

Bukan sekali atau dua kali. Jema sudah sering melihat pertengkaran sepasang suami istri itu. Namun, perasaan tidak nyaman saat berada di situasi ini tetap saja tidak bisa hilang.

“Makasih, ya.”

“Eh?” Jema terkesiap saat mendengar ucapan Ziyan. Dia baru sadar bahwa lelaki itu masih di sini. Sedari tadi Jema menatap kepergian sahabatnya yang sekarang sudah berada di luar kafe. “Makasih buat apa?”

“Makasih karena udah mau nemenin Ava.”

“Oh,” sahutnya pelan sambil mengangguk. Entah mengapa, dalam hati Jema justru merasa bahwa dirinyalah yang seharusnya mengatakan hal itu untuk Ziyan. Berterima kasih karena sudah menerima Ava dengan segala sikapnya itu. “Udah biasa, kok. Lagian emang aku lagi pengin ngafe aja. Jadi, sekalian nemenin Ava.”

Ziyan hanya tersenyum tipis. Melihat itu, Jema merasa ada yang mengganjal. Tatapan dan senyuman pria tampan tersebut sedikit mengganggunya. Terlihat lesu dan sedikit … kosong.  

“Ada apa? Kayaknya kamu lagi ada masalah, ya?” tanya Jema hati-hati. 

Ziyan menggeleng, tetapi satu detik kemudian dia terkekeh pelan. “Nanti aja. Aku harus pulang sebelum Ava ngamuk lagi.”

Jema mengerti, kemudian membiarkan lelaki itu pergi. Namun, setelah sepasang suami istri itu pergi, dia menemukan dompet Ava yang tertinggal di kursi yang tadi diduduki. 

***

Sesampainya di rumah, Ava langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu, mengabaikan Ziyan yang mencoba mengajaknya berbicara. 

Kebiasaan buruk lain istrinya ketika marah. 

Ziyan lapar, tetapi tidak ada makanan di rumah. Bahan makanan juga habis karena dia belum sempat belanja. Hal ini sudah menjadi kebiasaan Ava, enggan memasak dengan beralasan lelah setelah seharian bekerja. Namun, itu tidak menjadi masalah untuk Ziyan.

“Va, Sayang … aku mau keluar, beli nasi goreng. Kamu mau? Atau mau nitip sesuatu?” tanyanya di depan pintu yang masih tertutup rapat. 

Tidak ada jawaban. 

“Va … udahan, dong, ngambeknya. Masa aku tidur di ruang tamu lagi, sih?” Sebisa mungkin nada bicaranya penuh dengan penyesalan. “Sayang … buka pintunya. Aku minta maaf buat yang tadi.” 

Menyerah. Perut Ziyan sudah tidak dapat berkompromi. “Ya udah, deh. Aku keluar dulu, ya.”

 Akhirnya dia keluar ke gang depan untuk mengisi perutnya.

Sementara itu, Ava sedang berbaring di atas kasur dengan memainkan ponselnya. Sedikit menggeser posisi tubuh agar semakin nyaman. “Bawel banget jadi suami. Udah tahu tadi aku habis dari kafe, ya kali nungguin dia sampe kelaperan!” Dia menggerutu tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

***

“Lho, Jema? Kok, kamu ada di sini?” Ziyan baru saja sampai di depan rumah dengan menenteng kantong berisi dua bungkus nasi goreng. Dia dikejutkan dengan kehadiran Jema. 

“Ini, Mas.” Perempuan itu mengeluarkan dompet berwarna merah hati dari tasnya. “Punya Ava ketinggalan di kafe tadi. Aku baru aja mau ngetuk pintu. Tadinya mau menelepon kalian, tapi HP-ku mati.” Sejujurnya, Jema juga tidak enak datang tanpa mengabari tuan rumah terlebih dahulu.

“Oh, ya ampun. Kamu bela-belain ke sini cuma buat ngembaliin dompet? ‘Kan bisa besoknya lagi, Ma.” Ziyan membimbing Jema untuk duduk di kursi teras.

“Makasih, ya.”

“Sama-sama, Mas.” Jema melirik kantong plastik yang dibawa lelaki itu. “Makan malam, ya?”

“Biasalah.” Dia menjawabnya dengan santai. “Hm … ngomong-ngomong, Ma. Kamu ada info lowongan pekerjaan, nggak?”

“Loker? Buat siapa, Mas?”

“Buat aku, Ma.”

“Eh?” Jema tidak bisa menyembunyikan keheranannya. “Kamu mau pindah kerjaan, Mas?”

Ziyan menggeleng dengan tatapan sayu. “Aku baru aja di-PHK.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status