Share

Part 3

[Nanti aku kabari ke kamu kalau udah nemu kerjaannya.]

[Sekarang aku lagi makan sama istri kamu, Mas.]

Jema mambalas pesan sambil mendengarkan celotehan Ava yang berisi keluhan dan ‘hinaan’ tentang suaminya. Terkadang dia heran sekaligus kagum dengan kesabaran Ziyan menghadapi istri semacam Ava ini. 

“Kamu tahu nggak, sih? Cicilan rumah kami aja belum lunas, Va! Gimana kami bisa nabung kalau Ziyan jadi pengangguran? Gaji aku aja cuma cukup buat kebutuhanku aja!” Memang benar, selama ini uang Ava hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja. Mulai dari shopping, jalan-jalan, arisan, hingga liburan. Sedangkan untuk makan, cicilan rumah, hingga perawatan sepenuhnya ditanggung sang suami. 

Hal itu juga tidak luput dari sepengetahuan Jema. Gaya hidup hedon Ava terkadang membuatnya geleng-geleng kepala. Bukan karena iri, tetapi jutru kasihan—terutama untuk Ziyan. Namun, apa boleh buat, itu kehidupan temannya, Jema tidak bisa ikut campur lebih dalam lagi. 

“Kamu tahu nggak, sih? Aku, tuh, stres banget mikirin ini sejak semalam!” Ava menyangga kepalanya, berbicara dengan nada dramatis yang tidak dibuat-buat.

Jema juga bisa melihat tekanan yang begitu menghimpit sahabatnya. “Va, kalau aku boleh kasih saran, nih.” Dia memajukan kursinya, kemudian melipat tangan di atas meja. “Buat sekarang, kamu coba fokus buat penuhin kebutuhan utama kalian. Shopping, hang out—liburan, itu nanti dulu. Lagian kalian udah sering liburan, hampir  tiap minggu.”

“Nggak liburan, shopping? Kamu gila?” Ava terlihat tidak terima. “Mana bisa, Ma! Terus gimana caraku biar ngilangin stres habis kerjaan?” Dia menggeleng dramatis. “Mending aku pinjol aja ketimbang nggak healing!”

Ini dia masalahnya. Jema sudah tahu jika Ava memang sulit melepas gaya hidup mewahnya. Dulu, saat mereka masih sama-sama lajang pun Jema sampai kewalahan menghadapi ajakan hang out dan liburan temannya.

Mereka memang berada di kelas sosial yang tidak jauh berbeda, tetapi Jema adalah kebalikan dari Ava. Terstruktur, pandangan jauh ke depan, hidup minimalis—sederhana, karena baginya liburan dan shopping bukan hal yang harus menjadi kebutuhan setiap saat. 

“Kalau kamu nggak bisa, kondisi keluargamu akan lebih sulit. Bukannya aku membela Ziyan, tapi dia pasti lagi bingung dan sama frustrasinya kayak kamu. Tahu sendiri, ‘kan, suamimu itu sayang banget sama kamu, Va.” Jema berusaha membuat Ava sadar.

Ava berdecak, dia menyandarkan punggung sambil bersedekap. “Kamu nggak tahu aja gimana rasanya kalau udah menikah. Lebih mudah stres, Ma. Kamu, mah, enak masih bisa ngabisin duit gajian sendirian. Lagian kamu mana bisa tahu, toh, nggak berniat buat menikah juga, ‘kan?”

“Lah, kalian belum punya anak, ‘kan? Aku nggak bilang kehidupan after married itu gampang, tapi selagi masih belum ada momongan, seenggaknya masih bisa untuk diatur pengeluaran kalian berdua.” Jema hanya berbicara berdasarkan realitas, karena bukan Ava saja yang belum lama menikah dan menunda untuk punya anak. Beberapa saudara sepupunya yang juga seorang wanita karir, telihat lebih terstruktur dalam permasalahan keuangan. 

Terlebih gaji mereka di atas UMR, sangat cukup untuk hidup di kota. Paling tidak, itu berdasarkan perhitungan Jema selama hidup berteman dengan pasangan suami istri itu.

"Nggak bisa, Ma. Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa liburan dan shopping!" Ava bergidik ngeri membayang dirinya akan mati bosan hanya demi menghemat pengeluaran.

