Di sepanjang jalan, Rosa bersenandung ria membayangkan wajah tegang ibu mertuanya. Terutama, iparnya yang terlalu banyak bicara itu. Rosa sudah tak sabar, dengan kecepatan penuh ia menarik pedal gas melalui jalanan Kota Palembang. Tak sampai 20 menit, akhirnya dirinya sampai di kediaman sang mertua.
Di depan rumah, terlihat ayah mertua tengah duduk sendirian. Tidak ada teman apalagi kopi yang menemaninya. Rosa membuka helm, lalu menghampiri lelaki tua yang tak banyak bicara itu.
"Assalamualaikum, Pak," sapa Rosa sopan.
Di antara banyaknya penghuni rumah ini, hanya ayah mertua, dan sang suami yang tak banyak bicara. Mereka hanya bicara seperlunya saja. Berbanding terbalik dengan Bu Wati, serta dua anak dan menantunya yang gemar sekali bicara.
"Waalaikumsalam. Dari mana, Nak?" tanya lelaki tua itu.
Rosa pun ikut duduk di kursi kosong yang ada di sebelah ayah mertuanya. "Dari antar nasi untuk Mas Hasan, Pak," jawab Rosa seadanya.
"Oooo."
Setelah pembicaraan itu, mereka sama-sama tak bergeming. Lelaki tua itu sebenarnya melihat motor baru yang di bawa pulang oleh menantunya. Hanya saja, rasa penasarannya ia abaikan begitu saja.
"Saya masuk dulu, Pak," pamit Rosa akhirnya. Ini baru permulaan, sayangnya orang yang di tuju tidak ada di situ. Dalam hati ia terus bertanya kemana dua manusia kepo itu.
"Iya, Nak," sahut Pak Bowo.
Rosa pun beranjak dari sana, dan masuk ke dalam rumah. Saat tiba di ruang tamu, suasana rumah begitu sepi, tidak ada ibu mertua, keponakan apalagi ipar-iparnya. Namun, ketika kaki hendak melangkah ke dalam kamar, dari arah dapur Rosa mendengar seperti ada keributan. "Apa mereka semua berkumpul di dapur?" gumam Rosa, "oh sayang sekali mereka tidak melihat pemandangan indah itu," lanjutnya seraya membuka pintu kamar bersiap untuk mengikuti apa kata suaminya tadi.
Namun, indera pendengarannya menangkap bahwa obrolan yang tengah terjadi di dapur bukanlah obrolan biasa. Suara mereka terdengar sama-sama meninggi, seperti tengah emosi, "apa mereka sedang bertengkar?" tanya Rosa pada angin.
Rasa penasaran pun menyelimuti dirinya. Rosa kembali menutup pintu kamar, dan berlalu dari sana menuju pusat keramaian yang tengah terjadi. Rosa berdiri di ambang pintu tanpa mengeluarkan suara. Ia masih asyik menyaksikan pemandangan baru. Bukan mereka yang di buat syok, tetapi kini dirinyalah yang dibuat syock oleh mereka.
"Seadanya saja, Bu! Tidak perlu mewah! Lagian yang datang juga cuma ibu-ibu komplek! Untuk apa di sambut dengan hidangan mewah! Ngabisin uang saja! Ibu tahu, 'kan Mas Farid belum gajian!" ucap Tiara, nampak sekali raut kesal di wajahnya.
Bu Wati yang di ocehi oleh menantunya, begitu tak terima, bila harus sederhana, maka harga diri adalah taruhannya.
"Kamu mau bikin Ibu malu? Bunuh saja Ibu sekalian!"
"Siapa yang mau bikin Ibu malu? Aku cuma bilang, hidangkan makanan seadanya saja, tidak perlu berlebihan! Ini cuma pengajian biasa, Bu! Bukan menyambut tamu penting. Anggap saja seperti Ibu menyambut keluarga Rosa kemarin!"
Degh!
Jantung Rosa berdegup kencang. Ingatannya kembali teringat pada pesta pernikahan yang telah berlangsung satu minggu lalu. Begitu sederhana, dan terkesan biasa saja. Bukan karena Hasan tak ada uang, tetapi semua karena dirinya dinikahi oleh anak yang tak begitu di harapkan di keluarga ini, terutama oleh sang ibu.
"Tidak! Pokoknya Ibu tidak mau! Untuk acara kali ini Ibu ingin memesan catering saja. Biar mahal, yang penting Ibu puas!"
