Share

Putri VS Malaikat

last update Last Updated: 2025-10-11 18:30:39

“Bangsat!”

Clara berdiri dari ember yang ia duduki, menoleh ke arah Halimah dengan tatapan mencemooh. Ia bahkan mendekati putri pemilik pesantren itu tanpa ada rasa takut, atau perasaan bersalah karena melanggar peraturan. Sementara itu, beberapa santriwati yang ada bersamanya tampak antusias melihat apa yang akan terjadi antara Clara dan Halimah.

"Kenapa? Mau ngasih gue hukuman karena bolos salat?" Ia tersenyum miring, mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sakunya, dan melemparnya ke arah Halimah.

"Anggap itu uang damai. Lumayan, buat lo jajan bakso atau cilok. Jajan amer juga boleh. Anak kiai di luar sana aja udah pada nyobain, jangan mau kalah, dong!" ejeknya sambil tertawa.

Di belakang, para santriwati itu menahan tawa. Halimah mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar Clara. Namun, ia kembali teringat pesan ayahnya. Ia menggertakkan gigi, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lagipula, bukankah dalam Islam, orang yang marah dianjurkan untuk meninggalkan sesuatu yang memicu amarahnya?

Sementara itu, Clara terkekeh puas. Ia mengambil kembali uang seratus ribu yang tidak diambil Halimah, memasukkannya ke dalam saku. Setelahnya, ia menoleh pada teman-teman barunya.

"Kalian lihat ekspresi dia tadi? Anjir, priceless parah. Andai aja gue boleh bawa HP, udah gue buat meme, atau jadi stiker W******p juga boleh." Ia tergelak, begitu pula dengan para santriwati yang bersamanya.

Sementara itu, Halimah tidak langsung kembali ke masjid. Ia mengambil napas beberapa kali, membasuh mukanya untuk meredakan amarahnya, sebelum ia kembali ke masjid. Salah seorang temannya yang menyadari kekesalannya hanya bisa tersenyum, seolah sudah bisa menebak apa yang terjadi.

“Kali ini dia ngapain lagi?” tanyanya penasaran. Halimah memutar bola matanya.

“Dia mau nyogok aku pakai uang seratus ribu. Dilempar gitu aja. Jelas nggak aku ambil. Uang haram aja bangga.” Ia menggerutu pelan. Temannya sendiri menggeleng dan mengusap bahunya.

“Menurut kamu, kita udah bisa ngasih dia hukuman?” Temannya kembali bertanya. Halimah tampak berpikir sejenak.

“Nanti aku diskusi dulu sama ayahku,” jawabnya seraya menghela napas untuk kesekian kali. Entahlah, apa ia bisa terus bersabar menghadapi kelakuan Clara kedepannya.

***

“Abi ... sampai kapan aku harus sabar dengan kelakuan Clara? Anak itu makin hari makin menjadi!” rengek Halimah saat ia tengah berdiskusi dengan ayahnya.

Kiai Ahmad tersenyum dan menggelengkan kepala. Ia menoleh pada istrinya, memintanya untuk membuatkan teh. Kebetulan, Alvin juga dipanggil ke rumah untuk mendiskusikan masalah ini, meskipun ia sepertinya akan datang terlambat.

“Halimah ... menghadapi orang seperti Clara memang tidak mudah. Butuh kesabaran yang tak ada habisnya.” Beliau memulai pembicaraan. Tepat saat itu, Alvin datang.

“Maaf, Kiai. Tadi ada beberapa santriwan yang bolos salat juga, dan saya harus mengurus mereka dulu.” Alvin tersenyum sambil mencium tangan gurunya, sebelum ia duduk agak jauh dari Halimah.

“Mereka ngasih uang suap juga?” tanya Halimah penasaran. Alvin menggeleng.

“Mereka aja nggak punya uang. Belum dikirim lagi sama orangtua mereka.” Ia menjawab pertanyaan Halimah.

“Nah! Kalau Clara ini, udah tau salah, malah mau ngasih suap. Dia pikir ini tempat apa?” Halimah tampak sedikit frustrasi.

Alvin sendiri tampak kebingungan pada awalnya. Namun Kiai Ahmad lebih dulu menjelaskan apa yang tengah dibahas oleh Halimah. Setelah mengetahui semuanya, Alvin tampak berpikir sejenak. Selama menjadi santri, maupun saat ia sudah menjadi ustaz seperti sekarang, baru kali ini ada kasus percobaan suap terjadi di lingkungan pesantren.

