 LOGIN
LOGIN"Alhamdulillah ... makasih banyak, Abi."
Halimah mengangguk, merasa lega karena akhirnya ada jalan keluar. Ia menyesap tehnya, sebelum berpamitan untuk kembali ke asrama. Sekarang hanya tersisa Kiai Ahmad dan Alvin. Beliau meminta Alvin mendekat. “Nak Alvin, sekarang ini kamu sedang kuliah di jurusan kriminologi, bukan?” Kiai Ahmad memulai pembicaraan. Alvin mengangguk membenarkan. “Apakah menurut Alvin sendiri, ada kemungkinan perilaku Clara ini mengarah pada hal-hal yang berbau kriminal?” tanyanya lagi. “Untuk saat ini, masih terlalu dini untuk menyimpulkan, apakah perilaku Clara dapat mengarah ke sana. Sejauh ini, kenakalan yang dilakukannya hanyalah bolos salat dan bolos kelas lain selain kelas pagi, bukan? Memang hal itu sendiri juga bukan sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Tapi ... saya rasa, masih ada harapan untuk mengubah perilakunya.” Kiai Ahmad mengangguk mendengar penjelasan muridnya. Dalam hati, ia juga berharap, semoga perilaku Clara masih bisa diperbaiki. *** “Gimana, Nak? Kamu betah di sini?” Clara menoleh saat mendengar pertanyaan ibunya. Saat ini ia tengah duduk bersama sang ibu di bangku panjang yang ada di lingkungan pesantren. Pesantren memang menyediakan beberapa tempat seperti taman, yang bisa digunakan saat salah seorang santri dijenguk oleh keluarganya, maupun saat para santri melakukan kegiatan belajar-mengajar di luar kelas. “Biasa aja,” jawabnya sambil mengangkat bahu. Sang ibu hanya bisa tersenyum. Ia tahu betul, Clara masih belum bisa menerima hal ini. Sebagai seorang ibu, ia sendiri merasa berat karena harus tinggal terpisah dengan putrinya saat ini. Namun ini merupakan keputusan suaminya, dan ia tidak bisa berbuat banyak. “Oh, ya ... gimana kalau kita keluar sebentar? Kira-kira bakal dibolehin, nggak?” Sang ibu kembali bertanya, sambil sesekali membetulkan kerudung putrinya. Clara mengangguk. “Kalau nggak salah sih, boleh. Aku pernah lihat salah satu temanku izin keluar, meskipun nggak lama. Setahuku batasnya sampai jam 4 sore.” Clara tersenyum kecil. Setidaknya ia bisa menikmati sedikit kebebasan hari ini. Akhirnya, setelah mengurus perizinan, Clara dan ibunya pergi, tentunya diantar oleh sopir pribadi keluarga. Ayah Clara sendiri tidak bisa hadir karena banyaknya kesibukan, dan Clara juga tidak peduli, mengingat ia masih marah dengan ayahnya. Ia dan ibunya juga pergi tidak terlalu jauh, hanya sekadar mengunjungi pasar mingguan, beberapa penjual makanan, dan minimarket. Saat mereka berada di minimarket dan ibunya tengah memilih beberapa barang, Clara melihat sesuatu di rak. Ia memanggil sopirnya, dan memberinya selembar uang seratus ribu. Kemudian, ia meminta sang sopir membeli barang yang menarik perhatiannya, namun hal ini tentunya dilakukan diam-diam, tanpa sepengetahuan ibunya. Sang sopir sendiri hanya bisa mengangguk, mengiyakan keinginan anak majikannya. Ia segera membeli barang yang dimaksud Clara, dan masuk ke mobil terlebih dahulu untuk menyembunyikan barang itu di tas Clara. “Sayang, kamu nggak mau beli sesuatu? Camilan, misalnya?” Sang ibu mengangkat alisnya saat melihat keranjang belanja Clara masih kosong. “Eh ... mau, dong. Aku tadi lagi mikir sesuatu aja. Oh, ya ... sama aku juga mau minta uang jajanku ditambah, ya? Namanya juga santri baru, lagi banyak banget keperluan.” Ia beralasan, dan sang ibu sama sekali tidak curiga. Padahal semua uang itu lebih sering ia habiskan untuk menyuap beberapa santri, biasanya untuk mengambilkan makan, atau mendahului antrian kamar mandi. Usai berbelanja dan membayar belanjaan, keduanya kembali ke mobil. Clara bertanya pada sang sopir melalui isyarat, dan saat ia memeriksa tasnya, ia tersenyum. Ia sudah bisa membayangkan, kekacauan apa yang bisa ia perbuat nantinya. Lagipula ia masih merasa kesal dengan