“Jadi sebenarnya anak saya ini sakit apa, Dok?” tanya Surya pada seorang pria yang baru saja selesai memeriksa.
“Hmmm ... begini Pak, menurut pemeriksaan yang telah dilakukan, anak bapak ini sebenarnya tidak sakit, tapi dia ... sedang mengandung,” jelas dokter itu setengah tergagap, karena ia tahu lelaki yang berada di hadapannya itu pasti akan marah besar. Matanya juga sudah terlihat melotot, berwarna merah padam."Kalau begitu saya permisi dulu, Pak." pamitnya gugup, lalu berjalan menuju pintu keluar.Surya mulai menatap tajam pada wanita yang sedang berbaring tak berdaya itu.Dadanya naik turun mengimbangi napas yang sudah penuh oleh perasaan emosi."Maafin aku, Pa ..." gadis itu beringsut dari ranjang dan terisak me- meluk lutut sang ayah."Aargghh ...!" Surya menarik kakinya dengan kasar, hingga membuat putri satu-satunya itu terjerembab ke lantai."Keluar, sekarang!" sergahnya dengan suara lantang. Matanya membelalak. Jari telunjuknya menunjuk ke arah pintu keluar.Nara menangis, menyesali apa yang telah dilakukannya, yang membuat sang ayah begitu kecewa dan marah besar."Jangan pernah kembali ke rumah ini. Mulai sekarang, jangan anggap saya orang tuamu!" tegasnya, sambil mendorong anak gadisnya itu di depan pintu rumah lengkap dengan tas pakaian yang ia lemparkan."Temui pria b4jingan itu dan suruh dia bertanggung jawab!" lanjutnya lagi, masih dengan suara menggelegar, bak petir di siang bolong.Setelah wanita itu terlempar ke teras,Surya lalu membanting pintu, dan menguncinya rapat.Nara berteriak, mencoba memanggil sang ayah, menyandarkan pipinya ke badan pintu. Air matanya turun bagai hujan.“Pa, Nara minta maaf, Pa, tolong jangan usir Nara …”rengeknya, namun pintu tak kunjung terbuka.Sekarang kemana ia harus pergi?Apakah harus mendatangi rumah Bu Dinta, mamanya Pras?Dan apakah ia diterima di sana?Tapi tak ada salahnya mencoba. Siapa tau mereka mau membuka hati untuk menerima kedatangannya.Karena memang sudah tak ada pilihan lain, selain mengemis kepada Pras untuk meminta pertanggung-jawaban.Kemudian Nara pun mengambil ponsel di dalam tasnya. Menelpon sang kekasih, dan mengatakan ingin segera bertemu di tempat biasa.“Ada apa?” sahutnya setelah telepon terangkat.“Kita harus bertemu sekarang, Mas.”“Kutunggu di tempat biasa, ada hal penting yang ingin aku omongin sama kamu!” ungkap Nara sebelum ia menutup telepon.Dengan langkah kaki berat, ia terpaksa meninggalkan rumah yang sejak kecil ia huni.Sebelum pergi, ia menatap bangunan bercat putih itu dengan sangat lama, rasa sesal menyelimuti hatinya, akibat satu kesalahan yang fatal, membuatnya harus terusir dari tempat ternyaman itu.Ia menyadari kekhilafannya, menjadi seorang wanita yang tak bisa menjaga diri.***“Apa? Kamu hamil?” protesnya tak percaya seraya memengangi kepala dengan kedua tangan. Menjambak rambutnya sendiri sebagai tanda frustasi“Iya Mas, dan aku diusir sama papa dari rumah,” Nara terisak menjelaskan semuanya.“Terus gimana dong?” sahut Pras frustasi.“Ya, kamu harus nikahin aku dong, Mas. Masa kamu mau lepas dari tanggung jawab gitu aja! Dalam perutku ini ada darah daging kamu! Ingat itu!” jelasnya dengan nada penuh penekanan.“Iya tapi …” ucapan Pras menggantung.“Tapi apa, Mas? Kamu nggak mau, ha?” suara Nara kembali bergetar.“Aku mau bertanggung jawab, tapi aku tidak punya uang buat nikahin kamu!” ucapnya jujur dengan satu kali tarikan napas.“Apa? Katamu waktu itu kerja di kantor? Kamu bohongin aku, Mas?”“M-iya waktu itu memang kerja di kantor tapi aku resign karena ingin buka usaha, tapi sialnya usahaku gagal.” tuturnya memasang raut wajah memelas.“Pokoknya aku nggak mau tau, Mas. Kamu harus segera bertanggung jawab untuk menikahiku sebelum janin yang ada di dalam rahimku ini semakin membesar!” pintanya tanpa berpikir panjang, meski sudah tau bahwa lelaki yang menjadi pacarnya itu tidak memiliki masa depan. Nara seakan tak peduli. Ia hanya butuh seorang ayah untuk anak yang sedang dikandungnya.Sungguh ia tidak menginginkan saat hamil dan melahirkan tanpa seorang suami, sehingga bagaimanapun caranya ia harus menikah dengan Pras.