Home / Horor / Kutukan Sang Putri Pesantren / Karena Semuanya Munafik

Share

Karena Semuanya Munafik

last update Last Updated: 2025-10-11 18:19:51

"Kenapa, Ra? Ada masalah dengan peraturan yang aku sebutin?" tanya Halimah seraya mengangkat alisnya. Clara ingin sekali protes. Namun, sepertinya ia memiliki rencana lain. Ia mengembuskan napas.

“Oke, fine. Semoga aja gu—maksudnya, semoga aja aku bisa ingat semua.” Clara menghela napas. Terlihat jelas ia sangat tidak nyaman. Halimah justru tersenyum senang.

“Alhamdulillah kalau kamu udah ngerti. Nah, sekarang ini jam makan siang. Para santri di sini makan tiga kali sehari. Kamu bawa peralatan makan sendiri, kan? Piring, mangkuk, sendok, gelas?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan. Halimah yang lebih dulu berdiri, sementara Clara masih tetap diam, melihat Halimah yang melangkah keluar kelas, sampai akhirnya ia tak terlihat lagi.

Perlahan, gadis itu tersenyum lebar. Ia seperti baru saja mendapatkan ide. Apapun itu, yang jelas itu bukan ide yang baik.Ia berdiri dari kursi, merapikannya, sebelum berjalan meninggalkan kelas, menuju ke kamarnya dan mengambil peralatan makannya.

***

Namun, saat ia tiba di ruang makan, ia dibuat terkejut. Di sana, para santri berbaris rapi dan memegang piring masing-masing. Terlihat beberapa oknum santri nakal, sepertinya senior, yang menitipkan piring makan mereka pada junior mereka, sementara mereka menunggu di ujung antrian, duduk di kursi-kursi yang ada. Melihat hal itu, Clara mendapatkan ide. Ia mendekati salah satu santriwati.

“Eh, gue titip, dong.” Ia langsung memberikan piringnya. Santriwati tersebut terkejut, dan beristigfar.

“Ngantri sendiri, lah. Enak aja kamu mau nitip!” serunya. Kejadian itu membuat suasana sempat heboh. Namun, Clara tak kehabisan akal. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu.

“Kalau ada ini?” Ia menunjukkan uang tersebut. Ekspresi santriwati tadi berubah. Ia menerima piring Clara dan uang lima puluh ribu tersebut, berterima kasih, bahkan terlihat semangat mengantri. Clara tersenyum penuh kemenangan, dan berjalan menuju salah satu kursi. 'Ternyata di sini sama aja. Kalau ada uang, semua masalah beres. Munafik,' pikirnya.

Dari tempat duduknya, Clara memperhatikan bagaimana santriwati tersebut mengambilkan makanan untuknya. Sepertinya para petugas yang berjaga dan mengawasi tiap santri yang mengambil makan juga sudah terbiasa dengan adanya sekelompok orang yang menitipkan piring mereka pada santri lain. Melihat hal itu, Clara hanya bisa merasa geli. Mungkin nantinya ia bisa melakukan hal serupa untuk kegiatan yang lain. Mengapa tidak?

***

Hari-hari berikutnya, Clara kembali mengulanginya. Ia hanya hadir pada kelas pagi, melewatkan salat berjemaah dengan sengaja, padahal ia tidak sedang datang bulan. Ia juga kerap kali menyuruh seseorang mengambilkan makanan untuknya, tentunya dengan jumlah uang yang berbeda, meneyesuaikan suasana hatinya. Baginya, uang bukan masalah. Ia menerima uang saku dalam jumlah besar tiap minggunya.

Dan lama-kelamaan, ia mulai terbiasa dengan itu. Bahkan beberapa santriwati yang berasal dari keluarga berada mulai mengikuti kebiasaan Clara, membayar santriwati lain untuk mengambilkan makan, ataupun melakukan tugas lainnya. Selain itu, beberapa oknum santriwati yang dulunya melakukan pelanggaran secara sembunyi-sembunyi, kini mulai lebih berani menunjukkan pembangkangan. Mereka kerap kali berkumpul di kelas atau di kamar salah satu dari mereka. Berbagai hukuman yang diterima tak juga membuat mereka jera.

Tentunya hal ini membuat Halimah selaku bagian keamanan merasa khawatir. Ia takut perilaku Clara memengaruhi santriwati lain. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Bukankah ayahnya sendiri yang mengingatkan ia untuk bersabar menghadapi perilaku Clara? Tapi, sampai kapan? Apakah ia harus tetap diam saat perilaku Clara mulai memengaruhi beberapa santriwati untuk mengikuti tingkahnya?

