Home / Horor / Kutukan Sang Putri Pesantren / Munculnya Pemberontakan

Share

Munculnya Pemberontakan

last update Last Updated: 2025-10-11 18:44:24

"Alhamdulillah ... makasih banyak, Abi."

Halimah mengangguk, merasa lega karena akhirnya ada jalan keluar. Ia menyesap tehnya, sebelum berpamitan untuk kembali ke asrama. Sekarang hanya tersisa Kiai Ahmad dan Alvin. Beliau meminta Alvin mendekat.

“Nak Alvin, sekarang ini kamu sedang kuliah di jurusan kriminologi, bukan?” Kiai Ahmad memulai pembicaraan. Alvin mengangguk membenarkan.

“Apakah menurut Alvin sendiri, ada kemungkinan perilaku Clara ini mengarah pada hal-hal yang berbau kriminal?” tanyanya lagi.

“Untuk saat ini, masih terlalu dini untuk menyimpulkan, apakah perilaku Clara dapat mengarah ke sana. Sejauh ini, kenakalan yang dilakukannya hanyalah bolos salat dan bolos kelas lain selain kelas pagi, bukan? Memang hal itu sendiri juga bukan sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Tapi ... saya rasa, masih ada harapan untuk mengubah perilakunya.” Kiai Ahmad mengangguk mendengar penjelasan muridnya. Dalam hati, ia juga berharap, semoga perilaku Clara masih bisa diperbaiki.

***

“Gimana, Nak? Kamu betah di sini?” Clara menoleh saat mendengar pertanyaan ibunya.

Saat ini ia tengah duduk bersama sang ibu di bangku panjang yang ada di lingkungan pesantren. Pesantren memang menyediakan beberapa tempat seperti taman, yang bisa digunakan saat salah seorang santri dijenguk oleh keluarganya, maupun saat para santri melakukan kegiatan belajar-mengajar di luar kelas.

“Biasa aja,” jawabnya sambil mengangkat bahu.

Sang ibu hanya bisa tersenyum. Ia tahu betul, Clara masih belum bisa menerima hal ini. Sebagai seorang ibu, ia sendiri merasa berat karena harus tinggal terpisah dengan putrinya saat ini. Namun ini merupakan keputusan suaminya, dan ia tidak bisa berbuat banyak.

“Oh, ya ... gimana kalau kita keluar sebentar? Kira-kira bakal dibolehin, nggak?” Sang ibu kembali bertanya, sambil sesekali membetulkan kerudung putrinya. Clara mengangguk.

“Kalau nggak salah sih, boleh. Aku pernah lihat salah satu temanku izin keluar, meskipun nggak lama. Setahuku batasnya sampai jam 4 sore.” Clara tersenyum kecil. Setidaknya ia bisa menikmati sedikit kebebasan hari ini.

Akhirnya, setelah mengurus perizinan, Clara dan ibunya pergi, tentunya diantar oleh sopir pribadi keluarga. Ayah Clara sendiri tidak bisa hadir karena banyaknya kesibukan, dan Clara juga tidak peduli, mengingat ia masih marah dengan ayahnya. Ia dan ibunya juga pergi tidak terlalu jauh, hanya sekadar mengunjungi pasar mingguan, beberapa penjual makanan, dan minimarket.

Saat mereka berada di minimarket dan ibunya tengah memilih beberapa barang, Clara melihat sesuatu di rak. Ia memanggil sopirnya, dan memberinya selembar uang seratus ribu. Kemudian, ia meminta sang sopir membeli barang yang menarik perhatiannya, namun hal ini tentunya dilakukan diam-diam, tanpa sepengetahuan ibunya. Sang sopir sendiri hanya bisa mengangguk, mengiyakan keinginan anak majikannya. Ia segera membeli barang yang dimaksud Clara, dan masuk ke mobil terlebih dahulu untuk menyembunyikan barang itu di tas Clara.

“Sayang, kamu nggak mau beli sesuatu? Camilan, misalnya?” Sang ibu mengangkat alisnya saat melihat keranjang belanja Clara masih kosong.

“Eh ... mau, dong. Aku tadi lagi mikir sesuatu aja. Oh, ya ... sama aku juga mau minta uang jajanku ditambah, ya? Namanya juga santri baru, lagi banyak banget keperluan.” Ia beralasan, dan sang ibu sama sekali tidak curiga. Padahal semua uang itu lebih sering ia habiskan untuk menyuap beberapa santri, biasanya untuk mengambilkan makan, atau mendahului antrian kamar mandi.

Usai berbelanja dan membayar belanjaan, keduanya kembali ke mobil. Clara bertanya pada sang sopir melalui isyarat, dan saat ia memeriksa tasnya, ia tersenyum. Ia sudah bisa membayangkan, kekacauan apa yang bisa ia perbuat nantinya. Lagipula ia masih merasa kesal dengan Halimah yang memberinya hukuman menulis kalimat istigfar sebanyak 500 kali pasca ia memergokinya bolos salat di tempat jemuran.

