Malam ini lebih dingin dari kemarin. Aroma dupa semerbak tajam menyelimuti kompleks indekos. Embusan angin mendesir mengiringi penampakan bayangan hitam yang bertengger di atas genting, tepat di atas kamar pasangan pengantin baru. Malam Kajeng Kliwon ini bertepatan dengan munculnya bulan purnama.
Suara mendesis keluar lirih dari gigi-gigi runcing Si Bayangan Hitam, menembus genting, menyusup ke perut pemilik janin.
Seringai kepuasan mengiringi kepergian bayangan hitam.
"Mas, bayiku mana? Bayiku hilang. Perutku kempis, Mas." Tangisan histeris Sarti memecah kesunyian malam.
Jam menunjukkan pukul dua belas malam lebih. Segenap penghuni kompleks indekos berduyun-duyun mendatangi kamar kos Sarti dan suaminya.
"Ya Tuhan, kok, bisa hilang, Dek?" Jamal dengan ekspresi tak percaya, sembari mengelus perut sang istri.
"Jamal ... Sarti, ada apa?" teriak Lek Dirman sambil mengetuk pintu kamar pasutri tersebut.
"Buka pintunya, Jamal!" pinta Mak Nah dari balik pintu. Mak Nah adalah bibi dari Jamal, sekaligus istri dari Lek Dirman. Beberapa tetangga yang lain berdiri menunggu di depan kamar kos Jamal.
Jamal mendekat ke arah pintu lalu membuka gerendelnya. Lek Dirman, Mak Nah, beserta tetangga yang lain ikut menyeruak masuk kamar.
Kamar kos cukup menampung beberapa orang dari mereka. Yang lain hanya mampu menunggu di teras kamar dengan penasaran.
"Nduk, ada apa dengan perutmu? Sakit?" tanya Mak Nah penuh kecemasan.
Sarti masih menangis terisak-isak, memegang perutnya yang hari ini menginjak bulan keenam.
Sebulan lagi ia akan pulang kampung untuk mengadakan tingkepan. Rencananya, Sarti akan melahirkan di kampung halaman. Namun, rencana tinggal rencana, janinnya hilang musnah dalam hitungan menit.
"Mak, anakku, Mak, "rintih Sarti pilu. Beberapa detik kemudian badannya luruh di atas kasur tak sadarkan diri.
Mak Nah mengambil minyak angin di atas nakas, lalu mengoleskan sedikit di hidung Sarti.
"Pak, tolong jemput Bu Ratna. Ajak ke sini!" pinta Mak Nah pada Lek Dirman.
Bu Ratna adalah bidan puskesmas yang tinggal tak jauh dari kompleks indekos. Cukup jalan kaki ke sana.
"Segera Bapak ke sana, Buk. Jamal, jaga istrimu agar tetap tenang," ucap Lek Dirman.
Sejurus kemudian Lek Dirman sudah melangkah pergi.
Jamal memegang jemari Sarti, seakan-akan memberi kekuatan batin terhadap istrinya.
"Dik, sabar Dik, Mas selalu ada di sampingmu," ucap Jamal lirih.
Tidak terasa buliran bening membendung di sudut kedua matanya. Hati Jamal terasa perih, dada semakin sesak.
Lek Dirman datang dengan seorang bidan, menyibak kerumunan orang yang ramai di depan kamar Jamal.
"Permisi, Pak ... permisi, Bu," ucap Lek Dirman diikuti Bu Bidan.
"Bu Bidan, silakan masuk, maaf merepotkan." Mak Nah berdiri memberi ruang pada Bu Bidan. Lek Dirman berdiri menunggu di depan pintu.
"Maaf, Ibu-Ibu yang lain silakan keluar, biar saya periksa Dik Sarti. Mak Nah, Dik Jamal, bisa tunggu di dalam," pinta Bu Ratna.
Jamal segera menutup pintu.
Di luar kamar, para tetangga sibuk kasak-kusuk soal musnahnya janin Sarti.
"Kasihan Sarti, ya."
"Iya, udah mau tingkepan, bayinya hilang."
Beberapa meter dari komplek indekos.
"Maafin, Dadong, Gek! Dadong butuh kekuatan dari janin kamu," ucap Dadong Canangsari sambil mengusap tetesan darah dari sudut bibirnya.
Dadong Canangsari adalah wanita tua yang setiap hari hidup dengan berjualan canang sari (alat pelengkap untuk persembahyangan umat Hindu).
Dadong Canangsari adalah penerus ilmu Leak, merupakan sebuah ilmu yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ilmu tersebut adalah ilmu warisan dari keturunan garis ibu (wanita).
***
Dadong Canangsari duduk bersimpuh, mengantupkan dua tangan di depan dahi. Terselip sekuntum bunga di sela-sela jari jemari. Mata terpejam sembari merapalkan kidung mantra pemujaan pada Sang Ratu Kegelapan.
Hening ... sunyi, daun-daun enggan berbisik, sinar purnama redup tertimpa awan hitam. Lolongan anjing mengiringi irama malam penuh mistis.
Dadong Canangsari menggeliat merasakan kekuatan mistis merasuki setiap inci kulit, mengalir ke setiap inci pembuluh nadi. Helai demi helai bulu-bulu hitam mulai menghilang. Dari ujung kaki beranjak naik sampai ujung kepala. Gigi runcing mulai lenyap, mata belog merah berganti mata keriput.
Selesai sudah ritual pemujaan malam ini.
Dadong Canangsari merapikan kamben, kebaya, gelungan rambut yang acak-acakan karena pergulatan yang barusan terjadi.
Segera dia membersihkan kesan jejak ritual semalam, sebelum pagi menjelang.
Sementara itu, keadaan di indekos masih mencekam.
"Mak, Mas ...," rintih Sarti lirih.
"Dek, kamu sudah siuman, syukurlah," ucap Jamal sambil mengecup lembut kening sang istri.
"Dek Sarti, saya periksa dulu tekanan darahnya, ya?" ucap Bu Bidan mendekati lengan Sarti.
"Iya, Bu," jawab Sarti sambil tetap memegang erat jemari Jamal, ada geteran ketakutan di hatinya.
"Sarti, tenang, Nduk! Mak sama Masmu tetap di sini nungguin kamu. Lepasin bentar tangannya agar Bu Bidan bisa memeriksa kamu," ucap Mak Nah pelan-pelan, berusaha menenangkan hati Sarti.
"iya, Dek, lepas bentar ya. Mas temanin, kok," timpal Jamal.
Perlahan genggaman tangan Sarti mulai melonggar. Jamal menggeser letak duduknya, agar Bu Bidan leluasa memeriksa Sarti. Tekanan darah sudah diperiksa. Saat hendak memeriksa bagian perut Sarti.
"Jangan ... jangan ambil anakku, pergi ... pergi!" hardik Sarti sembari menepis kasar tangan Bu Bidan.
"Mas ... Mas, tolong aku!" jerit histeris Sarti, menarik tangan Jamal kuat. Terlihat jelas di wajah Sarti, raut ketakutan amat dalam.
Bu Bidan seketika beringsut ke belakang, memberi kesempatan Jamal agar bisa lebih mendekatkan diri ke Sarti.
Bu Bidan berbisik lirih ke Mak Nah, mengajak pergi ke arah dapur.
"Mak, ini saya kasih obat, diminum tiga kali sehari. Besok pagi, segera ajak Dek Sarti ke Puskesmas, agar dapat tindakan lanjut," ucap Bu Bidan lirih, agar suaranya tak terdengar telinga Sarti.
"Maksudnya ... tindakan lanjut apa, ya, Bu?" tanya Mak Nah cemas.
"Dek Sarti harus dibersihkan sisa-sisa darahnya dari rahim." Penjelasan Bu Bidan membuat Mak Nah merasa khawatir juga.
“Memang bahaya, ya, Bu, kalo gak dibersihkan? Misal ini, ya, Bu. Diminumin jamu pembersih darah kayak orang melahirkan di dukun bayi gitu,” ucap Mak Nah lirih khawatir didengar oleh Sarti.
“Gak bisa, Mak. Rahim yang nggak bersih dari darah nifas bisa berakibat penyakit. “
“Wah, bisa jadi tumor, ya, Bu?”
“Bisa dong! Setelah ini, Dik Sarti diminta minum obat ini 1 kapsul, ya, Mak.”
“Baik, Bu Bidan. Terima kasih banyak.”
Kemudian Bu Bidan pamit pada Jamal dan Sarti lalu pulang diantar Lek Dirman.
***
Jejak Kaki :
*Kajeng Kliwon adalah upacara memberikan korban suci sebagai persembahan kepada Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) beserta seluruh manifestasinya. Persembahan itu dilakukan dengan kepercayaan bahwa Sang Dewa akan melindungi segenap manusia dan memberi kesejahteraan bagi yang mengikuti upacara. Upacara Kajeng Kliwon dilaksanakan setiap lima belas hari kalender.
