Share

bab 2

“Kita sekarang ke rumah mama ya, biar kujelasin semuanya, tentang keadaan kamu."

Nara yang sedang bingung pun pun langsung menyetujui saja saran dari Pras, dan segera naik ke atas motor tua itu.

“Tapi aku ragu, Mas ... takut kalau mama kamu marah,” lirihnya menunduk.

“Kalau soal itu urusan belakangan yang penting dia tau dulu kalau kamu sedang mengandung anakku. Biar kita segera dinikahkan.” jelasnya lagi untuk menenangkan hati sang kekasih.

Motor pun melaju kencang membelah jalan raya. Hati Nara merasa sedikit cemas namun sebisa mungkin ia tepis perasaan itu.

***

Mereka telah sampai di bangunan yang tak terlalu besar dan bisa dikatakan sangat sederhana. Dengan pagar yang terbuat dari bambu, yang mengelilingi rumah pria berambut ikal itu.

Tak berapa lama seorang wanita setengah tua keluar dari pintu kayu berwarna coklat muda, lalu menyapa mereka yang sudah turun dari motor.

“Kamu mau kemana bawa tas pakaian begini?” tanya Dinta, ibu dari Pras dengan alis yang bertaut. Dia memang sudah mengenal Nara sebelumnya, karena beberapa waktu lalu Pras pernah mengajak Nara untuk datang ke rumahnya.

“Aku diusir sama papa, Bu.” Ia menjawab seraya menundukkan kepala.

“Hah? Kok bisa,” Wanita bersanggul itu kembali mengernyit.

Nara hanya terdiam tanpa kata. Tak bernyali untuk menceritakan semua kebenaranya.

“Terus kamu mau tinggal di sini?” tanya Dinta setelah gadis itu tak menjawab pertanyaan darinya.

Nada ibu dari Pras itu kini berubah sengit.

“Emm ... begini Ma ... Nara diusir dari rumahnya itu gara-gara aku. Jadi aku membawanya ke sini,” Pras mencoba menjelaskan.

“Gara-gara kamu? Kok bisa, memangnya apa yang kamu lakukan sampai-sampai wanita ini diusir dari rumah?” cetusnya menatap bola mata Pras, menunggu jawaban.

“Dia ... sedang hamil anakku, Ma!”

“Apa?! Kamu telah ....”

Plak!

Satu tamparan yang sangat keras mendarat di pipi anak semata wayangnya itu.

“Anak kur4ng ajar kamu, ya! Saya tidak pernah ngajarin untuk merusak anak orang! Kalian memang pantas untuk diusir, buat malu orang tua!” rongrongnya.

Pras masih memegangi pipi yang sudah memerah bergambar jari tangan.

“Tolong-lah Ma, kami ingin menikah, mama seharusnya bahagia sebentar lagi akan punya cucu,” balas Pras yang enggan keluar dari rumah itu karena merasa belum bisa hidup mandiri.

“Eh Nara, lagian kamu kok mau-maunya sih menyerahkan harga dirimu sama laki-laki ini. Dia pengangguran, pemalas, nggak mau kerja. Sehari-harinya cuma ngabisin jajan dan rokok di warung sembako saya!” ungkapnya kepada wanita bertubuh langsing yang kini tengah bersimbah air mata itu.

“Saya tidak tau kalau dia pengangguran, Bu. Karena dia bilang ke saya ... kalau dia kerja di sebuah perkantoran,”

“Oh rupanya kau sudah ngarang cerita? Ya sudah silahkan urus masalahmu sendiri. Mencukupi dirimu sendiri aja belum bisa, bagaimana mau menafkahi anak dan istri? Itu namanya kamu menambah beban orang tua!” sergahnya pada pria berusia 25 tahun itu.

“Maafin Pras Bu, Pras sadar ini salah.”

“Tapi izinkan aku menikahi Nara, Bu.” rengeknya pada wanita yang telah melahirkannya itu.

“Terserahmu, kamu sudah dewasa. Cari sendiri maharnya, itu tanggung jawabmu!” tandasnya lalu kemudian pergi ke warung sembako yang berada di depan rumah untuk melayani para pembeli yang datang.

“Jadi bagaimana, Mas? Kamu nggak ninggalin aku sendirian dalam kondisi seperti ini kan, Mas?”

isak perempuan yang masih berumur 22 tahun itu.

“Nggak, Sayang. Kamu tenang aja. Aku akan selalu ada buat kamu!”

“Udah, sekarang kamu jangan nangis ya, kita akan segera menikah, tapi dengan mahar seadanya. Kamu bersedia kan, Sayang?”

Nara hanya mengangguk pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status