Dalam perjalanan kembali ke pesantren, Clara dan ibunya beberapa kali berbincang mengenai kehidupan Clara selama di pesantren. Sang ibu juga terus menguatkan Clara, selain mengingatkannya agar tidak lagi marah dengan ayahnya. Clara sendiri tidak merespons banyak saat membahas sang ayah. Karena bagaimanapun juga, rasa kesalnya pada sang ayah tidak bisa hilang semudah itu.

Setelah tiba di pesantren dan sang ibu pamit untuk pulang, Clara segera menuju ke gedung kelas lantai 3 yang tengah dibangun. Tidak ada satupun orang di sini, sehingga ia bisa bebas. Ia duduk di salah satu kursi kayu yang sedikit berdebu, dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebungkus rokok, lengkap dengan pemantik api. Tanpa ragu sedikitpun, ia menyalakan rokoknya, dan menghisapnya dalam-dalam.

Asap segera memenuhi paru-parunya, membuatnya terbatuk sedikit. Namun, ini bukan pertama kalinya ia merokok. Saat ia masih berada di kelas 9 SMP, ia pernah mencoba menghisap rokok milik salah seorang temannya, dan ia menyukai sensasi yang didapatkannya. Ia mengembuskan asap rokok ke udara, dan terus mengulanginya, hingga puntung rokoknya hampir habis. Lalu tanpa merasa bersalah, ia membuangnya ke lantai, dan menginjaknya dengan sepatunya untuk memadamkan bara api.

"Kalau takdir emang brengsek begini ... biar gue ikutan jadi brengsek. Biar Papa tau, masukin gue ke sini bukan solusi, tapi cuma nambahin masalah baru."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Clara VS Qarin Halimah

    “Kenapa, Ra?” tanya ketiga temannya. Clara masih menunjukkan ekspresi ketakutan, dan menunjuk santriwati yang sebelumnya membawakan piring-piring mereka, yang kali ini menatap dengan wajah bingung.“LO INI SIAPA, HAH? LO UDAH GILA, YA? NGASIH GUE TANAH SAMA DEDAUNAN GITU?” bentak Clara. Santriwati tersebut menatap bingung.“Maksudnya apa, ya? Aku ngambilin nasi sama lauk, kok.” Ia membela dirinya. Clara menatap piring yang sebelumnya ia lempar. Memang, terlihat nasi dan lauk-pauk yang berserakan. Ia menggeleng seraya mengusap wajahnya.“Nggak bisa, nggak bisa. Ini udah keterlaluan. Gue harus izin pulang besok,” gumamnya. Tanpa mengucapkan maaf ataupun memungut piringnya, ia bangkit dan berjalan menuju kamarnya.Sesampainya di kamar, ia segera membaringkan tubuhnya. Ia bahkan tak perlu repot melepas kerudungnya. Saat tatapannya tertuju pada langit-langit, ia merasa rileks untuk sejenak.“Kenapa hidup gue jadi kacau begini, ya ...? “Ia mengembuskan napas perlahan. Suasana kamar yang sep

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Teror Yang Semakin Jelas

    “AAAAAAAAA!” Teriakan Clara membuat beberapa teman sekamarnya terbangun. Mereka menoleh ke arah Clara, dan menanyakan ada apa. Clara masih mengatur napasnya. Sesuatu yang sebelumnya ia lihat sudah tidak ada.“Nggak apa-apa. Maaf, aku tadi mimpi buruk.” Ia tersenyum, mencoba meyakinkan. Untungnya mereka yang terbangun karena teriakannya bisa memaklumi.“Coba baca doa dulu sebelum tidur, Ra.” Salah seorang dari mereka mengingatkan, dan Clara mengangguk, seraya berterima kasih. Ia memastikan terlebih dahulu bahwa semuanya sudah aman. Dan mungkin saja, ia memang lupa berdoa sebelumnya, sehingga ia mengalami halusinasi. Bahkan hingga detik ini, ia masih menganggap semuanya hanyalah halusinasi. “Benar juga, sih. Si cewek sialan itu dah mati. Gue halu aja tadi, karena kesel sama dia,” gumamnya, sebelum ia mulai berdoa dan akhirnya tertidur.***“Lo yakin? Tapi gue rasa itu bukan sekadar halusinasi, deh. Gimana kalau emang arwahnya berkeliaran?” Clara memijat pelipisnya, dan menggeleng tegas