*Tingkepan= acara syukuran bagi masyarakat Jawa, untuk memperingati usia tujuh bulan kandungan.
*Gek = Jegeg (Gek), artinya cantik, merupakan sebutan untuk wanita muda (gadis).
*Dadong = Nenek.
Keesokan harinya, Sarti sudah siap ditemani Jamal pergi ke Puskesmas.Pak Wayan Lana, tetangga depan sekaligus pemilik kompleks kos sudah berjanji mau mengantar mereka. Jamal dan Sarti sedang menunggu kedatangan Pak Wayan Lana."Selamat Pagi." Dadong Canangsari datang menghampiri mereka."Selamat Pagi, Dong," sahut Sarti."Mau kemana, Gek? *nu semengan sube jegeg sajan," ucap Dadong sambil melirik perut Sarti yang sudah kempis."Kami mau ke Puskesmas, periksa, Dong," jawab Jamal lalu Sarti mengangguk."Siapa yang sakit?" Dadong pura-pura tak tahu soal tragedi semalam."Saya, Dong. Bayi saya hilang semalam." Sarti menjelaskan sambil menunduk, tak terasa buliran-buliran bening menetes di kedua pipinya. Rasa kehilangan itu kembali muncul, menekan batinnya. Jamal meraih bahu Sarti lalu merengkuhnya dalam dekapan. Sesekali tangan Jamal mengelus
Jalan beraspal yang basah, sehabis diguyur hujan. Hanya ada satu dua orang berkendara. Jalan ini selalu lengang selepas sunrise dan akan mulai ramai lagi menjelang sunset tiba. Di sisi kanan menjelang pertigaan arah menuju Pantai Matahari Terbit terdapat sebuah rumahberornamen Bali. Berhalaman luas yang asri, jepun jepang berjejer rapi mengelilingi pagar rumah. Terlihat pasutri memasuki halaman rumah."Om Swastyastu ... Bapa ... Meme." Komang Wiratama berteriak memberi salam."Rumah sepi, Bli." Ni Luh Dewi mengedarkan pandangan ke segenap halaman."Coba, Bli Mang telepon Bapa!" pinta Ni Luh Dewi pada sang suami.Komang Wiratama mengeluarkan ponsel dari saku celana. Sesaat mencoba menghubungi ke nomor bapanya. Beberapa kali melakukan panggilan, tidak ada nada sambung."Gek, nomor Bapa tidak aktif.""Bli, bagaimana kalau kita susul Meme ke pasar? Mungkin
Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi hanya semalam menginap di rumah Sanur. Keesokan harinya, mereka sudah balik ke kontrakan di Nusa Dua.Setelah menempuh perjalanan satu jam, mereka sampai di Nusa Dua. Ni Luh Dewi masuk kerja sore hari, sedangkan Komang Wiratama sengaja tutup toko hari ini.Komang Wiratama adalah seorang seniman tato, dia mempunyai tempat tato di daerah Legian.Hari ini, Komang Wiratama ada booking service ke tempat pelanggan di Sidakarya.*****Setelah ganti baju, kedua pasutri ini duduk santai di teras rumah. Mereka mlelihat hilir mudik orang di depan rumah.Komang tak bosan-bosannya mengelus perut sang istri. Tampak jelas raut kebahagiaan di wajahnya.Perut Ni Luh Dewi dielus-elus sesekali digelitik tangan jahil Komang yang membuat sang istri menggeliat kegelian."Bli Mang, geli tahu!"Komang seakan tidak menghiraukan protes sang
Dalam perjalanan pulang, mereka akan menyempatkan diri mampir ke rumah seorang teman kerja Ni Luh Dewi.Kebetulan hari ini, sang teman lain sif dengan Ni Luh Dewi. Sang teman masuk sif pagi, biasanya pulang jam tiga sore. Di tengah perjalanan Ni Luh Dewi merajuk pada sang suami."Bli Mang, simpang ke warung Bu Oki, ya ... ya?""Dekat toko Nirmala, situ?""Ya, Bli ... lapar nih."Akhirnya motor yang mereka kendarai belok kiri masuk gang menuju Warung Bu Oki.Komang Wiratama mencari tempat parkir yang teduh. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul empat sore, panas masih terasa menyengat.Banyak pasang mata mengamati kedatangan dua sejoli ini. Maklum saja tampilan visual pasangan ini mirip artis.Komang Wiratama adalah pria maskulin, berpostur tubuh seratus delapan puluh lima sentimeter, ditopang bentuk tubuh proposional, ditunjang raut wajah mirip a
