Mereka akhirnya tiba di sebuah gua besar di lereng Gunung Kiryu. Udara di sana lebih sejuk, dan suara angin yang bertiup melewati celah-celah batu menciptakan harmoni yang menenangkan. Kuro dan Gidi melangkah masuk dengan hati-hati, mata mereka menyesuaikan diri dengan kegelapan yang menyelimuti bagian dalam gua.
"Kita bisa bertahan di sini untuk sementara waktu," kata Gidi sambil menyalakan obor kecil yang ia bawa. Kuro mengamati sekeliling. Dinding gua itu kokoh, tinggi, dan memiliki banyak cabang lorong yang bisa menjadi tempat persembunyian. Lantai berbatu cukup rata, meskipun beberapa bagian masih kasar dan berbahaya. Mereka bisa merasakan aroma kelembapan bercampur dengan udara dingin dari dalam. "Setidaknya, tempat ini lebih aman daripada desa," ujar Kuro. Gidi mengangguk. "Kita perlu membuat tempat ini lebih nyaman. Aku akan mencari kayu kering untuk api. Kau bisa mengeksplorasi bagian dalam gua dan mencari sumber air." Tanpa banyak bicara, mereka segera berpencar menjalankan tugas masing-masing. Kuro berjalan lebih dalam ke dalam gua, mencoba menemukan sumber air. Langkahnya berhati-hati, karena dinding gua terkadang licin akibat tetesan air yang mengalir perlahan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong sempit, Kuro mendengar suara gemericik air. Ia mempercepat langkahnya dan menemukan sebuah kolam kecil yang cukup jernih. Air itu mengalir dari celah batuan di atas, membentuk aliran kecil yang tenang. Kuro mencelupkan tangannya ke dalam air, merasakan kesejukannya. Ini akan sangat membantu mereka bertahan hidup. Saat ia kembali ke tempat Gidi, lelaki itu sudah menumpuk beberapa ranting kering dan mulai membuat api. Cahaya oranye mulai menerangi gua, memberikan kehangatan yang sangat mereka butuhkan. "Ada sumber air di dalam," kata Kuro. "Kita bisa menggunakannya untuk minum dan membersihkan diri." Gidi tersenyum tipis. "Bagus. Berarti kita hanya perlu mencari makanan sekarang." Malam itu, Kuro dan Gidi duduk mengitari api kecil. Mereka berbagi makanan seadanya yang mereka bawa dari perjalanan, sebagian besar berupa roti kering dan sedikit buah yang mereka temukan di hutan. "Kita tidak bisa terus mengandalkan persediaan ini," kata Gidi. "Besok kita harus berburu atau mencari makanan lain." Kuro mengangguk. "Aku bisa membantu. Aku pernah belajar cara berburu dari Ayah." Gidi memandang Kuro sejenak, lalu berkata, "Apa kau merasa lebih baik sekarang?" Kuro tahu maksudnya. Ia pernah dikuasai kegelapan, tetapi berkat Gidi, ia telah terbebas dari itu. Namun, bekasnya masih ada, seperti bayangan samar yang kadang mengusik pikirannya. "Aku masih mencoba memahami semuanya," kata Kuro pelan. "Tapi aku merasa... lebih bebas." Gidi menepuk bahunya. "Itu yang terpenting. Yang kita butuhkan sekarang adalah bertahan hidup dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dunia ini." Mereka terdiam sejenak, menikmati kehangatan api di tengah udara dingin yang menyelimuti gua. Keesokan harinya, mereka mulai beradaptasi dengan kehidupan baru di dalam gua. Gidi membuat alat sederhana dari ranting dan batu untuk berburu. Ia juga mulai menyiapkan perangkap untuk menangkap hewan kecil yang mungkin lewat di sekitar gua. Sementara itu, Kuro menjelajahi area di luar gua. Ia menemukan banyak pohon buah liar yang bisa menjadi sumber makanan. Ia juga mengumpulkan dedaunan kering dan ranting untuk memperkuat tempat tinggal mereka. Ketika sore tiba, mereka sudah memiliki persediaan makanan lebih banyak, termasuk beberapa ikan yang Kuro tangkap