Seperti hari ini, ia lagi-lagi tidak melihat Clara di masjid. Baik saat pelaksanaan salat Subuh, Zuhur, bahkan saat pelaksanaan salat Asar seperti sekarang, Clara tetap tidak muncul. Kesabaran Halimah pun terkikis. Ia yang sedang berjaga di pintu masjid, segera pergi mencari Clara. Di kamar, di kelas, namun Clara tidak tampak. Di mana dia berada kali ini?

Tepat saat Halimah akan kembali ke masjid, ia mengingat satu lokasi, yaitu tempat para santri yang tidak menggunakan jasa laundry menjemur pakaian mereka. Ia segera berlari ke lokasi tersebut, dan dugaannya tidak salah. Di sana, ia melihat Clara dan beberapa santriwati lain tengah duduk di atas ember-ember yang dibuat menjadi bangku darurat. Mereka tampak tertawa terbahak-bahak, sama sekali tidak menyadari keberadaan Halimah.

"Lagian kan salat berjemaah atau sendiri, yang penting salat. Ngapain capek-capek ke masjid, kan?" ucap salah seorang dari mereka sambil tertawa. Clara tentunya menyetujui pernyataan tersebut.

"Emang lebay aja tuh si Halimah. Sampai salat aja harus berjemaah. Jangan-jangan dia sengaja pengen semuanya salat bareng, biar kalau ada yang nggak hafal bacaan, nggak akan ketauan?" Yang lainnya kembali menyeletuk, dan disambut tawa oleh yang lain.

Melihat hal itu, Halimah mengambil napas panjang. Ia sudah berusaha untuk sabar. Tapi kali ini, Clara sudah kelewat batas. Ia menatap mereka, sebelum berbicara dengan suara rendah.

“Clara Anjani Hakim .... “

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Apa Lagi Yang Clara Rencanakan?

    “Kalau gue minta diskon hukuman, butuh bayar berapa?” tanya Clara mengulang pertanyaan seraya tersenyum sinis. Halimah sudah tidak terkejut lagi. Ia sudah menduga, Clara akan mencoba menyuapnya lagi.“Nggak semua hal bisa selesai dengan uang, Clara. Mau kamu bayar puluhan juta pun, hukuman tetaplah hukuman!” tegas Halimah. Ia juga memasukkan uang di tangannya ke dalam saku Clara.Tentu saja Clara semakin kesal. Ia bahkan nyaris menampar Halimah. Tapi, ia mengurungkan niatnya dan pergi. Jubah merah yang dikenakannya sedikit berkibar saat ia berjalan cepat untuk kembali ke kamarnya.Setibanya ia di kamar, ia duduk di kasurnya. Beberapa teman sekamarnya meliriknya, namun ia tidak peduli. Urusannya hanyalah dengan Halimah, dan sekesal apapun Clara, ia tidak pernah memarahi orang yang tidak bersalah baginya.“Kamu kenapa, Ra?” tanya salah seorang teman sekamarnya. Clara melirik sekilas.“Tadi ada razia. Halimah nemuin rokok gue,” sahutnya. Mendengar kata razia, beberapa teman sekamarnya se

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Jubah Merah

    “Halimah, ada laporan kalau salah satu santriwati ketahuan menyelundupkan komik.” Salah seorang temannya yang juga merupakan bagian keamanan berbisik di telinganya. Halimah menatapnya dengan alis terangkat. “Komik?” gumamnya, dan temannya mengangguk, membenarkan. “Di mana?” tanya Halimah lagi. “Di asrama Ar-Rahman. Sekalian aja kita adain razia dadakan, selagi para santri juga sibuk belajar.” Temannya memberi usul, dan Halimah menyetujuinya. Ia segera meminta izin kepada guru yang saat itu tengah mengajar, dan setelah mendapatkan izin, ia dan temannya pergi ke gedung asrama Ar-Rahman untuk mulai memeriksa kamar para santri, khususnya lemari. Praktik razia seperti ini sudah sering dilakukan, dan bertujuan untuk meminimalisir kegiatan penyelundupan barang-barang yang dilarang di pesantren ini, seperti ponsel, majalah, komik, dan tentunya ... rokok. Dari tiga kamar pertama saja, Halimah dan temannya sudah menemukan beberapa barang selundupan. Mulai dari buku komik, majalah artis ter