"Puas apa, Bu? Puas di puji?"
"Ya iya, dong! Secara, ibu-ibu komplek sini kalau pengajian di rumah mereka, mereka pada masak sendiri, itu pun cuma ubi goreng, dan ubi rebus. Bikin malu saja! Pokoknya kamu bilang sama Farid, kalau hari kamis besok Ibu narik pengajian, dan Ibu ingin Farid nambahin modalnya!"
"Tidak, Bu! Aku tidak setuju!"
"Tiara!" Bu Wati mulai geram melihat Tiara yang sama sekali tak mau mengikuti keinginannya.
"Terserah ya, Bu! Pokoknya aku tidak akan nambahin sepeserpun! Dari pada untuk pesen catering, mending untuk aku ke salon!"
"Astaga anak ini! Kamu sudah lupa siapa aku? Aku ini Ibu suamimu! Aku berhak atas uang anakku!" ungkap Bu Wati yang mulai tersulut emosi.
"Dan aku istrinya. Ibu tidak ada hak untuk mengatur keuangan Mas Farid, karena sekarang Mas Farid sudah menikah. Tanggung jawabnya bukan Ibu lagi, tetapi aku, dan Chika!" ucap Tiara, matanya melotot seakan ingin keluar dari tempatnya.
Rosa, begitu shock melihat sikap Tiara yang begitu kasar pada Bu Wati. Pasalnya, mereka pagi tadi, dan hari-hari sebelumnya mereka terlihat begitu akrab, mereka sangat akur, dan kompak menghina Rosa, tetapi siang ini, semua nampak berbeda. Menantu yang begitu akrab, ternyata tak begitu menghargainya Ibu dari suaminya itu.
Rosa masuk ke dapur, dan membuka kulkas berpura-pura mengambil minum. Perdebatan yang tengah terjadi mendadak berhenti. Mau Tiara ataupun Bu Wati, mereka sama-sama tak berkutik.
Glegek ... Glegek ... Glegek ....
Rosa sangat menikmati moment menegangkan seperti ini, setelah puas minum, ia meletakkan gelas itu di atas meja. Rosa tersenyum lalu berkata, "Ibu butuh berapa? Katakan saja."
***
Suara sepatu para petugas berseragam bergema di dalam apartemen kecil itu, menciptakan ketegangan yang semakin menyesakkan. Lampu gantung berayun pelan akibat pintu yang didobrak paksa beberapa detik sebelumnya. Hasan berdiri kaku, wajahnya penuh amarah, sementara Mia berusaha keras mempertahankan ketenangannya.Rosa melangkah masuk, senyumnya lebar, namun dingin. Tatapan matanya menyorot tajam, seolah mengukur setiap inci dari ekspresi Mia dan Hasan. Di belakangnya, dua petugas tetap siaga, senjata mereka mengarah tanpa goyah."Kau pikir bisa mengendalikanku, Mia?" Rosa berkata pelan, hampir berbisik, namun cukup jelas untuk membuat ruangan itu terasa lebih dingin.Mia mendongak, menatap Rosa tanpa gentar. "Aku tidak pernah mencoba mengendalikanmu, Rosa. Aku hanya memastikan kau tidak bisa mengendalikanku."Rosa tertawa pelan, langkahnya mendekat hingga berdiri hanya beberapa meter dari Mia. "Kau pintar. Itu yang membuatmu menarik. Tapi sayangnya, permainan ini bukan tentang siapa ya
Suasana di ruang kerja Hasan begitu tegang hingga udara pun terasa berat. Lampu gantung bergoyang pelan, menciptakan bayangan samar di dinding, seolah menjadi saksi bisu dari pertemuan yang penuh intrik ini.Mia berdiri tegak di depan Rosa dan Hasan, sorot matanya tajam seperti pisau yang siap menebas. Dengan penuh keyakinan, dia melempar flashdisk kecil ke atas meja. Bunyi benturan kecilnya terdengar nyaring di ruangan yang hening, membawa pesan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.“Di dalamnya ada semua bukti untuk menghancurkan kalian,” ucap Mia, suaranya tenang namun penuh tekanan. “Tapi aku tidak datang untuk mengancam. Aku datang untuk membuat kesepakatan.”Rosa mengangkat alisnya, lalu tertawa pelan. Suaranya bergema lembut di ruangan itu, namun ada nada tajam yang tersembunyi di balik tawa itu. "Kesepakatan? Kau pikir kau masih bisa mengendalikan permainan ini, Mia?" Dia melangkah pelan mendekat, tatapan matanya menusuk. "Kau lupa siapa yang memegang kendali."Mia tak b
