Home / Romansa / Kutukan Mantan Terindah / Saat Mata itu Terbuka Lagi

Share

Saat Mata itu Terbuka Lagi

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-05-21 21:00:36

Terdengar suara alat-alat medis yang terus berdetak. Lampu remang menciptakan bayangan lembut di dinding putih yang dingin. Zain duduk di sisi ranjang rumah sakit, tangannya menggenggam jemari Zura yang terasa dingin namun tetap hangat baginya. Sudah hampir seminggu berlalu sejak kecelakaan itu. Sejak Zura koma dan tak pernah membuka matanya lagi.

Setiap hari, Zain datang. Duduk diam, membaca buku, membacakan cerita, bahkan hanya menatap wajah Zura yang tampak tenang. Kadang dia berbicara, kadang hanya diam, tapi yang pasti—dia menunggu.

Hari ini, Mami Narumi, Zivanya, dan kedua orang tua Zura pun turut hadir. Amma Gista duduk tak jauh dari sana, wajahnya lelah namun penuh harap. Appa Gio berdiri di dekat jendela, menatap langit sore yang temaram, seakan memohon agar Tuhan segera mengembalikan putri sulungnya.

Lalu, tiba-tiba—

Jari-jari Zura bergerak pelan.

Zain, yang awalnya hanya menunduk membaca, langsung menegakkan tubuhnya. Matanya m
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (22)
goodnovel comment avatar
Ika Dewi Fatma J
tidak cuma kesadaran Zura yang kembali tapi ingatannya juga, luka yang tertunda sih kalo gini, seperti Zain yang langsung kecewa dengan aletta dulu, Zura juga pastinya lebih kecewa lagi
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Ingatan zura udah kembali dan saatnya zain serta ortunya zura menyembuhkan luka yang pernah mereka goreskan dihatinya zura
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Lega banget zura kembali membuka mata tapi malah ada problem lagi yang ingatan zura kembali dengan luka yang belum sembuh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kutukan Mantan Terindah   Pembalasan

    Langit Bandung tak pernah setabah malam-malam yang dilalui Zain akhir-akhir ini. Udara dingin yang menggigit tulang seakan tak seberapa dibanding dinginnya ancaman yang perlahan menyusup ke sela-sela hidupnya. Namun malam ini, ketegasan terpancar dari matanya—tanpa goyah, tanpa ragu.Villa itu berdiri seperti bayangan masa lalu yang enggan hilang dari ingatan. Bangunannya besar namun terasing, dikelilingi pagar besi hitam dan pepohonan pinus yang menjulang rapat. Nyaris tak terlihat dari jalan utama, nyaris tak terdeteksi, persis seperti perempuan yang tinggal di dalamnya—Karina Valenza.Mobil hitam yang dikendarai Niko berhenti beberapa meter sebelum gerbang utama villa. Mereka memilih tidak menampakkan diri secara terang-terangan.“Kita di sini,” ujar Niko, suaranya rendah namun tegas.Zain menatap ke luar jendela mobil. Pandangannya tajam, bukan karena amarah, tapi karena hasrat menyelesaikan semuanya tanpa meninggalkan serpihan.“Aku

  • Kutukan Mantan Terindah   Awal Pembalasan

    Zura baru saja menyelesaikan sesi fisioterapinya di ruang keluarga. Nafasnya sedikit tersengal, meski gerakannya sudah jauh lebih stabil dibanding beberapa minggu lalu. Dia duduk bersandar di sofa panjang, menyeka peluh tipis di pelipisnya dengan handuk kecil yang disodorkan oleh Mami Narumi.“Pelan-pelan, Sayang. Jangan dipaksa. Kaki kamu memang sudah membaik, tapi belum kuat untuk latihan terlalu keras,” ujar Mami Narumi lembut sambil memijat ringan betis Zura.Zura mengangguk. “Aku cuma takut makin kaku kalau kelamaan nggak dilatih.”“Bukan begitu caranya,” Mami mendesah kecil, lalu tersenyum. “Biar pun kamu kepala batu, tetap harus dengerin omongan fisioterapis.”Zura terkekeh lemah. Tapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya sejak bangun pagi tadi—dan rasanya makin membuncah usai sesi latihan ini. Biasanya, jam segini Zain sudah duduk di sebelahnya, menyuapi sarapan dengan gaya manja yang menyebalkan tapi manis. Tapi hari ini, sofa itu koso

  • Kutukan Mantan Terindah   Serangan Ketiga

    “Minggu depan ada jadwal kontrol lagi?” tanya Zain sembari merapikan sabuk pengaman Zura yang duduk di sebelahnya.Zura mengangguk pelan. “Iya. Tapi cuma cek luka dan ganti perban. Kata suster, kondisiku sudah membaik.”Zain mengangguk tanpa berkata-kata. Tangannya memutar setir perlahan, membawa mobil keluar dari area parkir rumah sakit menuju jalan besar. Senja sudah turun sepenuhnya, menyisakan langit gelap yang mulai dipenuhi lampu-lampu kota. Jakarta, seperti biasa, tetap hidup bahkan setelah hari berganti malam.“Aku pengen ngajak kamu ke beberapa tempat,” ucap Zain akhirnya.Zura menoleh. “Tempat apa?”“Tempat yang punya kenangan. Kita butuh itu sekarang.”Zura tidak bertanya lagi. Dia tahu betul gaya bicara Zain—tak selalu panjang, tapi selalu penuh arti. Diamnya pun bicara. Jadi dia hanya duduk tenang, membiarkan mobil melaju di antara padatnya lalu lintas ibukota.Tujuan pertama mereka: sebuah kedai mie kecil d

  • Kutukan Mantan Terindah   Serangan Keduq

    Senja mulai merambat perlahan ke langit Jakarta, mewarnai jendela rumah sakit dengan semburat jingga keemasan. Lorong-lorong sepi bergema oleh langkah kaki para perawat dan suara lirih mesin medis yang tak pernah berhenti. Di depan ruang ICU, dua pria muda berdiri sejenak menatap ke dalam, memastikan tak ada yang janggal.Beberapa menit lalu, tiga pria berbadan tegap—anak buah kepercayaan Zain—telah berdiri di titik-titik tak mencolok. Satu menyamar sebagai petugas kebersihan, satu lagi duduk tenang di ruang tunggu dengan surat kabar terbuka, dan satu sisanya menyamar sebagai pengunjung biasa yang mondar-mandir dengan ransel kamera. Mereka tidak mencolok, tapi siaga sepenuhnya.Zain mengangguk pelan setelah memastikan semuanya sesuai rencana, lalu menepuk bahu Bagas pelan. “Ayo ke bawah sebentar. Aku butuh kopi.”Bagas mengangguk. “Kita juga butuh waktu untuk menyusun strategi selanjutnya.”Keduanya berjalan menuruni tangga darurat menuju kantin rumah sakit yang sederhana namun bersih

  • Kutukan Mantan Terindah   Serangan Pertama

    Langit siang di Jakarta tak terlalu terik, namun udara di ruang kerja Papi Barra terasa lebih menekan dari biasanya. Di balik meja besar berlapis kayu mahoni tua, pria paruh baya itu duduk dengan wajah penuh pertimbangan. Tangannya yang biasa tenang kini mengepal pelan di atas meja, setelah mendengar laporan dari Zain yang berdiri di hadapannya.Zain meletakkan secarik kertas di atas meja. Surat tanpa nama, tulisan tangan yang rapi namun berisi ancaman yang tajam, dingin, dan memuakkan.“Ini ditemukan pagi tadi, terselip di pagar rumah. Kalimatnya sederhana, tapi cukup untuk membuat Zura gelisah sepanjang pagi. Ditambah, semalam juga masuk pesan serupa ke ponselnya,” jelas Zain, suaranya rendah namun tegas.Papi Barra menatap tulisan itu lama, matanya menyipit seolah ingin mengurai siapa pemilik jemari yang berani mengganggu ketenangan calon menantunya. Wajahnya berubah keras, tapi juga mengandung luka. Luka seorang ayah yang tak mampu sepenuhnya melindungi anaknya.“Sepertinya Andria

  • Kutukan Mantan Terindah   Bubur Rasa Cinta

    Pagi ini, matahari belum tinggi. Udara masih sejuk, menyisakan embun yang menggantung di ujung dedaunan. Dari balik jendela kamarnya, Zura hanya memandang langit yang perlahan berganti warna. Biasanya, pagi seperti ini dia habiskan dengan duduk termenung, tapi hari ini berbeda.Zain berdiri di ambang pintu kamarnya, membawa sesuatu yang bahkan lebih hangat dari secangkir teh—senyuman dan keyakinan."Yuk, keluar sebentar," ajaknya pelan.Zura menoleh, menatap pria itu dengan keraguan yang tak bisa disembunyikan. “Keluar rumah?”Zain Mengangguk. “Hanya keliling komplek. Kita beli bubur ayam yang biasa mangkat di depan komplek. Nggak jauh, janji.”Zura menggigit bibir bawahnya. Dia menunduk menatap kursi rodanya, seakan benda itu adalah batas tak kasat mata yang memisahkan dirinya dari dunia luar.“Aku belum siap,” gumamnya.Zain menghampiri, jongkok di hadapannya. “Aku tahu. Tapi kamu nggak sendiri. Aku di sini, temenin ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status