Lanting Beruga tiba di Menara Tiga Bintang. Lantai pertama sudah penuh sesak oleh pemuda yang akan mengikuti pertandingan antar pemuda.
Tumpah ruah sekali pendekar muda hari ini. Lanting Beruga tidak pernah melihat pemuda berkumpul dalam satu waktu kecuali hari ini.
"Lihatlah, bukankah dia si cacat itu?"
"Wajah tebal, dia tidak malu datang ke tempat ini dan mengikuti pertandingan."
"Jika aku jadi dia, mungkin sekarang sudah bersembunyi di lubang semut."
Lanting Beruga hanya diam, banyak perkataan itu ada benarnya. Lagipula dia memang tidak memiliki tenaga dalam.
Pemuda itu berdiri di sudut ruangan tersebut, dia menatap ke sisi lain, gadis cantik yang dikerumuni oleh banyak pemuda dan para gadis, Lila Sari.
Gadis itu hanya menatap sesaat ke arah Lanting Beruga, kemudian berpaling seketika. Sepertinya teman kecilnya itu tidak mungkin menjalin ikatan lagi dengan Lanting Beruga.
Tidak beberapa lama, semua orang itu dikejutkan oleh kedatangan sekelompok pemuda.
Mereka berpakaian serba putih, di belakang pundak mereka, ada lambang dua pedang yang di silangkan. Sekte Pedang Perak.
Begitu jarang sebuah sekte datang ke desa, bahkan setiap ada pertandingan yang diadakan di Menara Tiga Bintang, Sekte Pedang Perak tidak pernah menurunkan pendekar mudanya.
Tiga orang berjalan dengan tegap, masuk ke dalam Menara Tiga Bintang. Salah satu di antara mereka bertiga, yang berdiri paling tengah terlihat sangat tenang sekali.
Hanya melihat raut wajahnya, orang akan tahu jika pemuda itu yang paling kuat diantara teman-temannya.
"Sial, kenapa Sunta Wira ikut dalam pertandingan!"
"Kita tidak mempunyai kesempatan."
Sunta Wira, adalah pendekar muda terbaik di Sekte Pedang Perak. Namanya sudah terkenal di wilayah ini, bahkan katanya dia pernah berhadapan dengan pendekar level lima dan berhasil mengalahkannya.
Dua bulan yang lalu, Sunta Wira telah mencapai pendekar level lima. Ini adalah pencapaian terbaik yang pernah ada di Sekte Pedang Perak. Pemuda jenius.
Dua temannya, Raka Prama dan Kurung Ludro kabarnya juga telah mencapai pendekar level empat.
Ah tidak ada orang lemah.
Semua orang membuka jalan untuk tiga orang itu. Beberapa saat kemudian, keriuhan yang terjadi karena kehadiran murid Sekte Pedang Perak terhenti, ada pria berpakaian hitam dengan ikat kepala merah tua.
Di belakang pria itu ada sebilah pedang tanpa sarung.
Dialah pimpinan dari Menara Tiga Bintang ini. Penyelenggara dari setiap pertandingan yang diadakan setiap satu tahun sekali.
Eyang Sabat Saketi.
"Terima kasih karena kalian telah datang," ucap Eyang Sabat Saketi, berbasa-basi. "Aku ingin memberi tahu kalian, jika pertandingan tahun ini akan di percepat. Dua minggu lagi pertandingan akan dimulai, selain dari hadiah utama tiga dasar keinginan pedang, ada juga tambahan hadiah lain. Sekte Macan Giok akan menarik dua murid yang menurut mereka layak."
"Sekte Macan Giok?" tanya mereka.
"Aku tidak percaya itu."
Bahkan Sunta Wira terkejut mendengar hal tersebut. Ini benar-benar sebuah kejutan. Sekte Macan Giok menguasai semua Sekte kecil di wilayah ini, bahkan Sekte Pedang Perak tidak ada apa-apanya bagi mereka.
Tentu saja menjadi murid Sekte Macan Giok memberikan hal lebih bagi murid-muridnya.