Mia menatap punggung Rosa dan Hasan yang perlahan menghilang di balik pintu gudang. Napasnya terengah, bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena beban pikiran yang menghimpit dadanya. Ruangan itu terasa semakin sempit, meski hanya dia dan dua pria berjas hitam yang masih berdiri di sana. Mereka mengawasinya seperti dua bayangan gelap tanpa emosi.Mia mengusap keringat di pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Ini belum selesai. pikirnya. Justru permainan baru saja dimulai.Keesokan harinya, Mia kembali ke rumah sakit tempat Farid dirawat. Aroma antiseptik menyambutnya saat ia melangkah di koridor yang sunyi. Langkah kakinya mantap, meski di dalam hatinya berkecamuk badai. Farid masih terbaring lemah di ruang perawatan VIP, infeksi alat kelaminnya membuatnya tak berdaya.Saat Mia membuka pintu kamar, Farid menoleh pelan. Wajahnya pucat, namun matanya penuh kecurigaan.“Kau datang lagi,” gumam Farid dengan suara serak.Mia memaksakan senyum, mendekatinya sambil membawa nampan kecil
Pintu gudang terbuka lebar, dan di ambang pintu berdirilah Rosa, menatap mereka dengan ekspresi dingin namun penuh kemenangan. Dua pria berjas hitam berdiri di belakangnya, wajah mereka tanpa emosi."Lama tidak bertemu, Mia."Mia membeku. Jantungnya berdegup kencang saat ia mencoba membaca situasi. Ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah perang.Hasan berdiri di sebelah Mia, ekspresinya tak terbaca. Dia tampak tenang, tapi Mia tahu otaknya pasti sedang bekerja keras mencari jalan keluar.Rosa melangkah masuk, suara sepatu hak tingginya menggema di dalam ruangan. “Aku sudah menunggumu, Mia. Aku tahu cepat atau lambat kau akan mencoba melarikan diri.”Mia mencoba tersenyum tipis, meski dalam hatinya dia tahu dia sedang dikepung. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Rosa.”Rosa terkekeh, matanya bersinar tajam. “Kau tidak perlu berpura-pura. Aku sudah menyelidikimu sejak awal.”Mia menelan ludah, tapi dia tetap menjaga ketenangannya. “Lalu kenapa kau tidak langsung bertindak?”R
Mia menatap Hasan dengan napas tertahan. Ruangan itu terasa semakin sempit, udara semakin berat. Hasan masih menggenggam ponselnya, suara di seberang menunggu jawabannya.“Serahkan Mia, dan kita bisa menyelesaikan ini tanpa perlu darah.”Mia menelan ludah. Ini adalah saat yang menentukan.Hasan menutup matanya sesaat, lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Tidak semudah itu.”Mia nyaris tidak bisa percaya. Dia… membelanya?Orang di seberang telepon tertawa pelan. “Kau masih terlalu lunak, Hasan. Ini bukan soal seberapa mudah atau sulitnya. Ini soal kepentingan. Kau tahu siapa yang ada di balik semua ini, kan?”Hasan tidak menjawab, hanya mengepalkan tangan.Mia merasakan ketegangan di ruangan itu semakin meningkat. Ini lebih besar dari yang dia bayangkan.Suara di telepon melanjutkan, lebih dingin dari sebelumnya. “Kau punya waktu sampai besok pagi. Jika kau tidak menyerahkannya, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian berdua.”Klik. Sambungan terputus.Mia mencoba m
