Sebelum Cinta Itu Hilang

Sebelum Cinta Itu Hilang

last updateHuling Na-update : 2025-07-08
By:  OldbeeIn-update ngayon lang
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
10Mga Kabanata
9views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Nadine percaya rumah adalah tempat untuk pulang. Tapi ketika suaminya, Raka, semakin sering membawa pulang lelah—bukan cinta—dan nama perempuan lain mulai muncul di sela-sela telepon, Nadine mulai mempertanyakan segalanya. Tania, rekan kerja Raka, hadir tanpa banyak suara. Ia tahu celah itu sudah ada. Ia hanya tinggal masuk. Di tengah keretakan itu, Adrian—teman lama sekaligus sahabat Raka—muncul sebagai sosok yang mengerti. Tapi Nadine tahu: perasaan yang datang di tengah luka, bisa jadi jebakan yang lebih halus. "Rumah Tanpa Pulang" adalah kisah tentang cinta yang tak lagi kembali, kebisuan yang menyakitkan, dan langkah paling berat: memilih diri sendiri saat cinta tak lagi tinggal.

view more

Kabanata 1

Bab 1 - Makan Siang Yang Menghancurkan

Pagi itu, Nadine menata kotak makan siang di atas meja dapur dengan hati-hati, seakan apa yang ia susun di dalamnya bisa menyusun ulang sesuatu yang lama rapuh di antara mereka. Ayam panggang kesukaan Raka sudah terbungkus rapi, nasi masih mengepul. Jemarinya sempat gemetar saat merapikan potongan kecil selada di sisi kotak. Hari ini, ia hanya ingin memberi kejutan kecil. Sesuatu yang sederhana, yang mungkin bisa membuat Raka tersenyum ketika menerima perhatiannya.

Lio berdiri di sisi meja, masih mengenakan jaket sekolah berwarna biru laut. Mata bulat anak itu memandang kotak makan, lalu menatap ibunya seakan bisa menebak apa yang sedang Nadine rasakan.

“Mau kasih kejutan buat Ayah, Bunda?” tanyanya polos.

Nadine tersenyum kecil, mengusap pipi Lio. “Iya. Biar Ayah senang. Mungkin dia lelah.”

“Ayah pasti senang banget!” Lio berseru riang, membuat Nadine berusaha menyimpan keraguan yang sedari tadi berkecamuk di dadanya.

Mereka berangkat tidak lama kemudian. Mobil keluarga berjalan pelan menembus lalu lintas yang padat. Nadine berkali-kali menoleh ke kursi belakang, memastikan kotak makan siang tidak tergeser. Rasanya aneh, seperti ia sedang membawa seluruh harapannya di dalam benda kecil itu. Sesekali, ia melirik kaca spion untuk melihat wajah Lio yang menatap keluar jendela dengan kaki bergoyang-goyang.

Ketika akhirnya mereka tiba di lobi kantor Raka, Nadine menarik napas panjang sebelum masuk. Udara dingin pendingin ruangan menyambut langkahnya yang ragu-ragu. Gedung tinggi berlapis kaca ini selalu tampak terlalu mewah baginya, selalu membuatnya merasa asing. Kotak makan siang ia dekap erat di dada, kain batik pembungkusnya seakan menjadi pelindung terakhir dari rasa malu yang belum sepenuhnya ia pahami.

Resepsionis perempuan menatapnya sopan, dengan senyum yang datar.

“Permisi,” suara Nadine terdengar lebih kecil daripada yang ia maksudkan. “Saya istri Pak Raka. Saya ingin menyerahkan makan siang.”

Perempuan itu mengetik sesuatu sebentar di komputernya sebelum menoleh lagi. “Maaf, Bu. Pak Raka sedang meeting di luar.”

“Di mana?” Nadine mencoba terdengar wajar, meski ada desakan ganjil di dadanya.

“Hotel Emerald. Sudah sejak pukul sepuluh tadi,” jawab resepsionis dengan nada datar.