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Munculnya Pemberontakan

    "Alhamdulillah ... makasih banyak, Abi."Halimah mengangguk, merasa lega karena akhirnya ada jalan keluar. Ia menyesap tehnya, sebelum berpamitan untuk kembali ke asrama. Sekarang hanya tersisa Kiai Ahmad dan Alvin. Beliau meminta Alvin mendekat.“Nak Alvin, sekarang ini kamu sedang kuliah di jurusan kriminologi, bukan?” Kiai Ahmad memulai pembicaraan. Alvin mengangguk membenarkan.“Apakah menurut Alvin sendiri, ada kemungkinan perilaku Clara ini mengarah pada hal-hal yang berbau kriminal?” tanyanya lagi.“Untuk saat ini, masih terlalu dini untuk menyimpulkan, apakah perilaku Clara dapat mengarah ke sana. Sejauh ini, kenakalan yang dilakukannya hanyalah bolos salat dan bolos kelas lain selain kelas pagi, bukan? Memang hal itu sendiri juga bukan sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Tapi ... saya rasa, masih ada harapan untuk mengubah perilakunya.” Kiai Ahmad mengangguk mendengar penjelasan muridnya. Dalam hati, ia juga berharap, semoga perilaku Clara masih bisa diperbaiki.***“Gim

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Putri VS Malaikat

    “Bangsat!”Clara berdiri dari ember yang ia duduki, menoleh ke arah Halimah dengan tatapan mencemooh. Ia bahkan mendekati putri pemilik pesantren itu tanpa ada rasa takut, atau perasaan bersalah karena melanggar peraturan. Sementara itu, beberapa santriwati yang ada bersamanya tampak antusias melihat apa yang akan terjadi antara Clara dan Halimah."Kenapa? Mau ngasih gue hukuman karena bolos salat?" Ia tersenyum miring, mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sakunya, dan melemparnya ke arah Halimah."Anggap itu uang damai. Lumayan, buat lo jajan bakso atau cilok. Jajan amer juga boleh. Anak kiai di luar sana aja udah pada nyobain, jangan mau kalah, dong!" ejeknya sambil tertawa.Di belakang, para santriwati itu menahan tawa. Halimah mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar Clara. Namun, ia kembali teringat pesan ayahnya. Ia menggertakkan gigi, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lagipula, bukankah dalam Islam, orang yang marah dianjurkan untuk meninggalkan sesuatu

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Karena Semuanya Munafik

    "Kenapa, Ra? Ada masalah dengan peraturan yang aku sebutin?" tanya Halimah seraya mengangkat alisnya. Clara ingin sekali protes. Namun, sepertinya ia memiliki rencana lain. Ia mengembuskan napas. “Oke, fine. Semoga aja gu—maksudnya, semoga aja aku bisa ingat semua.” Clara menghela napas. Terlihat jelas ia sangat tidak nyaman. Halimah justru tersenyum senang. “Alhamdulillah kalau kamu udah ngerti. Nah, sekarang ini jam makan siang. Para santri di sini makan tiga kali sehari. Kamu bawa peralatan makan sendiri, kan? Piring, mangkuk, sendok, gelas?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan. Halimah yang lebih dulu berdiri, sementara Clara masih tetap diam, melihat Halimah yang melangkah keluar kelas, sampai akhirnya ia tak terlihat lagi. Perlahan, gadis itu tersenyum lebar. Ia seperti baru saja mendapatkan ide. Apapun itu, yang jelas itu bukan ide yang baik.Ia berdiri dari kursi, merapikannya, sebelum berjalan meninggalkan kelas, menuju ke kamarnya dan mengambil peralatan makannya.

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Mengenai Peraturan

    "Ah, yang ini aku taruh di sini .... " Hari pertamanya di pesantren ia habiskan dengan menata barang-barangnya. Ia ditempatkan di gedung asrama Ar-Rahman, kamar nomor empat. Tiap kamar diisi sepuluh hingga dua belas santri, dan kebetulan kamar yang ditempati Clara baru diisi sembilan santri. Ia sudah berkenalan, dan sejauh ini semuanya tampak normal baginya.“Ra, sudah masuk waktu salat, nih. Kamu lagi halangan? Kalau nggak, siap-siap untuk ke masjid, ya. Di sini wajib salat berjemaah lima waktu di masjid.” Salah seorang santriwati berucap seraya mengenakan mukena miliknya. Clara hanya meliriknya sekilas.“Oke,” sahutnya, sambil memasukkan pakaiannya ke lemari. Sebenarnya ia tidak sedang berhalangan. Namun entah kenapa, ia malas sekali untuk salat berjemaah. Sehingga, alih-alih pergi ke kamar mandi untuk berwudu, ia justru melipir ke kelas, berniat untuk berdiam diri di sana, sembari menunggu santri-santri lain menunaikan salat berjemaah. Di kelas, ia tidak melakukan banyak hal. Ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status