“Sebenarnya agak aneh juga, sih. Baru kali ini ada santri yang mencoba memberikan suap, supaya dia lolos dari hukum? Tapi karena pelakunya Clara, yang notabene anak walikota .... “ Alvin terdiam sejenak. “Mungkin aja selama ini dia juga melakukan hal sama sewaktu di luar pesantren. Mungkin dia pikir, selama dia ada uang, dia bisa menyelesaikan masalah apapun.”

Kali ini, giliran Halimah dan Kiai Ahmad yang terdiam. Ucapan Alvin ada benarnya. Status Clara sebagai putri walikota yang masih aktif menjabat pada saat ini, tentunya membuat ia merasa mampu melakukan apapun, termasuk menghindari hukum. Tapi, ini adalah lingkungan pesantren, yang sudah diketahui menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Perilaku seperti menyuap jelas tidak bisa dibenarkan. Akhirnya, setelah beberapa saat, Kiai Ahmad kembali buka suara.

“Perbuatan Clara memang tidak dibenarkan. Memberi maupun menerima suap sendiri haram hukumnya. Namun, perlu diingat, bahwa ia hanyalah santri baru, yang masih berusaha untuk menerima takdirnya tinggal di pesantren ini. Menghadapinya dengan kekerasan hanya akan membuatnya semakin membenci lingkungan pesantren maupun manusia-manusia di dalamnya,” ujar Kiai Ahmad.

“Tapi, Abi ..., “ ucap Halimah ragu-ragu. Ia diam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

“Kalau sekadar memberi hukuman ringan sebagai efek jera, apa itu juga tidak boleh?” Ia menatap ayahnya. Kiai Ahmad berpikir sejenak, sebelum akhirnya menyetujui.

“Mungkin boleh. Tapi kamu harus tetap ingat, jangan memberikan hukuman saat kamu sedang emosi, dan jangan memberikan hukuman sesuai dengan kata hatimu. Berikan ia hukuman yang mendidik, sesuai dengan aturan di pesantren ini .... "

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Apa Lagi Yang Clara Rencanakan?

    “Kalau gue minta diskon hukuman, butuh bayar berapa?” tanya Clara mengulang pertanyaan seraya tersenyum sinis. Halimah sudah tidak terkejut lagi. Ia sudah menduga, Clara akan mencoba menyuapnya lagi.“Nggak semua hal bisa selesai dengan uang, Clara. Mau kamu bayar puluhan juta pun, hukuman tetaplah hukuman!” tegas Halimah. Ia juga memasukkan uang di tangannya ke dalam saku Clara.Tentu saja Clara semakin kesal. Ia bahkan nyaris menampar Halimah. Tapi, ia mengurungkan niatnya dan pergi. Jubah merah yang dikenakannya sedikit berkibar saat ia berjalan cepat untuk kembali ke kamarnya.Setibanya ia di kamar, ia duduk di kasurnya. Beberapa teman sekamarnya meliriknya, namun ia tidak peduli. Urusannya hanyalah dengan Halimah, dan sekesal apapun Clara, ia tidak pernah memarahi orang yang tidak bersalah baginya.“Kamu kenapa, Ra?” tanya salah seorang teman sekamarnya. Clara melirik sekilas.“Tadi ada razia. Halimah nemuin rokok gue,” sahutnya. Mendengar kata razia, beberapa teman sekamarnya se

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Jubah Merah

    “Halimah, ada laporan kalau salah satu santriwati ketahuan menyelundupkan komik.” Salah seorang temannya yang juga merupakan bagian keamanan berbisik di telinganya. Halimah menatapnya dengan alis terangkat. “Komik?” gumamnya, dan temannya mengangguk, membenarkan. “Di mana?” tanya Halimah lagi. “Di asrama Ar-Rahman. Sekalian aja kita adain razia dadakan, selagi para santri juga sibuk belajar.” Temannya memberi usul, dan Halimah menyetujuinya. Ia segera meminta izin kepada guru yang saat itu tengah mengajar, dan setelah mendapatkan izin, ia dan temannya pergi ke gedung asrama Ar-Rahman untuk mulai memeriksa kamar para santri, khususnya lemari. Praktik razia seperti ini sudah sering dilakukan, dan bertujuan untuk meminimalisir kegiatan penyelundupan barang-barang yang dilarang di pesantren ini, seperti ponsel, majalah, komik, dan tentunya ... rokok. Dari tiga kamar pertama saja, Halimah dan temannya sudah menemukan beberapa barang selundupan. Mulai dari buku komik, majalah artis ter

