Kepergian Dadong Canangsari meninggalkan tugas untuk keturunannya. Sebuah ilmu harus diemban, tapi siapakah yang telah menerima ilmu tersebut? Cahaya yang keluar sesaat setelah tubuh Dadong Canangsari tewas telah menemukan raga yang lain. Tak ada yang tahu, siapa yang telah menerima ilmu tersebut.
Wayan Suri, putri Dadong Canangsari tak merasa kemasukan cahaya ilmu tersebut. Tak juga dirasakan oleh Kesumasari, keponakan Dadong. Kedua wanita dalam garis keluarga itu saling bertanya.
Ke manakah cahaya kuning ilmu tersebut?
Sejenak kita melangkah, menilik masa lalu kehidupan Dadong Canangsari.
Saat itu di usia dua puluh tahun, Dadong Canangsari merantau ke Jawa karena perpindahan tempat kerja. Perusahaan ekspedisi tempat dia bekerja membuka cabang baru di salah satu kota besar di Jawa. Setahun bekerja di sana, Dadong Canangsari muda, kala itu masih memakai nama gadis, I Ketut Sulastri, menjalin hubungan dengan seorang pria.
Kebetulan mereka teman satu kantor. Hubungan mereka terlalu jauh, akhirnya Sulastri--panggilan Dadong-- hamil. Mau tak mau mereka harus segera menikah. Pasangan sejoli itu lalu berangkat ke Bali untuk menemui kedua orang tua Sulastri, sekaligus mengurus dokumen untuk keperluan pernikahan.
Mereka akan menikah secara Islam, mengikuti keyakinan sang pria. Dalam adat budaya Bali, sebagai penganut Hindu, Sulastri harus keluar dari agamanya, setelah itu baru bisa mengurus dokumen yang diperlukan untuk pernikahan.
Namun, kenyataan yang harus dihadapi sepasang sejoli ini ternyata rumit, rupanya harus ada pembicaraan keluarga, pura serta banjar adat. Mereka diwajibkan mengadakan upacara mepamit. Sedangkan untuk keperluan itu, sepasang kekasih itu harus menyediakan sejumlah dana serta mencari Dewasa Ayu ( hari baik) dulu untuk pelaksanaan upacara pelepasan dari agama Hindu. Akhirnya, karena tak mempunyai dana besar dan juga tak ada waktu lagi, dengan berat hati mereka terpaksa hanya minta doa restu saja dari kedua orang tua.
Setelah mendapat restu keluarga, sepasang sejoli itu kembali ke Jawa. Setiba di rumah sang pria, dengan disaksikan orang tua calon mempelai pria dan pemuka agama setempat, Sulastri mengucapkan dua kalimat syahadat. Sulastri resmi sebagai pemeluk agama Islam. Sehari setelah itu, mereka melaksanakan pernikahan secara siri karena kendala di adat budaya Bali, Sulastri tak bisa mengurus surat keterangan numpang nikah.
Sepanjang pernikahan siri tersebut pasangan muda itu hidup rukun dan bahagia, apalagi tak lama kemudian seorang anak perempuan hadir di tengah-tengah mereka.
Sampai suatu seketika Sulastri mengalami kejang-kejang, selang sejam kemudian sudah kembali normal. Kejadian tersebut semakin sering dialami Sulastri bahkan semakin lama berlangsungnya. Sampai pada puncaknya saat hari Kajeng Kliwon datang, tubuh Sulastri kejang-kejang lalu dari sekujur tubuh keluar asap panas. Setelah itu tubuh sang wanita lunglai layaknya orang pingsan. Suami Sulastri yang panik lalu memanggil seorang mantri desa untuk memeriksa keadaan istrinya. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa keadaan Sulastri baik-baik saja.
Dua jam berlalu, sang suami setia menunggu di samping tubuh Sulastri dan seketika kaget kala sang istri siuman dengan gelagat aneh. Tubuh Sulastri seakan ringan layaknya orang terbang menuju ke kandang ayam. Seekor ayam ditangkap lalu digigit lehernya hingga mati. Dalam hitungan menit tubuh ayam berubah menghitam, gosong. Suami Sulastri yang berdiri tak jauh dari situ hanya bisa menatap penuh keheranan.
Ada apa dengan istrinya?
Kesurupankah?
Tak lama kemudian, Sulastri berbalik lalu menyeringai dengan mulut dan tangan belepotan darah serta bulu ayam. Dengan santainya tanpa mengindahkan teguran sang suami, wanita itu melangkah santai masuk rumah lalu merebahkan diri di atas lantai ruang tamu dan tak lama kemudian sudah tertidur pulas kembali.
