Langkah kaki bergema di lorong gua yang sunyi. Kuro dan Gidi menahan napas, tubuh mereka menegang. Suara itu semakin dekat, membuat keduanya bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.
Gidi merapatkan tubuhnya ke dinding batu, sementara Kuro menggenggam gagang pisaunya dengan erat. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena ancaman yang mungkin datang, tetapi juga karena perasaan aneh yang terus mengganggunya sejak tadi malam. Tiba-tiba, bayangan hitam muncul di ujung lorong. Sosok itu berhenti, lalu perlahan melangkah maju, memperlihatkan wajahnya di bawah cahaya redup obor. Seorang pria tua, berjubah panjang dengan rambut putih yang tergerai. Matanya tajam dan penuh wibawa. "Jadi... kalian akhirnya sampai di sini," katanya dengan suara dalam dan bergetar. Kuro dan Gidi saling berpandangan, tidak mengenali sosok itu. Tapi ada sesuatu dalam tatapan pria tua itu yang membuat Kuro merasakan ikatan yang aneh. "Siapa kau?" tanya Kuro, masih waspada. Pria itu tersenyum tipis, lalu menghela napas. "Aku sudah lama menunggumu, Kuro." Kuro mengernyit. "Menungguku?" "Dan kau, Gidi," pria itu menoleh pada sahabatnya. "Atau seharusnya kupanggil dengan nama aslimu?" Gidi mengepalkan tangannya, ekspresinya berubah tajam. "Jangan bicara omong kosong," gumamnya dingin. Kuro melirik Gidi, bingung dengan perubahan sikapnya. "Apa maksudnya, Gidi?" Pria tua itu melangkah lebih dekat. "Aku tahu siapa kalian. Dan aku tahu sejarah yang telah lama dikubur... sejarah tentang keluargamu, Kuro, dan juga tentang asal-usul Gidi yang sebenarnya." Kuro terdiam. "Kalian ingin tahu tentang Naga Emas, bukan?" lanjut pria itu. "Aku bisa memberitahumu. Tapi kalian harus bersiap, karena kebenaran ini bisa mengubah segalanya." Kuro menarik napas dalam. Sejak kecil, ia selalu merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Ayahnya tidak pernah banyak bicara tentang leluhurnya, hanya menyebut mereka sebagai "orang-orang yang harus dilupakan". "Keluarga Kuro..." pria tua itu mulai bercerita. "Dahulu adalah salah satu keluarga terkuat dalam sejarah, keturunan langsung dari Sang Naga Emas." "Naga Emas?" Kuro mengulang dengan suara rendah. Pria tua itu mengangguk. "Makhluk legendaris yang pernah menjadi penjaga keseimbangan dunia ini. Keluargamu adalah keturunannya, penerus darah yang diwariskan langsung dari makhluk tersebut." Kuro menelan ludah. "Tapi... bagaimana mungkin?" "Sejarah telah dikaburkan. Banyak yang tidak ingin kebenaran ini terungkap. Keluargamu menjadi target penghancuran oleh pihak yang menginginkan kekuatan itu untuk diri mereka sendiri. Dan salah satu pengkhianatan terbesar dalam sejarah adalah ketika keluarga Kuro dihancurkan dari dalam." Kuro mengerutkan kening. "Siapa yang mengkhianati?" Pria tua itu menatapnya dengan tajam. "Keluarga Gidi." Kuro tersentak. Ia menoleh ke arah Gidi, yang kini menatap lantai gua dengan ekspresi tegang. "Apa maksudnya?" desak Kuro. Gidi mengepalkan tangannya. "Aku sudah tahu ini akan terjadi..." gumamnya pelan. Pria tua itu melanjutkan. "Gidi berasal dari keluarga yang memiliki sejarah kelam. Leluhurnya adalah salah satu yang bersekutu dengan musuh keluarga Kuro dalam perang besar melawan Naga Emas. Mereka mengkhianati kepercayaan yang diberikan dan membantu menghancurkan pewaris terakhir dari garis keturunan itu." "Tidak mungkin..." Kuro berbisik. Gidi akhirnya mendongak, tatapannya tajam. "Itu benar, Kuro. Aku lah Naga Emas yang kau lihat dan yang kau tunggangi, aku bisa mengubah wujud ku" . Keluargaku memang memiliki sejarah kelam. Tapi aku tidak pernah menjadi bagian dari mereka. Aku tidak akan mengkhianatimu." Pria tua itu tersenyum kecil. "Dan itulah alasan mengapa kau di sini sekarang, Gidi. Takdir membawamu kembali, mungkin untuk menebus dosa leluhurmu." Kuro menarik napas panjang. Semua informasi ini terlalu berat untuk dicerna sekaligus. "Tapi kenapa ini penting sekarang?" tanyanya. Pria tua itu menatapnya dalam-dalam. "Karena musuh yang dulu menghancurkan keluargamu... masih hidup. Dan mereka tahu kau ada di sini." Hening sejenak. Lalu, tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari luar gua. Mereka tidak