di sungai kecil dekat gua. "Sepertinya kita bisa bertahan di sini lebih lama dari yang kita kira," kata Kuro sambil menatap api unggun yang kembali mereka nyalakan. Gidi mengangguk. "Ya, tapi kita tetap harus waspada. Kita tidak tahu siapa atau apa yang mungkin datang ke sini." Kuro menatap ke arah mulut gua, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dunia di luar sana mungkin sudah berubah, tapi di tempat ini, mereka memiliki kesempatan untuk memulai kembali. Namun, sebuah perasaan aneh mengusik pikirannya. Sesuatu akan terjadi. Ia bisa merasakannya. Dan malam itu, angin yang berhembus ke dalam gua membawa suara samar yang terdengar seperti bisikan. Sebuah pertanda bahwa bahaya belum benar-benar pergi. Kuro terbangun di tengah malam. Api unggun yang mereka buat sudah mulai meredup, hanya menyisakan bara merah yang berkedip di kegelapan. Angin dingin menerobos masuk ke dalam gua, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Namun, bukan udara malam yang membuatnya terbangun, melainkan suara samar yang didengarnya beberapa saat lalu. Ia menoleh ke arah Gidi, yang masih tertidur lelap di dekat api. Napasnya teratur, wajahnya tetap tenang seolah tidak terganggu oleh apa pun. Kuro mengerutkan kening. "Apa aku hanya berhalusinasi?" pikirnya. Tapi suara itu terdengar lagi. Bisikan lirih, seperti seseorang tengah berbicara pelan di ujung lorong gua yang gelap. Jantung Kuro berdebar. Ia menelan ludah dan bangkit perlahan, berusaha tidak membuat suara. Dengan hati-hati, ia melangkah menuju bagian dalam gua, tempat lorong-lorong bercabang yang belum mereka jelajahi sepenuhnya. Setiap langkahnya menggema di ruangan batu yang luas. Bayangan tubuhnya bergetar di dinding gua akibat pantulan cahaya bara api yang semakin redup. Bisikan itu semakin jelas. Kali ini, bukan hanya suara samar, melainkan seperti gumaman dalam bahasa yang asing. Kuro mencoba menangkap maknanya, tapi tidak bisa. Ia menghentikan langkahnya saat melihat sesuatu di kejauhan—cahaya redup berwarna kebiruan yang tampak berpendar di ujung lorong. Matanya menyipit. "Apa itu?" Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara dari belakang. "Kuro?" Kuro tersentak dan berbalik. Gidi berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi curiga. "Apa yang kau lakukan?" tanya Gidi, suaranya sedikit berbisik namun tegas. Kuro menoleh lagi ke lorong di depannya. Cahaya kebiruan itu sudah menghilang. Begitu pula dengan suara bisikan tadi. "Aku... aku mendengar sesuatu," jawabnya jujur. Gidi menghela napas dan berjalan mendekat. Ia melirik ke arah lorong gelap itu sebelum kembali menatap Kuro. "Kita sudah cukup mengalami hal aneh di desa," katanya. "Jangan bertindak gegabah." Kuro menatap Gidi dengan serius. "Aku yakin mendengar sesuatu. Dan ada cahaya aneh di sana barusan." Gidi tidak langsung membantah. Ia menatap lorong gelap itu cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Tapi kita tidak akan menjelajahinya sekarang. Besok pagi, setelah matahari terbit, kita bisa melihat lebih jelas." Kuro ingin protes, tapi ia tahu Gidi benar. Jika mereka menjelajah sekarang tanpa persiapan, itu bisa menjadi bencana. Dengan berat hati, ia mengangguk. "Baiklah." Pagi datang dengan sinar matahari yang menyelinap masuk ke dalam gua melalui celah-celah batu. Kuro dan Gidi sudah bersiap dengan obor serta pisau kecil untuk berjaga-jaga. Mereka melangkah ke dalam lorong gua yang semalam Kuro lihat bercahaya. Suasananya lebih terang sekarang, meskipun tetap suram dan dipenuhi