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Masih Terus Menyangkal

    “Tadi itu beneran suara Halimah?” tanya Anggun memastikan. Keempatnya kini sudah berada di kelas yang kosong. Namun suasananya sedikit lebih menenangkan, dengan penerangan yang sangat cukup.“Nggak mungkin. Cewek sialan itu udah mati. Kita mungkin halu karena kebanyakan ngomongin dia.” Clara menggeleng tidak setuju. Ia masih menyangkal bahwa semua yang terjadi sulit dijelaskan oleh akal manusia.“Tapi tadi itu suaranya jelas banget!” seru Nala. Ia masih merinding meskipun kini mereka telah berada di kelas. Kali ini, Lisa yang angkat bicara.“Gue setuju sama Clara. Kita lagi halu aja. Mendingan mulai sekarang kita gak usah ngomongin cewek itu lagi. Udah bener dia mati. Kita ngomongin dia sama aja dengan kita menghidupkan kenangan tentang dia. Gue sih nggak sudi. Najis!” umpat Lisa seraya menunjukkan gestur jijik. Kali ini, Clara dan dua temannya setuju. Setelah lebih tenang, barulah mereka kembali mengobrol, dan kembali ke kamar masing-masing.***“Kamu kelihatan agak kurus, Nak .... “

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Gangguan Dari Yang Tak Terlihat

    Sebulan telah berlalu sejak wafatnya Halimah. Suasana pesantren juga sudah kembali seperti semula. Peraturan masih berjalan seperti biasanya, dan Clara juga sudah tidak serajin sebelumnya. Seperti sekarang ini. Ia memilih untuk tidak ikut salat Asar berjemaah. Namun kali ini, ia hanya sendirian di tempat jemuran. Ia duduk di salah satu ember kosong yang dibalik dan dijadikan tempat duduk, dan menikmati angin sore yang menerpa wajahnya seraya memejamkan mata.“Clara .... “ Ia membuka matanya saat telinganya mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. Namun itu lebih terdengar seperti bisikan. Ia menoleh ke sekeliling.“Siapa?” tanyanya ketus. Hening. Tak ada jawaban. Clara yang kesal pun berdiri dan berniat mendekati sumber suara. Namun, baru beberapa langkah, ember yang sebelumnya ia duduki tiba-tiba saja terpental.“Bangsat!” umpatnya saat ember tersebut membentur dinding pembatas tempat jemuran. Ia kembali memperhatikan sekeliling dengan saksama. Tidak ada siapapun di sini se

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Masih Dengan Perasaan Tidak Bersalah

    “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un ... telah berpulang ke rahmatullah, saudari kita tercinta, Halimah As-Sa’diyah binti Ahmad Muzakki. Sekali lagi, innalillahi wa inna ilaihi raji’un .... “ Suara pengumuman menggema di seantero pesantren. Isak tangis terdengar dari beberapa santriwati yang merupakan teman terdekat Halimah, saat keranda yang membawa jasad Halimah diletakkan di bagian depan di dalam masjid. Terlihat pula rombongan santriwan, dipimpin oleh Alvin, berjalan memasuki masjid. Di hari yang sama, tepat pada malam harinya, salat jenazah akan dilakukan. Para santri sudah berkumpul, dan saf telah disusun. Tidak ada seorang pun yang terlihat bercanda, atau sekadar mengobrol dengan teman di sebelah. Clara sendiri ikut diam, namun bukan karena ia tengah bersedih atau menyesali perbuatannya. Melainkan karena ia masih harus memainkan perannya sebagai gadis yang tidak tahu apa pun. Usai salat jenazah dilakukan, beberapa santriwan dan ustaz, termasuk Alvin, turut mengangkat keranda

  • Kutukan Sang Putri Pesantren   Malaikat Yang Menyerah

    "Puas kamu bikin malu Umi dan Abi?"Teriakan Nyai terdengar oleh beberapa santri yang memang sedang mengaji di rumah Halimah. Mereka terdiam dan hanya bisa saling tatap. Halimah sendiri memeluk lengan ibunya. Wajahnya sudah basah oleh air mata."Umi ... tolong jangan lapor Abi. Aku mohon .... " Ia terus mengiba, namun Nyai tak peduli."Biarin aja! Biar Abi tau kalau kamu hamil akibat perbuatan kamu itu!" hardik Nyai. Tentunya suara Nyai yang keras terdengar pula oleh para santri. Mereka menutup mulut, dan mengucap istigfar dengan suara lirih. Tepat di saat itu pula, Kiai Ahmad datang. Nyai langsung menarik tangan suaminya. Halimah sendiri ditinggalkan di tempatnya berdiri, sementara beberapa santriwati yang ada tampak berbisik dengan orang di sebelah mereka."Aku nggak nyangka! Halimah hamil? Terus itu anak siapa, dong?""Ya jelas anak dari cowok yang dia temuin malam itu, lah. Anak siapa lagi?" Mereka semua tertawa, bahkan tak takut untuk membicarakan Halimah tepat di depannya. Bagi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status