Share

MANGSA BARU

Keesokan harinya, Sarti sudah siap ditemani Jamal pergi ke Puskesmas. 

Pak Wayan Lana, tetangga depan sekaligus pemilik kompleks kos sudah berjanji mau mengantar mereka. Jamal dan Sarti sedang menunggu kedatangan Pak Wayan Lana.

"Selamat Pagi." Dadong Canangsari datang menghampiri mereka.

"Selamat Pagi, Dong," sahut Sarti.

"Mau kemana, Gek? *nu semengan sube jegeg sajan," ucap Dadong sambil melirik perut Sarti yang sudah kempis.

"Kami mau ke Puskesmas, periksa, Dong," jawab Jamal lalu Sarti mengangguk.

"Siapa yang sakit?" Dadong pura-pura tak tahu soal tragedi semalam. 

"Saya, Dong. Bayi saya hilang semalam." Sarti menjelaskan sambil menunduk, tak terasa buliran-buliran bening menetes di kedua pipinya. Rasa kehilangan itu kembali muncul, menekan batinnya. Jamal meraih bahu Sarti lalu merengkuhnya dalam dekapan. Sesekali tangan Jamal mengelus lembut kepala sang istri.

"Ampura, tyang sing tawang. Sabar, Gek! Mohon sama Sang Hyang Widhi, agar diberi titipan lagi," ucap Dadong pura-pura ikut sedih.

Dadong mendekati Sarti lalu mengusap lembut punggung wanita muda yang sedang terisak-isak dalam dekapan Jamal.

Sebuah kresek hitam besar, ditaruh Dadong di atas meja teras.

"Ini, Dadong tadi habis panen dari kebun. Ada pisang dan sedikit sayur bisa dipakai masak."

"Terima kasih, Dong," ucap Sarti sudah mulai reda tangisnya. Wanita muda ini menyalami tangan keriput Dadong. Ia berpikir nenek yang biasa jualan canangsari ini sangat perhatian pada keluarganya. Padahal tempat tinggal Dadong ini agak jauh dari kompleks indekos. Sarti menghitung telah tiga kali ini Dadong memberi hasil kebun padanya. Setiap pemberiaannya selalu ada buah pisang.

"Sabar, Gek! Dadong berdoa, mudah-mudahan segera dikasih titipan sama Sang Hyang Widhi lagi," ucapan Dadong terdengar bijaksana di telinga pasutri ini.

"Terima kasih doanya, Dong," jawab Jamal sembari membimbing Sarti ke tempat duduk.

"Dadong pamit ya. Semoga cepat sehat lagi, Gek." Dadong Canangsari kemudian pamit dengan jalan lebih tegak dari biasanya melangkah keluar halaman kompleks indekos.

Pasutri ini tidak menyadari bahwa makhluk satu ini yang telah begitu tega mengambil paksa janin dari rahim Sarti semalam. Demi sebuah ritual pemujaan ilmu sesat sosok janin yang belum sempat terlahir harus jadi korban.

Tak seberapa lama, mobil Pak Wayan Lana terlihat memasuki kompleks indekos. Mobil warna putih tersebut sempat terhenti saat berpapasan dengan Dadong. Dari kejauhan Jamal dan Sarti sempat melihat jendela mobil terbuka separuh, terdengar agak samar-samar pengemudi dengan Dadong berbicara. Terlihat wanita tua itu menggeleng lalu pergi menjauh. Tak lama kemudian mobil mendekat ke arah pasutri yang sedang berdiri menunggu lalu berhenti tepat di depan mereka.

"Selamat Pagi, Jamal, Sarti, sudah siap berangkat?" sapa Pak Wayan Lana ramah sambil turun dari mobil.

"Selamat Pagi, Pak. Kami sudah siap," balas Jamal sambil tersenyum.

Jamal memapah Sarti menuju mobil. Pak Lana segera membuka pintu mobil untuk Sarti dan Jamal.

“Dadong tadi ngapain ke sini?” tanya Pak Lana penasaran. Dadong ini tak biasanya mau mendatangi kompleks indekos miliknya.

Pak Lana sampai hampir bersamaan dengan kedatangan Lek Dirman berboncengan dengan Mak Nah pulang dari pasar.

"Udah siap pergi, Le, Nduk?" sapa Lek Dirman.

"Udah siap, Lek. Sengaja lebih pagi, biar nggak ngantri lama," sahut Jamal.

"Mak perlu ikut juga?" tanya Mak Nah menatap Jamal dan Sarti penuh kecemasan.

"Gak usah, Mak di rumah saja, kan udah ditemani Pak Wayan juga," jawab Jamal.

"Oh ya, Mak, tadi Dadong Canangsari ke sini memberi sayuran, ada di teras, tolong dimasukkan, ya!" timpal Sarti.

"Sudah, sudah, Pak Dirman dan Bu Nah nggak perlu khawatir. Saya akan jaga mereka sepenuh hati," ucap Pak Wayan Lana.

Akhirnya mobil melaju keluar dari kompleks indekos. Lek Dirman dan Mak Nah berdiri menunggu sampai mobil hilang dari pandangan.

Mobil menuruni jalan arah ke Jimbaran, terlihat pantai Tanjung Benoa di arah depan. Jalan diapit tebing batu di sebelah kanan, jurang di sebelah kiri. Sesekali satu dua ekor monyet melintas di aspal, suara anjing liar menggonggong di semak-semak hutan. 

Pak Wayan Lana sengaja melintas di jalan sini karena jalan ke arah Pantai Pandawa ditutup, kebetulan ada upacara adat desa Kutuh.

Mobil berbelok masuk Jalan. Uluwatu II lurus menuju Jalan. By Pass Nusa Dua.

Setelah hampir tiga puluh menit di jalan, akhirnya sampai tujuan. Mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang Puskesmas Kuta Selatan.

"Dik Jamal, Dik Sarti, maaf ... saya nggak bisa ikut antar ke dalam. Saya mau service mobil ke bengkel. Kalau sudah selesai periksa, tolong tunggu saya. Nanti saya jemput," pesan Pak Wayan Lana pada Jamal dan Sarti.

Mata Pak Wayan Lana menatap ke tubuh Sarti, penuh makna.

Sarti merasakan keanehan itu tanpa disadari oleh Jamal.

Ada maksud tersirat di balik kebaikan Pak Wayan Lana ini, yang akan saya ungkap selanjutnya.

"Terima kasih banyak, Pak. Sudah diantar sampai sini. Biarlah, kami nanti naik taksi online saja," jawab Jamal merasa canggung dengan kebaikan Pak Wayan Lana.

"Gak pa pa, Dik Jamal, udah kewajiban saya. Sebagai sesama manusia harus saling bantu. Kebetulan hari ini saya libur." 

"Terima kasih sebelumnya, Pak," ucap Jamal.

Mobil Pak Wayan Lana memutar balik arah ke Jalan. By Pass arah ke Jalan. Pratama.

Jamal membimbing Sarti untuk duduk di ruang tunggu. Sejurus kemudian, Jamal menuju loket pendaftaran. Keadaan masih lengang, hanya butuh beberapa menit proses pendaftaran selesai. Jamal segera menghampiri sang istri lalu duduk tepat di sebelah kanan Sarti.

Beberapa meter dari mereka, seorang nenek renta berkamben lusuh, duduk menunggu di pintu keluar Puskesmas.

*"Bli, demen hati tyang, jani," ucap Ni Luh Dewi manja pada Komang Wiratama, sang suami.

"Nah ... nah, patuh gen ajak hati Beline," sahut sang suami, "ulian jani lebih waspada, jaga kondisi kandungan, sing liu ngelah gaya, sing misi nge"dance" overacting."

Komang Wiratama melingkarkan tangan ke perut sang istri. Ia menatap mesra pada sang istri. Ni Luh Dewi masih sibuk mengamati hasil laboratorium.

Sang Nenek yang duduk tak jauh dari mereka, menyeringai disertai desisan lirih dari bibir keriput.

"Dadong, akan segera menjemput janinmu, *Gek.”

***

Ikuti kelanjutan ceritanya ya! Dijamin makin seru.

Catatan kaki:

(* Wayan/Gede/Putu = anak pertama

(*nu semengan sube jegeg sajan = masih pagi sudah cantik saja)

(*Ampura, tyang sing tawang = Maaf, saya tidak tahu)

(*”Bli, demen hati tyang, jani.”=

Bang, senang hati saya, sekarang.

("Nah ... nah, patuh gen ajak hati Beline," sahut sang suami, (“ulian jani lebih waspada, jaga kondisi kandungan, sing liu ngelah gaya, sing misi nge"dance" overacting."=

(*Ya ... ya, sama juga dengan hati Abang,

(*mulai sekarang lebih waspada, jaga kondisi kandungan, tidak banyak gaya, tidak isi nge"dance" berlebihan).

(*Komang/Nyoman = anak ketiga).

(*Gek = panggilan untuk anak perempuan).

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Makhluk Gaib
Klu pake bahasa daerah lgsg aja dibuat aetinya di dalam kurung. Jgn di buat artinya di akhir bab, gak seru bacanya.
goodnovel comment avatar
Nurul Aini
kenapa gak pakai bahasa indonesia aja kak, kalo bahasa daerah banyak yang gak tau artinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status