Bayangan hitam memutar mencari celah untuk masuk ke pelataran rumah. Alunan Gayatri Mantram mengalun, menggema, merasuki setiap inci pelataran serta setiap sudut ruangan. Embusan napas serta setiap lafal mantra yang terucap dari kedua insan adalah angin suci berisi untaian kidung pemujaan pada Sang Hyang Pemilik Hidup. Bayangan hitam menggeliat, mengejang tak mampu melewati pagar pembatas yang tercipta oleh alunan Gayatri Mantram. Semakin kuat, dia mencoba menerobos, semakin kuat pula jala alunan Gayatri Mantram mengempas, menghentakan. Bayangan hitam melesat tinggi menggapai arah genting rumah. Dia tak mampu menerobos kekuatan suci Gayatri Mantram. Kekuatan mantra laksana jala raksasa yang mencengkeram erat, menutup seluruh pelataran serta rumah. Akhirnya sang bayangan terempas keras, seluruh sendi-sendi kekuatan magisnya remuk. Dia menggeliat, menggelepar dan raib terbawa embusan angin, menyisak
Serangan angin hanya melanda kamar mereka saja. Aneh bin ajaib. Sungguh kekuatan setan mampu membuat nyali ciut bagi orang-orang yang tak beriman."Alhamdulillah, Bu! Sudah reda anginnya. Ayo, buka mata!" Pria tersebut menepuk halus pipi istrinya yang masih diliputi perasaan khawatir. Wanita itu baru berani membuka mata, setelah tahu angin sudah menghilang, dia langsung sujud syukur sambil terisak-isak. Allah masih melindungi mereka.“Alhamdulillah! Terima kasih, Ya Allah! Pak kita selamat," ucapnya sambil menyeka buliran bening dari kedua sudut mata serta pipi. Mereka berpelukan, merasa lega, terlepas dari serangan angin setan.Tetangga Indekos mendatangi kamar mereka. Suara angin ribut serta suara hentakan pintu kamar yang diterjang oleh angin, mendatangkan rasa penasaran mereka. Di antara orang-orang yang berkerumun, terdapat pasangan yang baru saja kehilangan janin secara gaib dua minggu lalu.
Kobaran api yang membumbung tinggi dan suara petir yang menggelegar, menarik perhatian warga sekitar, termasuk penghuni kompleks indekos. Warga berhamburan ke tempat kejadian, begitu sampai di tempat bekas kebakaran, mereka hanya mampu tertegun.Kediaman Dadong Canangsari hanya menyisakan puing-puing berserakan beserta bara api. Warga bergotong royong memadamkannya.Anehnya, bara api hanya membumi hanguskan bangunan rumah saja, tak sampai merembet ke tempat lain. Ketika api sudah mulai padam, terdengar jeritan seorang wanita.“Bik Tut, Bik Tut ... apa yang terjadi?”Rupanya Ni Wayan Kesumasari yang baru saja datang dari bepergian, terlihat terkejut melihat musibah yang dialami bibiknya. Wanita itu tak menyangka nasib Dadong Canangsari akan setragis itu.Akhirnya, berdua dengan Wayan Lana-- suaminya-- dibantu oleh warga berusaha mencari keberadaan jasad Dad
Kejadian ini terjadi beberapa hari sebelum jasad Dadong Canangsari menghilang dalam musibah kebakaran yang menimpa rumah wanita renta itu. Telah beberapa malam wanita renta tersebut mengalami mimpi yang mengerikan dan selalu dengan mimpi yang sama. Wanita itu telah merasa hal tersebut adalah sebuah firasat jika waktunya telah dekat. Sang Dadong merasa sudah saatnya mempersiapkan segala urusan termasuk mempersiapkan calon penerus ilmu.Dari pagi buta dia sudah mempersiapkan barang dagangan sekalian menyisakan beberapa canang dan tambahan untuk ritual nanti malam di rumah Wayan Suri, anaknya. Dia berencana meminta tolong keponakannya untuk mengantar ke Denpasar.Sesaat sebelum Dadong Canangsari akan pergi ke pasar untuk berjualan canang tak sengaja bertemu keponakannya. Ni Wayan Kesumasari lewat tepat di depan rumah Dadong Canangsari. Mereka masih saudara dekat, Ni Wayan Kesumasari adalah anak dari kakak perempuan Dadong Canangsari. Begitu mel