LOGIN“Bangsat!”
Clara berdiri dari ember yang ia duduki, menoleh ke arah Halimah dengan tatapan mencemooh. Ia bahkan mendekati putri pemilik pesantren itu tanpa ada rasa takut, atau perasaan bersalah karena melanggar peraturan. Sementara itu, beberapa santriwati yang ada bersamanya tampak antusias melihat apa yang akan terjadi antara Clara dan Halimah. "Kenapa? Mau ngasih gue hukuman karena bolos salat?" Ia tersenyum miring, mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sakunya, dan melemparnya ke arah Halimah. "Anggap itu uang damai. Lumayan, buat lo jajan bakso atau cilok. Jajan amer juga boleh. Anak kiai di luar sana aja udah pada nyobain, jangan mau kalah, dong!" ejeknya sambil tertawa. Di belakang, para santriwati itu menahan tawa. Halimah mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar Clara. Namun, ia kembali teringat pesan ayahnya. Ia menggertakkan gigi, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lagipula, bukankah dalam Islam, orang yang marah dianjurkan untuk meninggalkan sesuatu yang memicu amarahnya? Sementara itu, Clara terkekeh puas. Ia mengambil kembali uang seratus ribu yang tidak diambil Halimah, memasukkannya ke dalam saku. Setelahnya, ia menoleh pada teman-teman barunya. "Kalian lihat ekspresi dia tadi? Anjir, priceless parah. Andai aja gue boleh bawa HP, udah gue buat meme, atau jadi stiker W******p juga boleh." Ia tergelak, begitu pula dengan para santriwati yang bersamanya. Sementara itu, Halimah tidak langsung kembali ke masjid. Ia mengambil napas beberapa kali, membasuh mukanya untuk meredakan amarahnya, sebelum ia kembali ke masjid. Salah seorang temannya yang menyadari kekesalannya hanya bisa tersenyum, seolah sudah bisa menebak apa yang terjadi. “Kali ini dia ngapain lagi?” tanyanya penasaran. Halimah memutar bola matanya. “Dia mau nyogok aku pakai uang seratus ribu. Dilempar gitu aja. Jelas nggak aku ambil. Uang haram aja bangga.” Ia menggerutu pelan. Temannya sendiri menggeleng dan mengusap bahunya. “Menurut kamu, kita udah bisa ngasih dia hukuman?” Temannya kembali bertanya. Halimah tampak berpikir sejenak. “Nanti aku diskusi dulu sama ayahku,” jawabnya seraya menghela napas untuk kesekian kali. Entahlah, apa ia bisa terus bersabar menghadapi kelakuan Clara kedepannya. *** “Abi ... sampai kapan aku harus sabar dengan kelakuan Clara? Anak itu makin hari makin menjadi!” rengek Halimah saat ia tengah berdiskusi dengan ayahnya. Kiai Ahmad tersenyum dan menggelengkan kepala. Ia menoleh pada istrinya, memintanya untuk membuatkan teh. Kebetulan, Alvin juga dipanggil ke rumah untuk mendiskusikan masalah ini, meskipun ia sepertinya akan datang terlambat. “Halimah ... menghadapi orang seperti Clara memang tidak mudah. Butuh kesabaran yang tak ada habisnya.” Beliau memulai pembicaraan. Tepat saat itu, Alvin datang. “Maaf, Kiai. Tadi ada beberapa santriwan yang bolos salat juga, dan saya harus mengurus mereka dulu.” Alvin tersenyum sambil mencium tangan gurunya, sebelum ia duduk agak jauh dari Halimah. “Mereka ngasih uang suap juga?” tanya Halimah penasaran. Alvin menggeleng. “Mereka aja nggak punya uang. Belum dikirim lagi sama orangtua mereka.” Ia menjawab pertanyaan Halimah. “Nah! Kalau Clara ini, udah tau salah, malah mau ngasih suap. Dia pikir ini tempat apa?” Halimah tampak sedikit frustrasi. Alvin sendiri tampak kebingungan pada awalnya. Namun Kiai Ahmad lebih dulu menjelaskan apa yang tengah dibahas oleh Halimah. Setelah mengetahui semuanya, Alvin tampak berpikir sejenak. Selama menjadi santri, maupun saat ia sudah menjadi ustaz seperti sekarang, baru kali ini ada kasus percobaan suap terjadi di lingkungan pesantren. “Sebenarnya agak aneh juga, sih. Baru kali ini ada santri yang mencoba memberikan suap, supaya dia lolos dari hukum? Tapi karena pelakunya