sendirian. Dan perang baru akan segera dimulai. Langkah kaki menggema semakin mendekat. Gidi dan Kuro saling bertukar pandang, ketegangan di antara mereka belum juga surut. Pria tua itu, yang masih berdiri di depan mereka, tampak tenang, seolah sudah mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. "Lawan-lawanmu tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja, Kuro," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Mereka tahu kau masih hidup. Dan kau adalah ancaman bagi mereka." Kuro mengepalkan tangannya. "Siapa mereka?" Pria tua itu menatapnya dalam-dalam. "Ordo Kegelapan. Mereka yang dulu menghancurkan keluargamu. Mereka yang masih memburu keturunan Naga Emas." Tiba-tiba, suara benturan keras terdengar dari luar gua. Batu-batu kecil berjatuhan dari langit-langit, debu berhamburan di udara. "Kita harus keluar dari sini," desis Gidi, tatapannya tajam. "Jika mereka sudah tahu kita di sini, kita tidak bisa hanya bersembunyi." Pria tua itu tersenyum tipis. "Kalian tidak akan bisa lari selamanya. Tapi sebelum itu..." Ia mengulurkan tangan ke arah dinding gua, menyentuh ukiran kuno yang nyaris tertutup lumut. Seketika, batu besar di sampingnya bergeser, membuka jalan ke sebuah ruangan tersembunyi. Kuro dan Gidi tertegun. Cahaya keemasan berpendar dari dalam ruangan itu, memantulkan bayangan yang bergetar di dinding batu. "Masuklah," kata pria tua itu. "Kuro, ada sesuatu yang harus kau lihat." Kuro melangkah ragu, tetapi nalurinya mendorongnya masuk. Di dalam ruangan itu, terdapat sebuah pedang berwarna keemasan, terbungkus dalam aura yang berkilauan. Simbol naga berukir di gagangnya, dan bilahnya memancarkan energi yang luar biasa. "Inilah Pedang Naga Emas," pria tua itu berkata pelan. "Senjata terakhir dari garis keturunanmu." Kuro mendekat, jari-jarinya gemetar saat menyentuh gagang pedang itu. Seketika, aliran energi mengalir ke seluruh tubuhnya, membuat darahnya berdesir. "Tapi ingat," pria tua itu memperingatkan, "senjata ini bukan sekadar alat. Ia akan menguji hatimu. Jika kau tidak cukup kuat, kau akan dihancurkan oleh kekuatannya sendiri." Kuro menelan ludah. Ia tahu, mulai saat ini, perjalanannya akan semakin berat. Di luar, suara langkah kaki semakin dekat. Bayangan hitam mulai bermunculan di pintu gua. Musuh telah tiba. Dan pertempuran pertama Kuro sebagai pewaris Naga Emas... akan segera dimulai.Debu mulai mengendap. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan kehidupan baru. Dunia telah selamat. Pertempuran dahsyat melawan Sang Penenun dan ancaman yang lebih besar telah berakhir. Namun, jejaknya tetap terukir dalam setiap sudut dunia. Bekas luka menganga di permukaan bumi, mengingatkan akan kekuatan dahsyat yang hampir menghancurkan segalanya. Kota-kota hancur, desa-desa porak-poranda, dan jutaan jiwa telah hilang. Namun, di tengah kehancuran itu, tumbuh tunas-tunas kehidupan baru. Tanaman-tanaman mulai tumbuh kembali, menunjukkan kekuatan regenerasi alam yang luar biasa. Manusia, yang telah kehilangan begitu banyak, mulai membangun kembali kehidupan mereka, mencari harapan di tengah keputusasaan. Kuro, pahlawan yang telah menyelamatkan dunia, tidak ada di sana untuk menyaksikannya. Pengorbanannya telah menyelamatkan alam semesta, tetapi dengan harga yang sangat mahal—kehidupannya sendiri. Ia telah lenyap, menjadi bagian dari alam semesta. Namun, kisahnya tetap hid
Kuro terhuyung, tubuhnya hancur lebur, luka menganga di sekujur tubuhnya seperti peta bintang yang mengerikan. Darah segar membasahi tanah yang sudah retak dan terbakar, mencampur dengan debu dan abu yang beterbangan. Namun, di tengah kehancuran itu, cahaya emas Kekuatan Naga Emas masih menyala, suatu suar harapan yang gigih melawan kegelapan yang hampir membenamkan segalanya. Ia telah menggunakan hampir semua kekuatannya, mengeluarkan seluruh kemampuannya hingga ke titik kering. Namun, Sang Penenun, entitas kekacauan itu, masih berdiri teguh, pusaran energi gelapnya semakin besar, semakin ganas, menelan segalanya dalam cengkeramannya yang tak kenal ampun. Harmoni yang Kuro coba ciptakan, harmoninya yang merupakan benteng terakhir melawan kekacauan, terasa rapuh, seperti kaca yang siap hancur berkeping-keping. Ia merasakan kelelahan yang luar biasa, tubuhnya terasa seperti akan runtuh, namun tekadnya tetap membara. Ia tidak boleh menyerah. Ia harus menang.Pandan