“Kita sekarang ke rumah mama ya, biar kujelasin semuanya, tentang keadaan kamu." Nara yang sedang bingung pun pun langsung menyetujui saja saran dari Pras, dan segera naik ke atas motor tua itu.“Tapi aku ragu, Mas ... takut kalau mama kamu marah,” lirihnya menunduk.“Kalau soal itu urusan belakangan yang penting dia tau dulu kalau kamu sedang mengandung anakku. Biar kita segera dinikahkan.” jelasnya lagi untuk menenangkan hati sang kekasih.Motor pun melaju kencang membelah jalan raya. Hati Nara merasa sedikit cemas namun sebisa mungkin ia tepis perasaan itu.***Mereka telah sampai di bangunan yang tak terlalu besar dan bisa dikatakan sangat sederhana. Dengan pagar yang terbuat dari bambu, yang mengelilingi rumah pria berambut ikal itu.Tak berapa lama seorang wanita setengah tua keluar dari pintu kayu berwarna coklat muda, lalu menyapa mereka yang sudah turun dari motor.“Kamu mau kemana bawa tas pakaian begini?” tanya Dinta, ibu dari Pras dengan alis yang bertaut. Dia memang s
Pov PrasAh sial, kalau begini sih namanya nambahin beban. Bener kata mama. Bukan ini yang kuinginkan. Yang kuhayalkan dari dulu saat berpacaran dengan Nara, si anak orang kaya biar aku yang pengangguran ini bisa hidup senang.Ini tidak berjalan sesuai dengan rencanaku.Hayalanku waktu itu adalah ... saat Nara hamil, maka aku akan dinikahkan dengannya lalu ayahnya yang pengusaha itu mengajakku untuk meneruskan bisnis yang ia punya, kebetulan Nara kan putri tunggal, pastilah semua itu akan jatuh ke tanganku, suaminya.Tapi nyatanya kok malah begini?Dia justru diusir dari rumah.Arrggghh ... terus dari mana aku akan mendapatkan biaya pernikahan ini?Uangku hanya tersisa lima ratus ribu? Apakah itu cukup?Kepalaku terasa sangat berat bagai menjunjung batu yang sangat besar.Ini benar-benar menyiksa pikiranku.Sedangkan mama sudah lepas tangan dan tidak mau tau atas masalah ini.Pada siapa lagi aku akan meminta bantuan? Barangkali ada yang bersedia meminjamkanku uang,Aduuh ... pusing se
Dua hari kemudian ...Nara tinggal di rumah Pras sebelum pernikahan itu dilangsungkan.Acara yang akan dibuat, sangat sederhana. Hanya mengundang tetangga dekat rumah saja.Seperti biasa, Dinta sedang sibuk mengambilkan barang permintaan para pembeli."Kok pernikahan Pras mendesak sih Bu? Memangnya ada apa?" celetuk salah seorang pembeli di warung itu."Iya malah yang perempuannya udah nginap di sini lagi." Sambung yang lain.Dinta yang mendengar itu tidak menjawab. Ia hanya bisa menarik napas berat. Keluarga mereka saat ini sedang menjadi bahan gosip satu kampung.Andaikan ia mempunyai dua kepala, mungkin ia sudah membuang salah satunya sekarang, anak lelaki yang ia banggakan selama ini, kini telah berhasil melemparkan kotoran tepat ke mukanya."Ibu-Ibu, maaf sebelumnya ya, warung saya ini bukan tempat untuk menggosip, kalau urusan kalian sudah selesai, Ibu-Ibu semuanya boleh pulang!" halaunya dengan menahan emosi yang bergejolak."Ih, gitu aja marah, Bu. Kami kan cuma nanya, jangan
Mereka telah sampai di bibir pagar rumah Surya. Pras sedikit merasa canggung, sebab ia belum pernah bertemu dengan sang calon mertua sebelumnya.Setiap Nara ingin mengenalkannya pada sang ayah, pria itu tak pernah ada di rumah. Ia selalu sibuk mengurus bisnisnya di sana sini. Sehingga tak memiliki waktu luang untuk bertemu.Nara juga segan mengatakannya kalau ia sudah memiliki kekasih, karena ia menduga, Surya tak terlalu ingin tahu tentang dirinya. Mereka hanya bicara sekedarnya ketika bertemu di meja makan. Selebihnya pria itu super sibuk, hingga sangat jarang ada obrolan basa basi diantara mereka.Saat Nara baru saja ingin mulai berbicara tentang kesehariannya, baru sepatah kata sudah terdengar dering ponsel sang ayah, yang menelpon agar ia segera pergi untuk urusan kerjaan.Seketika Nara menghembuskan napas kasar. Itu bukan hanya sekali. Sudah tak terhitung jumlahnya ia ditinggal seperti itu oleh papanya.Saat gadis itu ngambek, pria itu selalu mengatakan bahwa dirinya seperti itu