Halimah yang memberinya hukuman menulis kalimat istigfar sebanyak 500 kali pasca ia memergokinya bolos salat di tempat jemuran. Dalam perjalanan kembali ke pesantren, Clara dan ibunya beberapa kali berbincang mengenai kehidupan Clara selama di pesantren. Sang ibu juga terus menguatkan Clara, selain mengingatkannya agar tidak lagi marah dengan ayahnya. Clara sendiri tidak merespons banyak saat membahas sang ayah. Karena bagaimanapun juga, rasa kesalnya pada sang ayah tidak bisa hilang semudah itu. Setelah tiba di pesantren dan sang ibu pamit untuk pulang, Clara segera menuju ke gedung kelas lantai 3 yang tengah dibangun. Tidak ada satupun orang di sini, sehingga ia bisa bebas. Ia duduk di salah satu kursi kayu yang sedikit berdebu, dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebungkus rokok, lengkap dengan pemantik api. Tanpa ragu sedikitpun, ia menyalakan rokoknya, dan menghisapnya dalam-dalam. Asap segera memenuhi paru-parunya, membuatnya terbatuk sedikit. Namun, ini bukan pertama kalinya ia merokok. Saat ia masih berada di kelas 9 SMP, ia pernah mencoba menghisap rokok milik salah seorang temannya, dan ia menyukai sensasi yang didapatkannya. Ia mengembuskan asap rokok ke udara, dan terus mengulanginya, hingga puntung rokoknya hampir habis. Lalu tanpa merasa bersalah, ia membuangnya ke lantai, dan menginjaknya dengan sepatunya untuk memadamkan bara api. "Kalau takdir emang brengsek begini ... biar gue ikutan jadi brengsek. Biar Papa tau, masukin gue ke sini bukan solusi, tapi cuma nambahin masalah baru." ***
“Kalau gue minta diskon hukuman, butuh bayar berapa?” tanya Clara mengulang pertanyaan seraya tersenyum sinis. Halimah sudah tidak terkejut lagi. Ia sudah menduga, Clara akan mencoba menyuapnya lagi.“Nggak semua hal bisa selesai dengan uang, Clara. Mau kamu bayar puluhan juta pun, hukuman tetaplah hukuman!” tegas Halimah. Ia juga memasukkan uang di tangannya ke dalam saku Clara.Tentu saja Clara semakin kesal. Ia bahkan nyaris menampar Halimah. Tapi, ia mengurungkan niatnya dan pergi. Jubah merah yang dikenakannya sedikit berkibar saat ia berjalan cepat untuk kembali ke kamarnya.Setibanya ia di kamar, ia duduk di kasurnya. Beberapa teman sekamarnya meliriknya, namun ia tidak peduli. Urusannya hanyalah dengan Halimah, dan sekesal apapun Clara, ia tidak pernah memarahi orang yang tidak bersalah baginya.“Kamu kenapa, Ra?” tanya salah seorang teman sekamarnya. Clara melirik sekilas.“Tadi ada razia. Halimah nemuin rokok gue,” sahutnya. Mendengar kata razia, beberapa teman sekamarnya se
“Halimah, ada laporan kalau salah satu santriwati ketahuan menyelundupkan komik.” Salah seorang temannya yang juga merupakan bagian keamanan berbisik di telinganya. Halimah menatapnya dengan alis terangkat. “Komik?” gumamnya, dan temannya mengangguk, membenarkan. “Di mana?” tanya Halimah lagi. “Di asrama Ar-Rahman. Sekalian aja kita adain razia dadakan, selagi para santri juga sibuk belajar.” Temannya memberi usul, dan Halimah menyetujuinya. Ia segera meminta izin kepada guru yang saat itu tengah mengajar, dan setelah mendapatkan izin, ia dan temannya pergi ke gedung asrama Ar-Rahman untuk mulai memeriksa kamar para santri, khususnya lemari. Praktik razia seperti ini sudah sering dilakukan, dan bertujuan untuk meminimalisir kegiatan penyelundupan barang-barang yang dilarang di pesantren ini, seperti ponsel, majalah, komik, dan tentunya ... rokok. Dari tiga kamar pertama saja, Halimah dan temannya sudah menemukan beberapa barang selundupan. Mulai dari buku komik, majalah artis ter