Hujan mulai turun, rintik-rintiknya membasahi wajah Mia saat dia berdiri di hadapan Hasan. Tangannya masih dalam cengkeraman kuat pria itu. Nafasnya berat, pikirannya berpacu mencari cara keluar dari situasi ini.Hasan menatapnya tajam, matanya penuh kemarahan yang terpendam. “Katakan, Mia. Semua yang kau rencanakan.”Mia bisa saja berbohong. Dia sudah sering melakukannya. Tapi kali ini, dia tahu kebohongan tidak akan menyelamatkannya.“Aku…” Mia menelan ludah, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku memang mendekati Farid karena alasan tertentu. Tapi itu bukan karena aku ingin menyakitinya.”Hasan tersenyum sinis. “Benarkah? Kau ingin aku percaya bahwa kau mendekati kakakku dengan niat baik?”Mia menarik napas dalam. “Awalnya aku hanya ingin mendapatkan kepercayaan Farid… untuk bisa lebih dekat dengan keluargamu.”Hasan menggelengkan kepala, ekspresinya semakin mengeras. “Dan setelah itu? Apa kau berencana menipu kami? Mengambil uangku?”Mia tidak menjawab, tapi tatapan Hasan sem
Taksi melaju melewati jalanan kota yang diterangi lampu jalan remang-remang. Mia duduk di kursi belakang, jari-jarinya gemetar saat dia menggenggam ponselnya. Pesan yang baru saja dia terima terus berputar di pikirannya.“Kau sudah membuat pilihan yang salah, Mia. Sekarang giliran kami yang bermain.”Siapa yang mengirim pesan itu? Apakah mereka sudah menemukan Marco?Mia menoleh ke luar jendela dan merasakan ketakutan merayapi tulangnya. Sebuah mobil hitam tampak mengikuti taksinya sejak tadi. Tidak ada sirene, tidak ada tanda-tanda mencolok, tetapi nalurinya tahu—mereka sedang diawasi.Sial.Dia tidak bisa langsung kembali ke rumah dan bertemu Marco. Jika dia membawa mereka ke sana, itu sama saja seperti menyeret Marco ke dalam bahaya.Dia harus berpikir cepat.Mia bersandar ke depan, berbicara dengan sopir taksi dengan suara tenang tapi mendesak. “Pak, bisa belok ke jalan kecil di depan sana? Saya harus turun di tempat lain.”Sopir itu menatap Mia sekilas melalui kaca spion, tampak
Mia tahu dia harus bertindak cepat. Situasi di restoran ini semakin berbahaya, dan Marco baru saja memperingatkannya tentang sesuatu yang lebih buruk. Tapi sebelum dia bisa berpikir jernih, Rosa sudah mengambil langkah lebih dulu.Dua pria berjas hitam memasuki restoran, wajah mereka datar dan serius. Keamanan restoran. Rosa melirik mereka dan memberi isyarat halus.“Mia,” Rosa berkata dengan suara pelan namun tegas, “Aku tidak tahu apa tujuanmu mendekati suamiku, tapi aku akan memastikan kau tidak bisa melakukan apa pun lagi.”Mia menatap Hasan, berharap pria itu akan membelanya. Tapi Hasan hanya diam, wajahnya penuh kebingungan. Mia tahu, kepercayaannya mulai runtuh.Sial.“Maaf, Bu,” salah satu petugas keamanan berkata sopan, “Kami mendapat laporan bahwa ada tamu yang mengganggu di sini. Kami harus meminta Anda pergi.”Mia menguatkan dirinya. Dia tidak bisa panik sekarang.Dia tersenyum kecil, menampilkan wajah polosnya. “Saya tidak mengerti apa maksud Anda. Saya hanya sedang makan
Mia merasa kendali ada di tangannya. Hasan mulai terperangkap dalam pesonanya, dan Farid semakin bergantung padanya. Meski Rosa sudah mulai curiga, Mia yakin dia bisa mengatasinya. Namun, di balik rencana yang sempurna, ada sesuatu yang Mia tidak duga—sesuatu yang bisa menghancurkan semuanya dalam sekejap.Dua hari setelah pertemuan dengan Rosa, Mia menerima pesan dari Hasan.(Mia, bisa kita bertemu di luar rumah sakit? Aku ingin mengobrol denganmu tanpa ada orang lain.)Mia tersenyum tipis. Ini lebih cepat dari yang ia perkirakan. Dengan cepat, ia mengetik balasan.(Tentu, Pak Hasan. Kapan dan di mana?)(Besok malam, di restoran La Belle di pusat kota. Aku ingin mengenalmu lebih jauh.)Restoran mewah. Tanda bahwa Hasan mulai melihatnya lebih dari sekadar suster kakaknya. Mia tidak bisa menahan rasa puas yang menjalar dalam dirinya.Namun, saat ia menutup ponselnya, suara dingin Marco terdengar dari belakang.“Kau mulai bermain di luar rencana.”Mia menoleh dengan malas. “Aku tidak be