Mag-log inMereka bersiap menyerang kembali, pedang terangkat tinggi-tinggi, siap diayunkan.
"Hehehe... Bocah, sebaiknya kau menyerah saja dan serahkan gadis kecil itu pada kami," ujar Yun, suaranya serak dan menjijikkan. "Dengan begitu, kau bisa kabur dengan mudah." Chalista menatap kedua pria di depannya dengan mata terbelalak, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Tubuhnya semakin gemetar hebat, ia semakin erat memeluk Sena, menyembunyikan wajahnya di balik bahu anak laki-laki itu. Sena mengalihkan pandangannya pada Chalista, merasakan tubuh mungil itu bergetar hebat. Lalu, ia kembali menatap kedua pria yang semakin mendekat, pedang mereka berkilauan tertimpa cahaya rembulan, siap menebas. Di dalam gedung, di tengah gemerlap pesta, keluarga Cristiano asyik berbincang dengan para tamu. Hingga sebuah pertanyaan tiba-tiba menyentak mereka. "Cristiano, kudengar kau datang bersama putri kecilmu. Di mana dia sekarang?" "Chalista bersamaku..." Ucapan Cristiano menggantung di udara. Matanya bergerak cepat, menyapu seluruh ruangan. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari kursi di sampingnya kosong. Ekspresi panik langsung terpancar di wajah Nyonya Cristiano. "Di mana Chalista?" tanyanya dengan nada khawatir, suaranya bergetar. Cristiano terus mencari, matanya menjelajahi setiap sudut ruangan, berharap menemukan putrinya di antara kerumunan. Namun, Chalista seolah menghilang ditelan bumi. "Chalista! Chalista! Sayang, di mana kamu?" Nyonya Cristiano mulai memanggil, suaranya semakin meninggi, bercampur dengan alunan musik dan riuh rendah percakapan. "Chalista!" Cristiano ikut memanggil, suaranya tegas namun sarat akan kekhawatiran. Kepanikan mulai mencengkeram mereka. Cristiano segera meraih ponselnya, menghubungi anak buahnya yang berjaga di sekitar pesta. "Cari Chalista sekarang! Temukan dia, di mana pun dia berada!" perintahnya dengan suara berat, rahangnya mengeras. "Siap, Tuan!" jawab para pengawal serempak. Dalam sekejap, para pengawal itu menghilang di antara kerumunan, mata mereka awas mencari sosok gadis kecil yang hilang. Para pengawal menyebar, menyisir setiap sudut pesta. Langkah mereka tergesa, mata mereka awas mencari sosok Chalista yang hilang. Namun, nihil. Putri sang majikan seolah lenyap ditelan keramaian. "Apa ada tanda-tanda?" tanya Pengawal A, suaranya tercekat oleh kecemasan. "Belum. Aku belum menemukannya. Bagaimana dengan tim lain?" balas Pengawal B, wajahnya dipenuhi keringat dingin. "Halaman belakang bersih," sahut Pengawal C, nada suaranya putus asa. Kepanikan semakin mencengkeram mereka. Waktu terus berjalan, dan setiap detik terasa seperti siksaan. "Kita berpencar! Sebagian cari di luar gedung, sisanya tetap di sini, awasi keadaan dan terus cari Nona Chalista!" perintah Pengawal A dengan suara bergetar, namun tetap berusaha tegar. Beberapa pengawal mengikuti Pengawal A keluar gedung, meninggalkan Nyonya Cristiano yang terisak dalam pelukan suaminya. Air mata membasahi pipinya, bibirnya terus menyebut nama sang putri. "Chalista, sayang..." "Tenanglah, Sayang. Mereka pasti menemukannya," bisik Tuan Cristiano, suaranya lembut namun menyimpan kekhawatiran yang mendalam. Ia memeluk erat istrinya, mencoba menyalurkan ketenangan. Suasana pesta yang semula meriah kini berubah menjadi tegang dan mencekam. Musik yang tadinya mengalun indah kini terdengar sumbang, tawa dan obrolan terhenti, digantikan oleh bisikan cemas dan tatapan khawatir. "Maafkan kami, Tuan