Accueil / All / LEAK / RUMAH SANUR

Share

RUMAH SANUR

last update Dernière mise à jour: 2021-05-29 14:26:53

Jalan beraspal yang basah, sehabis diguyur hujan. Hanya ada satu dua orang berkendara. Jalan ini selalu lengang selepas sunrise dan akan mulai ramai lagi menjelang sunset tiba. Di sisi kanan menjelang pertigaan arah menuju Pantai Matahari Terbit terdapat sebuah rumah berornamen Bali. Berhalaman luas yang asri, jepun jepang berjejer rapi mengelilingi pagar rumah. Terlihat pasutri memasuki halaman rumah.

"Om Swastyastu ... Bapa ... Meme." Komang Wiratama berteriak memberi salam.

"Rumah sepi, Bli." Ni Luh Dewi mengedarkan pandangan ke segenap halaman.

"Coba, Bli Mang telepon Bapa!" pinta Ni Luh Dewi pada sang suami.

Komang Wiratama mengeluarkan ponsel dari saku celana. Sesaat mencoba menghubungi ke nomor bapanya. Beberapa kali melakukan panggilan, tidak ada nada sambung.

"Gek, nomor Bapa tidak aktif."

"Bli, bagaimana kalau kita susul Meme ke pasar? Mungkin masih di warung."

"Mai, na'e," sahut Komang Wiratama sambil menghidupkan mesin motor.

****

Mereka menyelusuri jalan sambil mengamati kendaraan yang berlalu-lalang. Mereka berharap bisa berpapasan dengan motor yang dikendarai Bapa dan Meme. Namun, hingga motor belok sampai Jalan. Danau Tamblingan tidak terlihat Bapa dan Meme. Motor memasuki areal Pasar Sindu. Hiruk pikuk pasar menyambut kedatangan mereka. Ni Luh Dewi turun dari boncengan lalu menunggu Komang Wiratama yang sedang memarkir motor.

"Hei, Luh! cari Mek Tu?" sapa seorang gadis muda dari arah belakang.

"Hei, Dek! lihat Meme?" tanya Ni Luh Dewi pada Kadek Intan, tetangga rumah Meme.

"Mek Tu udah tutup dari tadi."

"Meme dijemput Bapa?"

"Iyalah ... siapa lagi, mereka adalah pasangan Prana Jaya dengan Layonsari jaman now." Kadek Intan berucap sambil meliukkan kedua tangan menyerupai sebuah gerakan tari.

"Eish ... sing keto, Dek! malu dilihat orang, mau ngigel? sana gih, ke Bale Banjar!"

Ni Luh Dewi menarik tangan Kadek Intan agar berhenti membuat gerakan.

Kadek Intan hanya cengengesan saja. Tak lama kemudian terlihat Komang Wiratama menghampiri mereka.

"Hei, Dek! belanja?" tanya Komang Wiratama.

"Hei, Bli Mang ... belanja dikit untuk rahinan."

"Bli Mang, kata Kadek, Meme udah pulang," ujar Ni Luh Dewi pada suaminya.

Tanpa disadari seorang pun, sepasang mata merah dengan mulut bertaring runcing menatap tajam ke arah mereka bertiga. Hanya beberapa menit berlangsung kemudian embusan angin dingin mengiringi seringai mengerikan pemilik mata merah. Sosok hitam berbulu lebat telah menyebarkan aroma harum kayu cendana, berbaur bau anyir darah. Aroma kematian sudah ditebar, menyusup ke jiwa suci segumpal darah kehidupan dalam rahim Ni Luh Dewi.

"Aku menginginkanmu! Hei, Jiwa Suci ... pembangkit roh keabadianku!"

Sekelebat bayangan hitam, muksa kemudian lenyap di rimbun pohon beringin di persimpangan jalan.

****

Komang Wiratama, Ni Luh Dewi, beserta Kadek Intan beriringan berjalan menuju tempat parkir.

Ni Luh Dewi berboncengan dengan sang suami, sedangkan Kadek Intan berkendara sendiri.

Mereka melewati jalan pintas menuju Jalan. By Pass Sanur.

Sebelum sampai di perempatan traffic light, Komang Wiratama memberi tanda untuk berhenti pada Kadek Intan. Tak lama saat motor sudah sejajar.

"Dek, kami ke Pasar Intaran dulu, siapa tahu Meme sedang beli lengis Bali."

