LOGIN"Dia jauh lebih baik daripada pengawal bayaran yang kau pilih!" suara Cristiano meninggi, amarahnya akhirnya meledak. "Kau seharusnya sadar! Malam itu, jika bukan karena anak itu, Chalista mungkin sudah tidak ada di sini! Pengawal pilihanmu bahkan tidak becus menjaganya!" Setiap kata yang diucapkannya bagai cambuk yang menghantam istrinya.
Istri Cristiano terdiam, tak mampu membalas. Kata-kata suaminya adalah kebenaran yang pahit, menghantam egonya hingga berkeping-keping. Malam itu, pengawal yang ia banggakan tak mampu melindungi putrinya, dan seorang anak kecil, seorang Twilight, lah yang menyelamatkannya. Mau tak mau, ia harus mengakui keunggulan Sena, meski pahit untuk ditelan. Lima tahun kemudian... Sena selalu berada di sisi Chalista, menjadi bayangan yang setia menemani ke mana pun gadis itu pergi. Seperti hari ini, Sena mengantar Chalista ke tempat les musiknya. "Sena, terima kasih sudah menemaniku," ucap Chalista, pipinya merona merah. Senyum manis menghiasi wajahnya, menunjukkan rasa terima kasih yang tulus. "Sudah menjadi tugasku untuk menemanimu dan menjagamu," jawab Sena datar, tanpa sedikit pun perubahan intonasi. "Ih, Sena! Kenapa kamu tidak berubah, sih? Bicaramu selalu saja datar begitu. Kalau begini terus, tidak akan ada gadis yang mendekat, lho!" goda Chalista, tawanya renyah seperti lonceng. Sena memilih untuk tidak menanggapi godaan Chalista. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dingin seperti es. "Sudah, yuk kita pulang! Bagaimana kalau kita jalan kaki saja?" ajak Chalista, matanya berbinar penuh semangat. Sena hanya mengangguk sebagai jawaban. Chalista segera menggandeng tangannya, lalu mereka berjalan menyusuri jalanan yang cukup ramai. "Sena, apa kau mau es krim?" tanya Chalista tiba-tiba, matanya berbinar saat melihat sebuah truk es krim berhenti di pinggir jalan. "Terserah," jawab Sena singkat, tanpa minat. Chalista tersenyum lebar, lalu menarik Sena menuju truk es krim. Sesampainya di sana, Chalista langsung memesan dua es krim, rasa cokelat untuk dirinya sendiri dan stroberi untuk Sena. Saat menunggu Chalista membeli es krim, tanpa sengaja mata Sena tertuju pada layar besar di depan sebuah gedung. Sebuah berita menarik perhatiannya, memicu rasa penasaran yang perlahan tumbuh di dalam hatinya. BERITA TERKINI! Layar besar itu menampilkan kerumunan massa yang berdemonstrasi di depan gedung pemerintahan. Spanduk-spanduk dengan tulisan besar terangkat tinggi, sementara teriakan-teriakan penuh amarah menggema di udara. "Hapuskan Twilight! Bunuh mereka semua!" "Hancurkan Twilight! Bunuh para monster itu!" "Benar! Mereka monster berwujud manusia! Bunuh mereka! Bunuh mereka!" Suara-suara itu saling bersahutan, menciptakan kebisingan yang memekakkan telinga. Wajah-wajah penuh kebencian terlihat jelas di antara kerumunan, mata mereka menyala dengan amarah yang membara. Mereka mendesak pemerintah untuk menghapus Twilight dari muka bumi. Setahun belakangan ini, pemerintah memang semakin melibatkan Twilight dalam berbagai kegiatan militer, sebuah kebijakan yang jelas memicu kemarahan sebagian masyarakat. Sejak keberadaan para "Berandalan Berliontin" terungkap ke publik, suasana kembali menegang seperti sedia kala. Ketakutan dan prasangka kembali menghantui masyarakat. Tak sedikit pula warga yang memprotes kebijakan pemerintah yang dianggap terlalu lunak terhadap Twilight. Keputusan pemerintah itu memicu kemunculan kembali fraksi anti-Twilight, kelompok-kelompok radikal yang lantang menyuarakan kebencian dan diskriminasi. Aksi-aksi mereka kembali membuat kehebohan, mengancam kedamaian yang rapuh. Sena terus menatap layar besar itu, rahangnya mengeras. Tangan