LOGINHidup Dina seakan hancur berkeping-keping ketika kebenaran terungkap: Danang, lelaki yang pernah ia percayai sepenuh hati, tega mengkhianati pernikahan mereka. Cinta yang dulu ia rawat dengan air mata dan doa, runtuh hanya karena satu kata—selingkuh. Perceraian itu bukan sekadar perpisahan, melainkan luka yang menggores jiwa, meninggalkan perasaan hampa sekaligus marah yang tak mudah terobati. Namun, di tengah kehancuran itu, Dina harus tetap berdiri. Demi ketiga anaknya yang masih membutuhkan pelukan, ia menelan pil pahit dan menatap dunia dengan mata basah tapi hati yang mulai dikeraskan oleh kenyataan. Dari seorang istri yang dikhianati, ia bertransformasi menjadi seorang ibu yang berjuang sendirian. Kini, setelah semua badai di season pertama kehidupannya, perjalanan baru terbentang di hadapan Dina—perjalanan yang tak hanya menguji kesabarannya, tapi juga keberaniannya untuk kembali percaya pada arti kebahagiaan.
View MoreSeason 2 - Dari kelanjutan Cerita - Ceraikan Aku Jika Sudah Tidak Cinta.
Dina duduk di kursi kayu dekat jendela sambil mengusap lembut perutnya yang membuncit. Udara pagi menyusup lewat jendela yang terbuka, membawa aroma kain dan kopi hitam yang baru diseduh. Suara mesin jahit berdentum serempak—simfoni khas dari ruang kerja kecil miliknya.
“Yuni, benangnya jangan keliru, ya. Warna harus sama persis sama contoh,” ujar Dina sambil menatap detail hasil jahitan di atas meja.
“Iya, Mbak Dina,” jawab Yuni cepat. “Tapi kalau benangnya habis, boleh pakai yang mirip banget? Nggak kelihatan kok dari jauh,” celetuknya sambil nyengir.
“Ya jelas kelihatan, Yun!” sahut Rani dari sisi lain meja. “Itu seragam kerja, bukan kostum karnaval, dengan warna-warni."
Ana terkikik. “Mbak Dina bisa nerima job dari pemain sirkus, nih... "
Dina tertawa pelan. Suasana seperti ini—riuh, bersahabat, dan penuh candaan—menjadi obat paling mujarab untuk hari-hari beratnya.
Aini masuk membawa nampan berisi susu hangat dan potongan buah.
“Din, ayo minum dulu. Jangan berdiri terus, kamu itu bawa tiga bayi, bukan satu,” ujar Aini sambil menyodorkan gelas.
“Kalau bunda terus kasih aku camilan terus, nanti aku ikut-ikut buncit kayak guling,” ujar Dina dengan tawa kecil, tangannya mengelus perutnya.
“Bagus toh! Gendut demi anak-anak mbak, bukan demi mi instan tengah malam,” sahut Rani sambil tertawa.
Dina tersenyum, lalu menarik napas. “Kadang aku takut, Bun. Takut enggak kuat ngurus semuanya sendirian.”
Aini duduk di samping Dina, menggenggam tangannya. “Kamu enggak sendirian. Ada bunda, ada Mbak Tatik, dan semua yang sayang kamu. Kita bareng-bareng, Din.”
Mbak Tatik mendekat sambil berdiri berkacak pinggang. “Dan tangan saya ini bukan cuma jago jahit, tapi juga jago gendong. Kalau kamu nanti kecapekan, biar saya yang momong bayi-bayimu!”
“Serius, Mbak?” Ana ikut menyela dengan senyum menggoda. “Kalau aku pingsan juga dimomongin?”
“Kalau kamu pingsan, saya siram pakai air ember! Biar cepet sadar!” jawab Tatik disambut gelak tawa semua orang.
Dina menatap mereka satu per satu. Matanya berkaca-kaca.
“Terima kasih, ya… Kalian semua bukan cuma teman kerja. Kalian keluarga buat aku.”
Rani menghentikan jahitannya, menatap Dina dengan senyum hangat. “Mbak Dina, kita semua juga hidup dari usaha ini. Kalau Mbak semangat, kita juga ikut semangat. Jadi yuk, kita kerjakan dua ratus seragam itu. Buktikan kalau perempuan kuat bisa jadi pilar keluarga dan ekonomi.”
Dina mengangguk.
Hari itu, di antara bising mesin, hangat tawa, dan rasa kekeluargaan yang melingkupi—ia merasa cukup kuat untuk melangkah lagi. Meski tanpa suami, ia tidak pernah benar-benar sendiri.