"Aku nggak bilang buat selamanya, cukup sampai suamimu dapat pekerjaan lagi. Tapi, kalau kamu nggak terima saranku juga nggak masalah, sih. Hanya aku nggak mau kamu tetlihat tertekan terus, Va."

***

Di rumah, Ziyan sedang sibuk membuka beberapa situs online yang berkaitan dengan pekerjaan. Barangkali ada lowongan di sana. 

Dia mendapati beberapa peluang di sana, kemudian mengirimkan CV dan beberapa persyaratan lainnya. Tidak lupa dengan menghubungi beberapa rekan kerja yang dia kenal di beberapa perusahaan, untuk menanyakan ada tidaknya lowongan.

Lelaki itu tampak kelelahan karena berkutat di depan komputet dari pagi hingga sore. Namun  dia cukup puas karena sudah bangak mengirim surat lamaran di berbagai perusahaan lewat online.

Dia menguap beberapa kali. Mungkin karena terlalu semangat, Ziyan sampai melewatkan makan siang. Tubuhnya juga lelah, mata mulai terasa berat. Hingga lelaki itu akhirnya tertidur di depan komputer.

Entah sudah berapa lama dia tertidur, Ziyan terkesiap saat mendengar nada dering ponselnya. 

Dari Ava.

"Astaga! Ini jam berapa?!" Ziyan kalang kabut. Begitu melihat jam di ponsel, matanya semakib melotot. Belum lagi dengan riwayat panggilan tak tetjawab dari istrinya. "Alamat kena amuk lagi ini!" 

Tanpa menunggu lama, Ziyan  mengambil kunci mobil dan bergegas ke bagasi. Dia pergi tanpa memerhatikan penampilannya yang saat ini hanya mengenakan kaus pendek oblong dan celana selutut. Tidak lupa dengan rambutnya yang acak-acakan.

***

"Apa aku bilang? Dia pasti lagi enak-enakan rebahan di rumah sambil main game. Boro-boro inget buat jemput istrinya!" Ava menggerutu, sudah tujuh kali dia menelepon suaminya, tetapi tidak ada satu pun yang diangkat. Dia menghela napas jengkel. "Kamu pulang duluan aja, Ma. Aku nggak mau kamu ikutan  telat pulang gara-gara aku nungguin Ziyan." 

Jema sebenarnya tidak masalah dengan hal itu, tetapi lantaran hubungan suami-istri tersebut sedang tidak akur, lebih baik dia menyingkir untuk saat ini. 

“Ya udah, Va. Nanti kabari udah sampai rumah, ya.” Dia akhirnya berpamitan.

Setelah kepergian Jema, diam-diam Ava mematikan ponsel. Lalu, menghentikan taksi yang lewat dan menaikinya. Tanpa basa-basi dia meminta sopir mengantarknya ke alamat kantor Ziyan. Tujuannya kali ini tidak lain adalah untuk membuat perhitungan pada teman suaminya itu.

Setelah sampai di tempat, dia beruntung karena Vino sedang lembur hari ini. Katornya tampak sepi, hanya ada tiga karyawan yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. 

Ava menghampiri meja Vino yang sedang menelepon—mungkin bosnya, karena Ava sedikit mendengar perbincangan itu.

“Baik, Pak. Akan saya selesaikan hari ini. Laporan keuangan proyek Djuana hampir selesai—“

Brakk!

Semua orang terkejut sekaligus bingung dengan kehadiran Ava.  “Kamu teman yang nggak tahu diuntung!” sentaknya bernada tinggi. Tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sana. 

“Apa-apaan ini? Datang-datang langsung ngamuk!” Sontak Vino beranjak dari duduknya. 

“Aku yang harusnya bilang begitu! Vino, teganya kamu memfitnah suamiku, hah!”

Suasana ruangan itu menjadi panas. Mereka yang melihat keduanya  berdebat tampak berbisik-bisik. 

“Apa maksudmu?”

“Nggak usah sok bodoh! Kamu memfitnah  Ziyan sampai dia dipecat. Itu semua gara-gara kamu, ‘kan?!”

Lelaki berjas hitam itu tampak kelabakan. Tidak disangka bahwa istri temannya itu akan datang sendiri ke kantor untuk melabraknya. 

“Aku akan tuntut kamu atas pencemaran nama baik!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status