Bab 149: Harmoni yang Hilang – Pertempuran SengitAlam semesta bergetar. Bukan getaran lembut, namun guncangan dahsyat yang mengguncang realitas itu sendiri. Kekuatan tiga naga – Muzunoryu, Tsuchiryu, dan Arashiryu – berbenturan dengan kekuatan Sang Penenun, menciptakan gelombang energi yang tak terbayangkan. Air, tanah, dan angin beradu dengan kegelapan, menciptakan pusaran yang mengerikan, pusaran yang mengancam untuk menghancurkan segalanya. Kuro, di tengah badai itu, merasakan kekuatan dahsyat yang mengguncang jiwanya.Tubuhnya, yang sudah penuh luka, terasa seperti akan hancur. Setiap inci kulitnya terasa perih, setiap tulang terasa remuk. Ia telah menggunakan hampir semua kekuatannya, namun Sang Penenun masih berdiri teguh, pusaran energi gelapnya semakin besar dan semakin ganas. Harmoni yang ia coba ciptakan, harmoninya yang merupakan benteng terakhir melawan kekacauan, terasa rapuh, hampir hancur.Kuro tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu, dan cepat.
Kelelahan mencengkeram Kuro. Tubuhnya, yang biasanya dipenuhi dengan energi kosmik yang tak terbatas, kini terasa lemah dan remuk. Luka-luka yang ia derita dalam pertempuran sebelumnya masih terasa perih, ditambah dengan luka-luka baru yang ia dapatkan dari serangan Sang Penenun. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya, menodai jubahnya yang sudah compang-camping. Ia merasakan kekuatannya terkuras, semakin menipis, seperti lilin yang hampir padam.Sang Penenun, entitas kosmik yang mengerikan itu, mengeluarkan kekuatannya yang sebenarnya. Ia melepaskan serangan yang mampu memanipulasi realitas itu sendiri. Waktu dan ruang menjadi terdistorsi, berputar-putar seperti pusaran air yang tak berujung. Ilusi-ilusi yang membingungkan muncul di mana-mana, menciptakan pemandangan yang surealis dan mengerikan. Kuro merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung, di mana realitas dan ilusi bercampur aduk, di mana ia tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana y
Kekalahan di awal pertempuran telah meninggalkan jejak yang dalam pada Kuro. Tubuhnya terasa remuk, namun tekadnya tetap membara. Darah masih mengalir dari sudut bibirnya, menodai jubahnya yang sudah compang-camping. Ia menatap Sang Penenun, pusaran energi gelap yang tak berujung itu, dengan mata yang dipenuhi dengan campuran rasa sakit, kemarahan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa ia harus menggunakan semua kekuatannya, semua kemampuannya, untuk melawan entitas kosmik yang mengerikan ini. Ia harus menciptakan harmoni yang sempurna, keseimbangan yang mutlak, untuk melawan kekacauan yang mengancam untuk menelan segalanya.Dengan napas yang tersengal-sengal, Kuro memanggil Kuchiyose Kinpika Ryu (Naga Emas). Api emas berkilauan menerangi kegelapan yang mencekam, menciptakan kontras yang dramatis antara cahaya dan bayangan. Kinpika Ryu, naga emas yang megah dan perkasa, muncul dari dimensi lain, sisiknya berkilauan seperti emas murni yang dilebur oleh mat
Langit bukan lagi langit. Ia adalah kanvas gelap yang tercabik-cabik, dirobek oleh tentakel-tentakel energi hitam yang tak terhitung jumlahnya. Tentakel-tentakel itu, tebal seperti gunung dan hitam pekat seperti jurang maut, menari-nari dengan kejam di antara bintang-bintang yang meredup. Mereka bukan sekadar energi; mereka adalah manifestasi dari kekacauan itu sendiri, perpanjangan dari kehendak Sang Penenun, entitas kosmik yang haus akan jiwa. Jiwa-jiwa manusia, terhisap oleh tentakel-tentakel itu, menghasilkan jeritan yang menyayat hati, simfoni kematian yang mengerikan yang bergema di seluruh dunia. Di tengah badai ini, Kuro berdiri tegak, sebuah patung marmer yang tak tergoyahkan di tengah badai yang mengerikan.Rambut putihnya yang panjang berkibar ditiup angin yang berputar-putar, menyerupai api yang siap menyala. Wajahnya, yang biasanya dipenuhi dengan ketenangan, kini dikerutkan oleh tekad yang tak tergoyahkan. Ia bukanlah manusia biasa lagi; ia adalah m