Ini adalah kesempatan bagus, semua pendekar di desa Ranting Hijau selalu bermimpi menjadi bagian dari Sekte Macan Giok.
"Hanya itu yang dapat aku sampaikan," ucap Eyang Sabat Seketi.
Hanya mengatakan hal itu saja, semua peserta benar-benar bersemangat. Beberapa orang langsung pulang ke rumah, mungkin akan berlatih keras.
Yang lain masih berkumpul di sekitar Menara Tiga Bintang.
Lanting Beruga tidak bertahan lama di sana, dia juga langsung pulang. Tapi sebelum dia melangkah keluar dari Menara Tiga Bintang, tanpa sengaja pemuda itu bersinggungan bahu dengan Coyo Wigoro.
"Apa matamu buta?!" Bentak Coyo Wigoro.
Lanting Beruga tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepala sebelum akhirnya hendak melangkah pergi.
Namun Coyo Wigoro, pemuda paling kasar dan paling besar di desa ini, merasa tindakan Lanting Beruga adalah penghinaan.
Dia terlalu lancang, dan tentu terlalu angkuh.
"Tunggu!" ucap Coyo Wigoro. "Urusan kita belum selesai."
Lanting Beruga menarik nafasnya dalam-dalam, sungguh dia tidak ingin ada hal yang tidak di inginkan terjadi antara dia dan Coyo Wigoro.
"Apa yang terjadi?" Lila Sari mendekati Coyo Wigoro, dia hanya menatap Lanting Beruga sesaat, dan terlihat jijik dengan pemuda itu.
"Si Cacat ini berjalan tanpa mata!" ucap Coyo Wigoro.
"Oh ..." ucap Lila Sari, dia melirik ke arah Lanting Beruga dengan dingin, seakan mengejek pemuda tersebut.
Hanya dari cara itu saja, Lila Sari tampak begitu menyesal pernah berteman dengan Lanting Beruga.
"Aku minta maaf!" ucap Lanting Beruga, lantas pergi begitu saja, tapi Coyo Wigoro benar-benar kesal, jadi dia menarik kerah baju Lanting Beruga.
Namun hal tak terduga malah terjadi, Coyo Wigoro menarik tangannya dengan cepat, kemudian menghembus telapak tangan itu beberapa kali.
Apa yang terjadi? Banyak orang bertanya-tanya.
"Kakak," ucap Lila Sari, menghampiri Coyo Wigoro sambil memperhatikan telapak tangannya. "Ada apa? Apa yang membuat dirimu seperti itu?"
Pada saat ini semua pemuda yang ada di sana sedang memperhatikan Coyo Wigoro, menunggu jawaban pemuda tersebut.
Menyadari dirinya menarik perhatian banyak orang, Coyo Wigoro bergegas menyembunyikan telapak tangannya kemudian berkata dengan angkuh, "cara licik apa yang telah kau gunakan kepadaku? Kau pasti meletakan sebuah benda si bahumu, mengakulah?"
Lanting Beruga tidak tahu kenapa Coyo Wigoro berkata demikian kepada dirinya. Benda apa yang dimaksud oleh Coyo Wigoro?
"Kakak, memangnya ada dengan bahu pemuda itu?" tanya salah satu pemuda yang ada di dekat mereka.
Coyo Wigoro tentu tidak akan mengatakan jika pundak Lanting Beruga terasa panas, ini akan mencoreng namanya.
Di desa ini, selain dari murid Sekte Pedang Perak, dialah yang paling kuat. Bagaimana mungkin orang kuat sepertinya kalah dengan perasaan panas?
Tanpa menunggu lama, Coyo Wigoro mendaratkan tendangan keras di dada Lanting Beruga. Namun hal tak terduga terjadi, tendangan sekuat Coyo Wigoro tidak membuat tubuh Lanting Beruga bergeming.
Coyo Wigoro seperti menendang tembok beton.
Dan kejadian ini benar-benar menarik perhatian semua orang di sana.
"Sial, kau melindungi tubuhmu dengan pakaian baja," ucap Coyo Wigoro. "Tanggalkan pakaian itu, dan bertarunglah dengan diriku!"