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Munculnya Pemberontakan

    "Alhamdulillah ... makasih banyak, Abi."Halimah mengangguk, merasa lega karena akhirnya ada jalan keluar. Ia menyesap tehnya, sebelum berpamitan untuk kembali ke asrama. Sekarang hanya tersisa Kiai Ahmad dan Alvin. Beliau meminta Alvin mendekat.“Nak Alvin, sekarang ini kamu sedang kuliah di jurusan kriminologi, bukan?” Kiai Ahmad memulai pembicaraan. Alvin mengangguk membenarkan.“Apakah menurut Alvin sendiri, ada kemungkinan perilaku Clara ini mengarah pada hal-hal yang berbau kriminal?” tanyanya lagi.“Untuk saat ini, masih terlalu dini untuk menyimpulkan, apakah perilaku Clara dapat mengarah ke sana. Sejauh ini, kenakalan yang dilakukannya hanyalah bolos salat dan bolos kelas lain selain kelas pagi, bukan? Memang hal itu sendiri juga bukan sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Tapi ... saya rasa, masih ada harapan untuk mengubah perilakunya.” Kiai Ahmad mengangguk mendengar penjelasan muridnya. Dalam hati, ia juga berharap, semoga perilaku Clara masih bisa diperbaiki.***“Gim

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Putri VS Malaikat

    “Bangsat!”Clara berdiri dari ember yang ia duduki, menoleh ke arah Halimah dengan tatapan mencemooh. Ia bahkan mendekati putri pemilik pesantren itu tanpa ada rasa takut, atau perasaan bersalah karena melanggar peraturan. Sementara itu, beberapa santriwati yang ada bersamanya tampak antusias melihat apa yang akan terjadi antara Clara dan Halimah."Kenapa? Mau ngasih gue hukuman karena bolos salat?" Ia tersenyum miring, mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sakunya, dan melemparnya ke arah Halimah."Anggap itu uang damai. Lumayan, buat lo jajan bakso atau cilok. Jajan amer juga boleh. Anak kiai di luar sana aja udah pada nyobain, jangan mau kalah, dong!" ejeknya sambil tertawa.Di belakang, para santriwati itu menahan tawa. Halimah mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar Clara. Namun, ia kembali teringat pesan ayahnya. Ia menggertakkan gigi, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lagipula, bukankah dalam Islam, orang yang marah dianjurkan untuk meninggalkan sesuatu

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Karena Semuanya Munafik

    "Kenapa, Ra? Ada masalah dengan peraturan yang aku sebutin?" tanya Halimah seraya mengangkat alisnya. Clara ingin sekali protes. Namun, sepertinya ia memiliki rencana lain. Ia mengembuskan napas. “Oke, fine. Semoga aja gu—maksudnya, semoga aja aku bisa ingat semua.” Clara menghela napas. Terlihat jelas ia sangat tidak nyaman. Halimah justru tersenyum senang. “Alhamdulillah kalau kamu udah ngerti. Nah, sekarang ini jam makan siang. Para santri di sini makan tiga kali sehari. Kamu bawa peralatan makan sendiri, kan? Piring, mangkuk, sendok, gelas?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan. Halimah yang lebih dulu berdiri, sementara Clara masih tetap diam, melihat Halimah yang melangkah keluar kelas, sampai akhirnya ia tak terlihat lagi. Perlahan, gadis itu tersenyum lebar. Ia seperti baru saja mendapatkan ide. Apapun itu, yang jelas itu bukan ide yang baik.Ia berdiri dari kursi, merapikannya, sebelum berjalan meninggalkan kelas, menuju ke kamarnya dan mengambil peralatan makannya.

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Mengenai Peraturan

    "Ah, yang ini aku taruh di sini .... " Hari pertamanya di pesantren ia habiskan dengan menata barang-barangnya. Ia ditempatkan di gedung asrama Ar-Rahman, kamar nomor empat. Tiap kamar diisi sepuluh hingga dua belas santri, dan kebetulan kamar yang ditempati Clara baru diisi sembilan santri. Ia sudah berkenalan, dan sejauh ini semuanya tampak normal baginya.“Ra, sudah masuk waktu salat, nih. Kamu lagi halangan? Kalau nggak, siap-siap untuk ke masjid, ya. Di sini wajib salat berjemaah lima waktu di masjid.” Salah seorang santriwati berucap seraya mengenakan mukena miliknya. Clara hanya meliriknya sekilas.“Oke,” sahutnya, sambil memasukkan pakaiannya ke lemari. Sebenarnya ia tidak sedang berhalangan. Namun entah kenapa, ia malas sekali untuk salat berjemaah. Sehingga, alih-alih pergi ke kamar mandi untuk berwudu, ia justru melipir ke kelas, berniat untuk berdiam diri di sana, sembari menunggu santri-santri lain menunaikan salat berjemaah. Di kelas, ia tidak melakukan banyak hal. Ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status