kirinya tanpa sadar menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. Wajahnya yang biasanya datar kini menunjukkan ekspresi yang jelas: kemarahan yang tertahan. "Sena-kun," panggil Chalista lembut, senyum cerah menghiasi wajahnya. Ia baru saja kembali dengan dua es krim di tangannya. Akan tetapi, senyum itu memudar seketika saat ia melihat perubahan ekspresi di wajah Sena. Mata gadis itu menyipit, alisnya bertaut, dan raut wajahnya menunjukkan kemarahan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. "Sena-kun, ada apa?" tanya Chalista khawatir, tangannya menyentuh lembut bahu kanan Sena. Sena tersentak kaget, lalu dengan cepat memalingkan wajahnya ke arah Chalista. Ekspresi marahnya berusaha ia sembunyikan di balik topeng datar seperti biasanya. "Tidak ada apa-apa. Nona sudah selesai?" tanya Sena balik, berusaha mengalihkan perhatian. "Ah, iya. Ini untukmu," jawab Chalista, menyodorkan salah satu es krim kepada Sena. "Kita harus segera kembali, Nona!" ajak Sena tiba-tiba, nada suaranya terdengar mendesak. "Hmm, baiklah. Ayo, kita kembali," kata Chalista, menggandeng tangan Sena dengan erat. Keduanya berjalan cepat kembali ke rumah orang tua Chalista. Namun, sesampainya di depan gerbang, Sena berhenti mendadak. Matanya terpaku pada sebuah mobil hitam yang terparkir di halaman. Mobil itu sangat familiar, terlalu familiar untuk bisa ia lupakan. Sena tiba di lokasi misi. Di sisi lain gedung pemerintahan, anggota serikatnya telah berkumpul, aura tegang terpancar dari wajah mereka. Mereka siap berperang. Tanpa basa-basi, salah seorang rekannya menyuntikkan cairan ke lengan kiri Sena. "Kembali bekerja! Jangan buang waktu lagi! Habisi semua yang menghalangi!" bisik rekannya dengan suara serak, matanya menyala penuh fanatisme. Sesaat setelah suntikan itu, Sena mengalami perubahan drastis. Matanya memerah, taringnya memanjang, dan tubuhnya bergetar hebat. Ia berubah menjadi sosok yang menyeramkan, seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya. Tanpa ragu, Sena berlari ke arah sekelompok orang yang berkumpul di gang sempit di sudut kota. Tanpa ampun, ia menebas mereka satu per satu. Sraat! Crash! Crash! "Aaaahhh!" Jeritan kesakitan memecah keheningan malam, suara-suara terakhir para korban sebelum meregang nyawa. Crash! Crash! "Aaaahhhh!" Sena bergerak dengan brutal dan tanpa ampun. Setiap tebasan pedangnya mematikan. Darah segar memuncrat, mewarnai jalanan dan tembok-tembok dengan warna merah yang mengerikan. "Arght! Twilight! Lari! Cepat lari!" teriak seorang anggota fraksi anti-Twilight panik. Crash! "Ahh!" Belum sempat melarikan diri, Sena sudah lebih dulu menebas punggungnya. Tubuh itu ambruk ke tanah, darah menyembur membasahi baju dan bahkan mengenai wajah Sena. Anggota fraksi yang lain terdiam membeku, menyaksikan kematian mengerikan rekan mereka di depan mata. "Hah! Hah! Hah! Twilight! Berandalan Berliontin!" teriak seorang anggota fraksi anti-Twilight dengan nada penuh kebencian dan ketakutan. "Tidak! Lihat, dia peringkat A/0!" teriak seseorang panik. "Kabur! Kita tidak akan menang melawannya!" Tanpa pikir panjang, para anggota fraksi anti-Twilight berbalik dan berlari sekencang-kencangnya, berusaha menyelamatkan diri dari amukan Sena. "Cepat! Cepat lari! Itu Berandalan Berliontin!" Teriakan-teriakan histeris terus menggema, memacu adrenalin mereka untuk berlari lebih cepat. Sena menatap mayat-mayat yang tergeletak tak bernyawa di jalanan dengan tatapan dingin dan kosong. Tidak ada sedikit pun rasa bersalah atau belas kasihan di matanya. Di depan gedung pemerintahan, para anggota keamanan telah bersiaga. Pagar berduri telah dipasang sebagai barikade, memisahkan