bayangan. Beberapa meter ke dalam, mereka menemukan sesuatu yang membuat mereka terdiam. Dinding gua di depan mereka penuh dengan ukiran kuno. Simbol-simbol misterius, gambar-gambar makhluk aneh, dan pola-pola rumit menghiasi batuan. Gidi menyentuh salah satu ukiran itu dengan hati-hati. "Ini bukan buatan manusia biasa." Tapi sebelum mereka bisa menganalisis lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari kejauhan. Mereka membeku. Bukan suara hewan. Bukan suara angin. Tapi suara seseorang. Dan mereka tidak sendirian di gua ini.Debu mulai mengendap. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan kehidupan baru. Dunia telah selamat. Pertempuran dahsyat melawan Sang Penenun dan ancaman yang lebih besar telah berakhir. Namun, jejaknya tetap terukir dalam setiap sudut dunia. Bekas luka menganga di permukaan bumi, mengingatkan akan kekuatan dahsyat yang hampir menghancurkan segalanya. Kota-kota hancur, desa-desa porak-poranda, dan jutaan jiwa telah hilang. Namun, di tengah kehancuran itu, tumbuh tunas-tunas kehidupan baru. Tanaman-tanaman mulai tumbuh kembali, menunjukkan kekuatan regenerasi alam yang luar biasa. Manusia, yang telah kehilangan begitu banyak, mulai membangun kembali kehidupan mereka, mencari harapan di tengah keputusasaan. Kuro, pahlawan yang telah menyelamatkan dunia, tidak ada di sana untuk menyaksikannya. Pengorbanannya telah menyelamatkan alam semesta, tetapi dengan harga yang sangat mahal—kehidupannya sendiri. Ia telah lenyap, menjadi bagian dari alam semesta. Namun, kisahnya tetap hid
Kuro terhuyung, tubuhnya hancur lebur, luka menganga di sekujur tubuhnya seperti peta bintang yang mengerikan. Darah segar membasahi tanah yang sudah retak dan terbakar, mencampur dengan debu dan abu yang beterbangan. Namun, di tengah kehancuran itu, cahaya emas Kekuatan Naga Emas masih menyala, suatu suar harapan yang gigih melawan kegelapan yang hampir membenamkan segalanya. Ia telah menggunakan hampir semua kekuatannya, mengeluarkan seluruh kemampuannya hingga ke titik kering. Namun, Sang Penenun, entitas kekacauan itu, masih berdiri teguh, pusaran energi gelapnya semakin besar, semakin ganas, menelan segalanya dalam cengkeramannya yang tak kenal ampun. Harmoni yang Kuro coba ciptakan, harmoninya yang merupakan benteng terakhir melawan kekacauan, terasa rapuh, seperti kaca yang siap hancur berkeping-keping. Ia merasakan kelelahan yang luar biasa, tubuhnya terasa seperti akan runtuh, namun tekadnya tetap membara. Ia tidak boleh menyerah. Ia harus menang.Pandan
Bab 149: Harmoni yang Hilang – Pertempuran SengitAlam semesta bergetar. Bukan getaran lembut, namun guncangan dahsyat yang mengguncang realitas itu sendiri. Kekuatan tiga naga – Muzunoryu, Tsuchiryu, dan Arashiryu – berbenturan dengan kekuatan Sang Penenun, menciptakan gelombang energi yang tak terbayangkan. Air, tanah, dan angin beradu dengan kegelapan, menciptakan pusaran yang mengerikan, pusaran yang mengancam untuk menghancurkan segalanya. Kuro, di tengah badai itu, merasakan kekuatan dahsyat yang mengguncang jiwanya.Tubuhnya, yang sudah penuh luka, terasa seperti akan hancur. Setiap inci kulitnya terasa perih, setiap tulang terasa remuk. Ia telah menggunakan hampir semua kekuatannya, namun Sang Penenun masih berdiri teguh, pusaran energi gelapnya semakin besar dan semakin ganas. Harmoni yang ia coba ciptakan, harmoninya yang merupakan benteng terakhir melawan kekacauan, terasa rapuh, hampir hancur.Kuro tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu, dan cepat.
