Pernikahan yang indah itu hancur bukan karena orang luar tapi karena darah daging sendiri. Ia tak menangis saat suaminya berpaling pada adik kandungnya. Ia hanya diam... dan perlahan membalas. Bukan dengan amarah, tapi dengan kecerdasan dan kekuatan yang tak disangka. Karena luka paling dalam, tak selalu butuh air mata.
Lihat lebih banyakPerkenalkan, namaku Nadia Putri. Aku lahir dari keluarga yang harmonis dan berkecukupan. Aku juga memiliki adik yang sangat kusayangi, Tasya namanya.
Aku sangat menyayanginya lebih dari apa pun. Kami dibesarkan dengan kasih sayang penuh. Tidak pernah sekalipun aku dan Tasya bertengkar. Kami selalu saling mengalah dan mengutamakan satu sama lain. Hingga saat umur ku menginjak 20 tahun, ibu dan ayah meninggal dalam kecelakaan tunggal. Hidup kami mulai hancur. Kami hanya bisa mengandalkan satu sama lain. Beruntung, ayah meninggalkan harta yang cukup banyak sehingga kami tidak sampai kelaparan atau kesusahan. Setelah lulus sekolah, aku langsung kuliah dan mengambil jurusan kedokteran. Singkat cerita, akhirnya aku lulus dan berhasil menjadi seorang dokter. Di situlah aku mengenal sosok pria yang membawa warna dalam hidupku. Raka namanya. Dia pria tampan dan tinggi. Kami bertemu di kafe saat aku tidak sengaja menabraknya. Dari situlah kami mulai berkenalan lebih dekat, hingga akhirnya dia meminangku. Meskipun dia berasal dari keluarga sederhana, aku tidak mempermasalahkannya. Yang terpenting, dia setia dan bertanggung jawab. --- "Dek, Kakak ingin menikah dengan Raka," ucapku pada Tasya. Wajahnya langsung murung. Aku mengerti, pasti dia merasa kesepian jika aku menikah nanti. Aku tersenyum, menatap wajahnya yang sendu. Tidak terasa, adikku yang manis ini sudah tumbuh menjadi gadis cantik. "Jangan merasa sedih seperti itu. Kamu bisa ikut tinggal dengan Kakak," sambungku lagi sambil memegang kedua bahunya. Tasya tersenyum, tapi sedetik kemudian wajahnya kembali muram. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan perubahan ekspresinya yang begitu cepat. "Tidak ah, Kak. Aku malu sama suami Kakak. Bukannya menikah itu seharusnya hanya ada suami dan istri saja?" jawabnya polos, membuatku tersenyum gemas. "Gapapa, tinggal saja di rumah Kakak nanti. Bukannya sebentar lagi kamu lulus sekolah dan akan masuk universitas yang dekat dengan rumah Kakak?" tanyaku, mengingatkan keinginannya. "Ah iya, benar, Kak. Tapi apa Kak Raka tidak akan keberatan?" ujarnya dengan wajah bimbang. Aku cukup lama membujuknya, hingga akhirnya dia setuju untuk ikut tinggal denganku. Aku memang tidak tega membiarkan adikku satu-satunya hidup sendirian di luar sana. --- Singkatnya, aku sudah menikah dengan Raka, dan kami semua pindah ke rumah baru yang baru saja kubeli dari hasil kerja kerasku sebagai dokter. Awalnya, Tasya sangat kaget saat mengetahui bahwa rumah ini adalah hasil jerih payahku sendiri. Dia lebih terkejut lagi saat tahu pekerjaan suamiku hanya seorang pekerja kantoran biasa dengan gaji di bawah UMR. Tasya mendelik ke arah Raka, lalu dengan cepat menarik tanganku menjauh. "Apa Kakak yakin menikah dengan pria seperti itu?" bisiknya sangat pelan. Aku mengerutkan kening dan menjawab, "Apa masalahnya, Dek?" Dia mendesah, seolah ini adalah masalah besar baginya. "Yang benar saja? Kakak seorang dokter, menikah dengan pria biasa? Bahkan lihat, Kakak sangat cantik, seperti model. Aku yakin, pejabat pun bisa Kakak dapatkan!" tegasnya, menelisik wajahku dari atas hingga bawah. Aku sedikit terkekeh. Entahlah, aku harus marah atau tidak. Dia memujiku, tapi sekaligus mengejek suamiku. Namun, aku tidak tega memarahinya. Seumur hidup, aku belum pernah marah padanya. Jika dia nakal saat kecil, aku selalu menegurnya dengan baik-baik, dan kebiasaan itu masih kulakukan sampai sekarang. --- Tidak terasa, dua tahun sudah aku menikah dengan Raka. Kehidupan kami terasa