Clara, yang notabene anak walikota .... “ Alvin terdiam sejenak. “Mungkin aja selama ini dia juga melakukan hal sama sewaktu di luar pesantren. Mungkin dia pikir, selama dia ada uang, dia bisa menyelesaikan masalah apapun.” Kali ini, giliran Halimah dan Kiai Ahmad yang terdiam. Ucapan Alvin ada benarnya. Status Clara sebagai putri walikota yang masih aktif menjabat pada saat ini, tentunya membuat ia merasa mampu melakukan apapun, termasuk menghindari hukum. Tapi, ini adalah lingkungan pesantren, yang sudah diketahui menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Perilaku seperti menyuap jelas tidak bisa dibenarkan. Akhirnya, setelah beberapa saat, Kiai Ahmad kembali buka suara. “Perbuatan Clara memang tidak dibenarkan. Memberi maupun menerima suap sendiri haram hukumnya. Namun, perlu diingat, bahwa ia hanyalah santri baru, yang masih berusaha untuk menerima takdirnya tinggal di pesantren ini. Menghadapinya dengan kekerasan hanya akan membuatnya semakin membenci lingkungan pesantren maupun manusia-manusia di dalamnya,” ujar Kiai Ahmad. “Tapi, Abi ..., “ ucap Halimah ragu-ragu. Ia diam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Kalau sekadar memberi hukuman ringan sebagai efek jera, apa itu juga tidak boleh?” Ia menatap ayahnya. Kiai Ahmad berpikir sejenak, sebelum akhirnya menyetujui. “Mungkin boleh. Tapi kamu harus tetap ingat, jangan memberikan hukuman saat kamu sedang emosi, dan jangan memberikan hukuman sesuai dengan kata hatimu. Berikan ia hukuman yang mendidik, sesuai dengan aturan di pesantren ini .... " ***“Kenapa, Ra?” tanya ketiga temannya. Clara masih menunjukkan ekspresi ketakutan, dan menunjuk santriwati yang sebelumnya membawakan piring-piring mereka, yang kali ini menatap dengan wajah bingung.“LO INI SIAPA, HAH? LO UDAH GILA, YA? NGASIH GUE TANAH SAMA DEDAUNAN GITU?” bentak Clara. Santriwati tersebut menatap bingung.“Maksudnya apa, ya? Aku ngambilin nasi sama lauk, kok.” Ia membela dirinya. Clara menatap piring yang sebelumnya ia lempar. Memang, terlihat nasi dan lauk-pauk yang berserakan. Ia menggeleng seraya mengusap wajahnya.“Nggak bisa, nggak bisa. Ini udah keterlaluan. Gue harus izin pulang besok,” gumamnya. Tanpa mengucapkan maaf ataupun memungut piringnya, ia bangkit dan berjalan menuju kamarnya.Sesampainya di kamar, ia segera membaringkan tubuhnya. Ia bahkan tak perlu repot melepas kerudungnya. Saat tatapannya tertuju pada langit-langit, ia merasa rileks untuk sejenak.“Kenapa hidup gue jadi kacau begini, ya ...? “Ia mengembuskan napas perlahan. Suasana kamar yang sep
“AAAAAAAAA!” Teriakan Clara membuat beberapa teman sekamarnya terbangun. Mereka menoleh ke arah Clara, dan menanyakan ada apa. Clara masih mengatur napasnya. Sesuatu yang sebelumnya ia lihat sudah tidak ada.“Nggak apa-apa. Maaf, aku tadi mimpi buruk.” Ia tersenyum, mencoba meyakinkan. Untungnya mereka yang terbangun karena teriakannya bisa memaklumi.“Coba baca doa dulu sebelum tidur, Ra.” Salah seorang dari mereka mengingatkan, dan Clara mengangguk, seraya berterima kasih. Ia memastikan terlebih dahulu bahwa semuanya sudah aman. Dan mungkin saja, ia memang lupa berdoa sebelumnya, sehingga ia mengalami halusinasi. Bahkan hingga detik ini, ia masih menganggap semuanya hanyalah halusinasi. “Benar juga, sih. Si cewek sialan itu dah mati. Gue halu aja tadi, karena kesel sama dia,” gumamnya, sebelum ia mulai berdoa dan akhirnya tertidur.***“Lo yakin? Tapi gue rasa itu bukan sekadar halusinasi, deh. Gimana kalau emang arwahnya berkeliaran?” Clara memijat pelipisnya, dan menggeleng tegas