"Okey, Bli Mang ... saya langsung pulang saja. Entar kalau saya lihat Bapa dan Meme ada di rumah, segera saya kabari. Luh, jangan lupa main ke rumah, ya!"

"Okey, Dek. Suksma, nah," sahut Ni Luh Dewi sambil melambaikan tangan.

"Suksma mewali. Hati-hati!" Kadek membalas melambaikan tangan.

****

Segera motor Komang Wiratama belok kiri ke arah Jalan. Danau Buyan. Sepanjang jalan, tangan Ni Luh Dewi melingkar erat di pinggang sang suami. Sesekali cubitan mesra jemari lentik Ni Luh Dewi singgah di perut Komang Wiratama, kala sang suami kalap membawa motor. Tiap kena cubit, pria itu langsung tepuk jidat sendiri. Ia baru sadar, sang istri sedang mengandung. Hanya perlu waktu sekitar sepuluh menit, mereka berdua sudah sampai di depan Pasar Intaran. Tak sengaja, Ni Luh Dewi melihat sosok Bapa di dalam warung kopi.

"Bli Mang, itu Bapa! Lagi ngopi di warung," ucap Ni Luh Dewi sambil menunjuk sebuah warung di sebelah kanan jalan.

"Oh, ya, benar, itu Bapa. Hayo ke sana!"

Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi segera turun dari motor. Dengan bergandeng tangan, mereka mendatangi warung, tempat Bapa ngopi.

"Om Swatyastu ... Bapa," tegur Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi sambil mencium punggung tangan Bapa bergantian.

"Om Swastyastu ... Hei, Gus, Gek," jawab lelaki tua berudeng coklat.

"Bapa, di mana Meme?" tanya Ni Luh Dewi pada Bapa.

"Meme lagi beli lengis Bali, Gek. Tunggu sini saja, sambil makan jajan," ajak Bapa ke Ni Luh Dewi.

Segera Ni Luh Dewi duduk di samping Bapa, diikuti oleh Komang Wiratama.

Ni Luh Dewi mengambil pisang rai di atas meja. Ia menikmatinya pelan-pelan. Komang Wiratama memesan kopi susu. Beberapa menit kemudian, orang yang ditunggu sudah datang menghampiri mereka bertiga.

"Wah, anak-anak Meme ada di sini juga, kapan datang?"

"Om Swastyastu," sapa Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi berbarengan sambil mencium punggung tangan Meme bergantian.

"Kami udah lama datang dari Nusa Dua. Tadi di rumah sepi, kami barusan cari ke warung. Kata Kadek Intan, Meme sudah pulang dijemput Bapa. Kirain dah pulang, nggak tahunya ada di sini," jawab Komang Wiratama.

"Kok tahu, kami ada di sini?" tanya Meme.

"Kami dah hapal kebiasaan Bapa dan Meme," sahut Ni Luh Dewi sambil mengerlingkan mata ke arah Bapa dan Meme. Bapa dan Meme hanya senyum simpul.

Komang Wiratama membayar semua makanan serta minuman yang telah mereka santap.

Mereka berempat beriringan mengendarai motor, pulang.

*****

Sesampai di rumah, Ni Luh Dewi membantu Meme membawakan barang belanjaan ke arah dapur. Meme mengikuti dari belakang. Dalam budaya Bali, dapur dan kamar mandi terletak terpisah dari rumah utama. Lokasi dua tempat tersebut berada di belakang rumah utama.

Bapa dan Komang Wiratama duduk berbincang di Bale Bengong.

"Apa kabar kamu dan Ni Luh Dewi, Gus?"

"Kami baik-baik saja, Bapa." Komang Wiratama menghela napas sesaat.

"Kami ke sini, membawa kabar gembira. Sebentar lagi Bapa dan Meme segera menimang cucu," kata Komang Wiratama dengan mata berkaca-kaca.

"Astungkara, akhirnya kami tidak perlu menunggu lama," timpal Bapa tidak kalah bahagia.

Bapa dan Meme hanya memiliki seorang anak saja, yaitu Komang Wiratama. Sehingga kabar ini sangatlah ditunggu-tunggu oleh keluarga besar mereka.

Sesaat kemudian Ni Luh Dewi ikut bergabung dengan mereka. Ia membawa nampan berisi teh manis dan jagung rebus. Selepas menaruh nampan, ia ikut duduk di samping sang suami.

"Gek, kamu sekarang hamil berapa bulan?" tanya bapa penasaran.

"Sekarang umur dua belas minggu kata Bu Bidan."

"Dua belas minggu, berarti tiga bulan, ya, Gek?"

"Iya, benar, Bapa." Komang Wiratama menimpali.

Meme datang ikut bercengkerama lalu duduk di samping Bapa sambil memetik batang kangkung yang akan dibuat sayur.

"Me, kita sebentar lagi akan punya cucu." Dengan antusias Bapa memberitahu.

"Meme udah tahu, tadi di dapur Ni Luh Dewi kasih tahu Meme. Ya, Gek?"

Ni Luh Dewi menganggukkan kepala diiringi senyum bahagia.

Sekelebat bayangan hitam menyusup ke halaman rumah. Terbang ke atap Bale Bengong. Bau janin muda telah membangkitkan rasa dahaga hasrat liarnya.

Tbc ....

○○○•••••○○●●●○○○○●●○○○●●••

Note :

*Sunrise = Matahari terbit.

*Sunset= Matahari terbenam.

*Jepun jepang = Kamboja jepang.

*Bapa = Bapak , Meme = Ibu.

*Mai na'e = Ayo saja.

*Bli Mang = Bli Komang/ Kak Komang.

*Mek Tu = Memek Putu/Meme Putu/ Bu Putu.

*Rahinan = persembahyangan di hari-hari khusus, mis : bulan purnama, bulan mati dll.

(*Jayaprana dan Layonsari = cerita percintaan mirip Romeo dan Juliet ala Bali.

(*Sing keto = nggak gitu

(*Muksa = musnah

(*Suksma nah = terima kasih ya.

(*Suksma mewali = terima kasih kembali.

(*Lengis Bali = Minyak Bali/ Minyak kelapa

(*Pisang rai = Jajan khas Bali, berupa pisang berbalut tepung terigu diberi warna hijau/ merah dibalur parutan kelapa.

(*Bale Bengong = Tempat santai menyerupai gubuk, berukir khas Bali. Terletak di halaman rumah.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (2)
goodnovel comment avatar
Nairah Zakiyaa
citer sukar difahami.untuk bahasa yang lain sebaiknya disertakan dgn terjemahan selepas ayat yg berkenaan.kalau letak dihujung bab sangat sukar difahami jalan ceritanya.japan cerita juga sangat membosankan
goodnovel comment avatar
Iqbal Rns
lebih baik percakapannya pake bhs indo aja, kan ga semua reader bisa berbahasa daerah bali termasuk saya, jdi ga seru baca ceritanya
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • LEAK   DADONG DATANG MENUNTUT BALAS

    “Jangan pura-pura! Sengaja betulin rumah Dadong untuk ambil alih, kan. Kami tau tipu muslihatmu, Nak Jawa!” Pria berkulit gelap ini berteriak berapi-api.“Kami? Dugaan kalian sekeluarga salah! Tanah itu milik Dadong dari gadis. Sebelum menikah dengan dengan suaminya,” ucap Ni Kesumasari dengan hati-hati lalu melanjutkan, “itu memang hak anak-anak kandungnya, meski wanita. Putu Adi telah dapat bagian setelah bapak angkatnya meninggal. Kemana itu? Kalian jual!”Ni Kesumasari kini tak dapat menahan emosi juga. Ia marah dengan keserakahan keluarga yang didatanginya. Putu Adi yang diangkat jadi anak sentana begitu mendapat harta warisan kembali ke keluarga asal.Ia dibujuk keluarganya untuk menjual harta tersebut tanpa menghiraukan upacara keluarga dan kehidupan Dadong Canangsari. Kini, bapaknya masih ingin menguasai tanah milik Dadong pula.Pria tukang judi ini telah menghabiskan harta peninggalan suami Dadong untuk b

  • LEAK   MAK NAH PEMBAWA WASIAT

    “Astaghfirullah! Dari darah?”Semua yang ada di situ terkejut mendengar penjelasan dari Ni Kesumasari. Mereka terkesima sekaligus ngeri saat melihat warna merah pada tenun tersebut. Seketika bayangan mereka melayang sibuk mereka-reka cara mendapatkan darah untuk proses membatik.“Apa pun itu, yang penting dengan kamen ini Mak Nah telah dipercaya Bik Tut untuk menyelesaikan masalah kita sekarang,” kata Ni Kesumasari menatap ke arah Mak Nah.“Insyaallah Mak Nah bantu sebisanya. Tapi, gimana caranya, Mbok Yan?” tanya Mak Nah.Semua saling pandang, termasuk Mak Nah dan Lek Dirman yang diberi barang wasiat oleh Dadong Canangsari.“Setau tyang, tinggal pake aja, Mak. Oh, ya. Bungan sandat selipkan di atas telinga kiri dan sunggar di bagian rambut depan. Sayang, gak ada kebaya Meme,” ucap Wayan Suri dengan nada menyesal.“Mbok Yan ada warisan kebaya dari Bik Tut.”“Wah bisa ke

  • LEAK   KEJADIAN ANEH TERSIRAT PESAN

    Hingga mobil sampai rumah pun, belum ada sepatah kata dari mereka. Bang Deni memarkirkan mobil di luar gerbang karena ia harus segera berangkat kerja.Pria ini berniat ke kebun belakang ingin memastikan penglihatan sebelum berangkat ke rumah Bik Mang tadi. Rasa penasaran yang memenuhi otaknya sepanjang perjalanan barusan.Tiga wanita bersaudara telah melangkah meninggalkan mobil lalu menuju dapur. Mereka kehausan, lebih tepatnya efek dari rasa kecewa telah mengeringkan tenggorokan dan dada. Mak Nah melihat mereka dengan rasa penasaran.“Gak ketemu lagi?”“Bukan gak ketemu. Ia sengaja sembunyi, Mak,” kata Ni Kesumasari bisa dibilang sebuah keluhan lalu mengambil botol mineral dari dalam kulkas.“Maaf, kalo boleh Mak Nah tau. Ada masalah apa?”“Oh, iya. Mak Nah belum tau ini. Bik Mang mencuri sunggar emas Bik Tut dan juga sebagian kulitnya diiris,” jawab Ni Kesumasari sambil menahan rasa sesak.

  • LEAK   SOSOK MISTERIUS DI KEBUN BELAKANG

    “Bang, aku harus segera ke Bik Mang, “ucap Ni Kesumasari sambil meminum teh hangatnya. “Yang penting harus segar dulu. Entar Abang yang antar,”sahut Bang Deni sambil berdiri. “Mau ke mana, Bang?” tanya sang calon istri. “Mau minum kopi. Tadi Abang taruh di meja depan sambil nunggu kalian siuman,” jawab pria berambut lebat ini sambil berlalu. “Mak Nah permisi ke dapur dulu. Tadi bawa pisang, mau bikin pisang goreng.” “Enak itu, Mak. Perlu bantuan?” “Gak usah, matur nuwun. Mbak Ning, rehat dulu. Barusan siuman juga,” ucap Mak Nah menepuk bahu Ningsih lalu balik badan lalu keluar kamar. Kini tinggal tiga bersaudara saling menatap dan segera tersenyum begitu menyadari bahwa mereka saling menunggu untuk berbicara duluan. “Okey, Mbok Yan yang ngomong dulu. Bisa jadi Bik Mang telah dapat darah kita buat ritual.” “Adi, Mbok Yan ngomong keto?” “Kamu gak diberitahu Bik Tut?” “Gak tuh, Mbok,” jawab Wa

  • LEAK   LEBIH SEKADAR PENCURIAN ILMU

    Polisi segera membuat garis kapur di TKP. Para petugas mengambil beberapa foto di tempat tersebut. Pak Lana, Lek Dirman, Bang Deni, dan kedua tukang ikut ke kantor polisi untuk diminta keterangan.Setelah kepergian para aparat dan kelima pria ke kantor polisi, ketiga wanita berembuk secara serius.“Suri, kira-kira siapa?”“Kok aku yang ditanya Mbok Yan?”“Lah iyalah. Secara, kamu yang lebih peka dibanding kami,” sahut Ningsih sambil senyum meledek ke arah sang adik.“Sejak awal aku menduga, Bik Mang.”“Mbok Yan juga,” timpal Ni Kesumasari lalu berpaling ke arah Ningsih.“Aku belum pernah ketemu Bik Mang. Kemarin diajak Suri ke sana juga gak ketemu.”“Mbok Ning udah liat orangnya. Di Labfor Polri kemarin itu,” ucap Wayan Suri mengingatkan kakaknya.“Oh ya. Mbok baru ingat sekarang. Bik Mang sempat bantuin masak di sini dan juga semba

  • LEAK   MISTERI JASAD JANIN DI BEKAS SANGGAH

    Ada apa dengan keluarga Bik Mang?Semoga Bik Mang belum sempat mempraktekkan ilmu itu.Sejak kapan mereka tahu cara curi ilmu?Ni Kesumasari semakin pusing dengan berbagai pertanyaan yang menumpuk satu persatu dalam benak. Ia belum bisa menemukan jawaban hingga mobil yang mereka tumpangi meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Wayan Suri belum beranjak meski Bang Deni telah memberi kode klakson.Mobil semakin menjauh, justru motor Wayan Suri semakin mendekat ke arah hutan. Ia melihat bayangan seseorang melangkah di antara pohon-pohon jati.Bayangan itu pasti salah satu dari anggota keluarga Bik Mang, batin wanita berpinggang ramping ini.Wayan Suri ingin masuk ke hutan, tapi hati nurani melarang. Akhirnya, terpaksa balik arah untuk mengejar mobil Bang Deni. Ia berpikir akan menceritakan hal ini kepada ketiga kerabatnya dan bisa jadi pendukung anggapan mereka belakangan ini.Mereka hanya ingin membantu Bik Mang agar tak terjebak r

  • LEAK   ADA YANG DENGAN KELUARGA BIK MANG

    “Cicing cai! Panak tyang mati, bangka caine!” teriak Ningsih dengan mata memerah.Tangan wanita berdarah Jawa yang telah dirasuki roh Dadong Canangsari telah terangkat dan Ni Kesumasari buru-buru memeluknya.“Bik Tut, tenang! Tyang akan ngajak ngomong ke dia. Percaya ke tyang! Ini bukan jalan terbaik,” ucap wanita mualaf ini dengan sesengukan.“Wak, tolong pulang dulu. Nanti kita ke rumah Wak. Sayang nyawa,” ujar Wayan Suri sembari membantu pria ini untuk bangkit.Meski dengan ekspresi tak senang, suami Bik Mang mau menuruti kata-kata Wayan Suri. Ia berlari ke arah motor lalu menstater dan berlalu dengan kepulan asap motor dua tak.Begitu suami Bik Mang sudah pergi, tubuh Ningsih seketika lunglai dan hampir jatuh ke lantai. Beruntung Ni Kesumasari dan Wayan Suri telah sigap menangkap tubuhnya. Tubuh wanita keturunan Jawa ini dibopong ke ruang tengah lalu dibaringkan di sofa.“Ningsih ... ningsih,&rdq

  • LEAK   SAUDARA DEKAT PELAKUNYA

    Mereka lega telah memiliki beberapa foto adegan dalam rekaman yang dianggap penting. Kakak beradik ini mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan para petugas lalu mohon diri kepada sang kepala dan anak buahnya.Langkah keduanya menuju tempat parkir diisi pembahasan langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Tanpa sengaja, pandangan Wayan Suri tertuju kepada seorang wanita yang berjalan mengendap-endap dari tempat parkir motor menuju bagian samping gedung.Wayan cekatan menarik tangan sang kakak diajak bersembunyi di balik tembok ruang lapor. Ningsih hanya bisa bengong saat diajak memindai gerak-gerik wanita itu.“Itu yang kita cari tadi, Mbok.”“Bik Mang?”“Iya. Dia adik ipar Bapak.”Setelah wanita yang diintip telah berlalu, mereka keluar dari tempat persembunyian lalu berjalan ke tempat parkir. Sejurus kemudian motor telah membawa keduanya berbaur dalam keramaian jalan raya.Perjalanan menempuh j

  • LEAK   MENGUAK SEBUAH TEKA-TEKI

    “Berapa orang?” tanya Ningsih sambil mengambil piring dari rak lalu ditaruh di meja.“Sekitar 20 orang termasuk tukang, Bli Yan dan Pak Lana,” jawab Wayan Suri sembari membantu menaruh teko kopi dan teh di nampan.“Jangan lupa gelasnya,” ucap Ningsih sembari menata beberapa gelas di nampan lain.“Udah komplit. Tolong bawa ke sana! Biar segera sarapan. Untuk kita udah Mbok siapin di wajan,” kata Ni Kesumasari.Mereka melangkah keluar dari dapur menuju teras rumah besar. Pak Lana dan Lek Dirman telah selesai mempersiapkan meja panjang untuk tempat menaruh sarapan.“Kita perlu ngomong bertiga. Ada leak baru di daerah ini,” ucap Wayan Suri kepada kedua saudaranya.“Kamu tau dari mana?” tanya Ni Kesumasari terkejut.Ketiga wanita ini kemudian melangkah ke dapur dan duduk di dipan. Wayan Suri menatap Ni Kesumasari lekat-lekat. Terang saja pandangan mata sang adik sepupu

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status