Dan itulah harapan baru, yang dijahitnya bersama benang-benang perjuangan.
~~~
Danang membuka pintu rumah dengan langkah gontai. Setelan kantornya masih rapi, tapi wajahnya tampak lesu. Ia melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu meletakkan tas kerja di sofa seperti tak bernyawa.
Endang, sang mama, sedang melipat cucian di ruang tengah. Ia langsung menoleh begitu melihat anaknya pulang tanpa semangat.
“Danang?” panggilnya. “Kamu kenapa, Nak? Mukamu pucat begitu. Ada masalah di kantor?”
Danang tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, lalu duduk di kursi ruang makan, menunduk dan memijat keningnya.
Endang mendekat. “Kamu sakit?”
Danang menghela napas berat, lalu mengangkat wajahnya. “Tadi di kantor… Sinta datang, Ma. Dia nungguin di lobi.”
Endang langsung membelalak. Tangannya otomatis mengepal. “Sinta lagi?! Danang! Mama sudah bilang, Mama nggak suka kamu berurusan lagi sama perempuan itu!”
“Mama, aku nggak ada hubungan apa-apa lagi sama dia!” Danang langsung menyela, suaranya meninggi.
Endang memelototinya. “Kalau memang nggak ada hubungan, kenapa dia bisa datang ke kantormu dan nunggu kamu seperti itu?! Mau sampai kapan Mama harus terus melihat kamu kayak nggak punya pendirian? Bukannya sibuk memperbaiki hidupmu, malah masih berurusan sama masa lalu!”
Danang mengusap wajahnya dengan kasar. “Aku juga nggak ngerti, Ma. Aku sudah jauh dari dia. Aku nggak pernah hubungi dia lagi. Tapi dia tetap datang. Aku juga bingung harus gimana…”
Endang berdiri, menghela napas panjang, lalu menatap Danang tajam. “Mama muak, Danang. Jangan sampai kamu kehilangan semuanya hanya karena kamu nggak bisa bersikap tegas. Sudah cukup kamu kehilangan Dina karena kegilaan sesaatmu.”
Danang terdiam. Nafasnya pendek-pendek. Ia menunduk. Nama Dina seperti menghantam hatinya. Ia belum tahu di mana Dina tinggal sekarang, belum tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup mantan istrinya itu. Tapi rasa kosong yang terus menghantuinya... tak pernah benar-benar pergi.
Ia berkata lirih, hampir seperti bisikan untuk dirinya sendiri.
“Aku capek, Ma…”
Endang melembut, tapi tetap tegas. “Kalau kamu memang capek, berhenti bikin luka baru. Mulailah bangun hidupmu. Jalin hubungan dengan orang baru. Jangan terfokus pada orang-orang pada masalalu. Jauhi wanita itu !" Kata Endang tegas.
Danang terdiam, menatap kosong ke arah lantai. Namun hatinya mulai bergejolak. Kata-kata mamanya seperti cermin yang memantulkan kenyataan , bahwa belum ada satu langkah pun yang ia ambil untuk memperbaiki dirinya sendiri.
~~~
Dina memeriksa tumpukan kain yang sudah dipotong dan disortir. Tangannya bergerak cekatan meski perutnya sudah terlihat besar. Ia menoleh ke arah Yuni yang tengah sibuk menggunting kain.
“Yun,semua sudah di potong ?"
"Sudah mbak," sahut Yuni.
"Jangan salah potong, Yun," kata Rani.
Yuni langsung melotot dramatis. “Eh, jangan salah! Saya ini lulusan kursus menjahit tiga angkatan. Lulus dengan nilai nyaris sempurna!”
“Nyaris, ya, Yun? Artinya nggak sempurna,” celetuk Ana sambil tertawa.
Rani terkekeh. “Makanya, tadi malam tuh tidur yang cukup, jangan malah nonton drakor sampai subuh. Biar mata seger pagi hari.
“Aku riset, tahu! Siapa tahu nanti dapat order kostum tradisional Korea,” kata Yuni dengan gaya sok serius.
“Kalau yang pesan oppa Korea asli, aku mau daftar jadi pacarnya!” sahut Ana cepat, membuat semua tertawa.
Aini masuk membawa piring berisi tahu isi dan pisang goreng.
“Duh, kalian ini kerja apa stand up comedy sih? Tapi baguslah, bikin suasana adem. Dina nggak boleh stres,” kata Aini sambil menyodorkan satu piring ke Dina dan memberikan sepiring untuk yang lain.
Dina mengambil sepotong tahu isi dan mengunyah pelan. “Kerja sambil tertawa bikin bayi juga bahagia, ya, Bun?”