dan Nyonya Cristiano," ujar Mareno, sang pemilik pesta, dengan wajah pucat pasi. "Ini semua kelalaian petugas keamanan kami, sampai putri Anda hilang." "Ini bukan salah Anda, Tuan Mareno," balas Cristiano, suaranya berat. "Ini semua karena kelalaian kami sebagai orang tua." Mareno segera memerintahkan petugas keamanannya untuk membantu mencari Chalista. Namun, saat mereka hendak bergegas keluar, sebuah bayangan tiba-tiba muncul di belakang mereka, menghentikan langkah mereka. "Siapa itu?!" tanya seorang petugas keamanan dengan nada tinggi, tangannya meraih pistol di pinggangnya. Dari balik kegelapan, muncul sosok Sena yang menggendong Chalista. Setelah memastikan keadaan aman, Sena menurunkan Chalista dari gendongannya, membiarkan gadis kecil itu berdiri dengan kedua kakinya sendiri. "Daddy! Mama!" Suara Chalista melengking, memecah ketegangan. Gadis kecil itu berlari, gaun pestanya berkibar, menghambur ke pelukan kedua orang tuanya. Air mata haru membasahi pipi Nyonya Cristiano, sementara Tuan Cristiano mendekap putrinya erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi. Tak lama kemudian, dari arah gerbang, dua sosok pria muncul. Wajah Yun memerah menahan kesal. "Sial! Gadis itu lolos!" bisiknya, giginya bergemeletuk. "Terlalu ramai di sini," sahut rekannya, pandangannya menyapu kerumunan tamu yang mulai menatap curiga. Chalista, yang masih bersembunyi di pelukan ayahnya, mengangkat jari telunjuknya yang mungil. "Dad, mereka mau membunuh Chalista," ucapnya polos, menunjuk ke arah kedua pria itu. Mendengar ucapan putrinya, rahang Cristiano mengeras. Matanya menyala penuh amarah, menyadari bahwa putrinya sekali lagi menjadi bidikan orang-orang yang ingin menghancurkannya. "Jadi kalian lah yang menculik putriku!" suaranya menggelegar, memenuhi aula. Belum sempat kedua pria itu menjawab, sebuah kilatan cahaya diikuti suara desingan tajam melesat dari kegelapan bukit. Peluru itu melaju lurus ke arah Sena. Dengan refleks luar biasa, Sena menunduk, menghindari maut hanya dalam sepersekian detik. Namun, gerakan menghindar itu membuat kemejanya sedikit tersingkap, memperlihatkan liontin logam yang tergantung di lehernya. Para tamu pesta yang menyaksikan kejadian itu terkesiap. Mata mereka membelalak melihat liontin di leher Sena. "Itu! Itu berandalan berliontin!" teriak salah satu tamu, jarinya menuding ke arah Sena. "Hah! Bukannya mereka sudah dimusnahkan?" Suara panik terdengar dari kerumunan, disusul bisikan-bisikan ketakutan yang menyebar cepat. Wajah-wajah yang semula tenang kini dipenuhi kengerian, beberapa mulai mundur perlahan, menciptakan jarak dari Sena. "Berandalan Berliontin." Sebutan itu bagai hantu yang menghantui Bruston, mengingatkan pada masa lalu kelam yang ingin dilupakan. Beberapa dekade silam, Bruston dilanda perang dahsyat, dan pemerintahannya berada di ambang kehancuran. Di tengah keputusasaan, seorang pemimpin ambisius bersekutu dengan ilmuwan gila, menciptakan pasukan khusus bernama TWILIGHT. Pasukan ini memiliki kekuatan dan kecepatan di atas rata-rata manusia normal. Ciri khas mereka: dog tag atau liontin nama, penanda identitas sekaligus simbol pengorbanan. Jika seorang TWILIGHT gugur, liontin itu akan mengungkap jati dirinya. Berkat TWILIGHT, Bruston berhasil memenangkan perang. Namun, kemenangan itu membawa petaka. Pasukan TWILIGHT menjadi tak terkendali, membunuh tanpa ampun, melampaui batas kemanusiaan. Ketakutan merebak di kalangan warga sipil. TWILIGHT dianggap sebagai ancaman laten. Muncul fraksi anti-TWILIGHT yang mendesak pemerintah untuk bertindak. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk membubarkan dan memusnahkan seluruh pasukan berliontin. Pembantaian dilakukan dengan obat-obatan khusus yang dirancang untuk melukai dan membunuh TWILIGHT. Perang saudara pecah, menumpahkan darah di mana-mana. Jumlah TWILIGHT terus menyusut, memaksa mereka yang tersisa untuk bersembunyi di balik bayang-bayang. Sejak saat itu, kisah tentang pasukan berliontin menjadi tabu. Untuk bertahan hidup, para TWILIGHT membentuk serikat rahasia bernama Berandalan Berliontin. Di sanalah mereka tinggal, bekerja, menerima pekerjaan sebagai pembunuh bayaran atau pengawal, hanya untuk orang-orang tertentu yang tahu keberadaan mereka.Pria berkacamata itu menunjuk kalung di leher Bobby dengan ekspresi terkejut. "Dia punya kalung yang sama seperti Bobby!" serunya, matanya membulat.Rekannya mendekat, mengamati kalung itu dengan cermat. "Tapi, tulisannya berbeda," gumamnya, alisnya berkerut.Salah satu pria, dengan langkah tergesa, menghampiri Bobby dan menepuk bahunya kasar. "Hei!" bentaknya, "Apa yang kau lakukan? Kenapa diam saja? Cepat habisi anak itu, jangan sampai membuat bos marah!" Nada suaranya meninggi, urat-urat di lehernya terlihat menegang.Tanpa sepatah kata pun, Bobby bergerak cepat. Tangannya mengepal, menghantam wajah pria itu dengan kekuatan penuh. Pria itu terpental, tubuhnya melayang sebelum akhirnya menabrak pohon dengan bunyi gedebuk yang mengerikan. Seketika, pria itu tidak bergerak.Teman-temannya terdiam, tubuh mereka membeku di tempat. Bulu kuduk mereka berdiri, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Satu serangan... dan pria itu tewas.Bobby mendesis, bibirnya bergetar menahan amarah. "Be
Keringat dingin membasahi pelipis para penculik. Tubuh mereka bergetar menyaksikan Sena melumpuhkan satu per satu rekan mereka. Mata Sena menyala oleh amarah yang membara, setiap gerakannyaPresisi dan mematikan. Di dalam mobil, Chalista merasakan secercah harapan merekah di dadanya. Akhirnya, pahlawannya datang.Chalista menoleh ke belakang, senyum merekah di wajahnya bagai mentari pagi. "Sena! Aku di sini! Tolong aku!" serunya, suaranya bergetar antara lega dan takut.Belum sempat Chalista menyelesaikan kalimatnya, sebuah pukulan keras menghantam tengkuknya. Kesadaran Chalista langsung meredup, tubuhnya terkulai lemas."Sial! Mulut itu benar-benar perlu disumpal," gerutunya dengan gigi terkatup rapat, urat-urat di lehernya menegang.Sena menyaksikan adegan di dalam mobil, rahangnya mengeras. Amarahnya mencapai ubun-ubun. Tanpa ragu, tangannya menyelinap ke balik celana, mengeluarkan sebilah pisau kecil yang selalu setia menemaninya. Dengan gerakan cepat dan terukur, ia melemparkan pi
Chalista menghela napas panjang, matanya terpaku pada Sena yang tak kunjung selesai. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk layar ponsel, namun pikirannya melayang. Setiap detik terasa seperti menit yang enggan berlalu. Tiba-tiba, matanya menangkap sosok familiar di seberang jalan. Sebuah kedai yatai dengan lampion merah yang bergoyang lembut diterpa angin. Bibirnya tertarik membentuk senyum lebar. Tanpa ragu, ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Sena."Sena, aku mau keluar dulu," ujar Chalista, berusaha menyembunyikan kegugupannya.Sena hanya diam, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang begitu dalam. Ia menatap Chalista dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tak mampu."Kak, aku bayar pakai Qris ya," kata Chalista, mengalihkan perhatian.Pemilik salon mengangguk dan segera memberikan kode Qris pada Chalista. Setelah menyelesaikan pembayaran, Chalista bergegas keluar dari salon. Sena hanya bisa menatap punggung Chalista yang menjauh, hatinya dipenu