"Alhamdulillah ... makasih banyak, Abi."Halimah mengangguk, merasa lega karena akhirnya ada jalan keluar. Ia menyesap tehnya, sebelum berpamitan untuk kembali ke asrama. Sekarang hanya tersisa Kiai Ahmad dan Alvin. Beliau meminta Alvin mendekat.“Nak Alvin, sekarang ini kamu sedang kuliah di jurusan kriminologi, bukan?” Kiai Ahmad memulai pembicaraan. Alvin mengangguk membenarkan.“Apakah menurut Alvin sendiri, ada kemungkinan perilaku Clara ini mengarah pada hal-hal yang berbau kriminal?” tanyanya lagi.“Untuk saat ini, masih terlalu dini untuk menyimpulkan, apakah perilaku Clara dapat mengarah ke sana. Sejauh ini, kenakalan yang dilakukannya hanyalah bolos salat dan bolos kelas lain selain kelas pagi, bukan? Memang hal itu sendiri juga bukan sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Tapi ... saya rasa, masih ada harapan untuk mengubah perilakunya.” Kiai Ahmad mengangguk mendengar penjelasan muridnya. Dalam hati, ia juga berharap, semoga perilaku Clara masih bisa diperbaiki.***“Gim
“Bangsat!”Clara berdiri dari ember yang ia duduki, menoleh ke arah Halimah dengan tatapan mencemooh. Ia bahkan mendekati putri pemilik pesantren itu tanpa ada rasa takut, atau perasaan bersalah karena melanggar peraturan. Sementara itu, beberapa santriwati yang ada bersamanya tampak antusias melihat apa yang akan terjadi antara Clara dan Halimah."Kenapa? Mau ngasih gue hukuman karena bolos salat?" Ia tersenyum miring, mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sakunya, dan melemparnya ke arah Halimah."Anggap itu uang damai. Lumayan, buat lo jajan bakso atau cilok. Jajan amer juga boleh. Anak kiai di luar sana aja udah pada nyobain, jangan mau kalah, dong!" ejeknya sambil tertawa.Di belakang, para santriwati itu menahan tawa. Halimah mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar Clara. Namun, ia kembali teringat pesan ayahnya. Ia menggertakkan gigi, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lagipula, bukankah dalam Islam, orang yang marah dianjurkan untuk meninggalkan sesuatu
"Kenapa, Ra? Ada masalah dengan peraturan yang aku sebutin?" tanya Halimah seraya mengangkat alisnya. Clara ingin sekali protes. Namun, sepertinya ia memiliki rencana lain. Ia mengembuskan napas. “Oke, fine. Semoga aja gu—maksudnya, semoga aja aku bisa ingat semua.” Clara menghela napas. Terlihat jelas ia sangat tidak nyaman. Halimah justru tersenyum senang. “Alhamdulillah kalau kamu udah ngerti. Nah, sekarang ini jam makan siang. Para santri di sini makan tiga kali sehari. Kamu bawa peralatan makan sendiri, kan? Piring, mangkuk, sendok, gelas?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan. Halimah yang lebih dulu berdiri, sementara Clara masih tetap diam, melihat Halimah yang melangkah keluar kelas, sampai akhirnya ia tak terlihat lagi. Perlahan, gadis itu tersenyum lebar. Ia seperti baru saja mendapatkan ide. Apapun itu, yang jelas itu bukan ide yang baik.Ia berdiri dari kursi, merapikannya, sebelum berjalan meninggalkan kelas, menuju ke kamarnya dan mengambil peralatan makannya.
"Ah, yang ini aku taruh di sini .... " Hari pertamanya di pesantren ia habiskan dengan menata barang-barangnya. Ia ditempatkan di gedung asrama Ar-Rahman, kamar nomor empat. Tiap kamar diisi sepuluh hingga dua belas santri, dan kebetulan kamar yang ditempati Clara baru diisi sembilan santri. Ia sudah berkenalan, dan sejauh ini semuanya tampak normal baginya.“Ra, sudah masuk waktu salat, nih. Kamu lagi halangan? Kalau nggak, siap-siap untuk ke masjid, ya. Di sini wajib salat berjemaah lima waktu di masjid.” Salah seorang santriwati berucap seraya mengenakan mukena miliknya. Clara hanya meliriknya sekilas.“Oke,” sahutnya, sambil memasukkan pakaiannya ke lemari. Sebenarnya ia tidak sedang berhalangan. Namun entah kenapa, ia malas sekali untuk salat berjemaah. Sehingga, alih-alih pergi ke kamar mandi untuk berwudu, ia justru melipir ke kelas, berniat untuk berdiam diri di sana, sembari menunggu santri-santri lain menunaikan salat berjemaah. Di kelas, ia tidak melakukan banyak hal. Ia








