Aku menarik napas pajang dan menghembuskannya dengan sangat berat, mencubit tanganku berkali-kali, berharap ini adalah mimpi.
Lagi, ponselku berdering dan tidak sanggup rasanya aku menerima kenyataan lain.
"Halo," jawabku tidak bersemangat, tanpa tahu siapa yang menelepon.
"Kamu di mana, Nak?" tanya seseorang yang sangat kucintai selain Mas Attar.
Aku langsung menangis sesengukan, tidak sanggup berkata apapun. Mencurahkannya dengan air mata yang membuat dadaku yang sesak sediki lega.
"Kamu pulang saja, jika tidak ada tempat bernaung saat ini!" pintanya.
Tubuhku luruh, sembari menggendong Aqilla. Menangis, tanpa ada yang memelukku erat. Lelaki yang biasanya di sampinku, kini sedikit demi sedikit mulai berpali dariku.
"Nak, kamu di mana? Biar ibu jemput, kamu jangan ke mana-mana," pinta ibu, terdengar suaranya bergetar menahan ke khawatiran.
"Aku baik-baik saja, Bu. Aku baik-baik saja!" ucapku berulang.
Panggilan kuakhiri, takut jika ibu terlalu khawatir padaku dan berakibat pada kambuhnya penyakit darah tinggi yang dideritanya.
"Yumna!"
Tubuhku diangkat, agar bisa kembali duduk di kursi. Aqilla diambil olehnya dari gendonganku. Kemudian membiarkan aku menangis meratapi nasib.
"Baru saja kami bahagia atas kehadiaran Aqilla, atas harta yang mulai berlimpah," Aku menutup wajahku untuk meminimalisir tangisan secara berlebihan.
"Jika bukan karena Hilman, Mbak enggak tahu kamu ada di sini!" ujar Mbak Naura.
Ah, dasar sahabatku itu! Aku lupa, jika Mbak Naura dan Hilman berteman cukup lama, ditambah Hilman adalah ahli dalam menggali informasi digital.
Mbak Naura menepuk punggungku sesekali. sambil menimang Aqilla. Menguatkanku dengan sentuhan.
"Kamu harus kuat, untuk Aqilla. jangan biarkan harta yang selama ini kalian perjuangkan jatuh ke tangan wanita lain. Mbak pun tidak akan pernah rela," Nasehat Mbak Naura.
"Mas Attar baru mengabaikanku seperti itu, sudah membuatku sangat sakit, Mbak. Apalagi harus mengetahui, jika dia benar-benar berselingkuh. aku enggak sanggup," ratapku.
"Setiap wanita yang terluka sepertimu pasti paham, meskipun Mbak enggak mengalaminya. Dikarenakan Mas Ridwan dijemput duluan oleh Allah, tapi Mbak tahu rasa sakitnya bagaimana, Yumna!" geram Mbak Naura.
Aku terus mengatakan, jika semua sudah berakhir. Mas Attar sudah menunjukkan kepada siapa dia memilih, dan tidak akan menerimaku lagi. Semua tergambar jelas, saat perubahan tiba-tiba dari Mas Attar saat pulang dari kantor tadi.
"Lelaki itu egonya tinggi, Yumna. Kamu harus mengalah dulu untuk saat ini, jika kamu melawan ego dengan ego, kamu akan rugi! Ingat, bukan hanya kamu, tapi ada Aqilla yang masih butuh kasih sayang dan dana, hingga dia besar. Kita harus realistis jadi wanita," tegas Mbak Naura.
Kadang aku berfikir, dia ini kakak iparku atau kakak kandungku. Membelaku dengan tulus tanpa diminta, tapi tetap saja ada rasa sungkan karena bagaimanapun dia adalah kakak dari Mas Attar.
"Singkirkan dulu rasa sakit hatimu. Ingat! Attar sukses seperti sekarang berkat doa dan dukunganmu dan jika ada hasilnya, maka kamu harus menikmatinya dan untuk masa depan anakmu kelak. Jika kamu masih tidak bisa menyingkirkan rasa ego itu, kamu harus memulai dari nol, ketika benar-benar kecurigaan kita terbukti!" serunya.
Benar .... Benar yang diucapkan Mbak Naura. Aku harus kuatkan hatiku, agar bisa menyimpan hak untuk Aqilla. Terjadi atau tidak, perpisahan antara aku dan Aqilla, harus bisa berdamai dengan keadaan untuk sementara waktu.
"Sudahlah, ayo kita ke salon dulu, agar sembab di matamu tidak begitu kentara. Jangan menjadi lemah di depan lelaki atau di depan wanita yang akan merebut suamimu. Mbak dan ibu, tidak akan rela!" ajaknya dengan serius.