"Mau apa lagi ke sini? Saya kan suruh kamu untuk mengikuti laki-laki itu!" sergah ayahnya, yang masih sangat marah."Om, maaf. Saya akan bertanggung jawab atas perbuatan saya. Tujuan kami kesini adalah ... ingin meminta Om untuk menjadi wali nikah Nara, apakah Om bersedia?"Tanpa banyak basa-basi lagi, Pras langsung to the point. Ia sudah berusaha menjadi lelaki yang gentleman di hadapan sang calon mertua. Ia berani berbicara sebagai bukti bahwa dirinya bukanlah seorang pecundang, yang kabur begitu saja saat kekasihnya hamil."Oh jadi kamu yang sudah merusak masa depan anak saya? Besar juga nyalimu ya, berani menunjukkan muka dihadapan saya!" cetus Surya dengan membusungkan dada ke depan serta kedua tangan yang diletakkan di sisi pinggang."Memangnya apa pekerjaan kamu? Dan bagaimana kamu akan memberikan makan pada putri saya nantinya?" lanjutnya lagi dengan nada ketus."Pa, jangan bersikap gitu dong sama Mas Pras," protes Nara yang tak sanggup mendengar kata-kata hinaan yang terlont
Sebentar lagi hari bahagia mereka akan tiba. Seharusnya Pras sangat bahagia karena calon mertua sudah menyetujui pernikahan mereka, bukan malah sebaliknya. Ia tampak begitu murung, dan cemberut.Makanan yang sudah dihidangkan oleh ibunya, sama sekali tak disentuhnya. Semua masih utuh di atas meja. Ia seperti kehilangan selera untuk makan apa pun.Dinta yang melihat perilaku tak biasa dari anaknya itu mencoba untuk bertanya, meski ia tau anak lelaki yang ia besarkan selama ini itu memiliki sifat yang tertutup.Tapi apa salahnya ia mencoba menanyakan hal apa yang mengganggunya sehingga dia bersikap seperti orang gangguan mental."Ada masalah apa? Ayo cerita sama Mama," ujarnya mengusap lembut punggung lebar Pras."Ayah Nara sudah menyetujui pernikahan kami, Ma,""Terus? Harusnya kamu senang dong, sekarang kenapa malah murung seperti itu?" tukas wanita bersanggul mini itu."Oh mama tau, kamu tidak punya biaya ya, untuk melaksanakan itu semua?" tebak sang ibu."Makanya setiap mau mengerj
"Pras pamit Ma. Untuk mengejar kesuksesan di luar kota. Supaya Mama bangga punya anak seperti Pras, yang tak akan menyusahkan Mama lagi, yang bisanya cuma menjadi beban Mama setiap harinya. Maafin Pras selama ini. Sekarang sudah saatnya Pras berubah. Mama tenang aja, dan jangan khawatir. Pras baik-baik saja di perantauan, cukup kirimkan doa terbaik Mama setiap harinya. Jaga diri Mama baik-baik, ya. Tunggu kepulangan Pras, bye Ma ..."Dinta menghapus dengan kasar air mata yang sedari tadi mengalir dipipinya saat membaca isi dari surat itu.Kemana kamu, Nak?Kenapa tega ninggalin Mama sendirian?Apa kamu marah sama Mama, iya?Mama minta maaf, Sayang.Kemana Mama akan mencarimu?Dari bayi hingga kau sebesar ini, tak pernah kita berpisah walau hanya sebentar saja.Kau selalu bersamaku.Kau adalah manjanya Mama.Cuma dirimu yang Mama punya, Sayang.Kau marah, karena Mama cerewet?Semua itu demi kebaikanmu, Nak.Mama tak bersungguh-sungguh benci kepadamu, kau salah paham, Sayang.Apakah kau
Hari ini adalah saatnya mereka fitting gaun pengantin. Meski acara yang dilakukan sederhana, tapi tak mungkin mereka hanya memakai baju rumahan, tentu di hari yang spesial bagi dua orang yang akan mengikat tali pernikahan itu akan memilih baju yang indah untuk mereka gunakan.Nara sangat bersemangat. Wajahnya begitu sumringah mengingat sebentar lagi dia kan resmi menjadi istri dari pria yang dicintainya.Ia telah mandi dan bersiap hendak pergi. Memoles bibirnya dengan sedikit lipstik berwarna merah jambu.'Kenapa dia belum juga datang? Apakah dirinya lupa kalau hari ini akan ke butik gaun pengantin? Ah kebiasaan deh, dasar pelupa.' gumamnya seraya mengambil ponsel yang tersimpan di dalam tas kecilnya.Menggeser layarnya untuk mencari nama yang ia tulis dengan sebutan "Sayang" itu.Setelah ketemu, tanpa membuang waktu lagi ia langsung menekan tombol panggil di smartphone keluaran terbaru pemberian papanya. Karena memang apa yang ia inginkan selalu diberikan oleh Surya.Panggilan telep