“Tadi itu beneran suara Halimah?” tanya Anggun memastikan. Keempatnya kini sudah berada di kelas yang kosong. Namun suasananya sedikit lebih menenangkan, dengan penerangan yang sangat cukup.“Nggak mungkin. Cewek sialan itu udah mati. Kita mungkin halu karena kebanyakan ngomongin dia.” Clara menggeleng tidak setuju. Ia masih menyangkal bahwa semua yang terjadi sulit dijelaskan oleh akal manusia.“Tapi tadi itu suaranya jelas banget!” seru Nala. Ia masih merinding meskipun kini mereka telah berada di kelas. Kali ini, Lisa yang angkat bicara.“Gue setuju sama Clara. Kita lagi halu aja. Mendingan mulai sekarang kita gak usah ngomongin cewek itu lagi. Udah bener dia mati. Kita ngomongin dia sama aja dengan kita menghidupkan kenangan tentang dia. Gue sih nggak sudi. Najis!” umpat Lisa seraya menunjukkan gestur jijik. Kali ini, Clara dan dua temannya setuju. Setelah lebih tenang, barulah mereka kembali mengobrol, dan kembali ke kamar masing-masing.***“Kamu kelihatan agak kurus, Nak .... “
Sebulan telah berlalu sejak wafatnya Halimah. Suasana pesantren juga sudah kembali seperti semula. Peraturan masih berjalan seperti biasanya, dan Clara juga sudah tidak serajin sebelumnya. Seperti sekarang ini. Ia memilih untuk tidak ikut salat Asar berjemaah. Namun kali ini, ia hanya sendirian di tempat jemuran. Ia duduk di salah satu ember kosong yang dibalik dan dijadikan tempat duduk, dan menikmati angin sore yang menerpa wajahnya seraya memejamkan mata.“Clara .... “ Ia membuka matanya saat telinganya mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. Namun itu lebih terdengar seperti bisikan. Ia menoleh ke sekeliling.“Siapa?” tanyanya ketus. Hening. Tak ada jawaban. Clara yang kesal pun berdiri dan berniat mendekati sumber suara. Namun, baru beberapa langkah, ember yang sebelumnya ia duduki tiba-tiba saja terpental.“Bangsat!” umpatnya saat ember tersebut membentur dinding pembatas tempat jemuran. Ia kembali memperhatikan sekeliling dengan saksama. Tidak ada siapapun di sini se
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un ... telah berpulang ke rahmatullah, saudari kita tercinta, Halimah As-Sa’diyah binti Ahmad Muzakki. Sekali lagi, innalillahi wa inna ilaihi raji’un .... “ Suara pengumuman menggema di seantero pesantren. Isak tangis terdengar dari beberapa santriwati yang merupakan teman terdekat Halimah, saat keranda yang membawa jasad Halimah diletakkan di bagian depan di dalam masjid. Terlihat pula rombongan santriwan, dipimpin oleh Alvin, berjalan memasuki masjid. Di hari yang sama, tepat pada malam harinya, salat jenazah akan dilakukan. Para santri sudah berkumpul, dan saf telah disusun. Tidak ada seorang pun yang terlihat bercanda, atau sekadar mengobrol dengan teman di sebelah. Clara sendiri ikut diam, namun bukan karena ia tengah bersedih atau menyesali perbuatannya. Melainkan karena ia masih harus memainkan perannya sebagai gadis yang tidak tahu apa pun. Usai salat jenazah dilakukan, beberapa santriwan dan ustaz, termasuk Alvin, turut mengangkat keranda
"Puas kamu bikin malu Umi dan Abi?"Teriakan Nyai terdengar oleh beberapa santri yang memang sedang mengaji di rumah Halimah. Mereka terdiam dan hanya bisa saling tatap. Halimah sendiri memeluk lengan ibunya. Wajahnya sudah basah oleh air mata."Umi ... tolong jangan lapor Abi. Aku mohon .... " Ia terus mengiba, namun Nyai tak peduli."Biarin aja! Biar Abi tau kalau kamu hamil akibat perbuatan kamu itu!" hardik Nyai. Tentunya suara Nyai yang keras terdengar pula oleh para santri. Mereka menutup mulut, dan mengucap istigfar dengan suara lirih. Tepat di saat itu pula, Kiai Ahmad datang. Nyai langsung menarik tangan suaminya. Halimah sendiri ditinggalkan di tempatnya berdiri, sementara beberapa santriwati yang ada tampak berbisik dengan orang di sebelah mereka."Aku nggak nyangka! Halimah hamil? Terus itu anak siapa, dong?""Ya jelas anak dari cowok yang dia temuin malam itu, lah. Anak siapa lagi?" Mereka semua tertawa, bahkan tak takut untuk membicarakan Halimah tepat di depannya. Bagi