“Betul. Tapi jangan terlalu bahagia juga. Nanti keluar tuh baby, minta diajak nonton konser,” sahut Mbak Tatik.
“Lha, kalau anak kembar tiga-nya mbak Dina nanti perempuan semua, bisa bikin girlband tuh,” celetuk Ana.
“Aku jadi manajernya!” sahut Rani sambil mengangkat tangan.
“Aku jadi fans club pertama!” tambah Yuni.
Dina tertawa sampai menutup mulut. “Kalian ini… Nggak ada serius-seriusnya.”
“Justru karena hidup kadang terlalu serius, kita harus seimbangin pakai tawa,” ucap Aini lembut.
Semua mendadak diam. Setuju.
Dina menatap mereka satu-satu dengan mata yang menghangat. “Terima kasih ya, sudah bikin aku kuat.”
Yuni langsung berdiri dan berseru, “Oke tim! Demi bos besar dan tiga calon bintang masa depan, kita selesaikan dua ratus seragam ini sebelum deadline!”
Ana berdiri sambil mengangkat gunting, seperti prajurit membawa pedang. “Semangattt.... !!"
Rani pura-pura menyeka air mata. “Duh, aku terharu. Ini kerjaan pertama kita yang jumlahnya tiga digit. Semoga ini awal yang baik."
“Semoga kita terus mendapatkan orderan yang banyak," kata Ana.
"Amiin !!" sahut semua dengan barengan.
Dina mengelus perutnya. “Nak, dengar ya… Mama dikelilingi orang-orang luar biasa. Mereka bukan cuma teman kerja, tapi keluarga. Dan kalian nanti akan tumbuh di tengah cinta sebesar ini.”
Udara dalam ruangan terasa lebih hangat, bukan karena sinar matahari, tapi karena kebersamaan, cinta, dan harapan yang terus dijahit hari demi hari.
“Ganti nama? Maksud kamu apa, Dan?” Suaranya bergetar, mencerminkan kebingungan yang mulai menggelayuti pikirannya.Dinda, yang sebelumnya fokus menatap ke televisi , langsung menolehkan kepalanya dengan ekspresi terkejut. “Hah? Mas Danang mau ganti nama? Kenapa tiba-tiba?” Ia tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya, seolah berita ini adalah hal yang paling mengejutkan di dunia.Danang mengusap tengkuknya pelan, tampak ragu namun juga sungguh-sungguh. “Aku cuma merasa… nama ini nggak bawa hoki, Din. Sejak dulu, setiap kali aku mulai bangkit, selalu aja ada musibah datang, seolah nama ini mengundang kesialan."Endang menatap putranya dengan tatapan lekat, seolah berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya mengganggu pikiran Danang. “Dan, jangan bicara aneh-aneh begitu. Nama itu doa dari orang tuamu, harapan yang kami sematkan untukmu sejak kamu lahir.”Danang menghela napas dalam-dalam, merasa beban di dadanya semakin berat. “Aku tahu, Ma. Tapi kadang doa itu nggak cukup kalau nasib
Suasana rumah sakit sore itu terasa lengang. Hanya suara langkah kaki perawat yang sesekali lewat dan dengungan lembut mesin-mesin medis yang terdengar di lorong. Dina duduk di kursi tunggu depan ruang NICU dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat, mata sembab, seperti baru saja berhenti menangis.Tak lama kemudian, langkah cepat terdengar mendekat. Alma muncul sambil membawa tas kecil dan botol air mineral di tangan. Ia langsung menghampiri sahabatnya.“Din…” panggil Alma pelan, menatap khawatir. “Kamu sendirian di sini?”Dina menoleh perlahan, senyumnya tipis dan lemah. “Iya, Al… Tante Hanum sama Om Seno keluar sebentar, katanya mau beli makanan."Alma duduk di samping Dina. Tatapannya berpindah ke pintu NICU yang tertutup rapat, lalu kembali menatap wajah sahabatnya yang tampak letih. “Aku baru dari rumahmu,” katanya lembut. “Rayan sama Revan sehat, cuma tadi sempat rewel sebentar. Saat aku tinggal tadi udah tenang.”Dina menarik napas dalam-dalam, seolah baru bisa sedikit lega. “Syuk