Sang suami mendekati tubuh Sulastri lalu membersihkan darah di bibir dan tangan istrinya dengan tisu. Pelan-pelan tubuh wanita itu diangkat akan dipindahkan ke kamar tidur, tapi tubuh sang istri terasa berat sekali. Sang suami tak kuat mengangkat. Tubuh Sulastri layaknya tubuh empat orang jadi satu.
Tak ada yang bisa dilakukan oleh suaminya, tubuh Sulastri terpaksa dibiarkan tergeletak di atas lantai yang dingin. Dirinya menunggui tubuh sang istri tanpa bisa memejamkan mata. Hatinya sangat khawatir dengan keadaan Sulastri. Beruntungnya anak mereka sedang menginap di rumah neneknya, sehingga tak tahu kejadian aneh tersebut.
Pagi hari saat Sulastri siuman, wanita itu merasa keheranan mendapati tubuh tertidur di atas lantai, tapi sungguh aneh badan terasa lebih sehat dan bugar daripada hari sebelumnya. Sang suami segera mendekap, pria itu merasa bahagia Sulastri bisa siuman dengan keadaan normal. Sulastri merasa terkejut dengan keadaan baju penuh bercak darah, serta bau anyir, amis menyeruak dari mulut dan sekujur tubuh.
Suaminya menjelaskan hati-hati, apa saja yang telah terjadi selama semalam. Sulastri terdiam sejenak, akhirnya menyadari akan sesuatu. Dirinya harus segera pulang ke Bali untuk menepati janji leluhur.
Dengan berat hati, Sulastri harus meninggalkan suami dan anak demi sebuah pengabdian yang telah dilaksanakan secara turun temurun. Dirinya mengaku pada sang suami, jika penyakit turunan ini hanya bisa disembuhkan di kampung halamannya saja. Mereka terpaksa berpisah demi kesembuhan Sulastri.
°°°°°
Kini Ni Kesumasari dan Wayan Suri kebingungan, memikirkan siapa gerangan yang telah mewarisi ilmu Dadong Canangsari. Malam Kajeng Kliwon tinggal beberapa hari lagi, malam di mana harus dilaksanakan ritual khusus untuk pewaris ilmu leak.
“Om Swastiastu, Bu Lana. Ada tamu mencari ... dari Jawa nih,” sapa seseorang di teras rumah.
Bu Lana—Kesumasari—segera keluar bersama Wayan Suri. Ada tamu dari Jawa mencari dirinya, adalah hal mengejutkan, mengingat dia tak mempunyai teman maupun saudara di Jawa.
“Om Swastiastu, oh Pak Dirman, terima kasih, ya,” balasnya diiringi anggukan Lek Dirman, lalu pria separuh baya itu pamit pergi.
Sekarang di hadapan mereka, berdiri seorang wanita berparas cantik sepintas mirip Dadong Canangsari saat muda menyapa dengan ramah.
“Selamat pagi, maaf. Perkenalkan saya Ningsih, putri Bu Ketut Sulastri.”
Wanita itu mendekat sembari menjabat tangan Ni Kesumasari dan Wayan Suri bergantian.
Tentu saya ucapan sang wanita barusan membuat kaget Ni Kesumasari, terlebih Wayan Suri. Selama ini dirinya merasa adalah putri satu-satunya dari Dadong Canangsari.
Kesumasari mempersilakan sang tamu masuk ke rumah kemudian diikuti langkah Wayan Suri yang langsung ke dapur untuk mempersiapkan minum. Setelah semua minum diletakkan pada meja, sembari mempersilakan tamunya minum, Wayan Suri ikut bergabung dalam pembicaraan.
Akhirnya diketahui bahwa, wanita ini adalah kakak seibu dengan Wayan Suri. Saat diberitahu bila Dadong Canangsari telah tiada, raut wajah wanita, yang diketahui bernama Ningsih terlihat sangat sedih. Dirinya ditinggal Dadong Canangsari saat usia sembilan tahun. Dia sangat merindukan sosok ibu. Kini, saat dirinya datang berkunjung, sang ibu telah tiada. Selama ini, Ningsih ingin bertemu Dadong tapi dilarang bapaknya, karena Dadong Canangsari telah mempunyai keluarga baru.
Ningsih bercerita kenapa dirinya datang berkunjung. Bermula dari sebuah mimpi, dirinya didatangi Dadong Canangsari. Sang ibu pamit sembari berurai air mata. Akhirnya Ningsih memberanikan diri meminta pada bapaknya agar diizinkan menengok sang ibu.
Hari ini menjadi ajang temu kangen bagi mereka bertiga. Seorang anggota keluarga yang terpisah jauh sekarang bisa bertemu.