sempurna. Suamiku baik, setia, dan tidak pernah menentang keinginanku. Namun, satu hal yang belum kami dapatkan—keturunan. Tasya semakin tumbuh dewasa. Sekarang dia sudah kuliah dan sebentar lagi akan menyelesaikan skripsinya. Aku selalu mendukungnya penuh, bahkan biaya kuliahnya pun menggunakan uang hasil kerjaku. Untungnya, Raka tidak pernah keberatan. Namun, semakin hari aku semakin sering pulang larut malam. Tingkat kecelakaan tahun ini sangat tinggi, sehingga aku kerap mengabaikan suamiku di rumah. Aku sering menitipkan Raka pada Tasya. "Dek, tolong temani Mas Raka, ya. Kakak akan pulang larut malam lagi," ucapku, memohon bantuannya. Beruntung, Tasya tidak pernah mengeluh atau menolak permintaanku. Dia cukup cekatan. Bahkan akhir-akhir ini, mereka semakin dekat. Aku sangat senang melihat kedekatan antara adik dan suamiku. Rasanya hangat melihat pemandangan itu. Raka pun tidak pernah protes soal kesibukanku. Setiap akhir pekan, dia selalu menghabiskan waktu bersama Tasya. Aku sama sekali tidak keberatan, karena dia adalah adikku sendiri. Atau... setidaknya, itulah yang kupikirkan. --- Suatu hari, rumah sakit mendadak sepi. Aku bisa pulang lebih awal, pukul lima sore. Sengaja aku tidak memberi tahu siapa pun di rumah agar menjadi kejutan. Aku memang jarang menggunakan mobil. Setiap hari, Raka yang mengantarku ke rumah sakit. Pernah suatu kali aku ingin menggunakan mobil sendiri, tapi Raka melarang. "Biar Mas pakai mobilnya, ya. Kamu biar Mas antar-jemput saja," katanya waktu itu. Aku sedikit keberatan. Tapi setiap kali aku membahas soal harta yang kumiliki, dia selalu merasa kecil di hadapanku. "Mas tahu diri, ini semua harta kamu, hasil kerja keras kamu. Mas cuma numpang. Wajar kalau kamu merasa lebih tinggi," ucapnya saat aku membantahnya kala itu. Lagi-lagi, aku merasa bersalah. Dengan berat hati, aku turuti kemauannya untuk menggunakan mobilku saat berangkat kerja. Namun, ada yang terasa janggal saat aku pulang lebih cepat dari biasanya. Pintu rumah terbuka sedikit lebar. Aku mengerutkan dahi dan berdecak kesal. "Ya ampun, pasti ini kelakuan Tasya. Dia memang selalu lupa menutup pintu. Bagaimana kalau ada maling?" omelku pelan sambil menutup pintu dengan hati-hati. Mataku menyapu seluruh ruang tamu, tapi rumah terasa sepi. Tidak ada siapa-siapa. Aku melangkah perlahan menuju tangga, bertanya-tanya ke mana perginya Raka dan Tasya. Namun, langkahku terhenti seketika saat telingaku menangkap suara tawa kecil dari lantai atas. Dari kamar Tasya. Aku mengernyit. Rasanya aneh. Kenapa mereka ada di kamar Tasya? Aku menelan ludah, mencoba berpikir positif. Mungkin mereka hanya sedang mengobrol atau bercanda seperti biasanya. Tapi, entah kenapa, firasatku tidak enak. Aku melangkah lebih dekat, memperlambat napasku agar tidak menimbulkan suara. Ketika aku sampai di depan pintu kamar Tasya, aku bisa mendengar suara mereka lebih jelas. Lalu, tanpa sadar, aku mendengar sesuatu yang membuat seluruh tubuhku menegang. "Jangan terlalu keras, nanti Kak Nadia dengar," bisik Tasya dengan nada sedikit manja. "Tenang aja, dia pasti pulangnya malam," sahut suara laki-laki yang sangat kukenal. Jantungku seolah berhenti berdetak. Itu suara Raka. Tanganku gemetar di gagang pintu. Aku menutup mulut, berusaha menahan teriakan yang ingin keluar. Ada sesuatu yang pecah di dalam dadaku, seperti kaca yang dihantam dengan palu. Aku tidak ingin percaya. Tapi semua bukti mengarah ke satu kenyataan yang tidak bisa kutolak. Suamiku. Adikku. Mereka. Apa yang harus kulakukan sekarang?Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl
Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua
"Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur
Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,
Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.
Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen