MasukCristiano, yang menyadari identitas Sena, dengan cepat menghunus pistolnya. Namun, Sena bergerak lebih cepat. Dalam sepersekian detik, pistol itu sudah berpindah tangan.
Sena tahu, Cristiano akan menembaknya tanpa ampun. Tanpa ragu, ia melepaskan tembakan ke arah dua pria yang tadi mengejarnya. Kedua pria itu tersungkur, tewas seketika. Mata Sena kemudian beralih, mencari sumber tembakan pertama. Para tamu terdiam, terpaku menyaksikan adegan mengerikan itu. Chalista membenamkan wajahnya di pelukan ibunya, tubuhnya gemetar ketakutan. Tanpa sepatah kata pun, Sena berbalik dan berlari menuju hutan kota, menghilang di antara pepohonan. Cristiano hanya bisa menatap kepergiannya, rahangnya mengeras. Tiba-tiba, suara teriakan memekakkan telinga memecah kesunyian malam. "Aaarrrrggggghhhhttttt!" Para tamu semakin panik. Cristiano menyipitkan matanya, menduga suara itu berasal dari Sena. Namun, apa yang sebenarnya terjadi di dalam kegelapan hutan, ia tak tahu. Beberapa saat sebelumnya, Sena berlari ke dalam hutan, mengejar orang yang menembaknya. Matanya yang terlatih mampu melihat dengan jelas dalam kegelapan. Ia melihat sosok di atas pohon, dan dengan kecepatan kilat, ia berlari sambil menghunus pedangnya. Gerakan Sena begitu cepat, nyaris tak terlihat. Sosok di atas pohon itu terkejut saat melihat Sena sudah berdiri di hadapannya, seringai mengerikan terukir di wajahnya. Dengan satu ayunan pedang yang mematikan, Sena menebas leher musuhnya, memisahkan kepala dari tubuhnya. Darah segar memuncrat, membasahi katana miliknya. "Cih, hanya anjing pengganggu," gumam Sena dingin. Sena menatap mayat tanpa kepala itu dengan jijik. Ia mendengar suara langkah kaki mendekat, dan tanpa membuang waktu, ia menghilang di antara pepohonan. Benar saja, beberapa bawahan Cristiano tiba di tempat kejadian. Namun, Sena sudah pergi. Mereka hanya menemukan genangan darah dan mayat tanpa kepala yang mengerikan. "Ugh!" salah satu dari mereka menutup mulutnya, berusaha menahan mual. "Aku tak menyangka, anak sekecil itu bisa melakukan hal sekeji ini," ujar yang lain, suaranya bergetar. Salah satu bawahan Cristiano berjongkok di dekat mayat itu. Ia memeriksa leher yang terpenggal, darah masih mengalir deras. 'Tebasan yang bersih dan cepat. Anak ini bukan orang sembarangan. Aku harus berhati-hati,' batinnya, merinding membayangkan kengerian yang baru saja terjadi. Di dalam ruang kerja Cristiano yang luas, dihiasi perabot kayu mahoni dan rak buku tinggi, suasana terasa berat. Cristiano duduk tegak di balik mejanya, tatapannya tajam menembus Delico, bawahannya yang masih memucat. "Jadi... kalian kehilangan jejak di hutan," suara Cristiano rendah, namun penuh penekanan. "Dan yang kalian temukan hanya mayat tanpa kepala?" Matanya menyipit, seolah mencari celah kebohongan. Delico menelan ludah, menghindari tatapan langsung atasannya. "Benar, Tuan. Hanya mayat tanpa kepala. Kami sudah mencari kepalanya, tapi... sepertinya anak itu membawanya." Suaranya tercekat, masih terbayang kengerian yang ia saksikan. Cristiano menghela napas, sorot matanya menerawang. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, irama pelan yang memecah keheningan. Sebuah kerutan muncul di dahinya, memikirkan implikasi dari laporan itu. "Aku tak menyangka, anak sekecil itu bisa melakukan hal sekeji itu," tambah Delico, menggigil samar. "Gerakannya juga begitu cepat, Tuan. Nyaris tak terlihat." Senyum tipis, nyaris pahit, tersungging di bibir Cristiano. "Delico," katanya, suaranya kini terdengar lebih tenang, "itulah Berandalan Berliontin. Mereka cepat, kuat. Jauh melampaui manusia normal." Mata Delico membelalak. Ia tersentak, seolah baru saja disiram air dingin. "Berandalan Berliontin! Bukankah mereka hanya... rumor, Tuan?" Nada suaranya penuh keraguan, bercampur sedikit ketakutan. Cristiano berbalik, menatap Delico lurus. "Bukan rumor, Delico. Mereka nyata. Tersembunyi dari dunia luar, ya. Tapi mereka ada. Hanya segelintir orang yang tahu kebenarannya." Suaranya tenang, namun mengandung bobot kebenaran yang mengerikan. Delico terdiam, pandangannya jatuh ke lantai marmer yang dingin. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. 'Tidak mungkin,' batinnya, 'Berandalan Berliontin itu hanya cerita menakutkan.' Ia berusaha menepis rasa kesal dan ketidakpercayaan yang menggerogoti. Cristiano bangkit dari kursinya, melangkah perlahan menuju jendela besar di belakangnya. Ia menatap langit malam yang bertabur bintang, siluetnya terpantul di kaca. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Delico masih terpaku, pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia terima. Rasa penasaran bercampur ngeri menghantuinya. "Delico," suara Cristiano memecah keheningan, matanya masih terpaku pada langit. "Aku tahu kau tidak percaya. Itu wajar. Ketika kau lahir, mereka sudah menjadi bayangan, legenda yang hampir terlupakan." Delico mengangkat wajahnya, menatap punggung atasannya. Ekspresinya adalah campuran antara kebingungan, ketakutan, dan secercah pemahaman yang mulai menyelinap. Setelah percakapan yang mencekam itu, Delico melangkah keluar dari ruang kerja atasannya. Langkahnya terasa berat, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan yang mengganggu. 'Berandalan Berliontin... Anak kecil itu... mustahil,' batinnya, kepalanya menggeleng pelan. 'Bagaimana mungkin anak seumuran Nona Chalista bisa melakukan hal sekeji itu? Memenggal kepala seseorang dan membawanya pergi? Aku tidak habis pikir, seperti apa sebenarnya Berandalan Berliontin itu?' Kerutan dalam muncul di dahinya, matanya menatap kosong ke depan. Delico terus melamun sepanjang koridor, bayangan Sena dengan pedang berlumuran darah terus menari-nari di benaknya. Ia tak bisa berhenti memikirkan anak itu. Sampai di depan pintu masuk kediaman Cristiano, ia berhenti sejenak, pandangannya beralih menatap langit yang mulai memudar. Kilasan kejadian malam itu kembali terlintas: aksi Sena yang begitu cepat saat menembak dua pria pengejar Chalista, ketenangan mengerikan di wajahnya, dan liontin yang berkilau di lehernya. *** Pagi tiba, membawa serta gelombang berita yang mengguncang. Layar-layar televisi di seluruh penjuru kota serentak menayangkan laporan utama tentang "Twilight" atau "Berandalan Berliontin". BERITA TERKINI! KEMUNCULAN SOSOK MISTERIUS DI PESTA KELUARGA MARENO! SEORANG ANAK LAKI-LAKI DENGAN LIONTIN DIDUGA SEBAGAI ANGGOTA PASUKAN BERANDALAN BERLIONTIN YANG SELAMAT DARI PEMBANTAIAN! Seorang saksi mata, dengan wajah pucat dan tangan gemetar, diwawancarai di depan kamera. "Saya melihatnya sendiri," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Anak itu memakai liontin dan bergerak sangat cepat. Dia juga membawa katana di pinggangnya." "Apakah Anda melihat wajah anak itu dengan jelas?" tanya reporter, mikrofonnya mendekat. "Tidak begitu jelas," jawab saksi itu, matanya menerawang. "Semalam sangat ramai, semua orang panik." Ia menambahkan, "Tapi kelihatannya dia masih sangat muda, mungkin sekitar sebelas tahun." **** Di markas besar TWILIGHT, suara bising televisi tiba-tiba terputus. Seorang wanita paruh baya, dengan rahang mengeras dan mata menyala, baru saja mematikan televisi. Wajahnya memerah karena amarah. "Cih! Indry!" teriaknya, suaranya menggelegar, memantul di dinding ruangan. Seorang wanita muda bernama Indry berlari terburu-buru, jantungnya berdebar kencang mendengar panggilan itu. Ia membuka pintu dengan kasar, napasnya terengah-engah. "Yes, Sir Gina!" ucapnya, berdiri tegak, berusaha menyembunyikan kegugupan. Gina, sang pemimpin, menatap Indry tajam. Tatapan itu menusuk, membuat Indry menunduk, tak berani membalas pandangan atasannya. Tubuhnya sedikit bergetar. "Indry, katakan!" Gina bertanya, suaranya rendah tetapi penuh ancaman. "Semalam, siapa saja yang keluar dari markas ini?!" "Anu, Sir... Hmm..." Indry tergagap, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Yang semalam keluar hanya... hanya Sena." "Hmm!" Gina hanya bergumam pelan, namun gumaman itu terasa lebih menakutkan daripada teriakan. Indry semakin menunduk, takut melihat ekspresi pemimpinnya yang tak terbaca. Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan. Tanpa perlu dijelaskan, Gina sudah menebaknya.Pria berkacamata itu menunjuk kalung di leher Bobby dengan ekspresi terkejut. "Dia punya kalung yang sama seperti Bobby!" serunya, matanya membulat.Rekannya mendekat, mengamati kalung itu dengan cermat. "Tapi, tulisannya berbeda," gumamnya, alisnya berkerut.Salah satu pria, dengan langkah tergesa, menghampiri Bobby dan menepuk bahunya kasar. "Hei!" bentaknya, "Apa yang kau lakukan? Kenapa diam saja? Cepat habisi anak itu, jangan sampai membuat bos marah!" Nada suaranya meninggi, urat-urat di lehernya terlihat menegang.Tanpa sepatah kata pun, Bobby bergerak cepat. Tangannya mengepal, menghantam wajah pria itu dengan kekuatan penuh. Pria itu terpental, tubuhnya melayang sebelum akhirnya menabrak pohon dengan bunyi gedebuk yang mengerikan. Seketika, pria itu tidak bergerak.Teman-temannya terdiam, tubuh mereka membeku di tempat. Bulu kuduk mereka berdiri, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Satu serangan... dan pria itu tewas.Bobby mendesis, bibirnya bergetar menahan amarah. "Be
Keringat dingin membasahi pelipis para penculik. Tubuh mereka bergetar menyaksikan Sena melumpuhkan satu per satu rekan mereka. Mata Sena menyala oleh amarah yang membara, setiap gerakannyaPresisi dan mematikan. Di dalam mobil, Chalista merasakan secercah harapan merekah di dadanya. Akhirnya, pahlawannya datang.Chalista menoleh ke belakang, senyum merekah di wajahnya bagai mentari pagi. "Sena! Aku di sini! Tolong aku!" serunya, suaranya bergetar antara lega dan takut.Belum sempat Chalista menyelesaikan kalimatnya, sebuah pukulan keras menghantam tengkuknya. Kesadaran Chalista langsung meredup, tubuhnya terkulai lemas."Sial! Mulut itu benar-benar perlu disumpal," gerutunya dengan gigi terkatup rapat, urat-urat di lehernya menegang.Sena menyaksikan adegan di dalam mobil, rahangnya mengeras. Amarahnya mencapai ubun-ubun. Tanpa ragu, tangannya menyelinap ke balik celana, mengeluarkan sebilah pisau kecil yang selalu setia menemaninya. Dengan gerakan cepat dan terukur, ia melemparkan pi
Chalista menghela napas panjang, matanya terpaku pada Sena yang tak kunjung selesai. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk layar ponsel, namun pikirannya melayang. Setiap detik terasa seperti menit yang enggan berlalu. Tiba-tiba, matanya menangkap sosok familiar di seberang jalan. Sebuah kedai yatai dengan lampion merah yang bergoyang lembut diterpa angin. Bibirnya tertarik membentuk senyum lebar. Tanpa ragu, ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Sena."Sena, aku mau keluar dulu," ujar Chalista, berusaha menyembunyikan kegugupannya.Sena hanya diam, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang begitu dalam. Ia menatap Chalista dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tak mampu."Kak, aku bayar pakai Qris ya," kata Chalista, mengalihkan perhatian.Pemilik salon mengangguk dan segera memberikan kode Qris pada Chalista. Setelah menyelesaikan pembayaran, Chalista bergegas keluar dari salon. Sena hanya bisa menatap punggung Chalista yang menjauh, hatinya dipenu
"Hufft, akhirnya," gumam Chalista lirih, menghela napas lega.Bel berdering nyaring, memecah keheningan dan menandakan waktu istirahat telah usai. "Sena, aku masuk kelas dulu ya. Sampai nanti!" seru Chalista, senyum merekah di wajahnya, lalu bergegas berlari menuju pintu gerbang sekolah.Sena kembali memanjat pohon rindang di seberang jalan, matanya tak lepas mengawasi Chalista dari kejauhan. Waktu berlalu begitu cepat, hingga bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Chalista keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri, langkahnya ringan menuju gerbang sekolah. Di sana, Sena sudah menunggunya dengan sabar."Sena!" panggil Chalista riang, senyumnya semakin lebar saat melihat Sena. "Ayo, kita pulang!" ajaknya sambil meraih tangan Sena, menggenggamnya erat.Sena hanya mengikuti langkah Chalista, membiarkan gadis kecil itu menarik tangannya menuju mobil yang sudah menunggu. Bahkan setelah duduk di kursi belakang pun, Chalista enggan melepaskan genggamannya."Pak Hans, sebelum pulang, kita bis
Seiring dengan pulihnya keadaan kota, para Berandalan Berliontin kembali ke wilayah mereka masing-masing. Sena, yang selama ini membantu Gina, juga kembali ke rumah keluarga Cristiano. Mobil yang dikendarai Gina membawanya kembali ke tempat yang kini menjadi rumahnya. Di balik jendela mobil, Sena menatap jalanan yang ramai dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian yang baru saja berlalu.Setibanya Sena di rumah, Chalista langsung menyambutnya di ambang pintu."Sena, akhirnya kau kembali!" seru Chalista, suaranya penuh kelegaan. Ia langsung memeluk Sena erat, menyalurkan kerinduan yang membuncah."Iya," balas Sena singkat, namun pelukannya terasa hangat dan tulus.Chalista tampak berseri-seri, matanya berbinar-binar. Beberapa hari tanpa Sena terasa seperti berabad-abad lamanya. Rumah terasa sepi dan hampa tanpa kehadiran sahabatnya itu.Mentari pagi menyinari kota, menandakan hari baru telah tiba. Sena kembali menjalankan tugasnya menjaga dan menemani Chalista ke
"Entahlah... Ayo kita lihat!" ajak rekannya, dengan ragu-ragu melangkah maju.Para pasukan keamanan mendekat dengan hati-hati, rasa penasaran bercampur ngeri memenuhi benak mereka. Namun, pemandangan yang menyambut mereka membuat perut mereka bergejolak. Mayat tanpa kepala, tubuh dengan luka menganga yang memperlihatkan isi perut yang terburai... Pemandangan mengerikan itu terlalu berat untuk mereka cerna."Hoak!""Hoak!"Beberapa pasukan keamanan tidak kuat menahan rasa mual. Mereka berlari menjauh, membungkuk dan memuntahkan isi perut mereka di semak-semak."Sial! Twilight brengsek! Membunuh tanpa aturan!" umpat seorang pasukan yang baru selesai memuntahkan isi perutnya, wajahnya pucat pasi."Gila! Anak kecil itu membunuh dengan sadis... Apa mereka tidak merasa mual melihat isi perut yang keluar itu?" tanya yang lain dengan nada jijik dan ngeri, tubuhnya bergetar."Mereka Twilight... Hal seperti itu mungkin sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka," sahut seorang pasukan keamanan de







