Jalan beraspal yang basah, sehabis diguyur hujan. Hanya ada satu dua orang berkendara. Jalan ini selalu lengang selepas sunrise dan akan mulai ramai lagi menjelang sunset tiba. Di sisi kanan menjelang pertigaan arah menuju Pantai Matahari Terbit terdapat sebuah rumah berornamen Bali. Berhalaman luas yang asri, jepun jepang berjejer rapi mengelilingi pagar rumah. Terlihat pasutri memasuki halaman rumah.
"Om Swastyastu ... Bapa ... Meme." Komang Wiratama berteriak memberi salam.
"Rumah sepi, Bli." Ni Luh Dewi mengedarkan pandangan ke segenap halaman.
"Coba, Bli Mang telepon Bapa!" pinta Ni Luh Dewi pada sang suami.
Komang Wiratama mengeluarkan ponsel dari saku celana. Sesaat mencoba menghubungi ke nomor bapanya. Beberapa kali melakukan panggilan, tidak ada nada sambung.
"Gek, nomor Bapa tidak aktif."
"Bli, bagaimana kalau kita susul Meme ke pasar? Mungkin masih di warung."
"Mai, na'e," sahut Komang Wiratama sambil menghidupkan mesin motor.
****
Mereka menyelusuri jalan sambil mengamati kendaraan yang berlalu-lalang. Mereka berharap bisa berpapasan dengan motor yang dikendarai Bapa dan Meme. Namun, hingga motor belok sampai Jalan. Danau Tamblingan tidak terlihat Bapa dan Meme. Motor memasuki areal Pasar Sindu. Hiruk pikuk pasar menyambut kedatangan mereka. Ni Luh Dewi turun dari boncengan lalu menunggu Komang Wiratama yang sedang memarkir motor.
"Hei, Luh! cari Mek Tu?" sapa seorang gadis muda dari arah belakang.
"Hei, Dek! lihat Meme?" tanya Ni Luh Dewi pada Kadek Intan, tetangga rumah Meme.
"Mek Tu udah tutup dari tadi."
"Meme dijemput Bapa?"
"Iyalah ... siapa lagi, mereka adalah pasangan Prana Jaya dengan Layonsari jaman now." Kadek Intan berucap sambil meliukkan kedua tangan menyerupai sebuah gerakan tari.
"Eish ... sing keto, Dek! malu dilihat orang, mau ngigel? sana gih, ke Bale Banjar!"
Ni Luh Dewi menarik tangan Kadek Intan agar berhenti membuat gerakan.
Kadek Intan hanya cengengesan saja. Tak lama kemudian terlihat Komang Wiratama menghampiri mereka.
"Hei, Dek! belanja?" tanya Komang Wiratama.
"Hei, Bli Mang ... belanja dikit untuk rahinan."
"Bli Mang, kata Kadek, Meme udah pulang," ujar Ni Luh Dewi pada suaminya.
Tanpa disadari seorang pun, sepasang mata merah dengan mulut bertaring runcing menatap tajam ke arah mereka bertiga. Hanya beberapa menit berlangsung kemudian embusan angin dingin mengiringi seringai mengerikan pemilik mata merah. Sosok hitam berbulu lebat telah menyebarkan aroma harum kayu cendana, berbaur bau anyir darah. Aroma kematian sudah ditebar, menyusup ke jiwa suci segumpal darah kehidupan dalam rahim Ni Luh Dewi.
"Aku menginginkanmu! Hei, Jiwa Suci ... pembangkit roh keabadianku!"
Sekelebat bayangan hitam, muksa kemudian lenyap di rimbun pohon beringin di persimpangan jalan.
****
Komang Wiratama, Ni Luh Dewi, beserta Kadek Intan beriringan berjalan menuju tempat parkir.
Ni Luh Dewi berboncengan dengan sang suami, sedangkan Kadek Intan berkendara sendiri.
Mereka melewati jalan pintas menuju Jalan. By Pass Sanur.
Sebelum sampai di perempatan traffic light, Komang Wiratama memberi tanda untuk berhenti pada Kadek Intan. Tak lama saat motor sudah sejajar.
"Dek, kami ke Pasar Intaran dulu, siapa tahu Meme sedang beli lengis Bali."
"Okey, Bli Mang ... saya langsung pulang saja. Entar kalau saya lihat Bapa dan Meme ada di rumah, segera saya kabari. Luh, jangan lupa main ke rumah, ya!"
"Okey, Dek. Suksma, nah," sahut Ni Luh Dewi sambil melambaikan tangan.
"Suksma mewali. Hati-hati!" Kadek membalas melambaikan tangan.
****
Segera motor Komang Wiratama belok kiri ke arah Jalan. Danau Buyan. Sepanjang jalan, tangan Ni Luh Dewi melingkar erat di pinggang sang suami. Sesekali cubitan mesra jemari lentik Ni Luh Dewi singgah di perut Komang Wiratama, kala sang suami kalap membawa motor. Tiap kena cubit, pria itu langsung tepuk jidat sendiri. Ia baru sadar, sang istri sedang mengandung. Hanya perlu waktu sekitar sepuluh menit, mereka berdua sudah sampai di depan Pasar Intaran. Tak sengaja, Ni Luh Dewi melihat sosok Bapa di dalam warung kopi.
"Bli Mang, itu Bapa! Lagi ngopi di warung," ucap Ni Luh Dewi sambil menunjuk sebuah warung di sebelah kanan jalan.
"Oh, ya, benar, itu Bapa. Hayo ke sana!"
Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi segera turun dari motor. Dengan bergandeng tangan, mereka mendatangi warung, tempat Bapa ngopi.
"Om Swatyastu ... Bapa," tegur Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi sambil mencium punggung tangan Bapa bergantian.
"Om Swastyastu ... Hei, Gus, Gek," jawab lelaki tua berudeng coklat.
"Bapa, di mana Meme?" tanya Ni Luh Dewi pada Bapa.
"Meme lagi beli lengis Bali, Gek. Tunggu sini saja, sambil makan jajan," ajak Bapa ke Ni Luh Dewi.
Segera Ni Luh Dewi duduk di samping Bapa, diikuti oleh Komang Wiratama.
Ni Luh Dewi mengambil pisang rai di atas meja. Ia menikmatinya pelan-pelan. Komang Wiratama memesan kopi susu. Beberapa menit kemudian, orang yang ditunggu sudah datang menghampiri mereka bertiga.
"Wah, anak-anak Meme ada di sini juga, kapan datang?"
"Om Swastyastu," sapa Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi berbarengan sambil mencium punggung tangan Meme bergantian.
"Kami udah lama datang dari Nusa Dua. Tadi di rumah sepi, kami barusan cari ke warung. Kata Kadek Intan, Meme sudah pulang dijemput Bapa. Kirain dah pulang, nggak tahunya ada di sini," jawab Komang Wiratama.
"Kok tahu, kami ada di sini?" tanya Meme.
"Kami dah hapal kebiasaan Bapa dan Meme," sahut Ni Luh Dewi sambil mengerlingkan mata ke arah Bapa dan Meme. Bapa dan Meme hanya senyum simpul.
Komang Wiratama membayar semua makanan serta minuman yang telah mereka santap.
Mereka berempat beriringan mengendarai motor, pulang.
*****
Sesampai di rumah, Ni Luh Dewi membantu Meme membawakan barang belanjaan ke arah dapur. Meme mengikuti dari belakang. Dalam budaya Bali, dapur dan kamar mandi terletak terpisah dari rumah utama. Lokasi dua tempat tersebut berada di belakang rumah utama.
Bapa dan Komang Wiratama duduk berbincang di Bale Bengong.
"Apa kabar kamu dan Ni Luh Dewi, Gus?"
"Kami baik-baik saja, Bapa." Komang Wiratama menghela napas sesaat.
"Kami ke sini, membawa kabar gembira. Sebentar lagi Bapa dan Meme segera menimang cucu," kata Komang Wiratama dengan mata berkaca-kaca.
"Astungkara, akhirnya kami tidak perlu menunggu lama," timpal Bapa tidak kalah bahagia.
Bapa dan Meme hanya memiliki seorang anak saja, yaitu Komang Wiratama. Sehingga kabar ini sangatlah ditunggu-tunggu oleh keluarga besar mereka.
Sesaat kemudian Ni Luh Dewi ikut bergabung dengan mereka. Ia membawa nampan berisi teh manis dan jagung rebus. Selepas menaruh nampan, ia ikut duduk di samping sang suami.
"Gek, kamu sekarang hamil berapa bulan?" tanya bapa penasaran.
"Sekarang umur dua belas minggu kata Bu Bidan."
"Dua belas minggu, berarti tiga bulan, ya, Gek?"
"Iya, benar, Bapa." Komang Wiratama menimpali.
Meme datang ikut bercengkerama lalu duduk di samping Bapa sambil memetik batang kangkung yang akan dibuat sayur.
"Me, kita sebentar lagi akan punya cucu." Dengan antusias Bapa memberitahu.
"Meme udah tahu, tadi di dapur Ni Luh Dewi kasih tahu Meme. Ya, Gek?"
Ni Luh Dewi menganggukkan kepala diiringi senyum bahagia.
Sekelebat bayangan hitam menyusup ke halaman rumah. Terbang ke atap Bale Bengong. Bau janin muda telah membangkitkan rasa dahaga hasrat liarnya.
Tbc ....
○○○•••••○○●●●○○○○●●○○○●●••
Note :
*Sunrise = Matahari terbit.
*Sunset= Matahari terbenam.
*Jepun jepang = Kamboja jepang.
*Bapa = Bapak , Meme = Ibu.
*Mai na'e = Ayo saja.
*Bli Mang = Bli Komang/ Kak Komang.
*Mek Tu = Memek Putu/Meme Putu/ Bu Putu.
*Rahinan = persembahyangan di hari-hari khusus, mis : bulan purnama, bulan mati dll.
(*Jayaprana dan Layonsari = cerita percintaan mirip Romeo dan Juliet ala Bali.
(*Sing keto = nggak gitu
(*Muksa = musnah
(*Suksma nah = terima kasih ya.
(*Suksma mewali = terima kasih kembali.
(*Lengis Bali = Minyak Bali/ Minyak kelapa
(*Pisang rai = Jajan khas Bali, berupa pisang berbalut tepung terigu diberi warna hijau/ merah dibalur parutan kelapa.
(*Bale Bengong = Tempat santai menyerupai gubuk, berukir khas Bali. Terletak di halaman rumah.
Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi hanya semalam menginap di rumah Sanur. Keesokan harinya, mereka sudah balik ke kontrakan di Nusa Dua.Setelah menempuh perjalanan satu jam, mereka sampai di Nusa Dua. Ni Luh Dewi masuk kerja sore hari, sedangkan Komang Wiratama sengaja tutup toko hari ini.Komang Wiratama adalah seorang seniman tato, dia mempunyai tempat tato di daerah Legian.Hari ini, Komang Wiratama ada booking service ke tempat pelanggan di Sidakarya.*****Setelah ganti baju, kedua pasutri ini duduk santai di teras rumah. Mereka mlelihat hilir mudik orang di depan rumah.Komang tak bosan-bosannya mengelus perut sang istri. Tampak jelas raut kebahagiaan di wajahnya.Perut Ni Luh Dewi dielus-elus sesekali digelitik tangan jahil Komang yang membuat sang istri menggeliat kegelian."Bli Mang, geli tahu!"Komang seakan tidak menghiraukan protes sang
Dalam perjalanan pulang, mereka akan menyempatkan diri mampir ke rumah seorang teman kerja Ni Luh Dewi.Kebetulan hari ini, sang teman lain sif dengan Ni Luh Dewi. Sang teman masuk sif pagi, biasanya pulang jam tiga sore. Di tengah perjalanan Ni Luh Dewi merajuk pada sang suami."Bli Mang, simpang ke warung Bu Oki, ya ... ya?""Dekat toko Nirmala, situ?""Ya, Bli ... lapar nih."Akhirnya motor yang mereka kendarai belok kiri masuk gang menuju Warung Bu Oki.Komang Wiratama mencari tempat parkir yang teduh. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul empat sore, panas masih terasa menyengat.Banyak pasang mata mengamati kedatangan dua sejoli ini. Maklum saja tampilan visual pasangan ini mirip artis.Komang Wiratama adalah pria maskulin, berpostur tubuh seratus delapan puluh lima sentimeter, ditopang bentuk tubuh proposional, ditunjang raut wajah mirip a
Bayangan hitam memutar mencari celah untuk masuk ke pelataran rumah. Alunan Gayatri Mantram mengalun, menggema, merasuki setiap inci pelataran serta setiap sudut ruangan. Embusan napas serta setiap lafal mantra yang terucap dari kedua insan adalah angin suci berisi untaian kidung pemujaan pada Sang Hyang Pemilik Hidup. Bayangan hitam menggeliat, mengejang tak mampu melewati pagar pembatas yang tercipta oleh alunan Gayatri Mantram. Semakin kuat, dia mencoba menerobos, semakin kuat pula jala alunan Gayatri Mantram mengempas, menghentakan. Bayangan hitam melesat tinggi menggapai arah genting rumah. Dia tak mampu menerobos kekuatan suci Gayatri Mantram. Kekuatan mantra laksana jala raksasa yang mencengkeram erat, menutup seluruh pelataran serta rumah. Akhirnya sang bayangan terempas keras, seluruh sendi-sendi kekuatan magisnya remuk. Dia menggeliat, menggelepar dan raib terbawa embusan angin, menyisak
Serangan angin hanya melanda kamar mereka saja. Aneh bin ajaib. Sungguh kekuatan setan mampu membuat nyali ciut bagi orang-orang yang tak beriman."Alhamdulillah, Bu! Sudah reda anginnya. Ayo, buka mata!" Pria tersebut menepuk halus pipi istrinya yang masih diliputi perasaan khawatir. Wanita itu baru berani membuka mata, setelah tahu angin sudah menghilang, dia langsung sujud syukur sambil terisak-isak. Allah masih melindungi mereka.“Alhamdulillah! Terima kasih, Ya Allah! Pak kita selamat," ucapnya sambil menyeka buliran bening dari kedua sudut mata serta pipi. Mereka berpelukan, merasa lega, terlepas dari serangan angin setan.Tetangga Indekos mendatangi kamar mereka. Suara angin ribut serta suara hentakan pintu kamar yang diterjang oleh angin, mendatangkan rasa penasaran mereka. Di antara orang-orang yang berkerumun, terdapat pasangan yang baru saja kehilangan janin secara gaib dua minggu lalu.
Kobaran api yang membumbung tinggi dan suara petir yang menggelegar, menarik perhatian warga sekitar, termasuk penghuni kompleks indekos. Warga berhamburan ke tempat kejadian, begitu sampai di tempat bekas kebakaran, mereka hanya mampu tertegun.Kediaman Dadong Canangsari hanya menyisakan puing-puing berserakan beserta bara api. Warga bergotong royong memadamkannya.Anehnya, bara api hanya membumi hanguskan bangunan rumah saja, tak sampai merembet ke tempat lain. Ketika api sudah mulai padam, terdengar jeritan seorang wanita.“Bik Tut, Bik Tut ... apa yang terjadi?”Rupanya Ni Wayan Kesumasari yang baru saja datang dari bepergian, terlihat terkejut melihat musibah yang dialami bibiknya. Wanita itu tak menyangka nasib Dadong Canangsari akan setragis itu.Akhirnya, berdua dengan Wayan Lana-- suaminya-- dibantu oleh warga berusaha mencari keberadaan jasad Dad
Kejadian ini terjadi beberapa hari sebelum jasad Dadong Canangsari menghilang dalam musibah kebakaran yang menimpa rumah wanita renta itu. Telah beberapa malam wanita renta tersebut mengalami mimpi yang mengerikan dan selalu dengan mimpi yang sama. Wanita itu telah merasa hal tersebut adalah sebuah firasat jika waktunya telah dekat. Sang Dadong merasa sudah saatnya mempersiapkan segala urusan termasuk mempersiapkan calon penerus ilmu.Dari pagi buta dia sudah mempersiapkan barang dagangan sekalian menyisakan beberapa canang dan tambahan untuk ritual nanti malam di rumah Wayan Suri, anaknya. Dia berencana meminta tolong keponakannya untuk mengantar ke Denpasar.Sesaat sebelum Dadong Canangsari akan pergi ke pasar untuk berjualan canang tak sengaja bertemu keponakannya. Ni Wayan Kesumasari lewat tepat di depan rumah Dadong Canangsari. Mereka masih saudara dekat, Ni Wayan Kesumasari adalah anak dari kakak perempuan Dadong Canangsari. Begitu mel
Kepergian Dadong Canangsari meninggalkan tugas untuk keturunannya. Sebuah ilmu harus diemban, tapi siapakah yang telah menerima ilmu tersebut? Cahaya yang keluar sesaat setelah tubuh Dadong Canangsari tewas telah menemukan raga yang lain. Tak ada yang tahu, siapa yang telah menerima ilmu tersebut.Wayan Suri, putri Dadong Canangsari tak merasa kemasukan cahaya ilmu tersebut. Tak juga dirasakan oleh Kesumasari, keponakan Dadong. Kedua wanita dalam garis keluarga itu saling bertanya.Ke manakah cahaya kuning ilmu tersebut?Sejenak kita melangkah, menilik masa lalu kehidupan Dadong Canangsari.Saat itu di usia dua puluh tahun, Dadong Canangsari merantau ke Jawa karena perpindahan tempat kerja. Perusahaan ekspedisi tempat dia bekerja membuka cabang baru di salah satu kota besar di Jawa. Setahun bekerja di sana, Dadong Canangsari muda, kala itu masih memakai nama gadis, I Ketut Sulastri, menjalin hu
Setelah ritual khusus dilakukan, mereka duduk berhadapan. Hanya debaran jantung dan tarikan napas yang terdengar, kadang berirama kadang memburu, mengikuti alur pikiran masing-masing. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Ni Kesumasari sebagai saudara tertua mulai bersuara.“Ningsih, Suri, sekarang kalian bersiap menerima ilmu warisan meme kalian. Persiapkan jiwa raga. Takdir tak bisa ditolak, inilah garis keturunan kita.”“Mbok Yan, seumpama aku yang dapat warisan ilmu, bisakah aku jalani dari Tanah Jawa?” tanya Ningsih dengan tatapan mata penuh selidik, beberapa kali wanita itu membenahi letak kamben dan kebayanya. Maklum saja, dia belum terbiasa dengan busana tersebut. Bu Lana tersenyum geli melihat tingkah sepupunya ini.“Ken ken? Nggak bisa begitu, Mbok,” timpal Wayan Suri sembari memegang jemari tangan kakak perempuannya. Seketika Ningsih menyambut erat genggaman sang adik, sea