Koridor rumah sakit terasa dingin dan sunyi. Bau antiseptik menusuk hidung, menambah kecemasan yang sudah menumpuk di dada Endang dan Dinda. Mereka duduk di kursi tunggu dengan wajah tegang, menanti kabar dari ruang perawatan tempat Danang berada.Beberapa menit kemudian, seorang perawat muncul."Saudara pasien Bapak Danang." "Saya... saya !" seru Endang menjawab.“Bu, dokter ingin bicara. Silakan ikut saya.”Mereka berdua segera berdiri. Di ruang dokter, seorang pria paruh baya berseragam putih duduk di balik meja, menatap mereka dengan tatapan tenang.“Silakan duduk, Bu,” ucapnya ramah.Endang menelan ludah. “Dok... bagaimana keadaan anak saya?” tanyanya terbata, suaranya bergetar dengan raut wajah cemas.Dokter membuka berkas di tangannya, lalu menatapnya lagi.“Ibu tidak perlu terlalu khawatir. Kondisi Pak Danang stabil. Tidak ada tanda bahaya untuk saat ini. Tekanan darahnya sempat menurun cukup drastis, kemungkinan karena kelelahan atau stres berat.”Dinda, yang duduk di sebela
Siang itu matahari sedang terik, namun suasana di rumah keluarga Danang terasa teduh. Endang baru saja selesai makan. Ia buru-buru menyeka tangannya dengan lap kecil dan berjalan ke depan, saat mendengar suara salam.Begitu pintu dibuka, seorang pria berdiri di depan pagar. Wajahnya tampak serius.“Permisi, Bu… apakah ini rumahnya Bapak Danang?” tanyanya sopan.Endang mengangguk pelan, sedikit heran. “Iya, betul. Ada perlu apa ya?”Pria itu menelan ludah sebelum menjawab. “Perkenalkan, saya Rudy, rekan kerja Pak Danang di kantor. Maaf, saya datang mendadak, tapi… ada kabar penting.”Nada suaranya membuat dada Endang tiba-tiba berdebar. Ia menatap Rudy dengan pandangan cemas.“Kabar apa, pak? Danang di kantor ?" tanyanya cepat. “Apa terjadi sesuatu pada Danang?”Rudy menarik napas panjang, mencoba menahan suaranya agar tetap tenang.“Pak Danang tadi siang tiba-tiba pingsan di kantor, Bu. Sekarang beliau sudah dibawa ke Rumah Sakit Medika. Saya datang untuk memberitahukan keluarga.”Tub
Langit siang tampak gelap, sepertinya hujan akan turun. Awan gelap menggantung rendah, menciptakan suasana mencekam di kota. Jalan utama kota dipenuhi suara sirine yang meraung bergantian. Dua ambulans melaju di jalur berbeda, sama-sama menembus kemacetan sore yang membuat pengendara lain terjebak dalam kebisingan dan ketidakpastian.Di ambulans pertama, Dina duduk tegang di kursi sisi kanan, mengenakan pakaian rumah sakit yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya yang kurus. Di hadapannya, inkubator kecil berisi bayi mungilnya, Alya, yang berjuang untuk hidup. Lampu indikator di alat pemantau menyala lembut, tanda napas Alya masih teratur walau lemah, memberikan sedikit harapan di tengah kepanikan yang melanda.Suster yang mendampingi terus memeriksa suhu inkubator dengan teliti. “Ibu tenang saja, ya. Bayinya stabil, kita segera tiba,” ucapnya lembut, berusaha menenangkan Dina yang terlihat semakin gelisah. Namun, Dina tak menjawab. Matanya berkaca-kaca, jemarinya gemetar saat menye
Lorong rumah sakit terasa begitu panjang dan dingin bagi Dina. Langkah kakinya terasa berat, napasnya tersengal, seolah udara di sekitarnya ikut menekan dadanya. Begitu tiba di depan ruangan dokter anak yang menangani Alya, tangannya gemetar saat mengetuk pintu.Suster yang berjaga di depan mempersilakan mereka masuk. Dina, Hanum, dan Seno segera melangkah ke dalam ruangan. Dokter anak itu berdiri dari kursinya, menyambut dengan senyum tipis namun wajahnya tampak serius.“Silakan duduk dulu, Bu Dina,” ujar sang dokter lembut.Dina mencoba duduk, tetapi tubuhnya terasa kaku. Tangannya saling menggenggam di pangkuannya, bergetar hebat. Suaranya nyaris tak keluar ketika ia berkata, “Bagaimana kondisi Alya, Dok?”Namun sebelum dokter menjawab, suaranya pecah dan matanya langsung basah. Hanum segera meraih bahu Dina, menenangkannya. “Tenang dulu, Nak. Dengar baik-baik apa kata dokter, ya?”Seno yang sedari tadi berdiri di belakang kursi, menatap dokter dengan tegas namun sopan. “Silakan, D
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments