Wulandari bukan pendekar pedang baik di masanya, tapi dia juga bukan orang yang begitu lemah. Wanita tua itu dulunya mewarisi kekuatan pedang hijau dari Negeri Sembilan.
Jadi sedikit banyak dia juga tahu dasar-dasar dalam teknik pedang.
"Ini dinamakan Jurus Air Memotong Batu," ucap Wulandari, dia mulai memperagakan jurus daras dari sebuah teknik pedang, selang beberapa lama ada pekik tertahan dari mulutnya, "Aduh duh duh ...punggungku! punggungku terkilir,"
Lanting Beruga menggelengkan kepala pelan, tampaknya neneknya terlalu bersemangat dalam melatihnya, sampai-sampai lupa jika dirinya sudah tua.
Lagipula, Wulandari sudah 50 tahun ini tidak pernah menggunakan pedang ataupun jenis kemampuan yang lain. Dia menjalani hari tua yang normal.
"Nenek, duduklah dan minumlah sebentar!" ucap Lanting Beruga, memapah neneknya duduk di atas jalinan bambu, kemudian menuangkan secawan air, "Minumlah dengan pelan!"
Jurus Air Memotong Batu adalah satu-satunya jurus yang bisa diajarkan oleh Wulandari, karena dia juga sudah lupa dengan jurus-jurus yang lain.
Ini benar-benar jurus dasar, biasanya dipelajari ketika anak berusia 10 tahunan, dan dengan pedang kayu, bukan pedang sungguhan.
Untuk umur 15 tahun seperti Lanting Beruga, harusnya telah mempelajari jurus sedang, bukan jurus dasar.
Ada beberapa tingkatan jurus dalam dunia bela diri, pertama jurus dasar. Jurus ini menitik beratkan pada pemahaman sang murid.
Dari jurus dasar ini saja, guru bisa melihat apakah murid berbakat dalam menggunakan pedang, tombak, tangan kosong, atau pula senjata panah.
Di dalam jurus dasar, tidak terlalu banyak gerakan dan teknik. Seperti Jurus Air Memotong Batu, hanya ada tiga gerakan dasar, menebas, menusuk, dan menangkis. Hanya itu saja.
Selain itu, Jurus Dasar dan jurus Rendah tidak menggunakan tenaga dalam sedikitpun. Ini murni dengan gerakan tangan dan kekuatan fisik.
Jadi ketika sebuah jurus sudah menggunakan tenaga dalam, maka bisa dipastikan itu adalah level sedang ke atas.
Ada lima level jurus, level dasar, rendah, sedang, tinggi, dan puncak.
"Jika aku berhasil menguasai jurus dasar, apakah aku hari ini bisa menguasai jurus Rendah?" tanya Lanting Beruga, penuh semangat ketika Neneknya masih menjelaskan.
Wulandari terkekeh kecil, membuat dia sekali lagi mengurut pinggangnya yang sakit, "Cucuku, menguasai sebuah jurus tidak bisa dilakukan hanya dalam hitungan hari saja, kau harus berlatih keras, sampai-sampai jurus dasarmu benar-benar sempurna."
"Bagaimana tandanya jika jurus dasarku telah sempurna?" tanya Lanting Beruga, penuh semangat.
"Kau bisa mengalahkan pendekar level dua."
"Level dua?" tanya Lanting Beruga.
Wulandari kembali terkekeh kecil, cucunya benar-benar awam mengenai dunia persilatan, tapi begitu ngotot untuk terjun ke dalammnya.
Seperti halnya sebuah jurus yang bertingkat-tingkat, seorang pendekar juga memiliki tingkatannya masing-masing. Paling tidak ada lima tingkatan dasar yang harus diketahui oleh Lanting Beruga.
Pendekar level pertama, kedua, ketiga, ke empat, dan kelima.
"Rumit sekali dunia persilatan ini," tanya Lanting Beruga. "Kenapa pula harus mempunyai level seperti itu."
"Dunia sekarang berbeda dengan dunia dahulu," ucap Wulandari, "Dulunya banyak pendekar yang mengalami kemiskinan, tapi saat ini status pendekar benar-benar terangkat tinggi, bersanding dengan kasta kesatria. Tentu saja level yang ada di dalam dunia persilatan dapat menunjukan status kependekaran tersebut."
Lanting Beruga sebenarnya tidak terlalu peduli dengan banyak status atau apalah jenisnya. Tujuannya hanya satu, menjadi dewa pedang terbaik di dunia ini.
Dia ingin namanya terdengar dari pangkal sampai ujung nusantara, bahkan mungkin seluruh dunia.
Tentu saja untuk menjadi Dewa Pedang, pemuda kecil itu tidak hanya akan berhenti di level lima saja. Ada lebih banyak level setelah level lima yang harus dia lalui.
"Lalu bagaiman seseorang bisa tahu level kependekaran kita?" tanya Lanting Beruga lagi.
"Dengan merasakan tenaga dalam yang dimiliki oleh orang itu. Pendekar level satu sampai level tiga tidak memiliki tenaga dalam," ucap Wulandari.
Kemudian wanita tua itu berdiri sambil masih menopang punggungnya dengan sebelah tangan, "Nenek akan pergi sebentar, kau bisa berlatih giat. Kau tahu, beberapa orang pendekar level rendah kadang kala bisa mengalahkan level tinggi sekalipun, jadi jangan berkecil hati, berlatihlah dengan keras, lampaui batasanmu!"
Lanting Beruga mengangguk penuh semangat. Jadwal pertandingan masih sangat lama, 3 bulan lagi. Selama itu dia bisa melatih jurus dasar.
Jika level kependekaran dinilai dari besarnya tenaga dalam, maka mungkin Lanting Beruga hanya akan tetap tinggal di level lima, karena dia tidak memiliki tenaga dalam sedikitpun.
Namun, sekali lagi pemuda itu tidak peduli dengan level kependekaran tersebut.
"Jurus Air Membelah Batu!" ucap Lanting Beruga, "Jurus ini sudah menunjukan keadaanku sekarang, bagaimana batu hancur karena air."
Dua bulan telah berlalu, Lanting Beruga masih berlatih jurus dasarnya, "Jurus Air Membelah Batu."
Sudah banyak pedang bambu yang dia patahkan, dan tentu saja telapak tangannya kini semakin kuat. Tidak ada lagi kapalan atau semacamnya.
Meski sesekali dia merasakan ada sesuatu bergejolak di dalam tubuhnya, seakan ingin keluar dan memberonta, tapi pada akhirnya dia bisa menahan kekuatan itu.
Ya, Lanting Beruga mungkin tidak akan bertemu dengan Roh Api yang ada di dalam tubuhnya lagi, karena kekuatan itu sebenarnya sudah menyatu di dalam darahnya. Anggaplah Roh Api dan dirinya adalah satu dalam kesatuan, seperti jiwa dan raga.
Namun ada kala saatnya, emosi Lanting Beruga memuncak, dan membuat kekuatan tersebut ingin keluar.
Pedang bambu yang dia gunakan seperti dialiri oleh hawa panas. Kadang kala dia menguap, seperti uap air yang mendidih.
Namun sekali lagi, Lanting Beruga bisa menahan dirinya. Dia adalah pemuda yang sangat sabar. Dan kesabaran itu menjadi tembok bagi Roh Api yang ada di dalam tubuhnya.
Hari ini Menara Tiga Bintang meminta semua peserta untuk datang. Ada hal penting yang harus diketahui oleh para pendekar muda.
Lanting Beruga telah bersiap untuk pergi ke pusat desa, dia bangun pagi sekali dan mengenakan pakaian paling baik yang dia miliki.
Tapi sialnya, pakaian paling baik yang dia punya memiliki 3 tambalan. Miskin sekali.
"Berhati-hatilah dan hindari pertempuran tidak berguna!" ucap Seno Geni, pria tua itu lantas memberi Lanting Beruga 20 keping perak. "Ini adalah gaji Kakek bulan ini, kau bisa cari sebilah pedang di toko perlengkapan pendekar."
Awalnya Lanting Beruga tidak ingin mengambil uang tersebut, karena itu gaji untuk mereka makan satu bulan.
"Pimpinan Desa memberikan uang lebih kepada kita, karena tiga ekor dombanya melahirkan anak," ucap Seno Geni. "Lagipula, pendekar pedang seperti apa yang tidak memiliki sebuah pedang?" tanya pria tua itu lagi.
"Kakek, terima kasih banyak!" Lanting Beruga bersujud di kaki Seno Geni, dia mencium kaki pak tua itu sambil meneteskan air mata. "Aku berjanji aku akan menjadi Dewa Pedang suatu saat nanti, aku tidak akan mengecewakan dirimu!"
Satu minggu telah berlalu, dan kini sudah waktunya bagi Rambai Kaca untuk pergi dari dunia lelembut.Dia telah menyiapkan semuanya, mental dan keberanian, bertemu dengan manusia untuk kali pertama bagi dirinya.Ibunya hanya bisa pasrah dengan pilihan Rambai Kaca, dia hanya bisa menyeka air mata yang setiap saat keluar membasahi pipi.Sementara itu, Pramudhita tampaknya begitu tabah melepaskan kepergian putra angkat yang telah dibesarkan00000000 dari bayi.Namun, ada yang lebih parah, yaitu Nagin Arum. Dia bersikeras untuk pergi bersama Rambai Kaca ke alam manusia, bahkan setelah ayahnya menjelaskan mengenai kehiudapan manusia, dia tetap bersikeras untuk pergi ke sana.Ya, impian Nagin Arum adalah keluar dari alam ini, dan berniat untuk menjelajahi seluruh dunia. Menurut dirinya, di sini dia tidak bisa hidup dengan bebas, ada batas-batasan yang ada di dalam alam lelembut tersebut.“Ayah, apapun yang terjadi, kau harus memikirkan caranya agar aku bisa pergi bersama Rambai Kaca!” ketus N
Dua hari telah berlalu, pendekar dari Padepokan Pedang Bayangan terlihat sedang berbenah saat ini. Membenahi apa yang bisa dibenahi, seperti bangunan dan beberapa peralatan lainnya.Terlihat pula, ada banyak pendekar yang dirawat di dalam tenda darurat. Para medis bekerja cepat, memastikan tidak ada satupun dari korban yang mati.Di salah satu tenda darurat tersebut, tiga anak Pramudhita masih terkapar dengan kondisi tubuh penuh dengan ramuan obat-obatan.“Apa mereka baik-baik saja?” Rambai Kaca bertanya kepada salah satu tabib muda di sana. Dia sudah berada di tempat itu sejak tiga saudara angkatnya dibawa oleh Pramudhita.Meskipun Rambai Kaca juga terluka cukup parah, tapi tubuhnya luar biasa kuat, dia mampu bertahan, bahkan masih bisa berdiri atau bahkan berlari.Ditubuhnya sengaja dililit oleh banyak perban, menunjukan jika Rambai Kaca sebenarnya tidak baik-baik saja. Namun, hal biasa bagi pemuda itu merasakan sakit seperti ini, jadi ini bukanlah hal yang harus dipikirkan.“Ketig
Satu gerakan dari pemuda itu melesat sangat cepat, tepat menuju leher pria tersebut yang saat ini tengah bersiap dengan serangan yang di berikan oleh Rambai Kaca barusan.Melihat pemuda itu bergerak sangat cepat, Reban Giring menggigit kedua rahangnya, sembari menatap Rambai dengan tajam, kemudian bersiap dengan gerakan kuda-kuda.Nafasnya kembali teratur ketika dia melakukan gerakan barusan, lalu menyilangkang senjata yang dia miliki tepat ke arah dada.Sesaat kemudian, dia melesat kearah Rambai Kaca lalu melepaskan jurus Murka Pedang Bayangan.“Dengan ini, matilah kau..!!”Satu teriakkan pria itu menggema di udara, yang membuat siapapun yang mendengarnya, akan merinding ketakutan.Namun, hal itu tidak berlaku pada Rambai Kaca, yang seakan meminta hal tersebut benar-benar terjadi terhadap dirinnya.Dengan jurusnya tersebut, Reban Giring melepaskan semua tenaga yang dia miliki berharap ia dapat mengenai pemuda itu tepat sasaran.Wush.Tebasan itu di lepaskan ketika jarak mereka tingg
Di sisi lain, Pramudita yang saat ini telah berhasil membunuh semua sosok hasrat berukuran besar, sempat terdiam beberapa detik, ketika ia melihat dari kejauhan langit berubah warna menjadi hitam pekat.Tidak hanya itu, dari sumber cahaya kehitaman tersebut, sempat terjadi kilatan petir di ikuti dengan beberapa ledakan yang mengguncang area tersebut.Dari sana, dia dapat menebak, jika saat ini terdapat seseorang yang sedang bertarung di tempat itu, akan tetapi ia bahkan telah menebak jika serangan beberapa saat yang lalu di akibatkan olah anaknya sendiri.“Rambai Kaca, apa yang sedang terjadi?” gumamnya bertanya.Namun pada yang sama, dia mulai menyadari jika dari cahaya berwarna hitam pekat itu, tidak lain ialah kekuatan yang di timbulkan dari kegelapan.Saat ini, Pramudita dapat menebak, jika Rambai Kaca tengah bertarung dengan sosok yang tidak lain ialah Reban Giring.Anggapan itu di landasi oleh tindakan yang telah di lakukan Reban Giring sebelumnya, ketika memulai pertempuran yan
Pedang Bayangan...." Satu jurus tersebut melesat, dengan terbentuk nya beberapa pedang bayangan yang melesat kearah sosok hasrat. Bom. Ledakan terjadi cukup besar, ketika jurus yang di lepaskan Pramudita berhasil mengenai musuh. Ya, satu serangan tersebut berhasil membunuh setidaknya, tiga atau lebih sosok hasrat yang berukuran besar. Tentu hal tersebut tidak dapat di lakukan oleh siapapun, selain Maha Sepuh Pramudita. Jabatan yang pantang bagi seseorang dengan kemampuan sangat tinggi. "Berakhir sudah."Di sisi lain, saat ini tengah terjadi gejolak batin yang mendalam bagi seorang pria ketika tengah merasa sangat kehilangan akan kehadiran sosok seorang adik. Isak tangis tidak dapat terbendung, ketika ia berusaha untuk menghampiri adiknya tersebut.Dengan langkah yang tertatih ia berusaha sekuat tenaga, tetapi langkah yang ia lakukan, bahkan tidak sebanding dengan jumlah tenaga yang dia keluarka"Adik...""Bertahanlah!"Langkah demi langkah berhasil membuatnya tiba di tempat ya
Tubuh Reban Giring saat ini, tengah terdorong mundur akibat mendapat serangan tak terduga oleh Rambai, yang menyerang lehernya.Beberapa pohon bahkan telah tumbang dibuatnya, akibat bertabrakan dengan tubuh pria tua itu, sementara Rambai Kaca masih melakukan gerakan mendorong dengan tangan yang mencekik leher pria tua tersebut.Tidak banyak yang dapat pria itu lakukan, selain berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman jurus yang telah Rambai Kaca berikan. Brak. Brak. Beberapa pohon kembali tumbang, sementara mereka melesat dengan cepat, yang pada akhirnya gerakan tersebut berhenti ketika Rambai Kaca merasa cukup terhadap aksinya. "Bocah sialan!" "Kau bebas untuk berkata sesuka hatimu." timpal Rambai Kaca."Hiat.!"Kerahkan semua kemampuan yang kau miliki, Bocah!" Dalam keadaan ini, Reban Giring sempat menggigitkan kedua rahangnya, untuk bersiap menerima serangan dari Rambai Kaca, ketika telah mencapai titik dimana pemuda ini akan melepaskan tekanan tenaga dalam yang tinggi.
Melihat Eruh Limpa dan Nagin Arum yang sudah tidak berdaya, Reban Giring berniat untuk segera mengakhiri nyawa kedua orang tersebut. Perlahan pria itu mendekati Nagin Arum yang terlihat masih berusaha untuk meraih tangan kakaknya, akan tetapi bergerakan wanita itu terpaksa berhenti, ketika Reban Giring menginjak tangannya. Tidak hanya itu, saat ini, Reban Giring sedang menekan kakinya dengan cukup kuat, sehingga membuat Nagin Arum berteriak. "Aggrr..!" Rasa sakit tiada tara sedang di rasakan oleh Nagin Arum yang berusaha untuk melepaskan tangannya dari injakkan kaki Reban Giring saat ini. Melihat hal tersebut, Eruh Limpa hanya bisa memaki pria itu, lalu mengutuknya beberapa kali dengan melampiaskan rasa amarahnya menggunakan kata-kata. Namun sayang, hal tersebut bahkan tidak dihiraukan sama sekali oleh Reban Giring dengan tetap melakukan aksinya, seakan sedang menikmati rasa sakit yang dialami oleh wanita tersebut. "Ini belum seberapa!" ujarnya, "Setelah ini, akan ku pastik
Kedua kakak beradik tersebut lantas langsung mengejar keberadaan Reban Giring yang sempat mereka lihat tengah terluka. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat mereka nantikan, karena menduga jika mereka akan dapat mengalahkan pria itu dengan cukup mudah. Namun di saat yang sama, salah satu pria juga menyadari kepergian Eruh Limpa dan Nagin Arum, akan tetapi saat ini, pria itu masih sibuk berhadapan dengan musuh yang seakan tidak pernah habis. "Mau kemana mereka pergi?" batinnya bertanya. Saat ini, pemuda yang tidak lain memiliki nama Saka ini, tengah menjadi pusat perhatian, ketika dia menggila dengan jurusnya yang mematikan. Tebasan demi tebasan berhasil membunuh sosok hasrat yang berada di dalam jangkauannya, sehingga hal itu membuat para sepuh sempat merasa kagum atas aksi yang telah dia lakukan. Bukan hanya kagum, bahkan beberapa sepuh, berniat untuk mengangkat menantu pria itu, akan tetapi jika Pramudita mengiyakan tentunya. "Menarik, sungguh menarik!" ujar salah satu Sepuh.
Di sisi lain, Rambai Kaca dan Tabib Nurmanik yang saat ini tengah menyusul rombongan yang berada paling depan, perlahan mulai mendekat kearah pasukan yang tengah bertarung melawan musuh-musuh mereka. Melihat hal tersebut, kedua orang yang baru saja tiba ini, lantas lasung mengambil posisi masing-masing untuk berhadapan dengan para sosok hasrat yang semakin menggila. Dengan beberapa gerakan, Rambai Kaca berhasil membunuh satu sosok hasrat dan menyelamatkan hidup satu orang pasukan mereka yang hampir saja tewas, akibat tidak dapat mempertahankan diri, dari serangan sosok hasrat yang menyerangnya. "Tuan muda, terimakasih!" Mendengar jawaban dari pria itu Rambai Kaca hanya mengangguk satu kali, sebelum dirinya bergegas menuju pasukan paling depan, seakan tidak begitu peduli dengan kondisi yang menimpa orang tersebut. Tampaknya pemuda itu sedang merasakan sesuatu yang buruk akan segera terjadi, sehingga membuat dia bergerak lalu mengeluarkan jurus kilat putih yang membantunya seakan m