Kelelahan mencengkeram Kuro. Tubuhnya, yang biasanya dipenuhi dengan energi kosmik yang tak terbatas, kini terasa lemah dan remuk. Luka-luka yang ia derita dalam pertempuran sebelumnya masih terasa perih, ditambah dengan luka-luka baru yang ia dapatkan dari serangan Sang Penenun. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya, menodai jubahnya yang sudah compang-camping. Ia merasakan kekuatannya terkuras, semakin menipis, seperti lilin yang hampir padam.Sang Penenun, entitas kosmik yang mengerikan itu, mengeluarkan kekuatannya yang sebenarnya. Ia melepaskan serangan yang mampu memanipulasi realitas itu sendiri. Waktu dan ruang menjadi terdistorsi, berputar-putar seperti pusaran air yang tak berujung. Ilusi-ilusi yang membingungkan muncul di mana-mana, menciptakan pemandangan yang surealis dan mengerikan. Kuro merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung, di mana realitas dan ilusi bercampur aduk, di mana ia tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana y
Kekalahan di awal pertempuran telah meninggalkan jejak yang dalam pada Kuro. Tubuhnya terasa remuk, namun tekadnya tetap membara. Darah masih mengalir dari sudut bibirnya, menodai jubahnya yang sudah compang-camping. Ia menatap Sang Penenun, pusaran energi gelap yang tak berujung itu, dengan mata yang dipenuhi dengan campuran rasa sakit, kemarahan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa ia harus menggunakan semua kekuatannya, semua kemampuannya, untuk melawan entitas kosmik yang mengerikan ini. Ia harus menciptakan harmoni yang sempurna, keseimbangan yang mutlak, untuk melawan kekacauan yang mengancam untuk menelan segalanya.Dengan napas yang tersengal-sengal, Kuro memanggil Kuchiyose Kinpika Ryu (Naga Emas). Api emas berkilauan menerangi kegelapan yang mencekam, menciptakan kontras yang dramatis antara cahaya dan bayangan. Kinpika Ryu, naga emas yang megah dan perkasa, muncul dari dimensi lain, sisiknya berkilauan seperti emas murni yang dilebur oleh mat
Langit bukan lagi langit. Ia adalah kanvas gelap yang tercabik-cabik, dirobek oleh tentakel-tentakel energi hitam yang tak terhitung jumlahnya. Tentakel-tentakel itu, tebal seperti gunung dan hitam pekat seperti jurang maut, menari-nari dengan kejam di antara bintang-bintang yang meredup. Mereka bukan sekadar energi; mereka adalah manifestasi dari kekacauan itu sendiri, perpanjangan dari kehendak Sang Penenun, entitas kosmik yang haus akan jiwa. Jiwa-jiwa manusia, terhisap oleh tentakel-tentakel itu, menghasilkan jeritan yang menyayat hati, simfoni kematian yang mengerikan yang bergema di seluruh dunia. Di tengah badai ini, Kuro berdiri tegak, sebuah patung marmer yang tak tergoyahkan di tengah badai yang mengerikan.Rambut putihnya yang panjang berkibar ditiup angin yang berputar-putar, menyerupai api yang siap menyala. Wajahnya, yang biasanya dipenuhi dengan ketenangan, kini dikerutkan oleh tekad yang tak tergoyahkan. Ia bukanlah manusia biasa lagi; ia adalah m