"Aku tidak-"
"Dasar Cacat!" Potong salah satu pendekar muda di sana, "karena kau tidak memiliki kekuatan, lantas melindungi tubuhmu dengan pakaian baja. Cara licik itu hanya digunakan oleh pengecut, tanggalkan semua pakaianmu dan bertarunglah denganku!"
"Aku tidak tahu apa yang kalian katakan," jawab Lanting Beruga.
"Omong kosong! Tidak mungkin kau bisa-"
"Jika dia tidak memiliki tenaga dalam lalu kenapa kalian menghinanya?"tiba-tiba terdengar suara dari belakang Coyo Wigoro. "Jika kau memang ingin bertarung, maka lawan aku!"
Satu minggu telah berlalu, dan kini sudah waktunya bagi Rambai Kaca untuk pergi dari dunia lelembut.Dia telah menyiapkan semuanya, mental dan keberanian, bertemu dengan manusia untuk kali pertama bagi dirinya.Ibunya hanya bisa pasrah dengan pilihan Rambai Kaca, dia hanya bisa menyeka air mata yang setiap saat keluar membasahi pipi.Sementara itu, Pramudhita tampaknya begitu tabah melepaskan kepergian putra angkat yang telah dibesarkan00000000 dari bayi.Namun, ada yang lebih parah, yaitu Nagin Arum. Dia bersikeras untuk pergi bersama Rambai Kaca ke alam manusia, bahkan setelah ayahnya menjelaskan mengenai kehiudapan manusia, dia tetap bersikeras untuk pergi ke sana.Ya, impian Nagin Arum adalah keluar dari alam ini, dan berniat untuk menjelajahi seluruh dunia. Menurut dirinya, di sini dia tidak bisa hidup dengan bebas, ada batas-batasan yang ada di dalam alam lelembut tersebut.“Ayah, apapun yang terjadi, kau harus memikirkan caranya agar aku bisa pergi bersama Rambai Kaca!” ketus N
Dua hari telah berlalu, pendekar dari Padepokan Pedang Bayangan terlihat sedang berbenah saat ini. Membenahi apa yang bisa dibenahi, seperti bangunan dan beberapa peralatan lainnya.Terlihat pula, ada banyak pendekar yang dirawat di dalam tenda darurat. Para medis bekerja cepat, memastikan tidak ada satupun dari korban yang mati.Di salah satu tenda darurat tersebut, tiga anak Pramudhita masih terkapar dengan kondisi tubuh penuh dengan ramuan obat-obatan.“Apa mereka baik-baik saja?” Rambai Kaca bertanya kepada salah satu tabib muda di sana. Dia sudah berada di tempat itu sejak tiga saudara angkatnya dibawa oleh Pramudhita.Meskipun Rambai Kaca juga terluka cukup parah, tapi tubuhnya luar biasa kuat, dia mampu bertahan, bahkan masih bisa berdiri atau bahkan berlari.Ditubuhnya sengaja dililit oleh banyak perban, menunjukan jika Rambai Kaca sebenarnya tidak baik-baik saja. Namun, hal biasa bagi pemuda itu merasakan sakit seperti ini, jadi ini bukanlah hal yang harus dipikirkan.“Ketig
Satu gerakan dari pemuda itu melesat sangat cepat, tepat menuju leher pria tersebut yang saat ini tengah bersiap dengan serangan yang di berikan oleh Rambai Kaca barusan.Melihat pemuda itu bergerak sangat cepat, Reban Giring menggigit kedua rahangnya, sembari menatap Rambai dengan tajam, kemudian bersiap dengan gerakan kuda-kuda.Nafasnya kembali teratur ketika dia melakukan gerakan barusan, lalu menyilangkang senjata yang dia miliki tepat ke arah dada.Sesaat kemudian, dia melesat kearah Rambai Kaca lalu melepaskan jurus Murka Pedang Bayangan.“Dengan ini, matilah kau..!!”Satu teriakkan pria itu menggema di udara, yang membuat siapapun yang mendengarnya, akan merinding ketakutan.Namun, hal itu tidak berlaku pada Rambai Kaca, yang seakan meminta hal tersebut benar-benar terjadi terhadap dirinnya.Dengan jurusnya tersebut, Reban Giring melepaskan semua tenaga yang dia miliki berharap ia dapat mengenai pemuda itu tepat sasaran.Wush.Tebasan itu di lepaskan ketika jarak mereka tingg
Di sisi lain, Pramudita yang saat ini telah berhasil membunuh semua sosok hasrat berukuran besar, sempat terdiam beberapa detik, ketika ia melihat dari kejauhan langit berubah warna menjadi hitam pekat.Tidak hanya itu, dari sumber cahaya kehitaman tersebut, sempat terjadi kilatan petir di ikuti dengan beberapa ledakan yang mengguncang area tersebut.Dari sana, dia dapat menebak, jika saat ini terdapat seseorang yang sedang bertarung di tempat itu, akan tetapi ia bahkan telah menebak jika serangan beberapa saat yang lalu di akibatkan olah anaknya sendiri.“Rambai Kaca, apa yang sedang terjadi?” gumamnya bertanya.Namun pada yang sama, dia mulai menyadari jika dari cahaya berwarna hitam pekat itu, tidak lain ialah kekuatan yang di timbulkan dari kegelapan.Saat ini, Pramudita dapat menebak, jika Rambai Kaca tengah bertarung dengan sosok yang tidak lain ialah Reban Giring.Anggapan itu di landasi oleh tindakan yang telah di lakukan Reban Giring sebelumnya, ketika memulai pertempuran yan
Pedang Bayangan...." Satu jurus tersebut melesat, dengan terbentuk nya beberapa pedang bayangan yang melesat kearah sosok hasrat. Bom. Ledakan terjadi cukup besar, ketika jurus yang di lepaskan Pramudita berhasil mengenai musuh. Ya, satu serangan tersebut berhasil membunuh setidaknya, tiga atau lebih sosok hasrat yang berukuran besar. Tentu hal tersebut tidak dapat di lakukan oleh siapapun, selain Maha Sepuh Pramudita. Jabatan yang pantang bagi seseorang dengan kemampuan sangat tinggi. "Berakhir sudah."Di sisi lain, saat ini tengah terjadi gejolak batin yang mendalam bagi seorang pria ketika tengah merasa sangat kehilangan akan kehadiran sosok seorang adik. Isak tangis tidak dapat terbendung, ketika ia berusaha untuk menghampiri adiknya tersebut.Dengan langkah yang tertatih ia berusaha sekuat tenaga, tetapi langkah yang ia lakukan, bahkan tidak sebanding dengan jumlah tenaga yang dia keluarka"Adik...""Bertahanlah!"Langkah demi langkah berhasil membuatnya tiba di tempat ya
Tubuh Reban Giring saat ini, tengah terdorong mundur akibat mendapat serangan tak terduga oleh Rambai, yang menyerang lehernya.Beberapa pohon bahkan telah tumbang dibuatnya, akibat bertabrakan dengan tubuh pria tua itu, sementara Rambai Kaca masih melakukan gerakan mendorong dengan tangan yang mencekik leher pria tua tersebut.Tidak banyak yang dapat pria itu lakukan, selain berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman jurus yang telah Rambai Kaca berikan. Brak. Brak. Beberapa pohon kembali tumbang, sementara mereka melesat dengan cepat, yang pada akhirnya gerakan tersebut berhenti ketika Rambai Kaca merasa cukup terhadap aksinya. "Bocah sialan!" "Kau bebas untuk berkata sesuka hatimu." timpal Rambai Kaca."Hiat.!"Kerahkan semua kemampuan yang kau miliki, Bocah!" Dalam keadaan ini, Reban Giring sempat menggigitkan kedua rahangnya, untuk bersiap menerima serangan dari Rambai Kaca, ketika telah mencapai titik dimana pemuda ini akan melepaskan tekanan tenaga dalam yang tinggi.