Malam Kajeng Kliwon telah tiba. Lolongan anjing mengimbangi dinginnya malam. Ketiga wanita trah Dadong Canangsari berkumpul. Mereka mempersiapkan persembahyangan khusus, seperti yang telah dipesan Dadong Canangsari sebelum meninggal. Persembahyangan inilah yang akan menjelaskan semuanya.
Siapakah yang telah dipilih cahaya leak sebagai penerus Dadong Canangsari?
Setelah ritual khusus dilakukan, mereka duduk berhadapan. Hanya debaran jantung dan tarikan napas yang terdengar, kadang berirama kadang memburu, mengikuti alur pikiran masing-masing. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Ni Kesumasari sebagai saudara tertua mulai bersuara.“Ningsih, Suri, sekarang kalian bersiap menerima ilmu warisan meme kalian. Persiapkan jiwa raga. Takdir tak bisa ditolak, inilah garis keturunan kita.”“Mbok Yan, seumpama aku yang dapat warisan ilmu, bisakah aku jalani dari Tanah Jawa?” tanya Ningsih dengan tatapan mata penuh selidik, beberapa kali wanita itu membenahi letak kamben dan kebayanya. Maklum saja, dia belum terbiasa dengan busana tersebut. Bu Lana tersenyum geli melihat tingkah sepupunya ini.“Ken ken? Nggak bisa begitu, Mbok,” timpal Wayan Suri sembari memegang jemari tangan kakak perempuannya. Seketika Ningsih menyambut erat genggaman sang adik, sea
Bu Lana telah sadar seperti semula, dengan perubahan wajah, tubuh dan kulit yang lebih kencang dari sebelumnya. Ningsih dan Wayan Suri semakin penasaran dengan perubahan yang telah dialami sang mbok. Sungguh takjub dengan perubahan yang secepat kilat tersebut, hanya perlu waktu semalam saja.“Mbok, ke mana aja? Kami takut, rohmu tak kembali lagi. Sudah mirip mayat, pucat, denyut nadi pun lemah. Tahu-tahu mbok siuman, mulut belepotan darah. Kami ngeri, akhirnya jadi senang, terlihat jadi lebih muda, lebih cantik. Ngapain aja sih, Mbok?” tanya Wayan suri yang memang lebih bawel dibanding Ningsih, sang kakak.Bu Lana hanya tersenyum, menanggapi pertanyaan Wayan Suri. Hatinya sedang berbunga-bunga, harapan selama ini tercapai sudah. Dalam hati sangat berharap bahwa dirinyalah yang akan menjadi pewaris ilmu. Sekarang harus segera menyusun kata-kata untuk menyampaikan hal tersebut pada suaminya. Tak mungkin bisa disembunyik
Setelah menempuh perjalanan satu jam karena macet, sampailah mereka di kediaman Wayan Suri. Situasi lingkungan rumah Wayan Suri yang asri masih dikelilingi areal persawahan membuat Ningsih merasa nyaman, serasa di kota asalnya di Jawa.Tak ingin berlama-lama Bu Lana segera mengajak suaminya pergi keliling kota mencari oleh-oleh untuk Ningsih yang akan pulang kampung besok. Sayang, saat mengajak kedua sepupunya, mereka tak mau. Ningsih dan Suri ingin segera istirahat karena semalaman sudah begadang. Hal tersebut tak dirasakan oleh Bu Lana.Dalam perjalanan, Pak Lana tak henti-hentinya mencuri pandang pada sang istri. Pria itu sangat heran dengan perubahan yang terjadi pada tubuh terutama wajah istrinya. Perawatan macam apa yang telah dilakukan istrinya dengan para sepupu?Hanya dalam waktu singkat, wajah yang mulai menua berganti rupa dengan kulit kencang. Bentuk tubuh pun berubah dratis, dari yang semula kendor, daging b
Di balik senyum Bu Lana ada sesuatu hal mengerikan yang disembunyikan. Pak Lana hanya melihat sebagai kebaikan pada sesama, dia bangga pada sang istri. Semakin cantik paras serta semakin baik pula perilakunya.Setelah bercengkerama selama sejam, mereka akhirnya berpamitan dengan sang teman. Sejak di rumah sakit pikiran Pak Lana jadi menerawang tentang dambaan berdua yang belum terwujud hingga hari ini. Dalam perjalanan pulang, Pak Lana mencoba membahas dengan istrinya.“Bu, bagaimana kalau kita periksa ke dokter lagi. Ya, siapa tahu, kalau ke dokter lain ada jalan keluar. Umur kita semakin bertambah, harus berusaha lagi,” ucap Pak Lana sambil menoleh ke arah istrinya yang sedang asik mematutkan diri di kaca spion.“Boleh juga, emang mau periksa ke mana lagi, Pak?” Dengan tanpa melihat ke arah suaminya. Bu Lana semakin asik mematutkan diri. Kelakuan sang istri ini membuat Pak Lana jadi geleng
Berdua memacu hasrat di atas hamparan sprei kamar hotel berbintang. Mereka telah terbuai bujuk rayu setan, sudah sama-sama melupakan janji suci pernikahan. Pak Lana tersenyum bahagia, mengecup mesra kening Sarti. Tampak cucuran keringat dan tarikan napas yang belum stabil, sisa petualangan mereka beberapa saat yang lalu.“Makasih ya, Gek. Aku makin sayang sama kamu,” ucap Pak Lana memeluk erat tubuh Sarti yang polos tanpa sehelai, seperti dirinya.Pria itu merengkuhnya tubuh Sarti semakin erat. Kedua tangan sang wanita melingkar mesra ke pinggang Pak Lana. Bagi Sarti yang notabene hanya dengan Jamal, pria satu-satunya yang mengajaknya berpetualang liar dan sekarang merasa ada pria lain yang lebih perkasa dari suaminya.“Nanti kalau ketahuan ibu gimana, Pak?” tanya Sarti sembari mendongak menatap seraut wajah tampan pria separuh baya dengan jambang yang mulai tumbuh di sana sini.