mereka dari para demonstran yang masih berkumpul dan terus mendesak pemerintah dengan tuntutan-tuntutan mereka. "Bunuh Twilight! Habisi mereka! Hapuskan Berandalan Berliontin!" "Kami akan terus di sini sampai kalian mendengarkan keluhan kami!" Suara-suara lantang dari para anggota fraksi anti-Twilight terus menggema, memenuhi udara dengan kebencian dan tuntutan. Mereka tidak mau menyerah, dan bertekad untuk menghapuskan keberadaan Berandalan Berliontin dari dunia ini. Para anggota keamanan semakin memperketat penjagaan, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Situasi semakin memanas, para anggota fraksi anti-Twilight mulai memaksa masuk ke dalam gedung pemerintahan. Aksi saling dorong tak terhindarkan antara para demonstran dan penjaga keamanan negara. Dor! Suara tembakan memecah keheningan. Seorang komandan penjaga keamanan melepaskan tembakan peringatan ke udara, mencoba menenangkan massa yang semakin beringas. Suasana yang tadinya tegang, seketika berubah menjadi mencekam. Semua orang terdiam membisu, membeku di tempat masing-masing. Dengan langkah tegap dan penuh percaya diri, sang komandan berjalan menghampiri para demonstran. Semua mata tertuju padanya, menanti apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Pria berkacamata itu menunjuk kalung di leher Bobby dengan ekspresi terkejut. "Dia punya kalung yang sama seperti Bobby!" serunya, matanya membulat.Rekannya mendekat, mengamati kalung itu dengan cermat. "Tapi, tulisannya berbeda," gumamnya, alisnya berkerut.Salah satu pria, dengan langkah tergesa, menghampiri Bobby dan menepuk bahunya kasar. "Hei!" bentaknya, "Apa yang kau lakukan? Kenapa diam saja? Cepat habisi anak itu, jangan sampai membuat bos marah!" Nada suaranya meninggi, urat-urat di lehernya terlihat menegang.Tanpa sepatah kata pun, Bobby bergerak cepat. Tangannya mengepal, menghantam wajah pria itu dengan kekuatan penuh. Pria itu terpental, tubuhnya melayang sebelum akhirnya menabrak pohon dengan bunyi gedebuk yang mengerikan. Seketika, pria itu tidak bergerak.Teman-temannya terdiam, tubuh mereka membeku di tempat. Bulu kuduk mereka berdiri, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Satu serangan... dan pria itu tewas.Bobby mendesis, bibirnya bergetar menahan amarah. "Be
Keringat dingin membasahi pelipis para penculik. Tubuh mereka bergetar menyaksikan Sena melumpuhkan satu per satu rekan mereka. Mata Sena menyala oleh amarah yang membara, setiap gerakannyaPresisi dan mematikan. Di dalam mobil, Chalista merasakan secercah harapan merekah di dadanya. Akhirnya, pahlawannya datang.Chalista menoleh ke belakang, senyum merekah di wajahnya bagai mentari pagi. "Sena! Aku di sini! Tolong aku!" serunya, suaranya bergetar antara lega dan takut.Belum sempat Chalista menyelesaikan kalimatnya, sebuah pukulan keras menghantam tengkuknya. Kesadaran Chalista langsung meredup, tubuhnya terkulai lemas."Sial! Mulut itu benar-benar perlu disumpal," gerutunya dengan gigi terkatup rapat, urat-urat di lehernya menegang.Sena menyaksikan adegan di dalam mobil, rahangnya mengeras. Amarahnya mencapai ubun-ubun. Tanpa ragu, tangannya menyelinap ke balik celana, mengeluarkan sebilah pisau kecil yang selalu setia menemaninya. Dengan gerakan cepat dan terukur, ia melemparkan pi
Chalista menghela napas panjang, matanya terpaku pada Sena yang tak kunjung selesai. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk layar ponsel, namun pikirannya melayang. Setiap detik terasa seperti menit yang enggan berlalu. Tiba-tiba, matanya menangkap sosok familiar di seberang jalan. Sebuah kedai yatai dengan lampion merah yang bergoyang lembut diterpa angin. Bibirnya tertarik membentuk senyum lebar. Tanpa ragu, ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Sena."Sena, aku mau keluar dulu," ujar Chalista, berusaha menyembunyikan kegugupannya.Sena hanya diam, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang begitu dalam. Ia menatap Chalista dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tak mampu."Kak, aku bayar pakai Qris ya," kata Chalista, mengalihkan perhatian.Pemilik salon mengangguk dan segera memberikan kode Qris pada Chalista. Setelah menyelesaikan pembayaran, Chalista bergegas keluar dari salon. Sena hanya bisa menatap punggung Chalista yang menjauh, hatinya dipenu
"Hufft, akhirnya," gumam Chalista lirih, menghela napas lega.Bel berdering nyaring, memecah keheningan dan menandakan waktu istirahat telah usai. "Sena, aku masuk kelas dulu ya. Sampai nanti!" seru Chalista, senyum merekah di wajahnya, lalu bergegas berlari menuju pintu gerbang sekolah.Sena kembali memanjat pohon rindang di seberang jalan, matanya tak lepas mengawasi Chalista dari kejauhan. Waktu berlalu begitu cepat, hingga bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Chalista keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri, langkahnya ringan menuju gerbang sekolah. Di sana, Sena sudah menunggunya dengan sabar."Sena!" panggil Chalista riang, senyumnya semakin lebar saat melihat Sena. "Ayo, kita pulang!" ajaknya sambil meraih tangan Sena, menggenggamnya erat.Sena hanya mengikuti langkah Chalista, membiarkan gadis kecil itu menarik tangannya menuju mobil yang sudah menunggu. Bahkan setelah duduk di kursi belakang pun, Chalista enggan melepaskan genggamannya."Pak Hans, sebelum pulang, kita bis
Seiring dengan pulihnya keadaan kota, para Berandalan Berliontin kembali ke wilayah mereka masing-masing. Sena, yang selama ini membantu Gina, juga kembali ke rumah keluarga Cristiano. Mobil yang dikendarai Gina membawanya kembali ke tempat yang kini menjadi rumahnya. Di balik jendela mobil, Sena menatap jalanan yang ramai dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian yang baru saja berlalu.Setibanya Sena di rumah, Chalista langsung menyambutnya di ambang pintu."Sena, akhirnya kau kembali!" seru Chalista, suaranya penuh kelegaan. Ia langsung memeluk Sena erat, menyalurkan kerinduan yang membuncah."Iya," balas Sena singkat, namun pelukannya terasa hangat dan tulus.Chalista tampak berseri-seri, matanya berbinar-binar. Beberapa hari tanpa Sena terasa seperti berabad-abad lamanya. Rumah terasa sepi dan hampa tanpa kehadiran sahabatnya itu.Mentari pagi menyinari kota, menandakan hari baru telah tiba. Sena kembali menjalankan tugasnya menjaga dan menemani Chalista ke
"Entahlah... Ayo kita lihat!" ajak rekannya, dengan ragu-ragu melangkah maju.Para pasukan keamanan mendekat dengan hati-hati, rasa penasaran bercampur ngeri memenuhi benak mereka. Namun, pemandangan yang menyambut mereka membuat perut mereka bergejolak. Mayat tanpa kepala, tubuh dengan luka menganga yang memperlihatkan isi perut yang terburai... Pemandangan mengerikan itu terlalu berat untuk mereka cerna."Hoak!""Hoak!"Beberapa pasukan keamanan tidak kuat menahan rasa mual. Mereka berlari menjauh, membungkuk dan memuntahkan isi perut mereka di semak-semak."Sial! Twilight brengsek! Membunuh tanpa aturan!" umpat seorang pasukan yang baru selesai memuntahkan isi perutnya, wajahnya pucat pasi."Gila! Anak kecil itu membunuh dengan sadis... Apa mereka tidak merasa mual melihat isi perut yang keluar itu?" tanya yang lain dengan nada jijik dan ngeri, tubuhnya bergetar."Mereka Twilight... Hal seperti itu mungkin sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka," sahut seorang pasukan keamanan de