Nadine hanya mengangguk pelan. Ia merasakan Lio meraih ujung blusnya, seolah ikut menyadari sesuatu yang tak ia mengerti.

Di dalam mobil lagi, Nadine menatap jalanan macet dengan pikiran yang makin kabur. Hotel? Kenapa dia tak bilang akan meeting di hotel? Bukankah Raka selalu memberitahunya kalau harus bekerja di luar kantor?

“Bunda, Ayah senang kan kalau kita datang?” suara Lio memecah diam, membuat Nadine hampir tersedak oleh perasaan yang tak punya nama.

“Tentu,” ia menjawab, berusaha menegakkan punggung. “Ayah pasti... senang.”

Namun suaranya bergetar, dan ia tak sanggup menatap anaknya di kaca spion.

Hotel Emerald berdiri tinggi di tepi jalan utama, dengan lampu gantung kristal yang tergantung megah di lobi. Nadine berdiri dekat sofa panjang, matanya menyapu setiap orang yang melintas. Kotak makan siang di tangannya terasa lebih berat daripada tadi pagi. Jantungnya berdetak terlalu cepat. Ia tak tahu pasti apakah itu hanya gugup, atau firasat yang lebih gelap.

Detik itu juga, pintu kaca otomatis terbuka. Nadine menoleh refleks—dan waktu seolah berhenti.

Raka keluar dari pintu bersama seorang perempuan tinggi berambut hitam bergelombang. Mereka tertawa. Tawa yang lembut, tawa yang Nadine kenal dan rindukan. Tawa yang bukan untuknya. Tangan Raka menggenggam jemari perempuan itu dengan cara yang tak bisa dijelaskan oleh kata “rekan kerja.”

Tania. Nadine mengingat namanya dari perkenalan singkat beberapa bulan lalu. Asisten baru.

Mereka berjalan begitu dekat, seakan dunia hanya milik mereka.

Nadine tak bisa menarik napas. Ia hanya berdiri, membiarkan kakinya memaku dirinya di lantai marmer. Lio merapat padanya, tangan kecilnya menempel di blus.

Tania tersenyum pada Raka. “Jangan lupa nanti kirim aku draft presentasinya.”

“Tenang saja. Hari ini aku puny—” suara Raka terputus begitu matanya bertemu mata Nadine.

Ia langsung melepaskan genggaman tangan Tania, tapi itu tak menghapus apa yang sudah Nadine lihat.

“Na...Nadine?” Raka memanggil dengan suara tercekat.

“Kau... kau di sini dengan dia?” suara Nadine serak, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri.

“Ini tidak... tidak seperti yang kau pikirkan.”

Nadine menahan napas, menatapnya tanpa berkedip. “Lalu seperti apa? Katakan padaku... seperti apa?”

Tania menarik tangannya pelan, menunduk sedikit. “Mungkin... kita bisa bicara lain waktu.”

Nadine tidak memedulikan Tania. Matanya hanya tertuju pada Raka yang tampak lebih pucat daripada siapa pun yang pernah ia lihat.

“Tidak perlu,” ia berbisik. “Semua sudah jelas.”

Kotak makan siang tergelincir dari tangannya, jatuh menghantam lantai dengan bunyi tumpul yang entah bagaimana terdengar lebih nyaring daripada suara apa pun di lobi hotel itu. Nasi dan ayam panggang tumpah di lantai marmer, berantakan seperti yang sekarang ia rasakan di dalam dadanya.

Raka melangkah setengah mendekat. Nadine mundur satu langkah. Ada sesuatu di dalam dirinya yang patah, sesuatu yang ia tahu tak akan bisa utuh lagi meski Raka bersumpah seribu kali bahwa semua ini hanya salah paham.

Saat Raka menoleh dan menatapku, aku tahu: rumah kami baru saja runtuh.

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments

Walang Komento
10 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status