Ilmu leak tak pernah lepas dari sebuah nama yang melegenda yaitu Calonarang yang dipercaya sebagai guru dari ilmu leak yang sesat. Berikut ini saya sadur sebuah cerita legenda tentang asal mula ilmu leak yang berkembang jadi ilmu hitam. Ilmu yang dipergunakan oleh Calonarang sebagai alat balas dendam karena merasa diperlakukan tidak adil. Ilmu leak hanya diturunkan Calonarang kepada pengikutnya dalam garis keturunan wanita. Ilmu ini akan memilih pewarisnya sendiri tak bisa diminta maupun dihindari. Sekali sumpah terucap anak cucu keturunan dalam garis wanita (ibu) akan menjadi penerus ilmu leak. Semoga cerita berikut berguna untuk menambah wawasan bagi kita semua. Agar bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi hidup dan lebih bisa jaga diri agar kita terperangkap ilmu sesat dan juga tak akan jadi korban ilmu hitam . Lebih baik mencegah/ menghindari selagi bisa agar aman sejahtara hidup kitam. Seberapa kuat ilmu hitam akan tetap kalah dengan kekuatan yang maha dahsyat, Sang Maha Pencip
Mobil bergerak ke arah kota menyusuri deretan pertokoan, lalu berhenti tepat depan warung nasi campur. Pak Lana dan Sarti berjalan saling berpelukan mesra. Warung masih sepi, hanya ada tiga orang pembeli. Mereka bisa leluasa memilih tempat duduk dan akhirnya tempat duduk di pojok belakang yang jadi pilihan. Mereka layaknya pasangan remaja yang sedang jatuh cinta, mata saling berpandangan mesra, tangan saling menggenggam.Tak lama kemudian terdengar suara sirine ambulans semakin mendekat. Akhirnya melewati depan warung. Si pemilik warung segera keluar, ia merasa mengenal dengan seseorang yang duduk di kursi depan dalam ambulans.“Pak, itu seperti Bli Putu, menantu tuan rumah, ya!” teriaknya pada seorang pria yang barusan sampai depan warung dengan mengendarai motor. Tangan wanita pemilik warung ini asik menunjuk pada ambulans yang mulai menjauh.“Memang! Barusan Bapak ke rumahnya. Bayi Gek Mang ilang,&rd
Sudah tiga hari ini badan Sarti meriang, perut mual, setiap mencium aroma menyengat bawaanya ingin muntah. Pagi ini saja sudah beberapa kali muntah, badan terasa lemas, perut terasa perih. Mau apa pun terasa tak enak, jadi serba salah. Mulut terasa ingin yang masam-masam, beruntung dirinya masih punya persediaan jus dalam kemasanSarti segera mengambilnya dari dalam kulkas. Begitu meneguk minuman tersebut, badan terasa segar kembali. Dia tak ingin ke mana-mana, hanya ingin rebahan saja. Seharusnya pagi ini dirinya ke pasar, persediaan beras dan kebutuhan yang lain sudah habis. Apa daya tubuhnya lemas, kepala pun pening. Sarti hanya mampu tiduran saja, menunggu keadaan tubuh membaik.‘Tok ... tok ... tok’“Nduk, Sarti ...”Terdengar suara Mak Nah di pintu depan, Sarti pun segera bangun dan melangkah, lalu membuka pintu. Seketika terlihat wajah wanita separuh baya yang terlihat cemas.