"Hufft, akhirnya," gumam Chalista lirih, menghela napas lega.Bel berdering nyaring, memecah keheningan dan menandakan waktu istirahat telah usai. "Sena, aku masuk kelas dulu ya. Sampai nanti!" seru Chalista, senyum merekah di wajahnya, lalu bergegas berlari menuju pintu gerbang sekolah.Sena kembali memanjat pohon rindang di seberang jalan, matanya tak lepas mengawasi Chalista dari kejauhan. Waktu berlalu begitu cepat, hingga bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Chalista keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri, langkahnya ringan menuju gerbang sekolah. Di sana, Sena sudah menunggunya dengan sabar."Sena!" panggil Chalista riang, senyumnya semakin lebar saat melihat Sena. "Ayo, kita pulang!" ajaknya sambil meraih tangan Sena, menggenggamnya erat.Sena hanya mengikuti langkah Chalista, membiarkan gadis kecil itu menarik tangannya menuju mobil yang sudah menunggu. Bahkan setelah duduk di kursi belakang pun, Chalista enggan melepaskan genggamannya."Pak Hans, sebelum pulang, kita bis
Seiring dengan pulihnya keadaan kota, para Berandalan Berliontin kembali ke wilayah mereka masing-masing. Sena, yang selama ini membantu Gina, juga kembali ke rumah keluarga Cristiano. Mobil yang dikendarai Gina membawanya kembali ke tempat yang kini menjadi rumahnya. Di balik jendela mobil, Sena menatap jalanan yang ramai dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian yang baru saja berlalu.Setibanya Sena di rumah, Chalista langsung menyambutnya di ambang pintu."Sena, akhirnya kau kembali!" seru Chalista, suaranya penuh kelegaan. Ia langsung memeluk Sena erat, menyalurkan kerinduan yang membuncah."Iya," balas Sena singkat, namun pelukannya terasa hangat dan tulus.Chalista tampak berseri-seri, matanya berbinar-binar. Beberapa hari tanpa Sena terasa seperti berabad-abad lamanya. Rumah terasa sepi dan hampa tanpa kehadiran sahabatnya itu.Mentari pagi menyinari kota, menandakan hari baru telah tiba. Sena kembali menjalankan tugasnya menjaga dan menemani Chalista ke
"Entahlah... Ayo kita lihat!" ajak rekannya, dengan ragu-ragu melangkah maju.Para pasukan keamanan mendekat dengan hati-hati, rasa penasaran bercampur ngeri memenuhi benak mereka. Namun, pemandangan yang menyambut mereka membuat perut mereka bergejolak. Mayat tanpa kepala, tubuh dengan luka menganga yang memperlihatkan isi perut yang terburai... Pemandangan mengerikan itu terlalu berat untuk mereka cerna."Hoak!""Hoak!"Beberapa pasukan keamanan tidak kuat menahan rasa mual. Mereka berlari menjauh, membungkuk dan memuntahkan isi perut mereka di semak-semak."Sial! Twilight brengsek! Membunuh tanpa aturan!" umpat seorang pasukan yang baru selesai memuntahkan isi perutnya, wajahnya pucat pasi."Gila! Anak kecil itu membunuh dengan sadis... Apa mereka tidak merasa mual melihat isi perut yang keluar itu?" tanya yang lain dengan nada jijik dan ngeri, tubuhnya bergetar."Mereka Twilight... Hal seperti itu mungkin sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka," sahut seorang pasukan keamanan de






![The Wedding Dress [INDONESIA]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)