"Mbak, kita ke ATM dulu, aku mau ngecek ATM yang diberikan Mas Attar tadi pagi," pintaku, setelah mengusap air mata yang masih mengalir di pipiku.
"Ayo, tunjukkan kamu wanita kuat dan hebat!" serganya penuh semangat.
Aku dan Mbak Naura berjalan bersama menuju motor miliknya yang terparkir tidak jauh dari tempatku berada. Memberikan Aqilla, agar dia bisa fokus mengendari kendaraannya.
Selama perjalanan, Mbak Naura terus memberiku motivasi dan memintaku mencontoh setiap sinetron, drakor dan dracin yang sering kami tonton bersama. Dia mengatakan, jika ada gunanya kami melihat dan menghayati setiap adegan di sana. Meskipun eksekusi nantinya akan jauh berbeda.
"Kita ke ATM mana?" tanya Mbak Naura.
"Terserah mbak aja," jawabku, masih menyisakan isakan.
"Udah, jangan di tangisin! Kamu masih muda, jika Attar tidak membuatmu bahagia, kamu harus bisa mencari kebahagiaan sendiri!" celetuk Mbak Naura geram.
"Iya, Mbak," lirihku.
Mbak Naura memarkirkan motornya setelah memilih tempat yang pas, karena dia berpikir sekalian pergi ke salon. Aku pun turun dan langsung menuju ke ATM, untuk melihat berapa uang yang ada di dalamnya.
"Mbak!" panggilku, kala aku melihat saldo yang ada di dalam sana.
Mbak Naurah jalan tergopoh-gopoh, mendekatiku. Menanyakan ada apa, sehingga aku berteriak. Aku hanya menunjukkan saldo yang ada di ATM milik Mas Attar.
"Darimana uang sebanyak ini, ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Naura.
"Kamu yang istrinya saja enggak tahu, apalagi mbak, Yumna!" ledeknya dengan intonasi ala anak muda. "Kamu ambil sebanyak yang bisa diambil," pintanya kemudian.
Aku pun mengambil uang sebesar lima juta, dan mengulanginya hingga tiga kali.
"Ternyata limit tarik tunai hanya dua puluh juta!" celetuk Mbak Naura. "Kamu harus membeli emas dan menyimpannya, atau kamu mau usaha?" tanya Mbak Naura.
Hal yang membuatku bingung adalah, mau diapakan uang ini. Aku yang merasa sudah serba kecukupan, tidak lagi bekerja atau pun membuka usaha. Hanya mengurus Mas Attar dan keluarga kecil kami.
Aku menggeleng dan melipat bibirku, saat menanggapi ucapan Mbak Naura.
"Kita pikirkan bersama, tapi jangan kamu kasih ATM itu ke Attar, kalau bisa kamu kuras sampai habis untuk jaga-jaga. Kita ake salon dulu, terus beli emas beberapa gram!" saran Mbak Naura dan kutanggapi dengan ringisan.
Mbak Naura kemudian menarikku masuk ke salon langganannya. Memberiku perawatan yang paling bagus, aku menolaknya karena tidak sesuai denganku. Namun, dia malah memarahiku. Katanya, kalau bukan istrinya siapa lagi yang akan menghabiskan uang suamiku. Mendengar itu, aku langsung menyetujui usulannya, dan selama perawatan Aqilla di jaga oleh Mbak Naura.
"KIta langsung cari toko emas, ya?" bujuk Mbak Naura, saat aku selesai perawatan.
"Tapi kalau Mas Attar marah gimana, Mbak?" tanyaku, masih dengan perasaan tidak enak.
Mbak Naura menepuk lenganku dengan kuat, merasa geram dengan diriku yang masih lemah. Dia memperlihatkan bagaimana cara dirinya bisa terus hidup dan mengurus anaknya, tanpa harus bekerja keras. tentunya dengan usaha yang sudah berkembang sekarang. Sehingga dia tinggal menikmati hasilnya.
Ketika asik berbincang dengan Mbak Naura di parkiran, mataku tertuju pada seseorang yang sangat aku kenal.
"Mbak, itu bukannya Mas Atttar?" tanyaku, dan Mbak Naura melihat ke arah yang kutunjuk.
"Kurang ajar, berani-beraninya gandeng cewek lain pake mobil baru!" murka Mbak Naura.
Dia berjalan mendekati Mas Attar dan langsung melabrak adiknya, tanpa basa-basi memberikan tamparan dan pukulan.
Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den
"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan
Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng